Share

5. Wajah Tak Asing

Memasuki ruang pertemuan, mata Fasya langsung tertuju pada sekumpulan mahasiswa dengan almamater kebanggaan dari kampus mereka. Mereka semua duduk rapi dengan wajah yang serius, siap mendengarkan materi kunjungan hari ini. Seketika Fasya meringis. Apa dia pernah seserius ini saat kuliah? Sepertinya tidak.

"Ini, kalian bagiin kertas ini ke mereka semua ya. Setelah itu duduk di belakang laptop," ucap Shanon memberi arahan.

Fasya dan Dinar kompak mengangguk dan segera melaksanakan tugas mereka. Melihat Damar yang sudah berdiri di depan podium, sepertinya pria itu yang akan mengisi materi kunjungan hari ini. Setelah membagikan kertas yang Fasya yakini berisi materi pembahasan hari ini, dia mulai duduk di depan laptop untuk membantu Damar melakukan presentasi.

Mendengar penjelasan Damar mengenai perusahaan, Fasya seperti ikut belajar banyak hal di sini. Ini masih hari pertamanya tapi dia sudah mendapatkan banyak informasi. Awalnya yang ia ketahui hanya tentang departemen tempat ia magang, tapi ternyata sebuah perusahaan jauh lebih luas dari pada itu.

"Mas Damar keren banget," bisik Dinar sambil menyandarkan kepalanya di bahu Fasya.

"Untuk materi selanjutnya akan dijelaskan oleh Bapak Fatomi, perwakilan dari bagian produksi. Silakan, Pak."

Setelah itu Damar turun dan mendekat. Dia duduk di samping Fasya sambil merapikan kemejanya.

"Haus, Mas?" tanya Dinar.

"Dikit."

"Minum dulu." Dinar memberikan sebotol air mineral dengan tatapan yang masih terpesona.

"Terima kasih."

"Biasanya kunjungan itu berapa jam, Mas?" tanya Fasya.

"Untuk penjelasan materi nggak lama, paling cuma setengah jam. Selebihnya mereka akan keliling pabrik nanti."

Fasya dan Dinar kompak mengangguk. Mereka benar-benar seperti anak kecil yang baru mengetahui sesuatu. Banyak pertanyaan yang mereka tanyakan pada Damar dan Damar juga dengan sabar menjawabnya.

"Nanti kalian ikut keliling pabrik temenin Mbak Hanum."

"Pihak humas juga ikut, Mas?"

"Iya dong, kan kita penjembatan antara pihak eksternal dan internal," jelas Damar lagi.

"Siap, Bos!"

Beberapa menit kemudian penjelasan materi telah selesai. Mereka semua bergegas keluar menuju bus milik perusahaan untuk berkeliling pabrik. Namun sebelum itu, Fasya memutuskan untuk ijin ke toilet terlebih dahulu. Dia tidak bisa menahannya lagi. Tubuhnya memang sangat sensitif dengan suhu ruangan yang cukup dingin.

Ketika keluar dari kamar mandi, Fasya dikejutkan dengan bayangan seorang pria yang terlihat tidak asing. Pria itu memasuki toilet pria saat ia keluar dari toilet wanita. Meskipun terlihat samar tapi Fasya tetap dibuat terkejut. Apa penglihatannya salah? Tidak mungkin jika Fasya melihat pria itu.

"Kok mirip Mas Adnan ya?" gumam Fasya panik.

Dia sangat penasaran tapi dia tidak mungkin masuk ke toilet pria. Fasya masih waras untuk tidak mengikuti insting gilanya.

"Asli, orang tadi mirip Mas Adnan," gumam Fasya lagi.

Pada akhirnya Fasya memilih untuk menunggu di depan toilet. Dia berdiri dengan bersandar pada tembok. Bibirnya berdoa agar penglihatannya memang salah tadi. Mungkin karena terlalu benci sehingga bayang-bayang wajah pria itu menghantuinya. Fasya masih menunggu, ia hanya ingin memastikan jika tidak akan berhubungan dengan pria itu tempat ini. Cukup di rumah saja mereka bertemu, Fasya tidak ingin Adnan mengganggu ketenangan magangnya di kantor.

Suara langkah sepatu yang terdengar mendekat membuat Fasya berdiri tegak. Dia menatap pintu masuk toilet pria dengan mata yang tajam. Bahkan tanpa sadar keningnya berkerut dalam karena rasa penasaran yang begitu dalam.

Saat pintu terbuka, Fasya menghela napas lega melihat Damar yang keluar dari sana.

"Loh, Sya. Masih di sini?" tanya Damar bingung.

Fasya menghela napas lega. Ternyata apa yang ia lihat memang salah. Pria tak asing itu dalah Damar. Anggap saja seperti itu, Fasya terlalu malas untuk berpikir lebih dalam yang akan membuatnya terus berpikiran yang tidak-tidak.

"Iya, Mas. Saya ke toilet dulu tadi. Mas Damar sendiri kok masih di sini? Nggak balik ke ruangan?"

"Ada rapat sama Pak Dirut di ruangan sebelah. Ini saya lagi temenin Bu Kinan buat ikut rapat."

Fasya mengangguk mengerti. Dia melirik jamnya sebentar dan bersiap untuk pergi.

"Kalau gitu saya ke Mbak Hanum dulu ya, Mas."

"Iya, nanti jangan lupa pake APD pas masuk pabrik!" ucap Damar agak keras saat Fasya sudah berlalu.

"Kenapa teriak-teriak?" tanya seorang pria yang baru saja keluar dari toilet.

Damar tersenyum canggung, "Enggak, Pak. Cuma ingetin anak magang tadi."

Pria itu mengangguk mengerti dan melirik jam tangannya sebentar, "Kamu ikut rapat kan? Ayo, kita mulai rapatnya."

"Baik, Pak," jawab Damar yang kemudian berjalan di belakang pria yang merupakan Direktur Utama perusahaan ini.

***

Di dalam pabrik, tidak banyak hal yang Fasya lalukan. Dia hanya mengekor dengan pelan. Berbeda dengan Dinar, sahabatnya itu tampak bersemangat melihat isi pabrik. Kapan lagi dia bisa melihat dengan jelas seperti ini? Meskipun tidak semua bagian pabrik bisa dilihat oleh umum, tapi dia tetap bersyukur bisa mengetahui ini semua.

Apa yang Dinar lakukan tidak membuat Fasya melakukan hal yang sama. Gadis itu masih berjalan sambil berpikir. Dia benci dengan sifatnya yang pemikir seperti ini. Meskipun sudah terbukti jika penglihatannya salah, tapi Fasya tetap memikirkan kejadian di toilet tadi. Dia berusaha untuk tenang tapi entah kenapa dadanya terasa sesak. Dia merasa jika ada sesuatu yang besar akan terjadi nanti.

"Heh! Jangan ngelamun. Kecemplung adonan mesin baru tau rasa."

Fasya menatap Dinar kesal. Dengan jahil tangannya mencubit bibir sahabatnya itu, "Mulut lo difilter lain kali."

"Lagian lo ngelamun, mikirin apa sih?"

Fasya menggeleng pelan. Tidak mungkin dia menceritakan apa yang ada diotaknya pada Dinar. Meskipun sahabat dekat, tapi hingga saat ini Dinar tidak tahu mengenai permasalahan keluarga yang ia hadapi.

Ya, Dinar tidak tahu jika Fasya telah menikah dan menjadi seorang istri saat ini.

Bukan bermaksud untuk menyembunyikannya, hanya saja Fasya berpikir jika semua ini hanyalah kepalsuan yang akan segera berakhir. Pernikahannya dengan Adnan tidak akan berlangsung lama dan akan berakhir jika keadaan sudah memungkinkan. Tidak ada yang istimewa dari mimpi buruk ini.

"Kan, ngelamun lagi lo."

"Udah, ayo ke Mbak Hanum." Fasya tersadar dan merangkul bahu Dinar untuk menghampiri Hanum, salah satu karyawan departemen humas yang mereka segani.

"Gimana? Seneng nggak?" tanya Hanum.

"Seneng, Mbak. Makasih ya udah diajak ikut keliling pabrik."

"Makasih sama Bu Kinan. Beliau yang minta kita semua buat bener-bener ajarin kalian tentang departmen ini."

Dinar tampak terharu, "Baik banget idola gue. Bapak gue pasti suka."

"Tetep ya otak lu!" Fasya mendorong kepala Dinar.

Fasya memutuskan untuk melupakan kejadian di toilet tadi. Dia juga sudah meyakinkan dirinya sendiri jika pria tak asing itu adalah Damar. Lagi pula pemikiran Fasya tidaklah masuk akal. Tidak mungkin jika Adnan bekerja di perusahaan ini. Seingat Fasya, pria itu bekerja di perusahaan milik keluarganya.

"Kan ngelamun lagi!" Dinar menepuk kencang kepala Fasya.

"Sakit bego!"

"Mau lagi?" tanya Dinar polos.

Fasya mendengkus dan memilih untuk berjalan lebih dahulu. Bahkan dia masuk ke dalam kerumumanan mahasiswa dan ikut mencatat ilmu baru yang ia dapatkan. Jika sedang seperti ini dia benar-benar menjadi seorang mahasiswa, yaitu sibuk dengan teori dan tugas.

Lebih baik seperti ini. Fasya membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan isi kepalanya yang agak aneh akhir-akhir ini.

***

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status