"Menangislah. Kuharap setelah ini, tidak ada lagi air mata yang tumpah. Air matamu sangat berarti. Tak layak kau tumpahkan untuk seorang Bagus. Songsonglah masa depan, kamu berhak bahagia. Entah sendiri atau dengan siapapun."
Wahda mengangkat wajahnya. Menatap wajah sepupu yang selama ini suka membuatnya kesel. Pada saat tertentu, sepupunya yang satu ini memang dapat diandalkan.
Arsa mengusap lembut wajahnya. "Kamu tidak sendiri. Ada ibumu dan aku yang siap ada untukmu. Perlu kamu ingat, kamu memiliki banyak sepupu laki-laki. Meski sepupu, percayalah kami akan selalu membelamu."
Wahda mengangguk. Kembali ia membenamkan wajahnya di pinggang Arsa.
***
Terlihat mobil Arsa memarkir, saat Bagus memasuki halaman rumahnya. Ia bergegas keluar dari mobil, Wahda dan Arsa muncul dari balik pintu rumahnya. Hatinya terasa diremas melihat wajah bengkak Wahda dan langkah yang terlihat lemah.
“Wahda, ini rumah kita, rumahmu,” ucap Bagus setelah melihat koper besar yang ditarik Arsa. Arsa terus menarik koper itu hingga ke mobilnya.
Wahda menggeleng. “Rumah ini tidak lagi menawarkan senyuman dan mimpi. Berapa menit saja aku di sini, rasanya tubuh ini tak kuat lagi menahan sakit yang ditorehkan kenangan. Jadi aku tidak mungkin lagi tinggal di sini.”
Bagus meraih tangannya, tetapi Wahda segera mundur.
“Wahda, aku memang salah, tapi aku tau kau masih mencintaiku, berilah aku kesempatan sekali lagi, ya,” bujuk Bagus.
Wahda menengadahkan wajahnya. Menatap wajah tampan yang kelihatan kusut itu. Wajah yang selalu ingin ia lihat saat sebelum menutup dan membuka mata. Satu-satunya Wajah dalam mimpinya selama lima tahun ini.
"Benar aku mencintaimu. Sangat mencintaimu."
"Benar aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Karena cintaku yang masih ada inilah yang membuat hatiku sangat sakit. Andai ciptaan manusia, tubuh ini pun akan tercabik-cabik. Aku sangat … sangat … sangat mencintaimu, dapat kau bayangkan bagaimana hancurnya hatiku. Jangan lagi kau mengemis dengan alat yang setiap detik membuat hatiku berdenyut nyeri. Kumohon, jangan lagi mendekatiku," melas Wahda.
“Wahda!” Arsa telah berdiri di dekat mereka.
Wahda mengangguk, lalu turun dari teras rumahnya. Tiba-tiba Arsa melayangkan sebuah pukulan ke wajah Bagus.
Wahda memekik. “Arsa, apa yang kau lakukan?!” Ia diserang panik ketika melihat darah mengalir di sudut bibir Bagus. Ia hendak menyentuh wajah itu, tetapi Arsa langsung menarik tangannya.
“Dengar, ini hanya sepersekian persen dari amarah yang terpendam. Jangan coba lagi mendekatinya, kalau tidak ingin mendapatkan yang lebih parah dari ini.”
Bagus mengusap sudut bibirnya. Terlihat cairan merah di jarinya. Ia menatap Arsa menarik lengan mantan istrinya hingga memasuki sebuah mobil. Ia terus menatap mobil itu, hingga hilang dari pandangannya.
“Aku tidak akan berhenti di sini, Wahda.”
***
Seperti biasa, selama menunggu Evan, Teratai menghabiskan waktunya di kafe. Paling sering duduk di sebuah meja dekat rak buku. Di sana ia akan betah berlama-lama membaca buku, mencatat sesuatu yang penting atau menulis, minat yang baru ditekuninya.
Sanad pernah sangsi dengan keinginan Teratai memanfaatkan salah satu propertinya yang lama teronggok menjadikan sebuah kafe, karena ia membeli Teratai Kedua untuk dikelola Teratai. Namun, mengapa tiba-tiba Teratai mempunyai dunia baru?
“Pertama karena seperti kamu bilang, sudah lama tidak ada yang menyewa tempat itu. Kedua, karena jarak Bangkau dengan sekolah Evan lumayan jauh, untuk pulang pergi rasanya melelahkan.” Alasan yang ia berikan waktu itu.
“Bukankah kamu sudah terbiasa menjajakan kerupuk, bahkan berkeliling sampai antar kecamatan?” bantah Sanad.
“Itu dulu, sekarang aku menjadi istri orang kaya. Tubuhku tahu betul seberapa banyak harus mengeluarkan tenaga.”
Sanad mencebik dengan jawaban ngasal istrinya. Teratai memeluknya dari belakang.
“Selain itu, aku ingin memiliki waktu yang tenang untuk belajar lebih banyak lagi.”
Sanad mengerutkan kening. Ia melepaskan pelukan Teratai lalu menuntunnya ke ranjang. “Aku hargai semangatmu. Tapi, ada yang harus kamu prioritaskan. Bukankah dulu kamu pernah cerita, mendirikan Teratai Produksi untuk menciptakan lahan kerja untuk orang Bangkau?”
Teratai mengangguk. Ia merebahkan badannya. Sanad mengikuti dengan menghadapnya.
“Itu dulu, sebelum aku memiliki Evan.”
“Kamu tidak percaya diri dengan Evan?”
Teratai menggeleng. Ia meluruskan pandangannya, menatap langit-langit kamar mereka. “Dulu orang Bangkau pernah mengalami masa-masa jaya. Dimana hasil ikan mereka lebih dari cukup. Anak remajanya terbilang kaya dibanding anak-anak petani dari desa sekitarnya.”
Sanad bergeser, meraih kepala Teratai, lalu meletakkan di bahunya.
“Setiap ada acara hiburan di mana saja, mereka tidak pernah ketinggalan selama jaraknya masih bisa dijangkau. Baik orkes dangdut, film di bioskop atau hiburan apapun. Mereka sangat menikmati hidup, bahkan menurutku termasuk berpoya-poya. Sangat sedikit, bahkan nyaris tidak ada yang berpikir bagaimana Bangkau beberapa tahun ke depan?"
Teratai mendongakkan kepalanya. "Sekarang kita bisa lihat bagaimana kondisi perekonomian Bangkau. Andai remaja Bangkau dulu menyibukkan diri dengan belajar dan berbenah diri, mungkin sekarang tidak semenyedihkan ini. Alam mungkin saja tidak separah ini, andai tidak semua orang hanya menyandarkan diri pada sumber dayanya."
Teratai merapatkan badannya. Ia merasakan sesuatu mencegat di tenggorokannya. "Namun, bukan itu satu-satunya alasan kemerosotan Bangkau, melainkan bagaimana kondisi dari generasi sekarang, hanya segelintir yang mau bangkit, menempuh pendidikan dan berani bermimpi. Sisanya sungguh mengkhawatirkan. Pengetahuan mereka belum siap menerima arus informasi dan janji-janji semu, akhirnya pergaulan terlalu bebas, hamil di luar nikah, pecandu obat terlarang, bahkan ada yang berani melakukan tindakan kriminal terhadap orang lain."
Sanad memeluk erat tubuh Teratai. Ia mengerti jelas apa yang dirasakan istrinya. Dimana hampir seluruh mimpi Teratai hanya untuk Bangkau, ternyata ia tak mampu mengimbangi arus zaman.
"Dulu aku berharap adik-adikku dapat membangun Bangkau. Elang sebagai insinyur, Kembang bisnis dan Lilac untuk ilmu agama. Ternyata mereka mempunyai jalan sendiri."
"Jangan salahkan mereka. Bagaimanapun kehidupan mereka denganmu tidak sama. Tentu mereka tidak mempunyai kepekaan, mental dan ketahanan tubuh sepertimu."
Teratai melepaskan pelukan Sanad. Ia mengusap wajahnya yang tiba-tiba sembab. "Aku tidak menyalahkan mereka. Aku pun tidak begitu berambisi lagi untuk Bangkau. Yang kupikirkan sekarang hanya Evan. Masa depan Evan, bahkan mungkin keturunannya di tanganku saat ini. Karena itulah aku juga harus pintar. Aku harus bisa dijadikan Evan tempat bertanya, share dan menyandarkan diri ketika ia mempunyai masalah."
Tiba-tiba Sanad merasakan matanya mengaca. "Aku tidak menyangka, Evan akan bertemu ibu sambung sebaik kamu."
"DUAR!!"
Arsa terbang ke Jakarta setelah tiga hari resepsi perkawinan. Bahkan kamar pengantin pun masih utuh, dia sudah pergi. Mengesalkan, tapi apa boleh buat. Aku juga sudah mengajukan pengunduran diri dari rumah sakit. Tinggal menuntaskan hari kerja. *** Aku mengerjap pelan. Antara sadar dan tidak, tiba-tiba tanganku terasa kram. Ternyata tanganku dijadikan bantal oleh Arsa. Aku mencoba menggeser, ia malah meletakkan kepala di dadaku. "Kenapa tidak kasih kabar kalau pulang?" "Dadakan. Aku sangat merindukanmu," sahutnya sambil memejamkan mata dan memeluk erat. "Tapi, tunggu sebentar. Badanku pegal sekali." Begitulah keadaan kami yang berasal dari satu kakek dan mempunyai banyak kesamaan. Ternyata dia juga punya sifat manja kronis. Aku mengikutinya ke Jakarta begitu pekerjaanku selesai. Aku memutuskan langsung program kehamilan dan tidak bekerja sementara waktu. Ternyata di sini, sebulan saja aku sudah bosan setengah mati. Seharian aku sendirian di rumah. Tinggal di komplek elite
Aku tersenyum mengejek. "Kekanakan sekali. Lalu dengan mengajakku nikah, kau pikir aku langsung menjadikanmu prioritas? Ars, aku dokter, kesehatan pasien panggilan nuraniku." Arsa mendekat. Aku terlanjur membentuk pertahanan diri. “Minimal kita sama-sama berusaha untuk saling mendekat. Saling berkorban selangkah demi selangkah.”“Kau lihat tadi bagaimana perasaanku terhadap Sonia. Mungkin suatu saat kejadian malam itu akan terulang lagi.”“Setidaknya, kau juga meluangkan waktu untukku. Perhatianmu hanya untukku.”Aku menghempaskan napas. Kenapa aku baru tau Arsa memiliki sisi seperti ini? “Beri aku waktu. Ini masih terlalu mengagetkan bagiku.” Aku memeriksa jam di layar ponsel. “Sebaiknya kita pulang sekarang.” Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Tiba-tiba saja hatiku sensitif sekali. Seperti menyimpan tumpukan amarah. Mengujiku? Yang benar saja.“Wah!” panggil Arsa sambil berusaha meraih lenganku ketika kami sampai di depan rumah. Spontan saja lenganku menjauh. Ia memperlihat
Getaran dadaku kembali bergelombang. Aku menahan napas supaya tidak lagi menangis. “Tadi dia menelponku, memintaku ke rumah sakit. Aku janji padanya setelah mengantar rantang ke rumah Tante. Siapa sangka akan seperti ini.” Lagi-lagi aku menghela napas. Sangat terasa tubuhku lemah sekali. Entah berapa lama aku menangis. “Dia tidak akan menyalahkanmu. Jadi jangan menyalahkan diri,” sahutnya sambil menoleh padaku. Matanya mulai bergulir lembut. “Besok dia ulang tahun. Aku telah membelikan kado untuknya Tapi ....” Aku kembali terisak. Ia menarik kepalaku, tetapi aku mengelak. Aku menghirup udara dingin kuat-kuat, lalu menghempaskannya. Aku melakukan itu berkali-kali, sampai dadaku sedikit lega.“Terima kasih. Kau bisa pergi sekarang. Maaf, telah mengganggu waktumu.”Aku berdiri, lalu menepuk-nepuk belakangku dari debu. Arsa juga berdiri. “Aku akan mengantarmu.”“Tak perlu. Kau pergilah. Aku mau pergi ke suatu tempat.”“Mau ke mana? Aku akan mengantarmu. Aku tidak akan membiarkanmu b
“Dokter, Sonia kritis.” Mataku membelalak. Setelah itu tidak jelas lagi Mama Sonia berucap apa, hanya terdengar deru tangis. “Tante, aku pergi dulu.”Aku bergegas membuat ponsel ke dalam tas dan langsung berdiri. “Kritis? Siapa yang kritis?" tanya Tante Fatima. Arsa dan semua ada di situ ikutan menoleh. "Pasien aku, Tante," ucapku sambil menyalami tangan Tante Fatima. Tante Fatima mengerutkan kening. Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku saat ini. "Aku pergi, Tante. Assalamu alaikum.""Tunggu!" Langkahku terhenti. "Arsa, antar Wahda ke rumah sakit," titah Tante Fatima.Arsa melongo. "Aku bawa mobil sendiri, Tante," selaku sambil kembali bergegas. "ARSA!" Kali ini suara Tante Fatima menggelegar. "Dia panik begitu, sangat berbahaya mengemudi." Teratai terdiam dengan piring lauk masih di tangan. Caroline melongo. Mungkin dia tidak mengerti apa yang dibicarakan."Iya, Tante," sahut Arsa dengan wajah sewot. Aku langsung berlari ke depan. Tidak ada waktu melihat wajah terpaksa
Aku tidak mendengar lagi perbincangan Tante Fatima dengan Caroline. Perhatianku teralih pada Arsa yang berjalan mendekati ibu. "Assalamu'alaikum, Tante. Bagaimana kabar Tante? Sehat?"Saat ia ngobrol dengan ibu, ingin rasanya aku menghilang. Diabaikan setelah sekian lama bersahabat, rasanya sangat menyakitkan. Sayangnya, aku tak punya hak untuk mengeluh, apalagi membela diri karena semua ini bermula dariku. Beruntung MC cepat memanggil dia, sehingga dia cepat berlalu dan aku dapat bernapas lega. Aku tidak bisa membayangkan, di mana menaruh muka setelah diabaikan di depan orang banyak. “Tante, kami mau naik dulu,” izin Arsa pada Tante Fatima. Tante Fatima mengangguk. Arsa mengulurkan tangan pada Caroline seperti yang kulihat di film Barat. Betapa anggun dan elegant. Tepuk tangan meriah mengiringi langkah mereka hingga sampai ke atas panggung. “Selamat malam semuanya.” Salam Arsa langsung disambut dengan tepuk meriah. Ia memperkenalkan diri juga Caroline Poni. Ternyata Caroline s
"Dicari-cari ternyata di sini." Teratai muncul dengan selembar undangan di tangan.Tiba-tiba jantungku mencelos."Kenapa?" "Undangan buatmu."Aku menerima dengan wajah penuh tanya. "Ulang tahun August Market. Besok malam." Aku mengangguk. "Terima kasih ya.""Kau harus datang," jawab Teratai sambil memegang pundakku lalu masuk ke dalam ruko. Sepeninggalan Teratai, aku mengembuskan napas pelan. Lalu mencermati undangan hitam yang bertintakan warna emas itu. Mengapa tadi tiba-tiba jantungku terasa lepas saat melihat undangan ini? Padahal dilihat sampulnya saja sudah jelas ini bukan undangan perkawinan. Aku menggelengkan kepala atas kekonyolan sendiri.Jadi Arsa ke sini demi menghadiri ulang tahun August? Itu artinya dia akan balik lagi ke Amerika? ***"Dokter!" Sapa gadis kecil yang duduk di kursi roda ketika aku keluar dari ruang praktik. "Sonia, kenapa keluar?""Maaf, Dokter. Dari tadi dia merengek mau ke sini," ucap ibunya yang mendorong kursi roda yang diduduki Sonia. Aku t