“Jadi aku harus bagaimana? Membiarkan kalian terus berhubungan di sini?’
“Kalau begitu, aku yang pergi sejauh mungkin. Aku janji tidak akan mengganggu kalian lagi,” sela Angel.
“Kamu pikir aku sebodoh itu? Lagi pula, untuk apa aku mempertahankan laki-laki yang lebih mementingkan jabatan dan mantan daripada perkawinannya.” Wahda beralih ke Bagus. “Gus, sekarang juga ceraikan!”
“Oke!” teriak Bagus. "Untuk apa aku mempertaruhkan jabatan dan Angel untuk perempuan manja dan mandul seperti kamu. Kamu tidak apa-apanya dibandingkan Angel. Hanya seorang dokter, sombongnya minta ampun. Dibanding Angel kamu tidak apa-apanya. Puas?!”
Wahda tersentak. Ekor matanya melihat senyum miring Angel.
“Puas! Puas sekali. Terima kasih telah menyadarkanku. Hari ini, aku seorang Wahda, lima tahun mengabdi suami, telah dihina di depan mantan. Sekarang ceraikan saja aku. Jangan ditunda lagi. Besok atau lusa sama saja.”
“Baik. Dokter Wahdatul Aisya, detik ini aku juga menceraikanmu,” ucap Bagus terdengar lugas dan tanpa paksaan.
Pecah sudah kaca yang sejak tadi membentuk di matanya. Ia menundukkan pandangan ke bawah. Terasa ada cairan yang merembes dari selangkangannya.
Wahda mengangkat kepalanya, menatap wajah laki-laki yang ia cintai setengah mati. Ingin sekali, ia mencari perhatian dengan merengek seperti apa yang telah dilakukannya dulu pada Bagus. Tapi untuk apa? Bagus bukan lagi suaminya.
"Wahda, itu apa?" tanya Bagus mulai panik.
Wahda kembali menundukkan pandangan. Ternyata cairan merah pekat itu telah menggenangi lantai.
Tiba-tiba ia menyadari satu hal buruk akan terjadi lagi padanya. Karena ini, ia tidak akan bisa lagi memaafkan laki-laki di depannya.
Perlahan pandangannya mulai kabur dan kesadarannya pun mulai menurun. Tubuhnya ambruk. Sesaat ia sempat mendengar panggilan dari seorang laki-laki yang baru saja mengucapkan kata cerai untuknya.
***
"Kamu sudah sadar?"
Sebuah pertanyaan nada khawatir keluar dari seorang laki-laki yang sangat ia cintai selama lima tahun ini. Laki-laki yang telah ia beri segenap perasaan dan perhatian. Menyadari itu, membuat sakit yang masih membekas kembali nyeri menyiksa.
"Kenapa kamu tidak pernah cerita kalau kamu hamil?" tanya Bagus penuh sesal.
Wahda masih belum bersuara. Ruang rawat inap yang seharusnya tempat seorang dokter bertugas, kini malah sebagai pasien. Memori beberapa jam yang lalu kembali mengulang. Menyaksikan suaminya bercumbu mesra dengan mantan.
Ia memejamkan mata. Berharap bayangan itu mau beranjak pergi. Kenyataannya gambaran semakin terlihat nyata saat mata terpejam.
Perlahan air matanya mengalir. Ia telah kehilangan segalanya. Suami, bahkan janin yang telah lama dinantikan. Aliran darah ke lantai kembali mengulang dalam benaknya. Meski belum mendapatkan kabar dari dokter yang menanganinya, dengan darah sebanyak itu, ia tahu janin dalam kandungannya tidak akan terselamatkan lagi.
"Tadinya aku ingin memberitahumu, tapi ternyata aku disuguhi perbuatan gila yang merenggut janinku. Pergilah. Setelah calon jabang anak kita keluar, iddahku telah berakhir. Sekarang kita tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi. Kita sekarang menjadi orang asing," ucapnya dingin dengan mata masih terpejam.
Bagus tersentak. Ia menggeleng. "Wahda, aku menyesali perbuatanku. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki."
Wahda menggeleng. "Tinggalkan aku!" pintanya.
"Wahda!"
"Keluar!!" Kali ini nadanya sedikit meninggi, meski kentara dengan penekanan.
Wahda membuka matanya. Dengan tertatih ia berusaha duduk.
"Wahda, kamu jangan terlalu mengeluarkan tenaga," cegah Bagus sambil memegang pundaknya.
Wahda langsung memencet tombol yang tak jauh dari kepalanya dengan membabi buta. Sehingga beberapa orang perawat berlarian mendatanginya.
"Kenapa, Dok?"
"Kak, kumohon suruh dia pergi! Aku ingin istirahat."
"Wahda?!" Bagus membelalak tidak percaya.
Para perawat kebingungan. Bagaimana mungkin berani mengusir direktur rumah sakit tempat mereka bekerja? Mereka juga tahu Wahdatul Aisyah istri Bagus Jayasari yang bekerja di rumah sakit daerah.
"CEPAT! Bawa dia keluar!" teriak Wahda. Seketika ia meringis sambil memegang perutnya.
"Wahda?!" Bagus ingin mendekat, tetapi langsung dicegah salah seorang perawat laki-laki.
"Maaf, Dok!"
Bagus masih menatap Wahda tidak percaya. Tanpa menoleh Wahda berbaring, lalu menutup dirinya dengan selimut.
"Wahda!"
Wahda masih bersembunyi di selimutnya. Akhirnya Bagus pasrah, memutuskan keluar ruangan.
Wahda keluar dari persembunyiannya setelah Bagus hilang dari pandangannya. Seketika tangisnya pecah. Merutuki nasib yang tiba-tiba berubah hanya beberapa jam. Mengapa secepat kilat semuanya terenggut darinya?
Siapapun tidak akan menyangka kalau Bagus selingkuh darinya. Pagi-pagi Bagus masih sempat mencumbu yang membuatnya terlambat bekerja.
Ia menyadari ada yang berubah pada dirinya saat jam makan siang di kantin. Tiba-tiba ia sangat tidak suka aroma masakan hati dan ampela yang di etelasi kantin. Perut mual membuatnya urung memesan makanan, lalu berlari ke toilet terdekat. Saat itulah ia baru menyadari kalau siklus mensnya telah terlambat entah berapa Minggu.
Itulah salah satu kebiasaan buruknya, tidak mengingat kapan mens dan berakhir. Tidak. Awalnya ia memang sengaja berusaha tidak peduli dengan siklus menstruasi karena mengingat dirinya yang sering kecewa akibat mens terlambat.
Hanya Allah yang tahu, bagaimana perasaannya saat melihat garis dua biru di testpack miliknya. Ingin rasanya ia berteriak di dalam toilet, andai tidak mengingat kalau dia tidak sedang berada di rumah sakit.
Namun, ia memutuskan memberi tahu Bagus malam hari saja sekalian menjemput pulang. Nahasnya, tanpa diketahui dirinya sebenarnya menuju jalan kehancuran.
Secepat kilat ia ditalak, dan hanya beberapa menit kemudian masa iddahnya habis. Seketika mereka menjadi orang asing.
Arsa terbang ke Jakarta setelah tiga hari resepsi perkawinan. Bahkan kamar pengantin pun masih utuh, dia sudah pergi. Mengesalkan, tapi apa boleh buat. Aku juga sudah mengajukan pengunduran diri dari rumah sakit. Tinggal menuntaskan hari kerja. *** Aku mengerjap pelan. Antara sadar dan tidak, tiba-tiba tanganku terasa kram. Ternyata tanganku dijadikan bantal oleh Arsa. Aku mencoba menggeser, ia malah meletakkan kepala di dadaku. "Kenapa tidak kasih kabar kalau pulang?" "Dadakan. Aku sangat merindukanmu," sahutnya sambil memejamkan mata dan memeluk erat. "Tapi, tunggu sebentar. Badanku pegal sekali." Begitulah keadaan kami yang berasal dari satu kakek dan mempunyai banyak kesamaan. Ternyata dia juga punya sifat manja kronis. Aku mengikutinya ke Jakarta begitu pekerjaanku selesai. Aku memutuskan langsung program kehamilan dan tidak bekerja sementara waktu. Ternyata di sini, sebulan saja aku sudah bosan setengah mati. Seharian aku sendirian di rumah. Tinggal di komplek elite
Aku tersenyum mengejek. "Kekanakan sekali. Lalu dengan mengajakku nikah, kau pikir aku langsung menjadikanmu prioritas? Ars, aku dokter, kesehatan pasien panggilan nuraniku." Arsa mendekat. Aku terlanjur membentuk pertahanan diri. “Minimal kita sama-sama berusaha untuk saling mendekat. Saling berkorban selangkah demi selangkah.”“Kau lihat tadi bagaimana perasaanku terhadap Sonia. Mungkin suatu saat kejadian malam itu akan terulang lagi.”“Setidaknya, kau juga meluangkan waktu untukku. Perhatianmu hanya untukku.”Aku menghempaskan napas. Kenapa aku baru tau Arsa memiliki sisi seperti ini? “Beri aku waktu. Ini masih terlalu mengagetkan bagiku.” Aku memeriksa jam di layar ponsel. “Sebaiknya kita pulang sekarang.” Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Tiba-tiba saja hatiku sensitif sekali. Seperti menyimpan tumpukan amarah. Mengujiku? Yang benar saja.“Wah!” panggil Arsa sambil berusaha meraih lenganku ketika kami sampai di depan rumah. Spontan saja lenganku menjauh. Ia memperlihat
Getaran dadaku kembali bergelombang. Aku menahan napas supaya tidak lagi menangis. “Tadi dia menelponku, memintaku ke rumah sakit. Aku janji padanya setelah mengantar rantang ke rumah Tante. Siapa sangka akan seperti ini.” Lagi-lagi aku menghela napas. Sangat terasa tubuhku lemah sekali. Entah berapa lama aku menangis. “Dia tidak akan menyalahkanmu. Jadi jangan menyalahkan diri,” sahutnya sambil menoleh padaku. Matanya mulai bergulir lembut. “Besok dia ulang tahun. Aku telah membelikan kado untuknya Tapi ....” Aku kembali terisak. Ia menarik kepalaku, tetapi aku mengelak. Aku menghirup udara dingin kuat-kuat, lalu menghempaskannya. Aku melakukan itu berkali-kali, sampai dadaku sedikit lega.“Terima kasih. Kau bisa pergi sekarang. Maaf, telah mengganggu waktumu.”Aku berdiri, lalu menepuk-nepuk belakangku dari debu. Arsa juga berdiri. “Aku akan mengantarmu.”“Tak perlu. Kau pergilah. Aku mau pergi ke suatu tempat.”“Mau ke mana? Aku akan mengantarmu. Aku tidak akan membiarkanmu b
“Dokter, Sonia kritis.” Mataku membelalak. Setelah itu tidak jelas lagi Mama Sonia berucap apa, hanya terdengar deru tangis. “Tante, aku pergi dulu.”Aku bergegas membuat ponsel ke dalam tas dan langsung berdiri. “Kritis? Siapa yang kritis?" tanya Tante Fatima. Arsa dan semua ada di situ ikutan menoleh. "Pasien aku, Tante," ucapku sambil menyalami tangan Tante Fatima. Tante Fatima mengerutkan kening. Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku saat ini. "Aku pergi, Tante. Assalamu alaikum.""Tunggu!" Langkahku terhenti. "Arsa, antar Wahda ke rumah sakit," titah Tante Fatima.Arsa melongo. "Aku bawa mobil sendiri, Tante," selaku sambil kembali bergegas. "ARSA!" Kali ini suara Tante Fatima menggelegar. "Dia panik begitu, sangat berbahaya mengemudi." Teratai terdiam dengan piring lauk masih di tangan. Caroline melongo. Mungkin dia tidak mengerti apa yang dibicarakan."Iya, Tante," sahut Arsa dengan wajah sewot. Aku langsung berlari ke depan. Tidak ada waktu melihat wajah terpaksa
Aku tidak mendengar lagi perbincangan Tante Fatima dengan Caroline. Perhatianku teralih pada Arsa yang berjalan mendekati ibu. "Assalamu'alaikum, Tante. Bagaimana kabar Tante? Sehat?"Saat ia ngobrol dengan ibu, ingin rasanya aku menghilang. Diabaikan setelah sekian lama bersahabat, rasanya sangat menyakitkan. Sayangnya, aku tak punya hak untuk mengeluh, apalagi membela diri karena semua ini bermula dariku. Beruntung MC cepat memanggil dia, sehingga dia cepat berlalu dan aku dapat bernapas lega. Aku tidak bisa membayangkan, di mana menaruh muka setelah diabaikan di depan orang banyak. “Tante, kami mau naik dulu,” izin Arsa pada Tante Fatima. Tante Fatima mengangguk. Arsa mengulurkan tangan pada Caroline seperti yang kulihat di film Barat. Betapa anggun dan elegant. Tepuk tangan meriah mengiringi langkah mereka hingga sampai ke atas panggung. “Selamat malam semuanya.” Salam Arsa langsung disambut dengan tepuk meriah. Ia memperkenalkan diri juga Caroline Poni. Ternyata Caroline s
"Dicari-cari ternyata di sini." Teratai muncul dengan selembar undangan di tangan.Tiba-tiba jantungku mencelos."Kenapa?" "Undangan buatmu."Aku menerima dengan wajah penuh tanya. "Ulang tahun August Market. Besok malam." Aku mengangguk. "Terima kasih ya.""Kau harus datang," jawab Teratai sambil memegang pundakku lalu masuk ke dalam ruko. Sepeninggalan Teratai, aku mengembuskan napas pelan. Lalu mencermati undangan hitam yang bertintakan warna emas itu. Mengapa tadi tiba-tiba jantungku terasa lepas saat melihat undangan ini? Padahal dilihat sampulnya saja sudah jelas ini bukan undangan perkawinan. Aku menggelengkan kepala atas kekonyolan sendiri.Jadi Arsa ke sini demi menghadiri ulang tahun August? Itu artinya dia akan balik lagi ke Amerika? ***"Dokter!" Sapa gadis kecil yang duduk di kursi roda ketika aku keluar dari ruang praktik. "Sonia, kenapa keluar?""Maaf, Dokter. Dari tadi dia merengek mau ke sini," ucap ibunya yang mendorong kursi roda yang diduduki Sonia. Aku t