“Ayah memanggilku?” tanya Killian menghampiri Edward yang tengah duduk sendirian.
Edward tersenyum lembut dengan satu anggukan, dia menepuk kursi kosong di sisinya, mengisyaratkan agar Killian duduk disana, dengan patuh Killian-pun duduk. “Ada yang perlu kita bicarakan, ini tentang Eleanor,” ucap Edward dengan serius. Killian mengambil gelas minuman yang telah disediakan untuknya, meneguknya untuk melepas dahaga. Killian sudah bersiap diri meninggalkan percakapan jika ayahnya kembali membicarakan sesuatu yang membuatnya tidak suka. Baru beberapa jam dia sah menikah dengan Eleanor, rasanya ada beban begitu besar yang sudah siap menyiksanya dimasa depan. Bukan tanpa alasan, orang tua Killian sangat menyayangi perempuan membosankan itu dibandingkan Killian sebagai anak kandungnya sendiri. Killia sudah bisa membayangkan, jika terjadi sesuatu pada Eleanor, maka Killian orang pertama yang akan disalahkan. Pernikahan yang didasari untuk kelangsungan kepentingan bisnis keluarga sudah menjadi suatu yang biasa terjadi di kalangan kelas atas, tapi kenapa dari sekian banyak kandidat perempuan, mengapa harus Eleanor Roven yang dipilih? Dari sisi aspek manapun Killian dan Eleanor itu sangat berbeda. Killian tidak rela, kebebasannya yang menyenangkan harus terkekang karena pernikahan, setiap hari dia harus menghabiskan waktunya dengan perempuan yang tidak dia suka, dan jika Killian tidak dapat mempertahankan rumah tangganya sesuai dengan apa yang diharapkan kedua orang tuanya, bisa dipastikan persahabatan antara ayahnya dan ayah Eleanor yang sudah berlangsung lebih dari empat puluh tahun itu akan hancur. “Killian, kau perlu tahu alasan mengapa Eleanor setuju menikah denganmu meski dia tahu, kau membencinya,” kata Edward berhati-hati. “Apa alasannya?” “Ini semua demi Hardy. Empat tahun lalu, Hardy pernah terkena pernah sarkoma jantung premier, dia sempat dinyatakan sembuh usai melakukan operasi. Kini, kanker itu kembali muncul lebih ganas dan hidup Hardy tidak akan lama lagi, karena itulah Eleanor setuju menikah denganmu. Eleanor hanya ingin Hardy pergi dengan tenang karena dia sudah berada ditangan yang tepat.” Killian terpaku tanpa kata, pria itu tampak terkejut mendengar sebuah kabar yang tidak pernah dia duga dari seorang Hardy Roven yang selalu penuh semangat dan bugar itu ternyata tengah sakit parah. “Killian, ayah tahu kau tidak menyukai Eleanor. Tapi ayah mohon padamu, tolong perlakukanlah Eleanor dengan baik, terutama ketika saat berada didepan Hardy, ayah sangat ingin melihat Hardy bahagia menjelang saat-saat terakhirnya." "Kenapa Ayah begitu peduli pada kebahagiaan mereka, tapi tidak peduli dengan kebahagiaanku?" protes Killian tidak terima harus bertanggung jawab atas kebahagiaan orang lain. Edward tersenyum sedih. "Hardy bukan hanya sekadar sahabat masa kecil Ayah, Kilian. Dia sudah seperti keluarga." "Aku akan berusaha sebisaku karena aku menghormati paman Hardy, namun aku tidak akan berjanji apakah aku mampu mempertahankan pernikahanku dengan Eleanor atau tidak," jawab Killian segera beranjak pergi. *** Tidak melihat keberadaan Killian di kamar, Shanie terburu-buru berpakaian dan pergi keluar kamar hotel itu. Shanie berlari melewati satu persatu kamar lainnya dengan kewaspadaa penuh layaknya tentara yang sedang menyusup masuk ke dalam markas musuh. Setiap kali ada orang yang tidak dikenalinya muncul, Shanie langsung bersembunyi dengan berbagai cara dan posisi agar tidak terlibat percakapan apapun. Siapa tahu saja kan jika itu orang terdekat Eleanor Roven? Tujuannya saat ini adalah pergi ke resepsionis hotel untuk menanyakan keberadaan kekasihnya. Setelah perjuangannya melewati enam belas lantai, akhirnya Shanie sampai lobby hotel. Shanie yang terjebak dalam tubuh Eleanor, menghampiri meja resepsionis dengan waspada, bertolak belakang dengan para staf hotel yang tersenyum penuh keramahan karena sudah tahu siapa dirinya. Eleanor Roven, menantu Edward Morgan, sang pemilik hotel. Shanie mengetuk-ngetuk permukaan meja, “Selamat malam.” “Selamat malam, Nyonya Eleanor.” “Saya ingin tahu, apa orang atas nama Javier menginap disini?” tanya Shanie. Resepsionis yang bernama Maria itu langsung mengangguk dengan senyuman ramahnya, menyembunyikan kebingungannya atas pertanyaan tidak biasa Eleonor Roven. “Tentu saja Nyonya, Pak Javier ada di suite room lantai lima belas kamar xxx.” Shanie terperangah, jauh-jauh dia pergi ternyata Javier ada berbeda satu lantai dengannya. “Terima kasih,” ucap Shanie sebelum berlari pergi hendak kembali ke lift. Langkah Shanie tertahan begitu penciumannya menyadari ada aroma farpume yang sangat familiar dalam ingatan, seiring dengan suara ketukan kaki heels yang mendekat, aroma itu semakin kuat dan menarik Shanie untuk melihat siapa pemiliknya. “Melody,” panggil Shanie dalam bisikan yang nyaris tidak terdengar. Tidak memperhatikan apapun yang ada disekitarnya, Melody terburu-buru masuk ke dalam lift. “Apa yang Melody lakukan ditengah malam seperti ini?” tanya Shanie penasaran. Shanie akhirnya mengurungkan niatnya untuk menemui Javier, dia mulai berpikir bahwa Melody adik tirinya adalah orang yang paling tepat untuk Shanie ajak bicara dan mungkin bisa membantunya untuk mencari tahu kabar dirinya di Burkina Faso. Melody adalah adik Shanie, bagian dari keluarganya, tidak mustahil bukan jika Melody bisa membantu meski Shanie tidak bisa berkata jujur bahwa saat ini jiwanya terperangkap dalam tubuh Eleanor? Tanpa membuang waktu, Shanie melihat lantai yang dituju Melody, dan menyusul dengan lift lain. Sesampai di lantai delapan, dapat Shanie lihat adiknya berjalan tergesa memasuki area bar. Shanie berlari, bibirnya yang terbuka hendak memanggil Melody, mendadak kelu begitu dia tahu bahwa orang yang Melody temui adalah Javier, calon suami Shanie. Belum sempat keterkejutan itu mereda, rasa sakit langsung menghunus kedalam dada, menyaksikan Melody saling berpelukan dan saling kecup mesra seperti pasangan, mereka melakukannya dengan begitu alami seakan itu sudah dari kebiasaan. Shanie tidak salah lihat kan? Apa pantas Melody diperlakukan semesra ini oleh calon kakak iparnya sendiri? Tangan Shanie terkepal kuat, menggenggam sakit yang semakin kuat menyaksikan betapa mesranya Javier merangkul pinggang Melody, membawanya pergi ke salah satu kursi. Terlanjur sudah mengikuti, terlanjur hatinya sakit, Shanie nekat untuk duduk di kursi sebrang yang hanya terhalang tanaman. Shanie perlu tahu, apa sebenarnya hubungan mereka dan apa tujuan mereka saat ini melakukan pertemuan.Suara desahan halus terdengar bersahutan, Eleanor berpegangan pada belakang kursi ditengah guncangan tubuhnya yang berada dalam pelukan dan saling menyatu. “Cukup.. Killian...” rintih Eleanor putus asa tidak diberi jeda sedikitpun untuk beristirahat.Tempat sempit itu semakin menguarkan panas dari pergumulan yang terus berlanjut.Dibawah kegelapan, wajah Killian memerah masih berselimut gairah, dia meraih wajah Eleanor dan menggigit tengkuknya, sementara tangan satunya lagi memberikan stimulasi pada daging kecil milik Eleanor yang kini telah basah.Kaki Eleanor bereaksi mengejang, suara rengekan halusnya ikut terdengar kala menerima cubitan halus dari jari Killian."Kau yakin ingin berhenti?" tanya Killian menggesek milik Eleanor ditengah hentakannya yang keluar masuk dengan kuat, pria itu menggigit daun telinga Eleanor dan mengulumnya.Eleanor mengerang pelan, tubuhnya menegang dibawah godaan yang membuat seluruh syarafnya menari dalam gelombang hasrat.Tatapan Killian membara, sema
“Lantas, apa hubungannya perempuan itu denganku sekarang?” tanya Eleanor, menguji akan sampai sejauh mana Killian berani bicara jujur tentang Shanie, perempuan yang Killian ceritakan tanpa ia sebutkan namnya.Dan, tanpa Killian tahu, perempuan itu kini berada di hadapannya…Killian menelan salivanya dengan kesulitan, pria itu bergerak tidak nyaman, tampak ragu untuk berbicara lebih jauh karena kemungkinan akan menimbulkan boomerang dalam hubungan mereka.Disisi lain, Killian tersadar bahwa dia sudah terlanjur bercerita tentang masa lalunya, rasanya sudah tidak perlu lagi untuk berbohong.Killian tidak ingin terjatuh ditempat yang sama, lebih baik dia berbicara jujur dan menerima sakitnya sekarang dibandingkan hancur diakhir.Killian menarik napasnya dalam-dalam, sampai akhirnya dia pun berkata, “Aku melihat, ada dirinya didalam dirimu Eleanor. Aku tidak bermaksud menganggapmu seperti mantan kekasihku, semuanya terjadi diluar rencanaku karena sebelumnya aku tidak melihatmu dengan car
Hujan turun kian deras, angin kencang menggerakan pepohonan. Musim panas telah berakhir menuju musim gugur.Diruangan yang sempit itu Eleanor dan Killian terjebak tidak memiliki tempat untuk bergerak kemanapun, hanya ada suara hujan yang berjatuhan ditemeni cahaya lampu dari handpone yang menerangi kegelapan pekat.Hembusan angin kencang dari luar menggigilkan tubuh Killin yang kini bertelanjang dada. Killian berdeham memecah keheningan, diam-diam melirik Eleanor, pria itu masih sempat-sempatnya tersenyum malu dan jantungnya berdebar menikmati kekacauan yang tiba-tiba terjadi.Rencananya untuk pergi berlayar harus berakhir terjebak ditengah kebun.Anehnya, Killian merasa jika moment ini cukup menyenangkan untuknya.Disisi lain, Eleanor yang telah diuji kesabarannya berkali-kali merutuki dirinya sendiri, menyesal telah berucap janji, tidak akan bercerai dengan Killian Morgan.Sia-sia Eleanor berjanji dan menanggapi kekonyolan Killian jika pada akhirnya dia akan tetap terjebak ditengah
Eleanor menggeram kesal, batinnya memaki frustasi. Sekian lama dia berpisah dengan Killian, sifatnya yang kekanakan dan suka merajuk sampai keinginannya terpenuhi ternyata tidak pernah mati termakan usia.Di bawah langit yang semakin gelap itu, intensitas ketegangan semakin bertambah menjadi saksi perdebatan dari pasangan yang memiliki keinginan saling bertolak belakang.Killian jelas tidak ingin ada perpisahan apapun suatu hari nanti setelah dia menyadari bahwa dia telah mencintai Eleanor.Killian tidak sanggup lagi kehilangan seseorang yang diam-diam telah mengisi kekosongan jiwanya. Belasan tahun ia mencari dan kini, dia tak rela kehilangannya untuk kedua kalinya.Sementara Eleanor, dia menganggap pernikahan mereka tidak semudah yang terlihat. Jiwa Shanie yang ada didalamnya masih terluka, benci, marah dan kecewa pada sosok Killian yang telah menorehkan luka begitu besar dalam kehidupan dia sebelumnya.Shanie ragu, sulit untuknya berdamai, terlebih Killian dan Javier adalah kakak b
Suara burung hantu terdengar malam yang mulai larut, semerbak harum aroma mawar kian terasa dibawah langit yang semakin gelap gulita bersama hembusan angin kencang.Sudah lebih dari lima belas menit Eleanor duduk menunggu, namun Killian masih betah berdiam diri ditempatnya tidak menunjukan tanda-tanda dia akan segera kembali.Posisi mereka saat ini berada ditengah-tengah kebun dan dikelilingi hutan, jauh kemanapun.Eleanor melihat kepenjuru arah yang hanya menyuguhkan kegelapan bersama beberapa buah lampu menerangi jalan disetiap jarak seratus meter.Tampaknya perjalanan untuk pergi ke tempat berlayar masih sangat jauh menuju dermaga kapal yang akan membawa mereka pergi berlayar.Eleanor menarik napasnya dalam-dalam, merasakan detak jantung yang berdebar kencang.Jiwa Shanie tidak takut dengan kegelapan yang sunyi, namun terkhusus malam ini, entah mengapa hatinya sangat gelisah dan lebih sensitif.Dengan tidak sabaran dan tidak mau menungu lebih lama lagi, Eleanor akhirnya menurunkan
“Ayah memanggilku?” tanya Thomas berdiri diambang pintu.“Duduklah Thomas,” perintah Hardy.Thomas akhirnya masuk ke dalam ruangan dan menutup rapat pintu untuk menghalangi usaha ibunya yang tengah berdiri dibalik dinding berusaha untuk mendengarkan pembicaraan.“Ayah ingin berbicara apa?” tanya Thomas setelah duduk.“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Hardy masih berdiri di depan jendela dan membelakangi Thomas.Thomas terdiam sejenak, mencoba memahami situasi yang saat ini sedang terjadi. “Semuanya berjalan baik, Yanjing pasti sudah memberitahu Ayah jika ada beberapa aturan yang aku ubah untuk penerimaan mahasiswa baru.”Hardy perlahan membalikan badannya dan melihat Thomas dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Thomas menarik napasnya dalam-dalam merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan sikap Hardy.Beberapa tahun setelah Hardy menjadi ayah tirinya, Thomas sudah cukup mengenal baik buruknya sifat Hardy Roven, meski cukup keras kepala, harus Thomas akui Hardy adalah sosok ayah