Shanie melangkah gontai dengan suara isak tangisnya yang tidak dapat hentikan, Shanie butuh udara segar agar bisa terlepas dari sakit dan kegilaan yang tengah terjadi dalam hidupnya saat ini.
Tapi, kemana kini Shanie harus melangkah? Dia malu pergi keluar hotel dan bertemu banyak orang dalam keadaan berantakan seperti ini. “Eleanor,” panggil Hardy yang tidak sengaja berpapasan dengannya. Melihat putrinya yang kedapatan sedang menangis, Hardy mendekat dengan langkah tergesa dan mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. “Ada apa Nak? Apa Killian sudah berbuat buruk padamu?” tanya Hardy penuh kekhawatiran. Shanie yang kini terjebak dalam tubuh Eleanor hanya bisa menggeleng tidak membenarkan, dia segera memeluk Hardy untuk mencari sebuah sandaran dari sosok orang tua yang begitu Shanie butuhkan agar bisa tetap kuat menghadapi cobaan yang sedang terjadi dalam hidupnya. “Nak, kenapa kau menangis? Tolong beritahu ayah, siapa yang telah menyakitimu?” bisik Hardy mengusap lembut bahu putrinya yang gemetar hebat. “Tidak ada, Ayah. Tiba-tiba aku mimpi buruk dan mencari Ayah,” dusta Shanie agar tidak membuat Hardy khawatir. Hardy tersenyum sendu, teringat dengan kejadian malam sebelum hari pernikahan berlangsung. Eleanor menangis persis seperti ini didalam pelukannya tanpa memberikan banyak penjelasan. Putrinya hanya mengucapkan kata maaf dan mengucapkan salam perpisahan seolah dia akan pergi selamanya dari pandangan Hardy. Hardy begitu khawatir jika Eleanor akan kabur dihari pernikahannya, namun ternyata tidak. Lalu apa yang sudah membuat Eleanor menangis seperti ini selama dua malam berturut-turut? Mungkin Hardy harus mengerti, Eleanor masih kesulitan menerima status barunya yang kini telah menikah. Sejak kecil Hardy selalu memanjakan Eleanor dan memperlakukannya seperti seorang tuan putri. Meski sangat dingin kepada orang lain, Eleanor selalu manja dan bersikap manis kepadanya. Berapapun usia Eleanor sekarang, jiwanya tetaplah seorang anak yang sedang belajar menerima perpisahan dengan orang tuanya. Pernikahan bukan hanya sekadar status baru, ini juga tentang kehidupan baru dan berbagai tanggung jawab lainnya yang harus ditanggung. Hardy menepuk-nepuk bahu Eleanor, menunggunya untuk kembali tenang sebelum membawanya pergi agar tidak menjadi bahan tontonan. Hardy membawa Eleanor ke keluar dari hotel, mencari tempat yang tepat untuknya bisa bicara berdua. “Kau sudah tenang Nak?” tanya Hardy dengan lembut. Shanie mengangguk dengan sisa-sisa segukannya, perasaannya terasa sedikit lebih ringan setelah menumpahkan sakitnya dengan menangis dan duduk diluar ditemani dinginnya angin tengah malam. “Pasti berat untukmu harus menikah dengan lelaki yang tidak kau cintai,” ucap Hardy memulai percakapan yang mau tidak mau harus Shanie dengar untuk menghormatinya. “Bukannya ayah tidak peduli dengan perasaanmu, Sayang. Justru karena ayah tahu siapa dirimu, sejak kecil ayah selalu memanjakanmu dan memberikan yang terbaik untukmu, kau selalu terbiasa mendapatkan apapun yang kau mau tanpa banyak berusaha. Ayah tidak ingin kau kesulitan karena mendapatkan orang yang salah.” “Edward dan Jenifer selalu bisa memahami dirimu, mereka sudah memperlakukanmu seperti putri mereka sendiri sejak kau masih kecil. Hanya mereka yang ayah percaya untuk menjagamu, karena itu ayah menikahkanmu dengan Killian.” "Cinta akan tumbuh karena terbiasa dan belajar saling menerima, ayah yakin hal itu juga akan terjadi pada pernikahanmu dan Killian. Kalian akan saling mencintai setelah belajar menerima," ucap Hardy dengan ringisan yang berusaha untuk dia tahan. Melalui ekor matanya, Shanie diam-diam memperhatikan wajah Hardy yang tengah menahan sakit sampai terengah untuk bisa menyelesaikan kata yang ingin dia sampaikan. "Ayah baik-baik saja?" tanya Shanie terdengar canggung, masih belum terbiasa memanggil orang asing dengan sebutan 'ayah'. Hardy mengusap dadanya dengan tekanan, pria paruh baya itu tersenyum sedih menatap lekat wajah Eleanor. "Ayah bisa merasakan, kematian semakin dekat. Jantung ini semakin melemah seiring dengan sakit yang semakin kuat," ceritanya dengan mata berkaca-kaca. Hardy menarik napasnya dalam-dalam, meraih tangan Eleanor yang kini berjiwa Shanie. "Meski begitu, ayah sangat bahagia karena hari ini sudah diberi kesempatan untuk bisa menjadi pendampingmu dihari pernikahan dan melihatmu mengenakan gaun pengantin, terima kasih, Eleanor." Bibir Shanie terkatup rapat, merasakan sakit yang mencubit hatinya, seolah ikut merasakan kesedihan yang Eleanor Roven rasakan selama ini. Shanie tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi pada ayah Eleanor, namun Shanie sadar bahwa ini bukan suatu perkara yang sederhana. Hardy adalah seorang ayah yang penuh kasih sayang, namun karena sakit dia memiliki banyak ketakutan. Hardy ingin sebelum kematiannya datang, dia telah memberikan yang terbaik untuk putrinya, menyaksikan putrinya telah berada ditangan yang tepat. "Dua bulan lagi pertunjukanmu akan diselenggarakan. Itu adalah pertunjukan terbesarmu Eleanor, mimpimu sejak kecil," ucap Hardy dengan senyuman bangganya membayangkan Eleanor di atas panggung megah, "ayah berharap, ayah masih memiliki kesempatan untuk menyaksikannya." Shanie terdiam dengan ketidak mengertiannya, tidak tahu pertunjukan apa yang sebenarnya dimaksud Hardy. Hardy menyerahkan sebuah tas kecil kepada Shanie. "Ini tasmu, pagi ini kau meninggalkannya di kamar Yanjing. Sekarang kau kembalilah ke kamarmu dan beristirahat." Shanie mengangguk dengan senyuman, akhirnya barang pribadi Eleanor yang sejak tadi berusaha dia cari, kini berada ditangan.Begitu kesadarannya kembali, Shanie langsung mendorong dada Killian agar menjauh."Sekarang sudah sempurna," ucap Killian dengan senyuman puasnya melihat hasil pekerjaannya sendiri.Hati Shanie berteriak memaki, namun mulutnya terkatup rapat menahan diri.***“Brengsek!” maki Shanie bercermin di dinding lift, dengan kasar dia mengusap jejak merah yang telah Killian tinggalkan dipermukaan kulitnya yang terbuka. Shanie bersungut-sungut marah karena harus menutupinya dengan mengenakan kardigan agar bekas tanda tidak senonoh yang ditinggal Killian tidak terlihat berlebihan. Shanie sangat kesal setengah mati, harusnya dia meninju perut pria itu sampai muntah sebelum meninggalkannya di kamar. Sifatnya buruknya yang suka bertindak seenaknya sangat menyebalkan, Shanie berharap sifat buruknya yang lain telah hilang termakan usia, Shanie akan sangat kesulian untuk untuk mengendalikannya karena suasana hati pria itu sangat mudah berubah bersamaan dengan jalan pikiran yang sulit ditebak.
Shanie melongo kaget mendengar jawaban narsis Killian, sifatnya tidak pernah berubah sejak dulu, masih saja menyebalkan dan bermulut kotor. Gigi Shanie saling mengetat menahan kejengkelan, dia enggan mengalah dengan meringkuk tidur di kursi kecil sementara Killian tidur nyaman diranjang besar yang empuk. Berhari-hari Shanie berada di medan perang dan tidur diatas tanah, tidak akan biarkan dia kembali tidur diatas tempat yang keras. tanpa pikir panjang Shanie langsung membaringkan diri di samping Killian dan melentangkan kedua kakinya untuk mengambil sisa wilayah yang tersisa di ranjang. Apapun yang dilakukan Killian di sampingnya nanti, pria itu sudah tidak membawa pengaruh apapun lagi padanya. Shanie akan menganggap jika saat ini dia sedang tidur dengan seekor anjing. Alis Killian terangkat perlahan, keputusan Eleanor yang membaringkan diri disampingnya dan langsung tertidur cukup mengejutkan. Perempuan membosankan yang sangat irit bicara, minim ekspresi dan selalu menjaga
“Kemana perginya dia? Apa mungkin dia kabur?” pikir Killian tidak menemukan keberadaan Eleanor. Killin sudah pergi menemui ayahnya, dia sudah mandi, namun Eleanor masih tidak kunjung terlihat. Killian membaringkan dirinya di ranjang dalam keadaan bertelanjang dada, melepas lelah dan menyingkirkan pikiran beratnya dari pernikahan yang semakin membebaninya. Killian sudah mengenal Hardy sejak dia masih kecil, lelaki itu memiliki kesan yang baik dalam hidupnya sehingga Killian segan untuk membuatnya tesinggung apalagi menyakiti hatinya. Sementara itu, pertemuan Killian dan Eleanor hanya berlangsung satu tahun terakhir saat dia baru kembali dari luar negeri, tidak ada satu kesanpun yang Killian miliki untuk menggambarkan sosok Eleanor Roven selain dengan kata 'dingin'. Mendengar Hardy kini tengah sakit parah, rasanya tidak tega jika Killian membuatnya hati sahabat ayahnya itu terluka. Mungkin lebih baik jika Killian bersandiwara sejenak dihadapan Hardy agar Hardy bisa tenang da
Duduk bersembunyi di tangga darurat, Shanie membuka tas yang telah Hardy bawakan untuk Elenaor Roven. Shanie harus memeriksanya terlebih dahulu sebelum kembali ke kamar, mungkin saja dari dalam tas itu dia akan menemukan sebuah jawaban penting mengapa jiwanya bisa terjebak dalam tubuh Eleanor. Dari dalam tas itu, Shanie hanya menemukan dompet yang berisi identitas dan kartu lainnya, alat make up dan dan sebuah handpone. Cukup dengan sidik jari, handpone yang sempat terkunci akhirnya terbuka, mempermudah Shanie untuk menemukan banyak informasi didalamnya. Melalui gallery handpone, Shanie menemukan ratusan photo milik Eleanor sejak dia masih kecil hingga dewasa. Menariknya, semua photo didalam gallery itu, Eleanor tengah mengenakana pakaian ballet dengan beberapa potong cuplikan video pertunjukan gemilangnya di atas panggung. Tampaknya, Eleanor sangat mencintai ballet. Pantas saja Hardy sempat membicarakan sebuah pertunjukan pada Shanie, ternyata inilah jawabannya. Tidak menemukan
Shanie melangkah gontai dengan suara isak tangisnya yang tidak dapat hentikan, Shanie butuh udara segar agar bisa terlepas dari sakit dan kegilaan yang tengah terjadi dalam hidupnya saat ini. Tapi, kemana kini Shanie harus melangkah? Dia malu pergi keluar hotel dan bertemu banyak orang dalam keadaan berantakan seperti ini. “Eleanor,” panggil Hardy yang tidak sengaja berpapasan dengannya. Melihat putrinya yang kedapatan sedang menangis, Hardy mendekat dengan langkah tergesa dan mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. “Ada apa Nak? Apa Killian sudah berbuat buruk padamu?” tanya Hardy penuh kekhawatiran. Shanie yang kini terjebak dalam tubuh Eleanor hanya bisa menggeleng tidak membenarkan, dia segera memeluk Hardy untuk mencari sebuah sandaran dari sosok orang tua yang begitu Shanie butuhkan agar bisa tetap kuat menghadapi cobaan yang sedang terjadi dalam hidupnya. “Nak, kenapa kau menangis? Tolong beritahu ayah, siapa yang telah menyakitimu?” bisik Hardy mengusap lembut bahu p
Shanie duduk dalam ketegangan, mata dan telinganya telah dia siapkan setajam mungkin menanti apa yang sebenarnya akan dibicarakan Melody dan Javier ditempat ini. “Bagaimana kesan pertemuan pertamamu dengan ibuku?” tanya Javier. Suara helaan napas terdengar dari mulut Melody. “Ibumu orang yang sangat sulit Javier, aku telah berusaha untuk mengakrabkan diri dengannya, tapi dia menciptakan tembok tinggi yang membatasiku,” keluh Melody. Javier tidak bereaksi, pria itu justru sibuk memandang keluar jendela seperti sedang memikirkan sesuatu. “Javier, kau tidak dengar ucapanku?” tegur Melody menaikan nada suaranya. “Aku mendengarnya Melody,” jawab Javier mulai menatap Melody. “Bujuklah ibumu Javier. Hari ini adikmu telah menikah, sebagai seorang kakak harusnya kau juga mudah mendapatkan persetujuan menikah seperti Killian,” pinta Melody dengan serius. Shanie menarik napasnya dengan kesulitan, dari percakapan itu Shanie bisa mengambil kesimpulan jika ternyata Javier adalah kakak Killi
“Ayah memanggilku?” tanya Killian menghampiri Edward yang tengah duduk sendirian. Edward tersenyum lembut dengan satu anggukan, dia menepuk kursi kosong di sisinya, mengisyaratkan agar Killian duduk disana, dengan patuh Killian-pun duduk. “Ada yang perlu kita bicarakan, ini tentang Eleanor,” ucap Edward dengan serius. Killian mengambil gelas minuman yang telah disediakan untuknya, meneguknya untuk melepas dahaga. Killian sudah bersiap diri meninggalkan percakapan jika ayahnya kembali membicarakan sesuatu yang membuatnya tidak suka. Baru beberapa jam dia sah menikah dengan Eleanor, rasanya ada beban begitu besar yang sudah siap menyiksanya dimasa depan. Bukan tanpa alasan, orang tua Killian sangat menyayangi perempuan membosankan itu dibandingkan Killian sebagai anak kandungnya sendiri. Killia sudah bisa membayangkan, jika terjadi sesuatu pada Eleanor, maka Killian orang pertama yang akan disalahkan. Pernikahan yang didasari untuk kelangsungan kepentingan bisnis keluarga sud
Killian menutup pintu dengan hati-hati, matanya bergerak menyapukan pandangannya pada pemandangan aneh di depannya, wajah acak-acakan Eleanor dengan make up luntur, rambut panjangnya yang kusut, gaun berantakan hingga bagian dada gaun pengantinnya bergeser ke bawah lengan. Killian tidak terbiasa, perempuan yang selalu rapi dalam keadaan apapun, tampil seperti mannequin yang dipajangkan di balik kaca butik, tiba-tiba saja berantakan seperti boneka yang sudah dilempar ke beberapa tong sampah. Killian berdeham memecah keheningan, tidak nyaman ditatap sinis oleh Eleanor. Shanie mendengus menahan makian. Shanie tidak pernah menyangka, mantan terburuk dalam hidupnya, lelaki yang sangat dia benci kini berstatus sebagai suami Eleanor Roven, pemilik tubuh yang sedang Shanie rasuki! Masih bisa Shanie ingat prilaku buruk yang dulu pernah Killian lakukan dalam hidupnya, pria itu menjadikan Shanie sebagai bahan taruhan. Betapa polosnya Shanie waktu itu, dia sama sekali tidak sadar jika Killi
“Apa yang sebenarnya telah terjadi pada Eleanor? Kenapa mendadak dia lupa siapa dirinya dan lupa dengan hari pernikahannya?” tanya Hardy pada dokter yang kembali dia panggil untuk memeriksa keadaan putrinya. Dokter itu menggeleng dengan senyuman. “Kondisi nona Eleanor baik-baik saja, Pak. Beliau hanya kelelahan dan sedikit tekanan setres, saya tidak menemukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Mungkin karena sekarang cuacanya panas, nona Eleanor mengalami dehidrasi berat.” “Apa maksudnya?” tanya Hardy tidak puas. “Penyebab seseorang jatuh pingsan atau linglung sesaat bisa terjadi karena dehidrasi berat. Jika tubuh kekurangan cairan, otak tidak akan berfungsi dengan optimal, menyebabkan kehilangan konsentrasi dan penurunan daya ingat. Namun jika Anda masih khawatir, sebaiknya nona Eleanor dibawa ke rumah sakit untuk menemukan hasil yang lebih akurat." Hardy menghembuskan napasnya dengan berat, raut kesedihan terlihat diwajahnya memikirkan Eleanor yang bisa terjatuh pingsan berka