LOGIN“Apa–siapa ini?” Fahri langsung merengut mendapati kehadiran Birru.
Chacha mengernyit. Tidak mungkin Fahri tidak mengenali Birru, mengingat Birru merupakan ustaz populer. Semua konten-konten dan acara live dakwahnya selalu penuh oleh anggota majelis baik laki-laki maupun perempuan muda,
Namun, jika diperhatikan lagi, penampilan Birru memang sedang tidak seperti biasanya. Wajahnya luka-luka–bahkan sedikit bengkak. Sementara penampilannya tampak sedikit kumuh.
Meski begitu, suaranya masih tenang seperti saat membawakan kajian, saat mengatakan, “Tidak boleh berisik di klinik.”
Fahri jelas tidak terima ditegur seperti itu.
“Eh, kamu–!”
“Sepertinya perban Anda akan terlepas, Pak,” sela Chacha buru-buru, berkata pada Birru. “Mari ikut saya.”
Tanpa menunggu respons, Chacha membawa Birru ke bilik lain agar lebih aman.
“Itu mantan Dokter?”
Chacha mendongak pada pria yang tengah berjalan tertatih itu. Birru tengah menatapnya dengan raut wajah serius.
“Ustaz dengar?” gumam Chacha, mengalihkan pandangan. Birru tidak menyahut.
Malu dan rikuh. Itulah yang dirasakan Chacha. Sebelumnya ia memandang Birru sebagai pria tidak bertanggung jawab yang telah menghamili wanita. Namun, identitasnya sebagai anak di luar nikah terbongkar justru begitu saja.
Ya, itulah yang membuat dia di masa lalu dicampakkan begitu saja. Sekian hari sebelum pernikahan.
Padahal semua persiapan sudah selesai.
Namun, Chacha harus merelakan semuanya karena tepat setelah itu, Fahri justru menyebarkan kabar bahwa ia akan menikahi wanita lain.
Tepat kala itu, Chacha nyaris hilang kendali. Dadanya sesak, harga dirinya dihancurkan begitu saja.
Sampai akhirnya dia memutuskan untuk kabur dengan mengabdikan diri di klinik yang jauh dari tempat asalnya.
Batalnya pertunangan Chacha berimbas pada orangtuanya yang terus mengenalkan pria-pria mapan dari desanya yang akan melamar. Sebagai keluarga yang memegang erat budaya Jawa, mengalami pertunangan yang batal seperti sebuah aib saja.
Dan lagi, usia Chacha dianggap sudah sangat mengkhawatirkan jika menolak lamaran terus.
Tapi benar kata Fahri. Jika mereka tahu latar belakang Chacha yang asli, apakah mereka tetap ingin menikahinya?
Begitu juga ustaz yang sedang terdesak gosip di hadapannya ini.
Chacha tersenyum getir.
“Ustaz tidak mungkin masih mau menikahi saya setelah mendengar itu semua, kan?” Chacha berucap ringan untuk menutupi dirinya yang salah tingkah. “Yah, meski hanya untuk skandal, tapi–”
“Saya tetap ingin menikahimu, Chalya.” Birru menukas dengan tegas. Tatap tajamnya membuat Chacha tertegun. “Sekarang, saya tanyakan lagi. Apakah kamu bersedia?”
***
“Masih mau jadi anak Ibu nggak, Nduk? Kalau iya, besok pulang ya buat lamaran.”
Chacha menghela napas. “Bu, aku sudah punya calon. Jadi, ibu nggak usah promosiin aku ke pria-pria di situ. Memangnya aku ini barang dagangan?’
Ya. Chacha berakhir menerima pinangan Ustaz Birru.
Dengan beberapa syarat.
“Lah, kamu bohongin ibu lagi pasti ini.” Sang ibu terdengar merajuk di seberang saluran telepon.
“Nggak, Bu. Beneran, aku udah ada calon.”
“Siapa orangnya? Mapan nggak? Agamanya bagaimana?” tanya Ibu beruntun. “Aduh. Nanti batal lagi. Udah, ibu aja yang carikan, yo?”
“Nggak usah, Bu. Besok mau dateng ke rumah buat nemuin Ibu.” Chacha berkata dengan nada final. “Sudah ya, Bu. Aku mau ketemu keluarga calonku dulu.”
Malam itu juga Albirru membawa Chalya ke pesantren untuk memperkenalkannya pada Umma dan Abah.
“Ustaz, sekarang nggak bisa mundur ya.” Chacha berbisik. Kini mereka sudah memasuki area halaman pesantren, bersama beberapa rekan Birru.
“Iya.”
“Semua syarat saya, Ustaz benar-benar sanggupi?”
Ujung bibir Birru terangkat kecil. “Iya,” katanya lagi.
Di depan pintu rumah utama, Chacha berdiri menunduk dengan jari yang saling bertautan. Demi apapun jantungnya kini berdebar sangat kencang, ia masih tidak percaya akan dikenalkan sebagai calon istri oleh seorang ustaz kondang idaman sejuta umat.
Semerbak wangi khas Timur Tengah menyelinap masuk indera penciuman Chacha ketika pintu utama terbuka. Di ruang tamu sudah berkumpul orang tua Birru dan sang Kyai. Mereka tersenyum ramah menyambut mereka.
“Dokter Chacha, benar mau menikah dengan Birru?” tanya Umma Khadijah untuk kedua kalinya, setelah Birru mengutarakan maksud dari membawa Chacha ke rumah.
Keluarga besar memang menyuruh Birru untuk segera menikah, tapi tidak menyangka kalau Chacha yang dia bawa pulang untuk dijadikan istri.
Mendadak, Chacha merasa dirinya kecil. Seperti ia tidak pantas ada di sana. Ia langsung teringat penolakan Fahri
“Benar, Umma,” ucap Chacha pelan. “Apakah … keluarga keberatan?”
Wanita anggun berhijab besar di samping Chacha tersenyum hangat. Menepuk punggung tangan Chacha.
“Birru sudah memilih kamu, itu berarti kamu yang terbaik.” Umma menjeda sejenak. Menarik napas pelan, lalu melanjutkan.
“Kami sekeluarga yang meminta maaf, meski kalian menikah mendadak, tapi kami sama sekali tidak bermaksud memanfaatkan kamu. Pernikahan ini tetap berjalan sesuai aturan dan Birru juga akan tetap menjalankan perannya sebagai suami kamu nanti.”
“Kamu tahu masalah yang sedang dihadapi Birru saat ini?” Kali ini Abbah yang bertanya.
“Tahu, Om. Mm … Abbah, maksudnya.” Chacha merutuki kebodohannya yang belum bisa beradaptasi dengan baik di sana.
Kesalahan kecil itu membuat pipinya panas. Dua bulan menetap di wilayah pesantren, tapi dia masih asing dengan cara bicara dan kebiasaan mereka.
“Dok,” ucap Abbah lebih pelan. “Kami memang meminta Birru untuk segera menikah agar menghindari fitnah itu. Namun, demi Allah tidak ada maksud dalam niat kami untuk bermain-main dengan Dokter Chacha. Kami tetap berharap kalian bisa menjadi pasangan yang saling menjaga dan saling melengkapi.”
Chacha benar-benar dibuat berpikir keras oleh suaminya. Bagaimana tidak, setelah menenangkannya menghadapi komentar pedas netizen dia lalu menghilang. Berpamitan akan mengurus beberapa pekerjaan di ruang kerjanya, hingga malam hari belum keluar. “Chalya,” Birru menghampiri Chacha di ruang tengah. Gadis itu menghela napas. Akhirnya Chacha mendengar panggilan itu juga. Bukan dia sangat mengharapkan, Chacha hanya tidak tahu saja harus melakukan apa di rumah besar itu. Nonton tv sudah, beres-beres sudah, scroll media sosial? Chacha tidak akan melakukannya. Hanya akan menambah beban mental saja. “Yaa?” “Mm, mau makan di luar?” tawar Birru. Chacha kontan mengangguk. “Aku siap-siap dulu, bentar.” Tidak berselang lama, Chacha berlarian kecil menuruni tangga sudah mengganti pakaiannya dengan gamis simpel warna hitam, lengkap dengan hijabnya juga. Sampai di bawah Birru mempersilahkan dia untuk jalan lebih dulu. Di depan rumah ada dua mobil yang terlihat sudah siap, Chacha menghentikan
Birru terkekeh geli, “Suka parfumnya?”Istri barunya itu nyaris tersedak ludahnya sendiri, dia masih tidak sadar kalau jarak di antara mereka tersisa beberapa inch saja. Ia buru-buru memperbaiki posisinya. Memalingkan wajah untuk menutup wajah, Chacha benar-benar ingin menghilang darii bumi saat itu juga.“Sarapan di kantin aja, mau?” tawar Birru. Biasanya ada Delfin yang mengurus sarapannya, tapi pria itu pasti juga tidak ingin mengganggu Birru, yang baru saja menyandang status pasutri baru.“Kantin mana?”“Kantin pesantren, enak-enak kok makanannya. Mau coba?”Sebelum mereka benar-benar keluar rumah, ponsel Birru berdering. Ia tahu dari semalam berita tentang perrnikahannya kembali menjadi trending di beberapa platform. Selain ucapan selamat dan pujian untuk Chacha, ada beberapa hate komen juga yang nylekit.“Mas,” panggil Chacha, gadis itu sudah berdiri siap menunggu di depan pintu.“Iyaa? Bentar,” Birru tampak tenang, tapi gelagatnya menunjukan bahwa ada sesuatu hal berat sedang m
Chacha mengangguk, “Ok, satu lagi. Kita … nggak tidur sekamar, kan?” Pertanyaan Chacha yang terdengar gamang itu, ia lontarkan dengan memiringkan badannya sedikit. Harap-harap cemas, takut jawabannya tidak sesuai dengan apa yang ada dalam kepalanya.“Nggak. Saya tidur di bawah, saya juga belum terbiasa dengan orang asing.” Jawaban yang sederhana, singkat dan … menohok.Chacha diam sejenak, tidak tahu harus menjawab apa. Bukan perkara kamar yang terpisah tapi kata ‘orang asing’ nya. Padahal pria itu yang memintanya untuk menikah, seolah Chacha yang memaksanya.“Kemarin umma yang beresin kamar atas jadi barang-barang saya masih di sana. Mungkin besok baru saya pindah,” lanjut Birru.“Oh, iyaa. Nggak masalah, ya udah kalau gitu, aku naik dulu,” pamit Chacha buru-buru.“Sebentar,” sela Birru cepat. “Saya mau bilang kalau, saya suami kamu. Mulai sekarang biasakan jangan panggil saya ustaz terus.”“Terus, panggil apa?” Chacha balik menanyainya.Birru melirik sekilas, “Terserah,”“Mm, mas
Birru menuntun Chacha melewati rumah ndalem, menuju bangunan lain yang ada di belakang asrama santri putra. Langkah mereka terhenti di halaman depan rumah berlantai dua dengan dominan warna beige bergaya American klasik yang anggun. Seperti rumah yang biasa Chacha liat di feed pinterest.“Ini …” suara Chacha menggantung di udara. Namun, tetap saja matanya terus menatap takjub dan suka bersamaan pada pemandangan di depannya.“Rumah kita,” sahut Birru santai, mempersilahkan Chacha untuk masuk lebih dulu setelah membuka kuncinya.Chacha sempat mengeluh pada Allah karena harus dipertemukan dengan pria asing yang seenaknya saja mengajak menikah. Walau sebenarnya Chacha banyak diuntungkan juga, daripada menikahi om-om pemilik toko lebih baik menjadi istri Albirru yang masih muda dan nyatanya jauh lebih tampan.Memasuki rumah lebih dalam, Chacha disambut oleh kucing ras Persia berwarna putih dengan bulu lebat. Chacha reflek menggendongnya dan mengayun-ayun gemas.“Namanya Moly,” ujar Birru
Sesuai rencana dua keluarga, pernikahan keduanya digelar di pesantren dengan konsep tertutup. Hanya dua keluarga dan kerabat saja yang hadir di sana, tapi cukup untuk memberitahu pada seluruh netizen yang terhormat kalau status Chalya Medina dan Zayn Albirru saat ini adalah sepasang suami istri.Mentari hangat menyapa pesantren Al-Muntazhar. Angin sejuk menerbangkan aroma tanah basah sisa hujan semalam. Jam menunjukan pukul 09:00. Pagi yang sejak kemarin redup tertutup kabut tebal, hari ini terasa mendukung momen dua manusia yang akan berikrar janji suci di hadapan Allah.Ruang tamu ndalem yang cukup luas disulap menjadi tempat sakral dengan dekorasi dominan warna putih. Ada dua rangkaian bunga-bunga putih tersusun sangat rapi di tiap sudut ruangan tersebut. Di dalamnya dua keluarga duduk saling berdampingan menyimak dengan khidmat rangkaian akad yang baru saja dilaksanakan.Suara Birru saat mengucapkan akad menggema di seluruh penjuru pesantren, memunculkan decak kagum sekaligus
“Apa–siapa ini?” Fahri langsung merengut mendapati kehadiran Birru.Chacha mengernyit. Tidak mungkin Fahri tidak mengenali Birru, mengingat Birru merupakan ustaz populer. Semua konten-konten dan acara live dakwahnya selalu penuh oleh anggota majelis baik laki-laki maupun perempuan muda, Namun, jika diperhatikan lagi, penampilan Birru memang sedang tidak seperti biasanya. Wajahnya luka-luka–bahkan sedikit bengkak. Sementara penampilannya tampak sedikit kumuh.Meski begitu, suaranya masih tenang seperti saat membawakan kajian, saat mengatakan, “Tidak boleh berisik di klinik.”Fahri jelas tidak terima ditegur seperti itu.“Eh, kamu–!”“Sepertinya perban Anda akan terlepas, Pak,” sela Chacha buru-buru, berkata pada Birru. “Mari ikut saya.”Tanpa menunggu respons, Chacha membawa Birru ke bilik lain agar lebih aman.“Itu mantan Dokter?” Chacha mendongak pada pria yang tengah berjalan tertatih itu. Birru tengah menatapnya dengan raut wajah serius.“Ustaz dengar?” gumam Chacha, mengalihkan







