Pintu diketuk keras, tidak sabaran. Hujan rintik di luar. Lampu ruang tamu menyala redup. Amel, dalam baju tidur tipis, membuka pintu perlahan. Di hadapannya, Jonathan berdiri dengan napas terengah, rambut basah, aroma alkohol pekat menampar hidungnya. Sorot matanya buram, merah, seperti orang yang habis kehilangan segalanya.
"Kenapa lama sekali, hah?" bentak Jonathan. Amel tersentak dan menunduk takut. Jonathan memiringkan kepalanya berusaha menangkap wajah Amel dalam keremangan. "Angkat kepalamu!" perintahnya. Amel mengangkat kepala dan menatap takut pemilik suara. Jonathan menatapnya lama, lalu wajahnya melembut aneh, matanya nanar. “Fidya," bisiknya, suaranya parau. Amel mengerut tidak mengerti lalu tersentak saat Jonathan tiba-tiba saja menangis dan menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Karena gerakan tiba-tiba itu, dia langsung mendorong pria itu menjauh. "Kamu menolakku?" suaranya rendah dan gelap. Bola mata hitam pekat itu menatap tajam membuat Amel mundur ketakutan. "Kak sadarlah, ini aku, Amel," lirih Amel. Tangan besar Jonathan terangkat meraih wajah Amel, mencengkramnya sedikit kasar. Gadis itu terdiam sejenak sulit untuk menghindar. “Bisa-bisanya kamu ninggalin aku sendiri di sini?” desisnya, diiringi tawa pelan yang lebih mirip lirihan luka. Amel menahan napas. “Kak, tolong, sadarlah… kamu membuatku takut.” “Di saat aku mau menikahi kamu…” desis Jonathan “Kamu pikir hanya kamu yang punya urusan penting?” Tangannya mencengkram pergelangan tangan Amel. Gadis itu mencoba meronta, tapi genggamannya tidak memberi celah. “Sembilan tahun kita bersama dan aku selalu ngerti, selalu dukung. Tapi kamu selalu tidak peduli. Aku selalu mengalah dan menunggu sampai rasanya semuanya sia-sia.” Jonathan bergumam. “Dan kali ini kamu ingin pergi ke Jerman selama dua bulan?” tawa getirnya bergema pelan. “Tanpa tanya. Tanpa tawar. Tanpa peduli pada tekanan yang aku alami?” “Kak, aku bukan Fidya! Tolong jangan begini!” Jonathan merapatkan wajahnya ke leher Amel. Napas hangat, bercampur bau alkohol. “Kenapa harus aku yang jadi pilihan tidak penting dan mudah untuk kamu buang?” Dua tangan Amel berusaha mendorong tubuh Jonathan agar menjauh darinya. “Kak, sadarlah, aku mohon… Aku Amel, adikmu. Aku bukan Fidya!” “Diam!” bentaknya. Amel terhenyak, napasnya tercekat. Jonathan menyeretnya menuju lantai atas. Amel ingin menjerit, tapi suaranya tercekat, tubuhnya seolah mati rasa. Dinginnya lantai merambat sampai tulang. Matanya mencari pegangan apa saja, tapi tak ada yang bisa menyelamatkannya. “Tolong hentikan!” Amel menjerit tertahan saat ia diseret masuk ke dalam kamar. Bahunya membentur kusen pintu. Tangisnya pecah, tapi Jonathan tidak menghentikan langkah. “Aku berkali-kali mencoba dan berkali-kali juga kalah dengan ambisimu itu!” Jonathan menekannya ke ranjang, menahan sesuatu yang tidak bisa dia lawan sendiri. Tangan Amel bergerak gelisah mencari pegangan. “Kak… berhenti!” Suara lirih yang ia paksakan hanya menggema pelan, disertai isakan tertahan. Tapi pria yang menindihnya tidak peduli. Hembusan nafas lembut berhembus di sekitar sudut telinga dan lehernya, mengirimkan kejutan kelembutan yang menjalar keseluruh tubuh. Rasanya hangat, tapi bersamaan dengan itu, ia merasa diremukan. “Fidya, aku sangat mencintaimu, tolong kali ini jangan abaikan aku,” bisik Jonathan di telinganya, membuat jantung Amel serasa berhenti. Sampai akhirnya semuanya selesai. Diam. Bau alkohol bercampur keringat memenuhi ruangan. Tatapan Amel menembus langit-langit kamar yang selama ini hanya dia lihat dari kejauhan—tempat yang tidak pernah dia sentuh. Kini, untuk pertama kalinya, ia berada di dalamnya dengan tubuh yang nyeri dan hati yang tidak tahu harus merasa apa. Malam itu berubah menjadi neraka. Ia bahkan tidak tahu, apakah harus menyesalinya... atau melupakannya. Semua berputar begitu cepat. Bagai kaset rusak yang enggan untuk diputar kembali. Jika saja dia tidak membuka pintu utama dan mengabaikan ketukan itu, mereka tidak akan berakhir di ranjang yang sama. Amel beringsut turun dari ranjang, memungut pakaiannya yang sobek lalu memakainya asal. Tangannya gemetar memegang kusen pintu yang dingin. Langkahnya terhenti sejenak, menoleh menatap tubuh yang tertidur damai di ranjang. Begitu memuakan. “Kamu harus bertanggung jawab, seumur hidup kamu harus menderita!” **Hari-hari berlalu. Sudah tiga hari Amel menetap di rumah tuanya itu. Meski hidup sendiri, ia tak pernah benar-benar merasa sendirian. Ada Santi dan beberapa tetangga yang selalu hadir dengan cara-cara sederhana. Setiap pagi, Santi sering menyapanya lebih dulu, sekedar berbincang tentang cuaca atau tanaman di halaman. Siang hari, ia datang sambil membawa sepiring lauk, selalu dengan alasan yang sama yaitu, “Saya masak kebanyakan, Amel. Sayang kalau tidak dimakan.” Sore harinya, Santi kerap mengetuk pintu, mengajak Amel duduk di teras sambil minum teh bersama. Hari ini, Santi memperkenalkan seorang pria paruh baya padanya. “Ini namanya Pak Wawan, Amel. Dia bisa perbaiki kran air kamu yang macet. Katamu semalam air tidak keluar, kan?” ujarnya ringan. Amel tertegun, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Mbak Santi. Saya sungguh terbantu.” Malam pun tiba. Suasana sedikit ramai berkat suara petugas ronda yang berkeliling sambil menabuh kentongan, membuatnya merasa jauh lebih aman. Ditam
Dari balik pintu yang tertutup rapat, suara Jonathan terdengar parau, “ Aku pergi, tapi tidak untuk bercerai. Karena sampai kapan pun, kamu tetap istriku, Amel.” Amel tersentak. Kedua tangannya perlahan turun dari wajahnya, tapi air mata masih mengalir deras di pipi. Tangisnya mereda, namun kalimat itu seperti stempel yang tak bisa dihapus olehnya. Jonathan tahu kalau gadis itu akan menolak mentah-mentah jika ia muncul terang-terangan untuk menemuinya. Maka, cara satu-satunya hanyalah menjaganya dari jauh. Tanpa Amel sadari. Ia menjual beberapa asetnya, lalu menyuruh orang kepercayaannya mengontrak beberapa rumah kosong yang terbengkalai, hanya agar ada “tetangga” di sekitar Amel. Dari luar terlihat seperti tetangga baru biasa, padahal semua itu hanyalah peran yang ia ciptakan agar Amel tidak lagi terjebak dalam sepi. Orang-orang yang diam-diam disuruh Jonathan sesekali muncul, menyapa, atau sekedar mengobrol ringan dengan Amel. Seperti pagi ini, saat Amel membuka pintu samping r
Angin malam menyusup masuk dari celah pintu kayu yang setengah terbuka, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Rumah tua itu sunyi, hanya suara jangkrik dari luar yang terdengar bersahutan. Di luar, gelap menguasai halaman karena lampu jalanan dan teras mati, meninggalkan bayangan pekat. Amel berdiri kaku di ruang tamu sederhana, dadanya terasa sesak. Tubuhnya membeku ketika langkah berat terdengar mendekat, lalu berhenti tepat di ambang. Sebuah tangan menahan pintu, mencegahnya menutup. Jonathan berdiri di sana, tersenggal seolah baru saja berlari menembus malam. Bahunya naik-turun, sorot matanya meski lelah, tapi tak bisa menyembunyikan emosi yang menusuk. “Amel,” panggil Jonathan, suaranya serak, tapi tegas. “Aku selalu bisa menemukanmu.” Lutut Amel hampir kehilangan daya ketika tatapan tajam pria itu menembus dirinya, seolah menelanjangi segala pertahanannya. Pintu kayu yang rapuh masih ditahannya, berderit pelan saat Amel berusaha menutupnya, tapi sia-sia—tenaga
Satu jam kemudian. Berita tentang Jonathan memenuhi layar televisi dan media online. [Jonathan Sailendra, Direktur utama Sailendra Corp, resmi mengundurkan diri setelah tersandung skandal yang mengguncang dunia bisnis. Dewan direksi menyatakan langkah ini perlu diambil untuk menjaga stabilitas perusahaan.]Di dalam sebuah taksi yang melaju meninggalkan kawasan apartemen mewah, Amel menatap layar ponselnya. Wajahnya memucat, ia menekan bibirnya, menahan isak meski air matanya jatuh tanpa bisa dicegah. Segalanya telah rusak. Dirinya bahkan Jonathan yang telah kehilangan segalanya. “Maafkan aku karena pergi saat semuanya diambil darimu,” gumam Amel. Ia menunduk, kedua tangannya bergetar di pangkuan. Ia menutup ponsel, menyandarkan kepala ke jendela, menatap gedung-gedung besar yang berlari mundur dengan cepat. Penthouse megah yang begitu ia banggakan kini hanya meninggalkan luka. Ia tak sanggup lagi menetap di sana.Tiga jam perjalanan ia habiskan dalam diam, hingga akhirnya, taksi i
Pagi itu, kantor pusat Sailendra seperti sarang lebah yang terusik. Semua orang sibuk berbisik, menatap layar ponsel, lalu mengalihkan pandangan dengan wajah penuh tanya ketika Jonathan melintas. Langkah Jonathan terasa berat saat memasuki lobi. Ia bisa merasakan tatapan menusuk dari karyawan-karyawannya. Beberapa pura-pura sibuk menunduk, sebagian lain saling berbisik, jelas membicarakannya. Ponselnya tak berhenti bergetar—panggilan, pesan, notifikasi berita. Foto-foto itu sudah menghiasi portal bisnis dan media gosip, lengkap dengan judul sensasional. Raden berdiri di ambang pintu, wajahnya kusut tak kalah dengan Jonathan yang baru saja tiba.“Selama empat hari ketidakhadiranmu mereka sudah mengajukan petisi pemecatanmu,” ucapnya, nada suaranya berat.Jonathan membuang napas kasar, kepalanya menunduk sesaat. “Aku tahu.”Raden gelisah, langkahnya maju setengah. “Ini sangat buruk. Mereka mungkin akan menendangmu keluar hari ini juga.”Jonathan mengangguk pelan, sorot matanya menaja
Amel baru saja selesai melipat pakaiannya dan memasukkannya ke dalam koper kecil. Tangannya bekerja cepat, meski hatinya terasa semakin berat. Saat pintu utama terdengar terbuka lalu tertutup pelan, Amel tahu Jonathan sudah kembali. Ia tak ingin tahu kemana pria itu pergi hingga selarut ini. Dalam benaknya hanya ada satu jawaban yang membuat dadanya kembali remuk: pasti ia menemui wanita itu.Air matanya menggenang, tapi tangannya tetap bergerak memasukan baju terakhir sebelum menutup koper dengan satu hentakan tegas. Ia mendorong koper itu ke sudut ruangan. “Aku tidak pernah menyangka, dia akan tega melakukan itu padaku,” gumam Amel parau. Dadanya sesak, matanya berkaca-kaca. Amel sudah mantap dengan keputusannya, ia harus pergi. Ia tak sanggup lagi berada di bawah atap yang sama dengan Jonathan. Hatinya sudah terlalu hancur. Namun lamunannya buyar ketika ponselnya di atas meja bergetar. Sekali, dua kali, lalu berderet tanpa henti. Notifikasi memenuhi layar, seolah tak memberinya