Home / Romansa / Mendadak jadi istri kakak tiriku / Bab 1. Kesalahan malam itu

Share

Mendadak jadi istri kakak tiriku
Mendadak jadi istri kakak tiriku
Author: Ralonya

Bab 1. Kesalahan malam itu

Author: Ralonya
last update Huling Na-update: 2025-05-30 12:48:42

Pintu diketuk keras, tidak sabaran. Hujan rintik di luar. Lampu ruang tamu menyala redup. Amel, dalam baju tidur tipis, membuka pintu perlahan. Di hadapannya, Jonathan berdiri dengan napas terengah, rambut basah, aroma alkohol pekat menampar hidungnya. Sorot matanya buram, merah, seperti orang yang habis kehilangan segalanya.

 "Kenapa lama sekali, hah?" bentak Jonathan. 

 Amel tersentak dan menunduk takut. Jonathan memiringkan kepalanya berusaha menangkap wajah Amel dalam keremangan.

"Angkat kepalamu!" perintahnya. 

 Amel mengangkat kepala dan menatap takut pemilik suara. Jonathan menatapnya lama, lalu wajahnya melembut aneh, matanya nanar.

“Fidya," bisiknya, suaranya parau. 

Amel mengerut tidak mengerti lalu tersentak saat Jonathan tiba-tiba saja menangis dan menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Karena gerakan tiba-tiba itu, dia langsung mendorong pria itu menjauh. 

 "Kamu menolakku?" suaranya rendah dan gelap. Bola mata hitam pekat itu menatap tajam membuat Amel mundur ketakutan. 

 "Kak sadarlah, ini aku, Amel," lirih Amel.

 Tangan besar Jonathan terangkat meraih wajah Amel, mencengkramnya sedikit kasar. Gadis itu terdiam sejenak sulit untuk menghindar. “Bisa-bisanya kamu ninggalin aku sendiri di sini?” desisnya, diiringi tawa pelan yang lebih mirip lirihan luka.

Amel menahan napas. “Kak, tolong, sadarlah… kamu membuatku takut.”

“Di saat aku mau menikahi kamu…” desis Jonathan “Kamu pikir hanya kamu yang punya urusan penting?” Tangannya mencengkram pergelangan tangan Amel. Gadis itu mencoba meronta, tapi genggamannya tidak memberi celah.

“Sembilan tahun kita bersama dan aku selalu ngerti, selalu dukung. Tapi kamu selalu tidak peduli. Aku selalu mengalah dan menunggu sampai rasanya semuanya sia-sia.” Jonathan bergumam. “Dan kali ini kamu ingin pergi ke Jerman selama dua bulan?” tawa getirnya bergema pelan. “Tanpa tanya. Tanpa tawar. Tanpa peduli pada tekanan yang aku alami?”

“Kak, aku bukan Fidya! Tolong jangan begini!”

Jonathan merapatkan wajahnya ke leher Amel. Napas hangat, bercampur bau alkohol. “Kenapa harus aku yang jadi pilihan tidak penting dan mudah untuk kamu buang?”

Dua tangan Amel berusaha mendorong tubuh Jonathan agar menjauh darinya. 

“Kak, sadarlah, aku mohon… Aku Amel, adikmu. Aku bukan Fidya!” 

“Diam!” bentaknya.

Amel terhenyak, napasnya tercekat. Jonathan menyeretnya menuju lantai atas. Amel ingin menjerit, tapi suaranya tercekat, tubuhnya seolah mati rasa. Dinginnya lantai merambat sampai tulang. Matanya mencari pegangan apa saja, tapi tak ada yang bisa menyelamatkannya. 

 “Tolong hentikan!” 

 Amel menjerit tertahan saat ia diseret masuk ke dalam kamar. Bahunya membentur kusen pintu. Tangisnya pecah, tapi Jonathan tidak menghentikan langkah.

“Aku berkali-kali mencoba dan berkali-kali juga kalah dengan ambisimu itu!”

Jonathan menekannya ke ranjang, menahan sesuatu yang tidak bisa dia lawan sendiri. Tangan Amel bergerak gelisah mencari pegangan.

 “Kak… berhenti!”

Suara lirih yang ia paksakan hanya menggema pelan, disertai isakan tertahan. Tapi pria yang menindihnya tidak peduli. Hembusan nafas lembut berhembus di sekitar sudut telinga dan lehernya, mengirimkan kejutan kelembutan yang menjalar keseluruh tubuh. Rasanya hangat, tapi bersamaan dengan itu, ia merasa diremukan. 

“Fidya, aku sangat mencintaimu, tolong kali ini jangan abaikan aku,” bisik Jonathan di telinganya, membuat jantung Amel serasa berhenti.

Sampai akhirnya semuanya selesai. Diam. Bau alkohol bercampur keringat memenuhi ruangan.

 Tatapan Amel menembus langit-langit kamar yang selama ini hanya dia lihat dari kejauhan—tempat yang tidak pernah dia sentuh. Kini, untuk pertama kalinya, ia berada di dalamnya dengan tubuh yang nyeri dan hati yang tidak tahu harus merasa apa. 

Malam itu berubah menjadi neraka. Ia bahkan tidak tahu, apakah harus menyesalinya... atau melupakannya. Semua berputar begitu cepat. Bagai kaset rusak yang enggan untuk diputar kembali. Jika saja dia tidak membuka pintu utama dan mengabaikan ketukan itu, mereka tidak akan berakhir di ranjang yang sama. 

 Amel beringsut turun dari ranjang, memungut pakaiannya yang sobek lalu memakainya asal. Tangannya gemetar memegang kusen pintu yang dingin. Langkahnya terhenti sejenak, menoleh menatap tubuh yang tertidur damai di ranjang. Begitu memuakan.

 “Kamu harus bertanggung jawab, seumur hidup kamu harus menderita!” 

**

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 47. “Saat aku menyakitimu.”

    Sore itu, langit berwarna jingga tembaga. Amel duduk sendirian di bangku dekat kolam. Matanya kosong menatap ke depan. Pikirannya penuh dan lelah. Sudah lebih dari satu jam dia di situ. Hanya diam memeluk perutnya yang mulai nyeri karena stres yang terus menumpuk. Langkah kaki berat menghentak kerikil. Suara sepatu kulit mendekat. “Amel, kenapa kamu disini sendirian?” Suara Marcell terdengar dari belakang, membuat Amel menoleh. “Tadi aku ke kamar, tapi kamu tidak ada di sana.” Amel menghela napas singkat. “Aku hanya ingin sendiri. Jadi bisakah kamu pergi dari sini? Tolong,” pintanya dengan nada lelah. Marcell tak langsung menjawab. Ia justru melangkah lebih dekat, menyisakan hanya beberapa meter jarak di antara mereka. “Kenapa?” tanyanya dengan nada tenang. “Apa aku tidak boleh mendekatimu? Kita sudah sepakat soal ini, kan? Tidak ada batasan di antara kita.” Amel menunduk. Tangannya refleks menggenggam perutnya yang mulai terasa nyeri lagi. “Aku hanya butuh waktu sendiri.”

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 46. Perhatian dalam diam

    Pagi itu, Amel sarapan hanya berdua dengan Laura. Jonathan sudah pergi sejak fajar menyingsing, katanya ada rapat penting di kantor. Ratna sedang berada di luar kota, sementara Marcell belum juga pulang dari semalam. Suasana meja makan terasa sunyi. Hanya denting sendok yang sesekali terdengar, diselingi suara lembut Laura yang bertanya tentang kehamilan Amel, dan dijawab seperlunya oleh gadis itu. Saat ini perasaannya campur aduk. Ia berusaha untuk tidak memikirkan tentang Jonathan yang masih menemui Fidya diam-diam disaat dia mencoba untuk percaya. “Pastikan kamu makan banyak, ya, Nak,” ujar Laura lembut, menatap Amel dengan sorot prihatin yang disembunyikan di balik senyum keibuan. Amel mengangguk pelan. Senyum tipis terbit di sudut bibirnya. “Baik, Ma,” sahutnya singkat. Keduanya kembali terdiam. Hanya bunyi peralatan makan yang terus mengisi keheningan. Di sisi lain, di ruang kerjanya yang megah di pusat kota, Jonathan duduk di balik meja. Layar laptop menyala, file rap

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 45. Kecemburuan Jonathan

    Jonathan masuk tanpa menunggu jawaban. Wajahnya serius. Sorot matanya tajam, tapi jelas terlihat lelah. “Kita perlu bicara,” katanya singkat Amel menghela napas panjang, lalu duduk di sisi ranjang. “Nanti saja, Kak,” tutur Amel pelan, dengan nada lelah yang tak kalah dari Jonathan. Jonathan melangkah mendekat, lalu berhenti tepat di depan Amel. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, seolah berharap amarahnya bisa luruh bersama gerakan itu. “Ada apa denganmu, Amel?” tanyanya dengan nada yang tak lagi bisa ditahan. “Beberapa hari ini kita baik-baik saja. Tapi sekarang? Aku harus menghadapi sikapmu yang berubah-ubah seperti ini. Aku juga lelah, Amel!” “Kalau begitu abaikan saja aku!” sahut Amel, suaranya meninggi, lalu menurun pelan, seolah tercekik oleh emosi yang terlalu berat untuk dikeluarkan. Jonathan menatapnya lama, pandangannya campur aduk–antara marah, bingung, dan kecewa. “Kamu pikir aku bisa mengabaikanmu semudah itu?” tanyanya serak. Tatapannya menyapu wajah Amel, seola

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 44. Orang ke tiga

    Di dalam mobil, suasana terasa lebih sunyi dari biasanya. Mesin mobil menderu pelan, mengiringi jalanan siang yang tak terlalu ramai. Sinar matahari menembus kaca jendela, membingkai wajah Amel yang diam menatap ke luar. Di pangkuan, layar ponsel masih menyala, menampilkan pesan singkat yang membuat perutnya mual sejak tadi. Jonathan melirik ke arah Amel beberapa kali dari balik kemudi. “Kamu yakin tidak ada apa-apa?” tanyanya pelan. Amel tersenyum paksa. “Iya, Kak. Tidak ada,” ucapnya singkat. “Hanya sedikit lelah.” Jawaban itu tidak membuat Jonathan puas, tapi ia tak ingin memaksa. “Baiklah. Kita langsung pulang ya. Supaya kamu bisa istirahat.” Mobil meluncur dalam diam. Hanya suara pendingin udara dan musik lembut dari radio yang terdengar samar. Amel menunduk, menggenggam ponsel erat-erat. Di layar, wajah Fidya–di dalam mobil Jonathan– tersenyum di balik foto-foto itu, Jonathan yang sedang mengemudi disampingnya, lalu Jonathan yang sedang meletakan makanan di atas meja makan.

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 43. Detak kecil di dalam perut

    Lorong rumah sakit pagi itu lengang. Aroma antiseptik dan wangi samar dari diffuser lavender menyambut langkah Amel dan Jonathan yang berjalan berdampingan, meski tak saling bergandengan tangan. Amel menunduk pelan, menahan senyum. Perutnya yang baru sedikit menonjol membuat langkahnya sedikit pelan. Jonathan berjalan setengah langkah di belakang, sesekali meliriknya dengan gugup—seperti suami baru yang belum hafal ritme pasangannya. “Ini pertama kalinya kamu ikut kontrol,” gumam Amel, tidak bisa menyembunyikan rasa gembiranya. “Hm.” Jonathan mengangguk, tapi mata tajamnya tak lepas dari setiap gerak Amel. Mereka masuk ke ruang praktek dokter kandungan. Ruangan itu hangat dan tertata nyaman. Ada sofa kecil, tirai lembut di jendela, dan alat USG yang terlihat canggih di pojok ruangan. Dokter Dina menyambut mereka dengan senyum ramah. “Selamat pagi, Bu Amel, Pak Jonathan. Hari ini periksa kehamilan tiga bulan, ya?” sapanya sambil membuka catatan rekam medis. “Iya, dok. Tiga bu

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 42. Jangan biarkan siapa pun masuk

    Amel duduk bersila di atas karpet ruang keluarga. Kotak P3K terbuka di hadapannya, isinya berserakan: perban, plester, kapas, dan cairan antiseptik. Tangan kecilnya bekerja pelan dan teliti, seolah setiap benda harus kembali ke tempat semula dengan rapi. Di sofa, Marcell bersandar santai. Lengan kirinya terentang malas di sandaran, sementara mata tajamnya menatap Amel yang sedang sibuk merapikan isi kotak. “Kamu lembut juga, ya, kalau lagi ngobatin orang,” ucap Marcell dengan suara rendah. Senyum samar menghiasi ujung bibirnya, meski sisi lainnya masih tampak memar, tertutup plester. Amel tidak langsung menjawab. Ujung jarinya berhenti sejenak di atas plester, lalu melipatnya pelan. Bukan karena dia malu, tapi karena hatinya terasa sedikit tak tenang. Lalu terdengar langkah kaki menyentuh lantai marmer, agak terburu-buru membuatnya menoleh. Jonathan berdiri di sana, masih mengenakan kemeja kerja yang tadi pagi dia pilihkan. Di tangan pria itu ada buket mawar putih tampak mencol

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status