Home / Romansa / Mendadak jadi istri kakak tiriku / Bab 2. Satu langkah yang menghancurkan segalanya

Share

Bab 2. Satu langkah yang menghancurkan segalanya

Author: Ralonya
last update Last Updated: 2025-05-30 12:57:18

Jonathan berusaha membuka matanya yang terasa berat. Ia meringis pelan, mengusap pelipis yang berdenyut nyeri. Tatapannya berkeliling, mencoba memahami dimana dirinya berada. Sebuah kamar yang tidak asing, selimut tebal menyelimuti tubuh—dan tidak ada sehelai pakaian pun melekat padanya. 

 Pelan-pelan ia duduk, matanya menelusuri lantai kamar yang berantakan—baju-bajunya berserakan tidak beraturan. Seakan ada badai kecil yang baru saja lewat. 

 “Apa yang terjadi semalam?” gumamnya, nyaris tidak terdengar. 

 Potongan-potongan ingatan mulai berkelebat, permintaan ibunya tentang pernikahan, perdebatannya dengan Fidya, gelas demi gelas alkohol, langkah limbung di sepanjang trotoar, tawa yang berubah jadi tangis, suara pintu terbuka... ocehan acaknya, lalu gelap. 

 Ia menutup wajahnya, napasnya tercekat. Kesadaran menabrak dadanya dengan keras. 

 “Ya Tuhan… apa yang sudah kulakukan?” bisiknya, menggenggam rambutnya sendiri, frustasi dan bingung. 

 Dengan gerakan mendadak, ia berdiri. “Jonathan brengsek!” desisnya, menggertakkan gigi—marah, muak, dan malu pada dirinya sendiri. 

 Ia memungut pakaian dan menyeret tubuhnya ke kamar mandi. Air dingin menyambut tubuhnya, seolah mencoba menyadarkannya dari kabut yang membungkus kesadarannya. 

 ** 

 Langkah Jonathan menuruni anak tangga tergesa. Napasnya berat, pandangannya resah. Ia langsung menuju dapur. Laura yang tengah menyiapkan sarapan menoleh saat mendengar suara langkahnya itu. 

 "Selamat pagi," sapa sang ibu, meski tatapannya heran melihat anaknya seperti dikejar waktu. 

 "Ma, Amel di mana?" tanyanya cepat, nada suaranya tegang. 

 Laura mengernyit. "Kenapa mencarinya sepagi ini? Tidak biasanya." 

 "Dia di kamarnya?" desak Jonathan, mengabaikan tatapan ibunya yang mulai curiga. 

 "Iya. Biasanya dia bangun lebih pagi untuk bantu mama di dapur. Jangan-jangan dia sakit," gumam Laura, menoleh ke arah lorong menuju kamar Amel. 

 "Aku akan cek." Jonathan langsung berbalik tanpa menunggu tanggapan. Setibanya di depan kamar Amel, dia mengetuk pintu tidak sabaran. 

 "Amel, kamu di dalam?" 

 Tidak ada jawaban. 

 "Boleh aku masuk?" 

 Masih hening. 

 Tanpa pikir panjang, Jonathan membuka pintu perlahan. Udara di dalam terasa berat. Sunyi yang aneh menusuk. Ia melangkah masuk. 

 "Amel?" panggilnya lagi. 

 Sebuah suara lirih—isakan terpendam—menyentak langkahnya. Dari sisi tempat tidur, Jonathan melihatnya meringkuk di lantai. 

 Amel memeluk lutut di pojok kamar, tubuhnya seperti kehilangan nyawanya sendiri. Wajahnya pucat, matanya kosong, tapi tetap menatap Jonathan seperti menatap mimpi buruk yang tak kunjung bangun. 

 Saat Jonathan mencoba mendekat, Amel bergeser perlahan ke belakang. Gerakannya kecil, tapi cukup untuk membuat Jonathan berhenti. Seolah hanya udara di antara mereka yang mampu menjaganya tetap bernapas. 

 "Amel... aku...” Suaranya bergetar. “Aku minta maaf..." Ia menggenggam wajahnya sendiri menahan rasa bersalah yang membekapnya. 

 Amel tidak menjawab. Ia hanya menunduk dalam, menggenggam ujung bajunya erat. Seolah satu suara saja, semua luka akan terulang kembali. Dalam pikirannya, hanya satu kalimat berulang, 'Andai semalam hanya mimpi buruk.' 

 Ia tidak ingin mendengar permintaan maaf. Tidak dari mulut itu. Tidak dari orang yang kini berlutut dengan wajah hancur, tapi telah menghancurkannya lebih dulu. Dan Jonathan hanya terdiam, menatap kehancuran yang ia sebabkan. Mungkin penyesalan adalah satu-satunya hukuman yang pantas untuknya hari ini. 

 ** 

 "Apa?" Laura membeku. Wajahnya memucat. Tangannya refleks menekan pelipis yang mendadak berdenyut hebat. "Ya Tuhan… kamu bilang apa barusan, Jonathan?" Suaranya bergetar, nyaris tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut putranya. 

 Perlahan ia maju. Satu tamparan mendarat—bukan karena amarah, tapi karena hati yang hancur. 

 "Aku tidak kenal kamu lagi," bisiknya getir. "Mama suruh kamu nikah sama Fidya, bukan menghancurkan anak yang tumbuh di rumah ini." Kata-kata itu keluar dengan susah payah, serak, penuh luka. Wajah Laura memerah, suaranya parau, namun memekakkan hati. 

 Jonathan masih menunduk. "Maaf, Ma," gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar. "Aku akan bertanggung jawab." 

 Laura menatap tajam. "Dalam bentuk apa tanggung jawabmu?” 

 "Menikahinya?" tanya Jonathan lirih, nyaris ragu dengan kata-katanya sendiri. 

 Laura kembali menekan pelipisnya. "Kamu pikir dengan menikahinya semua akan selesai? Dia masih dua puluh satu tahun, Jonathan! Menikah bukan obat penawar racun yang sudah kamu tanam!" 

 Jonathan mengangkat wajah. Matanya merah, wajahnya pucat. Ia terlihat seperti mayat hidup yang berjalan tanpa arah. 

 "Aku cuma ingin memperbaiki semuanya," katanya lemah. 

 "Memperbaiki?" Laura tertawa hambar. "Kamu pikir Amel akan bahagia mendengar kamu ingin menikahinya? Bahagia melihat wajahmu, mendengar suaramu, dan bangun di rumah yang sama dengan orang yang membuat dia takut bahkan untuk membuka mata?" 

 Jonathan perlahan berlutut. Tangannya mencengkram rambutnya sendiri. 

 "Aku tahu aku salah... aku cuma... aku tidak tahu harus ngapain lagi, Ma. Aku benar-benar tidak tahu." 

 Laura memandangi anaknya dengan luka yang dalam. Air matanya menetes satu per satu. 

 “Pikirkan, Jonathan. Bukan tentang kamu, tapi tentang dia.” 

 Ia berbalik. Punggungnya gemetar. Suaranya parau. 

 "Apa pun yang kamu lakukan setelah ini… bukan soal tanggung jawab, tapi soal bagaimana kamu tidak lagi menambah luka. Satu langkah salah lagi, dan kamu akan menghancurkannya seumur hidup." 

 Di hari itu, Laura tahu, ia tidak hanya kehilangan anak laki-lakinya. Ia kehilangan kepercayaan—dan mungkin, bagian dari dirinya sendiri. 

 Tapi satu hal yang belum Jonathan tahu—dampak dari malam itu baru saja dimulai. 

 **

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 121. Halusinasi

    Hari-hari berlalu. Sudah tiga hari Amel menetap di rumah tuanya itu. Meski hidup sendiri, ia tak pernah benar-benar merasa sendirian. Ada Santi dan beberapa tetangga yang selalu hadir dengan cara-cara sederhana. Setiap pagi, Santi sering menyapanya lebih dulu, sekedar berbincang tentang cuaca atau tanaman di halaman. Siang hari, ia datang sambil membawa sepiring lauk, selalu dengan alasan yang sama yaitu, “Saya masak kebanyakan, Amel. Sayang kalau tidak dimakan.” Sore harinya, Santi kerap mengetuk pintu, mengajak Amel duduk di teras sambil minum teh bersama. Hari ini, Santi memperkenalkan seorang pria paruh baya padanya. “Ini namanya Pak Wawan, Amel. Dia bisa perbaiki kran air kamu yang macet. Katamu semalam air tidak keluar, kan?” ujarnya ringan. Amel tertegun, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Mbak Santi. Saya sungguh terbantu.” Malam pun tiba. Suasana sedikit ramai berkat suara petugas ronda yang berkeliling sambil menabuh kentongan, membuatnya merasa jauh lebih aman. Ditam

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 120. Perhatian secara diam-diam

    Dari balik pintu yang tertutup rapat, suara Jonathan terdengar parau, “ Aku pergi, tapi tidak untuk bercerai. Karena sampai kapan pun, kamu tetap istriku, Amel.” Amel tersentak. Kedua tangannya perlahan turun dari wajahnya, tapi air mata masih mengalir deras di pipi. Tangisnya mereda, namun kalimat itu seperti stempel yang tak bisa dihapus olehnya. Jonathan tahu kalau gadis itu akan menolak mentah-mentah jika ia muncul terang-terangan untuk menemuinya. Maka, cara satu-satunya hanyalah menjaganya dari jauh. Tanpa Amel sadari. Ia menjual beberapa asetnya, lalu menyuruh orang kepercayaannya mengontrak beberapa rumah kosong yang terbengkalai, hanya agar ada “tetangga” di sekitar Amel. Dari luar terlihat seperti tetangga baru biasa, padahal semua itu hanyalah peran yang ia ciptakan agar Amel tidak lagi terjebak dalam sepi. Orang-orang yang diam-diam disuruh Jonathan sesekali muncul, menyapa, atau sekedar mengobrol ringan dengan Amel. Seperti pagi ini, saat Amel membuka pintu samping r

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 119. Jangan pergi lagi

    Angin malam menyusup masuk dari celah pintu kayu yang setengah terbuka, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Rumah tua itu sunyi, hanya suara jangkrik dari luar yang terdengar bersahutan. Di luar, gelap menguasai halaman karena lampu jalanan dan teras mati, meninggalkan bayangan pekat. Amel berdiri kaku di ruang tamu sederhana, dadanya terasa sesak. Tubuhnya membeku ketika langkah berat terdengar mendekat, lalu berhenti tepat di ambang. Sebuah tangan menahan pintu, mencegahnya menutup. Jonathan berdiri di sana, tersenggal seolah baru saja berlari menembus malam. Bahunya naik-turun, sorot matanya meski lelah, tapi tak bisa menyembunyikan emosi yang menusuk. “Amel,” panggil Jonathan, suaranya serak, tapi tegas. “Aku selalu bisa menemukanmu.” Lutut Amel hampir kehilangan daya ketika tatapan tajam pria itu menembus dirinya, seolah menelanjangi segala pertahanannya. Pintu kayu yang rapuh masih ditahannya, berderit pelan saat Amel berusaha menutupnya, tapi sia-sia—tenaga

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 118. Merindukannya

    Satu jam kemudian. Berita tentang Jonathan memenuhi layar televisi dan media online. [Jonathan Sailendra, Direktur utama Sailendra Corp, resmi mengundurkan diri setelah tersandung skandal yang mengguncang dunia bisnis. Dewan direksi menyatakan langkah ini perlu diambil untuk menjaga stabilitas perusahaan.]Di dalam sebuah taksi yang melaju meninggalkan kawasan apartemen mewah, Amel menatap layar ponselnya. Wajahnya memucat, ia menekan bibirnya, menahan isak meski air matanya jatuh tanpa bisa dicegah. Segalanya telah rusak. Dirinya bahkan Jonathan yang telah kehilangan segalanya. “Maafkan aku karena pergi saat semuanya diambil darimu,” gumam Amel. Ia menunduk, kedua tangannya bergetar di pangkuan. Ia menutup ponsel, menyandarkan kepala ke jendela, menatap gedung-gedung besar yang berlari mundur dengan cepat. Penthouse megah yang begitu ia banggakan kini hanya meninggalkan luka. Ia tak sanggup lagi menetap di sana.Tiga jam perjalanan ia habiskan dalam diam, hingga akhirnya, taksi i

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 117. Mari hancur bersama

    Pagi itu, kantor pusat Sailendra seperti sarang lebah yang terusik. Semua orang sibuk berbisik, menatap layar ponsel, lalu mengalihkan pandangan dengan wajah penuh tanya ketika Jonathan melintas. Langkah Jonathan terasa berat saat memasuki lobi. Ia bisa merasakan tatapan menusuk dari karyawan-karyawannya. Beberapa pura-pura sibuk menunduk, sebagian lain saling berbisik, jelas membicarakannya. Ponselnya tak berhenti bergetar—panggilan, pesan, notifikasi berita. Foto-foto itu sudah menghiasi portal bisnis dan media gosip, lengkap dengan judul sensasional. Raden berdiri di ambang pintu, wajahnya kusut tak kalah dengan Jonathan yang baru saja tiba.“Selama empat hari ketidakhadiranmu mereka sudah mengajukan petisi pemecatanmu,” ucapnya, nada suaranya berat.Jonathan membuang napas kasar, kepalanya menunduk sesaat. “Aku tahu.”Raden gelisah, langkahnya maju setengah. “Ini sangat buruk. Mereka mungkin akan menendangmu keluar hari ini juga.”Jonathan mengangguk pelan, sorot matanya menaja

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 116. Foto yang tersebar luas

    Amel baru saja selesai melipat pakaiannya dan memasukkannya ke dalam koper kecil. Tangannya bekerja cepat, meski hatinya terasa semakin berat. Saat pintu utama terdengar terbuka lalu tertutup pelan, Amel tahu Jonathan sudah kembali. Ia tak ingin tahu kemana pria itu pergi hingga selarut ini. Dalam benaknya hanya ada satu jawaban yang membuat dadanya kembali remuk: pasti ia menemui wanita itu.Air matanya menggenang, tapi tangannya tetap bergerak memasukan baju terakhir sebelum menutup koper dengan satu hentakan tegas. Ia mendorong koper itu ke sudut ruangan. “Aku tidak pernah menyangka, dia akan tega melakukan itu padaku,” gumam Amel parau. Dadanya sesak, matanya berkaca-kaca. Amel sudah mantap dengan keputusannya, ia harus pergi. Ia tak sanggup lagi berada di bawah atap yang sama dengan Jonathan. Hatinya sudah terlalu hancur. Namun lamunannya buyar ketika ponselnya di atas meja bergetar. Sekali, dua kali, lalu berderet tanpa henti. Notifikasi memenuhi layar, seolah tak memberinya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status