LOGINJonathan berusaha membuka matanya yang terasa berat. Ia meringis pelan, mengusap pelipis yang berdenyut nyeri. Tatapannya berkeliling, mencoba memahami dimana dirinya berada. Sebuah kamar yang tidak asing, selimut tebal menyelimuti tubuh—dan tidak ada sehelai pakaian pun melekat padanya.
Pelan-pelan ia duduk, matanya menelusuri lantai kamar yang berantakan—baju-bajunya berserakan tidak beraturan. Seakan ada badai kecil yang baru saja lewat. “Apa yang terjadi semalam?” gumamnya, nyaris tidak terdengar. Potongan-potongan ingatan mulai berkelebat, permintaan ibunya tentang pernikahan, perdebatannya dengan Fidya, gelas demi gelas alkohol, langkah limbung di sepanjang trotoar, tawa yang berubah jadi tangis, suara pintu terbuka... ocehan acaknya, lalu gelap. Ia menutup wajahnya, napasnya tercekat. Kesadaran menabrak dadanya dengan keras. “Ya Tuhan… apa yang sudah kulakukan?” bisiknya, menggenggam rambutnya sendiri, frustasi dan bingung. Dengan gerakan mendadak, ia berdiri. “Jonathan brengsek!” desisnya, menggertakkan gigi—marah, muak, dan malu pada dirinya sendiri. Ia memungut pakaian dan menyeret tubuhnya ke kamar mandi. Air dingin menyambut tubuhnya, seolah mencoba menyadarkannya dari kabut yang membungkus kesadarannya. ** Langkah Jonathan menuruni anak tangga tergesa. Napasnya berat, pandangannya resah. Ia langsung menuju dapur. Laura yang tengah menyiapkan sarapan menoleh saat mendengar suara langkahnya itu. "Selamat pagi," sapa sang ibu, meski tatapannya heran melihat anaknya seperti dikejar waktu. "Ma, Amel di mana?" tanyanya cepat, nada suaranya tegang. Laura mengernyit. "Kenapa mencarinya sepagi ini? Tidak biasanya." "Dia di kamarnya?" desak Jonathan, mengabaikan tatapan ibunya yang mulai curiga. "Iya. Biasanya dia bangun lebih pagi untuk bantu mama di dapur. Jangan-jangan dia sakit," gumam Laura, menoleh ke arah lorong menuju kamar Amel. "Aku akan cek." Jonathan langsung berbalik tanpa menunggu tanggapan. Setibanya di depan kamar Amel, dia mengetuk pintu tidak sabaran. "Amel, kamu di dalam?" Tidak ada jawaban. "Boleh aku masuk?" Masih hening. Tanpa pikir panjang, Jonathan membuka pintu perlahan. Udara di dalam terasa berat. Sunyi yang aneh menusuk. Ia melangkah masuk. "Amel?" panggilnya lagi. Sebuah suara lirih—isakan terpendam—menyentak langkahnya. Dari sisi tempat tidur, Jonathan melihatnya meringkuk di lantai. Amel memeluk lutut di pojok kamar, tubuhnya seperti kehilangan nyawanya sendiri. Wajahnya pucat, matanya kosong, tapi tetap menatap Jonathan seperti menatap mimpi buruk yang tak kunjung bangun. Saat Jonathan mencoba mendekat, Amel bergeser perlahan ke belakang. Gerakannya kecil, tapi cukup untuk membuat Jonathan berhenti. Seolah hanya udara di antara mereka yang mampu menjaganya tetap bernapas. "Amel... aku...” Suaranya bergetar. “Aku minta maaf..." Ia menggenggam wajahnya sendiri menahan rasa bersalah yang membekapnya. Amel tidak menjawab. Ia hanya menunduk dalam, menggenggam ujung bajunya erat. Seolah satu suara saja, semua luka akan terulang kembali. Dalam pikirannya, hanya satu kalimat berulang, 'Andai semalam hanya mimpi buruk.' Ia tidak ingin mendengar permintaan maaf. Tidak dari mulut itu. Tidak dari orang yang kini berlutut dengan wajah hancur, tapi telah menghancurkannya lebih dulu. Dan Jonathan hanya terdiam, menatap kehancuran yang ia sebabkan. Mungkin penyesalan adalah satu-satunya hukuman yang pantas untuknya hari ini. ** "Apa?" Laura membeku. Wajahnya memucat. Tangannya refleks menekan pelipis yang mendadak berdenyut hebat. "Ya Tuhan… kamu bilang apa barusan, Jonathan?" Suaranya bergetar, nyaris tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut putranya. Perlahan ia maju. Satu tamparan mendarat—bukan karena amarah, tapi karena hati yang hancur. "Aku tidak kenal kamu lagi," bisiknya getir. "Mama suruh kamu nikah sama Fidya, bukan menghancurkan anak yang tumbuh di rumah ini." Kata-kata itu keluar dengan susah payah, serak, penuh luka. Wajah Laura memerah, suaranya parau, namun memekakkan hati. Jonathan masih menunduk. "Maaf, Ma," gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar. "Aku akan bertanggung jawab." Laura menatap tajam. "Dalam bentuk apa tanggung jawabmu?” "Menikahinya?" tanya Jonathan lirih, nyaris ragu dengan kata-katanya sendiri. Laura kembali menekan pelipisnya. "Kamu pikir dengan menikahinya semua akan selesai? Dia masih dua puluh satu tahun, Jonathan! Menikah bukan obat penawar racun yang sudah kamu tanam!" Jonathan mengangkat wajah. Matanya merah, wajahnya pucat. Ia terlihat seperti mayat hidup yang berjalan tanpa arah. "Aku cuma ingin memperbaiki semuanya," katanya lemah. "Memperbaiki?" Laura tertawa hambar. "Kamu pikir Amel akan bahagia mendengar kamu ingin menikahinya? Bahagia melihat wajahmu, mendengar suaramu, dan bangun di rumah yang sama dengan orang yang membuat dia takut bahkan untuk membuka mata?" Jonathan perlahan berlutut. Tangannya mencengkram rambutnya sendiri. "Aku tahu aku salah... aku cuma... aku tidak tahu harus ngapain lagi, Ma. Aku benar-benar tidak tahu." Laura memandangi anaknya dengan luka yang dalam. Air matanya menetes satu per satu. “Pikirkan, Jonathan. Bukan tentang kamu, tapi tentang dia.” Ia berbalik. Punggungnya gemetar. Suaranya parau. "Apa pun yang kamu lakukan setelah ini… bukan soal tanggung jawab, tapi soal bagaimana kamu tidak lagi menambah luka. Satu langkah salah lagi, dan kamu akan menghancurkannya seumur hidup." Di hari itu, Laura tahu, ia tidak hanya kehilangan anak laki-lakinya. Ia kehilangan kepercayaan—dan mungkin, bagian dari dirinya sendiri. Tapi satu hal yang belum Jonathan tahu—dampak dari malam itu baru saja dimulai. **9 bulan kemudian. Di ruang bersalin, semua menunggu dengan cemas di depan pintu. Ratna, Laura, dan Raden—mereka semua tak ingin melewatkan momen penting itu.Tapi di tengah keheningan itu, tiba-tiba, suasana berubah menjadi genting ketika terdengar suara tangisan Jonathan dari dalam ruangan.Wajah mereka seketika pucat dan panik. Laura menggenggam erat tangan rapuh Ratna, mencoba menenangkan diri sendiri sekaligus orang di sampingnya.“Apa yang terjadi di dalam? Kenapa Jonathan menangis di sana?” tanya Laura dengan suara gemetar, matanya menatap Ratna penuh kekhawatiran. Ia juga hampir tak kuasa menahan tangis karena mulai memikirkan bagian terburuk. Ratna semakin cemas. Suara tangisan Jonathan terdengar begitu keras hingga membuat jantungnya ikut berdebar.“Semoga cucu dan menantuku baik-baik saja, Tuhan… Kami memohon padaMu,” doa Laura lirih, suaranya dipenuhi harap dan kecemasan.Sementara itu, di ruang bersalin, Amel yang tengah menahan sakit juga harus menenangkan Jonathan yang
Beberapa bulan berlalu, kehidupan rumah tangga Amel dan Jonathan berjalan begitu harmonis. Namun, pagi itu Amel terbangun dengan tubuh yang terasa lemah, perutnya mual, dan muntah-muntah untuk kesekian kalinya. Wajahnya pucat, tubuhnya lunglai, hingga membuat Jonathan benar-benar khawatir.“Ayo kita ke rumah sakit,” ucap Jonathan cemas, bahkan sudah bersiap untuk menggendong Amel.Amel menggeleng pelan. “Tidak perlu, aku baik-baik saja,” jawabnya lirih.“Tapi, Amel—”“Aku hanya butuh istirahat sebentar. Nanti juga membaik,” ujarnya mencoba menenangkan Jonathan.Belum sempat Jonathan membalas, suara ketukan terdengar di pintu. Laura muncul sambil memberi kabar bahwa sarapan sudah siap. Dengan langkah pelan, Amel dan Jonathan menuju ruang makan.Namun begitu mencium aroma masakan dari dapur, rasa mual Amel semakin menjadi-jadi. Perutnya bergejolak hebat, membuatnya segera berlari ke wastafel. Ia memuntahkan isi perutnya di sana, merasa tak enak hati karena harus melakukannya di depan Ra
“Usia kehamilanku semakin bertambah, dan aku butuh tanggung jawabmu, Jonathan,” desis Fidya penuh penekanan.Jonathan tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh ke arah Amel. Tatapan mereka bertemu, dan Amel mengangguk pelan, memberi izin.Jonathan mengeluarkan sebuah alat perekam dari sakunya. Ia meletakkannya di atas meja, mendorongnya perlahan ke arah Fidya.Fidya mengernyit, wajahnya menegang penuh kebingungan. “Benda apa ini?”“In rekaman yang menyimpan kebenaran tentang kehamilanmu,” jawab Jonathan. Begitu tombol play ditekan, suara dalam rekaman memenuhi ruangan. Wajah Fidya pucat seketika, matanya membelalak tak percaya. Ia mengenali suara itu. Itu suaranya dan suara Marcell. Tidak bisa disangkal lagi.“Ini tidak benar, Jona. Kamu harus percaya padaku,” ucapnya terbata, panik.Jonathan menatapnya penuh luka sekaligus kecewa.“Aku pernah berpikir kau wanita terhormat, Fidya. Seseorang yang tidak akan merendahkan dirinya hanya demi menjebakku. Tapi ternyata aku salah.” “Jona…”
Namun sebelum rencana Jonathan untuk ikut menemani Fidya ke rumah sakit terlaksana, Raden justru menemukan sesuatu yang jauh lebih mengejutkan. Ia kembali membuntuti Fidya secara diam-diam. Meski tidak bisa masuk ke dalam lapas untuk menyaksikan langsung pertemuan Fidya dan Marcell, ia tidak terlalu khawatir, perekam kecil yang ia titipkan pada Nico sudah terpasang rapi di tas Fidya, persis sesuai arahan yang ia berikan sebelumnya. Dan ketika Raden mendengarkan rekaman itu, tubuhnya menegang. Suara Marcell terdengar jelas, dingin dan penuh perhitungan. “Kau harus pertahankan cerita itu, Fidya. Biarkan mereka percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah hasil dari Jonathan. Dengan begitu, posisi kita aman, dan keluarga Sailendra tidak akan bisa menolakmu lagi.”Tak lama, terdengar sahutan Fidya. Suaranya penuh kebencian, penuh dendam yang membara.“Ya! Amel harus menyingkir. Aku yang akan masuk ke keluarga Sailendra. Semua orang akan memandangku sebagai istri sah Jonathan. Tidak ada y
Raden menyipitkan mata dari kejauhan. Ia sudah mengikuti Fidya sejak wanita itu keluar dari kafe. Langkahnya ragu saat melihat mobil Fidya berhenti tepat di depan lapas kota. Hatinya langsung dipenuhi tanda tanya besar. “Untuk apa dia ke sini?” gumamnya pelan. Tak butuh waktu lama, Raden melihat Fidya masuk melewati pintu pemeriksaan, lalu menghilang di balik lorong panjang. Raden menunggu dengan sabar, menahan diri agar tidak gegabah. Sekitar setengah jam kemudian, Fidya keluar dengan wajah masam, namun di matanya jelas ada cahaya puas. Raden mengepalkan tangan di samping tubuhnya. “Dia menemui Marcell… berarti dugaan Jonathan benar. Mereka berdua masih bekerja sama.” Kecurigaan itu semakin kuat ketika Raden menyadari betapa hati-hatinya Fidya saat meninggalkan lapas, seakan sedang menyembunyikan sesuatu. Tak menunggu lama, Raden segera menyalakan mobilnya. Ia menghubungi Jonathan dengan suara tegas. “Jonathan, dugaanmu tidak salah. Fidya barusan menemui Marcell. Dan aku yakin
Jonathan menarik napas panjang, menatap mata istrinya yang basah. “Aku akan berusaha membuktikan semuanya, Amel,” ucapnya mantap, meski jauh di dalam hatinya masih ada keraguan yang menusuk. “Aku akan buktikan kalau semua ucapan Fidya itu salah. Kamu hanya perlu percaya padaku.” Amel terdiam, lalu mengangguk. Ia menunduk, tubuhnya sedikit bergetar sebelum akhirnya bersandar pada dada Jonathan. Ia membiarkan tangannya melingkari pinggang pria itu, membiarkan dirinya dikelilingi hangat tubuhnya. Meski hatinya belum sepenuhnya tenang, di dalam pelukan itu ia menemukan sedikit tempat untuk bernapas. Amel tahu, Jonathan tidak akan pernah ingkar. Pria itu akan menepati semua ucapannya. Jonathan merapatkan pelukannya, mencium pucuk kepala Amel seakan menegaskan janjinya. Amel mengangkat wajahnya pelan, matanya masih sembab. “Kenapa kamu begitu yakin untuk membuatku bertahan? Padahal aku tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan padamu, dan juga kamu tidak punya alasan apa pun untuk memilih







