Amel menahan napas. Ia ingin menyangkal—mengatakan tidak, menyebut dirinya hanya takut—tapi tak ada suara yang keluar. Matanya tak sanggup berpaling dari sorot tajam pria itu.
Jonathan menghela napas berat, seakan baru menyadari sesuatu yang selama ini tak pernah ia izinkan tumbuh di antara mereka. Jemarinya melonggar di pipi Amel, tapi tatapannya tak sedikit pun menjauh. “Kamu tidak perlu merasa kalah darinya,” ucap Jonathan pelan, seakan bicara lebih pada dirinya sendiri. “Karena sejak malam itu… hidupku sudah tidak lagi sama.” Amel diam. Kata-kata Jonathan barusan tentang malam itu menyentak sesuatu dalam dirinya. Ia tak yakin apakah harus merasa terluka, tersentuh, atau justru semakin bingung dengan perasaan yang makin tidak bisa ia kontrol. Jonathan masih menatapnya. Lalu pelan-pelan, tangannya bergerak kembali, menyentuh pipi Amel dengan lebih lembut dari sebelumnya. Ibu jarinya menyeka air mata yang entah kapan jatuh dari sudut mata gadis itu. “Amel,” suaranya rendah. “Aku tahu semuanya salah sejak awal. Tapi sekarang setiap kali kamu menatapku seperti ini, aku jadi takut.” “Takut apa?” suara Amel serak dan lirih. “Takut kalau aku mulai terbiasa dengan kehadiranmu. Takut kalau kamu bukan lagi bagian dari kesalahan, tapi dari sesuatu yang harus aku lindungi.” Amel tertegun. Dada gadis itu bergetar. Ia tak mampu menghindari tatapan Jonathan, dan detik berikutnya, Jonathan bergerak mendekat. Sangat dekat, hingga napas mereka bersentuhan. Tangannya bertumpu di sisi kepala Amel, membingkai wajah itu tanpa tekanan, namun dengan intensitas yang menusuk. "Amel," panggilnya lagi, seperti ucapannya sedang menguji sesuatu dalam hatinya. “Kamu bikin aku lupa siapa yang seharusnya aku perjuangkan.” Amel memejamkan mata. Jarak mereka terlampau dekat. Udara di antara mereka tebal oleh segala yang tak terucap. Tapi tepat saat itu, suara nyaring memecah semuanya. Ponsel Jonathan kembali berbunyi. Ia menoleh, menegakkan tubuhnya, seolah enggan meninggalkan suasana yang sempat membius mereka. Tangannya merogoh saku, dan ketika cahaya layar menyala, nama itu terpampang jelas: Fidya. Kedua mata Amel menajam. Ia ikut melihat. “Mau apa lagi dia?” suara Amel menurun dingin. Jonathan tidak menjawab. “Kalau dia terus muncul seperti ini,” suara Amel lirih, “aku harus mulai bertanya, sebenarnya aku ada di hidupmu sebagai siapa?” Wajah Jonathan berubah. Ada kerutan di keningnya, tatapan gelap yang berkecamuk entah antara terganggu atau bingung. “Pertanyaanmu tadi, Amel… itu menggangguku,” ucapnya pelan, nyaris seperti keluhan yang tak sanggup ia tahan lebih lama. Kalimat itu jatuh seperti tamparan. “Amel… kamu bahkan tahu betapa rumitnya semua ini,” lirihnya, jemarinya beralih meremas ponsel di genggamannya, sebelum akhirnya ia memasukkannya ke saku celana dengan gerakan kaku. “Kamu mau minum obat sekarang?” suaranya datar, seolah berusaha memutus percakapan yang terlalu dalam untuk dihadapi saat ini. Amel hanya mengangguk kecil. Tenggorokannya tercekat. “Aku ambil nasi dulu,” katanya akhirnya. Suara itu rendah, lelah, dan entah mengapa membuat dada Amel makin sesak. Begitu langkah Jonathan menjauh, Amel tak mampu lagi menahan air matanya. Ia mengusap wajahnya cepat-cepat. Tak lama kemudian, Jonathan kembali dengan nampan berisi nasi dan air putih. “Makan, lalu minum obatnya.” Jonathan meletakkan nampan, lalu masuk ke kamar mandi. Amel menatap ponsel yang ia tinggalkan di nakas. Getaran pelan kembali terdengar. Sebuah panggilan masuk. Nama itu terpampang jelas. Fidya. Tanpa berpikir, Amel meraih dan menolak panggilan itu. Tapi hanya beberapa detik berlalu sebelum panggilan kembali datang. Dia menatap nama itu dengan tatapan dingin, kali ini membiarkannya berdering. Lalu layar kembali gelap. Amel memandangi sisa makanannya. Ia suap cepat beberapa sendok, meneguk air, lalu minum obat. Begitu selesai, ia menatap kosong. Jonathan keluar dalam keadaan rapi. Wangi shampoo yang sama seperti yang Amel pakai pagi tadi tercium samar. Untuk pertama kalinya, Amel membiarkan dirinya menatap pria itu lekat-lekat. “Kak, perutku masih nyeri. Bisa tidak hari ini kakak temani aku disini?” suaranya pelan, tapi penuh harap. Jonathan menghentikan langkahnya. “Sudah minum obatnya?” Amel mengangguk. “Sudah, tapi aku takut kalau tiba-tiba sakit lagi saat kamu pergi. Apalagi Eyang dan mama Laura sedang tidak ada, dan... kalau kak Marcell datang lagi bagaimana?” Jonathan memperhatikan ekspresi Amel yang tampak benar-benar cemas. “Kamu yakin tidak mau ke rumah sakit?” “Tidak,” rengeknya. Suara itu lembut, menyentuh sesuatu dalam diri Jonathan yang tak bisa diabaikan. Jonathan mengambil ponsel, Amel merasa cemas. Belasan panggilan dan pesan yang belum dia baca dari Fidya. Ia menghela napas panjang, lalu akhirnya meletakkan ponselnya kembali ke meja. Ia duduk di samping Amel. Gadis itu menatapnya penuh harap. “Aku temani. Tapi kamu harus istirahat.” Amel tersenyum pelan. “Jangan pergi, ya?” Jonathan mengangguk, tersenyum tipis. Beberapa detik hening. Hanya terdengar bunyi AC yang menyala lembut. “Kak?” “Hm?” “Boleh tidak aku minta kamu buat usap perut aku?” Jonathan menoleh cepat. Permintaan itu—terlalu intim. Terlalu dalam. Tapi sorot mata Amel seakan menanti. Dia mengangguk pelan. Tangannya bergerak ke arah perut Amel, mengusapnya lembut. Gadis itu menutup mata. Hatinya sedikit tenang. Namun saat Jonathan berpaling sejenak untuk mengecek ponsel di meja, layar ponsel kembali menyala. Satu pesan baru masuk. Isinya penuh ancaman. “Aku tidak bisa diabaikan, Jona. Jika kamu tidak datang padaku, wanita itu akan kupastikan tidak akan pernah berani mengangkat kepalanya di depan siapapun!” **Pukul sebelas siang, Amel masih berdiri di dapur dengan celemek bergambar jeruk melingkar di pinggangnya. Tangannya sibuk mengaduk kuah sup jagung sementara wajahnya berseri-seri. Tadi pagi, Jonathan mengirimkan pesan yang katanya, dia akan pulang saat makan siang. Untuk itu, dari jam sembilan Amel sudah berkutat di dapur untuk masak. “Non Amel, perlu kami bantu?” tawar seorang asisten yang sedari tadi memperhatikan nona mudanya. Amel menggeleng. “Tidak perlu, Mbak. Aku bisa sendiri. Tapi kalau nanti aku butuh bantuan, aku akan bilang ke Mbak,” ujar Amel. Asisten itupun mengangguk sopan dan undur diri dari hadapan Amel. Sejam telah berlalu, meja makan sudah ditata rapi. Tumis buncis, ayam panggang madu, dan sup jagung kesukaan Jonathan sudah tersusun rapi. Semua tampak sempurna. Jam makan siang nyaris tiba ketika Amel memeriksa ponselnya lagi. Tidak ada pesan baru. Hanya pesan singkat dari Jonathan pagi tadi, “Siang ini aku akan pulang. Ayo kita makan siang bersama.” Kalim
Aroma roti yang hampir gosong menguar dari dapur, menyusup ke ruang makan seperti sinyal darurat. Beberapa kepulan asap tipis mengepul dari toaster yang dibiarkan terlalu lama menyala. Jonathan—dengan celemek abu-abu tergantung di lehernya dan satu roti gosong di tangan—menatap panik ke arah wajan di sebelah kanan, tempat sebutir telur nyaris meledak karena terlalu lama didiamkan. “Jonathan, astaga! Kamu masak atau mau bakar dapur?” seru Laura yang buru-buru menghampiri Jonathan. Tangannya sudah siap merebut spatula dari tangan putra sulungnya itu. “Aku bisa, ma. Tunggu sebentar,” jawab Jonathan terburu-buru. Ia buru-buru membalik telur, tapi malah membuatnya hancur tak berbentuk. Ratna yang mengekor dari belakang Laura hanya menengok karena penasaran. Lalu mendudukan dirinya di kursi meja makan. “Apa yang kamu lakukan sepagi ini, Jonathan?” tegur Ratna. “Memanggang roti dan goreng telur, eyang,” jawab Jonathan menatap miris telurnya yang hancur. “Kamu kan bisa minta tolong
Suasana malam nyaris sunyi, hanya suara jam dinding. Jonathan masih bertahan di sisi Amel tanpa mau mengusik tidurnya. Lalu tak lama pintu utama dibuka dari luar, terdengar langkah kaki menyentuh lantai marmer dengan tergesa. Jonathan mendongak, di sana Marcell datang dengan wajah letih dan ada sedikit kemarahan yang tertinggal. Langkah itu semakin dekat, lalu berhenti begitu melihatnya di ruang tengah.Marcell menyeringai sinis, berdiri dengan tangan menyilang di dada. “Baru kemarin kau membuat kegaduhan, dan malam ini berperan jadi suami yang setia pada istrimu.” Jonathan tak menyahut. Ia bangkit pelan-pelan, berhati-hati agar tidak membangunkan Amel. Lalu dengan satu gerakan lembut, ia mengangkat tubuh gadis itu dalam gendongan. “Turunkan suaramu!” tegur Jonathan tanpa menatapnya. “Dia lelah dan butuh istirahat.” Marcell melangkah mendekat. “Dia memang kelelahan, setelah semua yang telah kau lakukan padanya. Dan kau masih punya muka bersikap manis setelah mempermalukannya di de
Langit siang tampak bersih, tak sebanding dengan keruwetan yang masih menunggu di kantor. Tapi Jonathan sengaja pulang. Barangkali setengahnya untuk beristirahat, setengahnya lagi untuk memastikan keadaan Amel yang dia tinggal di pagi hari. Saat pintu rumah dibuka, aroma kaldu gurih menyambutnya. Asisten rumah yang membuka pintu memberi salam.“Amel di mana?” tanya Jonathan langsung tanpa basa-basi. “Di meja makan, pak. Sedang menunggu anda,” jawab Asisten rumah itu sambil tersenyum. Jonathan langsung menuju meja makan, langkahnya pelan menapaki lantai marmer. Dadanya berdesir saat melihat punggung kecil itu duduk sendirian di meja panjang. Rambutnya dikuncir seadanya. Wajahnya yang tanpa riasan tampak lebih berisi.Amel mendongak begitu mendengar suara langkah. Matanya sedikit melebar. “Kakak?” panggilnya, wajahnya berseri tanpa sadar.Jonathan menarik kursi dan duduk disampingnya. Ia menatap meja, lalu menatap wajah Amel. “Kamu sudah makan?” Amel menggeleng. “Aku menunggumu.”H
Pukul tujuh pagi, Jonathan membuka mata dengan kepala berat dan tubuh yang belum sempat beristirahat. Matanya merah, pundaknya nyeri. Dia hanya tidur sejam—jika bisa disebut tidur. Dia bangkit mencoba tidak membuat suara sekecil apapun. Di sisi tempat tidur, Amel masih terlelap, wajahnya tenang di bawah selimut. Tangannya terulur meraih ponsel di atas meja. Matanya sibuk membaca deretan pesan dan pastinya tautan-tautan yang muncul di sana. Sesuai tebakannya, pagi ini namanya kembali menghiasi layar berita gosip.Dengan tema, “Direktur Sailendra tertangkap kamera merangkul mantan kekasih di acara resmi perusahaan.”Dia menggeleng pelan lalu meletakan kembali ponselnya di atas meja dan bersiap pergi ke kantor. Jonathan keluar dari kamar melewati ruang makan. Pagi itu meja makan kosong, Ratna dan Laura sudah pasti telah berangkat ke kantor, dan Marcell sepertinya menginap di Bar dari semalam. Sebelum keluar, dia sempat berpesan singkat ke mbak di dapur untuk memasak bubur ayam dan re
Hampir pukul lima pagi saat Jonathan masuk ke kamar membawa semangkuk ikan rebus dan nasi panas di atas nampan kecil. Bau jahe dan bawang putih menyengat memenuhi ruangan. Di ranjang, Amel masih terjaga, bersandar di kepala ranjang. “Aku sudah masak,” gumam Jonathan canggung, duduk di sisi ranjang. “Entah rasanya bisa dimakan atau tidak,” sambungnya lagi. Amel mengangkat alis pelan, lalu meraih nampan itu. “Kamu masak sendiri?” Jonathan mengangguk. Tangannya sibuk mengusap tengkuk, seperti sedang menyesali keputusannya masuk dapur tanpa arahan. “Ya, kamu yang minta, kan?” Mata Amel memanas, ia tidak menyangka kalau di balik kekacauan dan luka, pria itu masih sempat melakukan hal kecil untuknya. Bahkan ketika tampilan ikannya tampak tidak menggiurkan sama sekali lalu potongan jahe dan bawang putih yang tidak enak dipandang, dia tetap suka. Ia mencicipi kuahnya perlahan. Matanya menyipit. Rasanya tidak jelas dan aneh. Tapi ada sesuatu di sana yang membuat hatinya menghangat da