LOGINPagi itu, keheningan di meja makan membuat suasana sedikit tidak nyaman. Ratna duduk di kursi paling ujung, menyesap teh hangat sambil membaca koran tanpa sepatah kata. Laura tampak gelisah, menatap Amel yang memindah-mindah nasi di piringnya.
Di sisi lain meja, Marcell duduk santai dengan lengan kemeja hitam bergulung hingga siku. Tatapan matanya tajam, tak pernah lepas dari wajah Amel. Pandangan itu membuat tengkuknya dingin, seolah mengingatkan bahwa ia sedang diawasi setiap detik. “Amel, kamu makan terlalu sedikit,” tegur Laura lembut, tapi terdengar cemas. “Perutku masih agak perih, Ma,” jawab Amel pelan. Marcell mencondongkan tubuh. Bibirnya terangkat dalam senyum tipis yang tak menyenangkan. “Kamu harus banyak makan. Lagi pula bukan hanya kamu sendiri yang perlu dijaga,” katanya, tatapannya turun perlahan ke perut Amel, meski belum ada perubahan apa pun di sana. Ratna menurunkan surat kabar, menatapnya dari balik kacamata baca. “Benar kata Marcell,” ucapnya, nadanya pelan, tapi tegas. “Kesehatanmu penting untuk saat ini, ada cicitku di sana dan dia membutuhkan banyak nutrisi.” Jonathan duduk di sisi Amel, merapikan jasnya. “Eyang, Amel masih belum enak badan. Tidak perlu memaksanya.” “Ini bukan paksaan, Jonathan,” balas Ratna, menatapnya tajam. “Kalau dia sakit, kami semua juga khawatir.” Jonathan hanya mengangguk. “Baik, Eyang.” Laura menyela, suaranya lebih lembut. “Mama sudah hubungi dokter Dina. Siang nanti beliau datang memeriksa perutmu, sayang.” Amel menunduk, menelan ludah yang terasa pahit. “Iya, Ma,” jawabnya. Keheningan kembali merayap sebelum Jonathan berdiri dari kursinya. “Aku harus berangkat. Ada rapat penting,” katanya, menoleh pada Amel. Tatapannya berubah lebih lembut. “Kalau ada apa-apa, langsung kabari aku.” Amel hanya mengangguk kecil. Matanya ingin memohon agar dia tidak pergi, tapi bibirnya tidak sanggup mengeluarkan kata apapun. Jonathan baru melangkah ketika suara Marcell terdengar. “Kalau kamu sibuk… aku bisa tinggal di sini untuk menemaninya,” ucap Marcell santai, seakan sekadar menawarkan bantuan ringan. Jonathan langsung berbalik, sorot matanya tajam. “Jangan pernah coba-coba,” suaranya rendah, penuh ancaman yang tak tersamar. Marcell hanya menaikkan alis, meneguk kopinya perlahan. “Aku hanya peduli pada keluarga. Apa salahnya?” Jonathan tak menjawab. Ia hanya berpaling lagi pada Amel, menatapnya dalam-dalam. “Aku pulang sore. Jangan takut.” Sekali lagi, Amel mengangguk, suaranya hilang di tenggorokan. Begitu Jonathan pergi, Marcell menurunkan cangkirnya ke meja dengan denting kecil yang membuat Amel terlonjak, ia menegakkan punggung. “Aku mau ke kamar,” ucapnya cepat. Marcell meraih pergelangan tangannya sekilas. Sentuhan itu singkat, tapi cukup untuk membuat jantung Amel berdetak kencang tak karuan. “Amel,” bisiknya, nadanya nyaris terdengar lembut, justru makin mengerikan. “Jangan lupa… aku akan lebih sering ada di dekatmu.” Tubuh Amel kaku seketika. Ia menarik tangannya perlahan, tak berani menatap balik. Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan meninggalkan meja makan dengan langkah cepat, berusaha sekuat tenaga menahan gemetar di sekujur tubuhnya. ** Setelah dokter Dina memeriksa perut Amel, ia menutup map rekam medis sambil menghela napas pendek. “Dia baik-baik saja. Nyeri perutnya akibat stres dan kurang istirahat. Tidak ada tanda komplikasi serius,” ujar Dina tenang. Laura menarik napas lega. Ia mengusap kepala Amel dengan lembut, senyumnya penuh kasih sayang. “Terima kasih, Dok,” katanya pelan. “Sama-sama. Saya akan meresepkan vitamin dan pereda nyeri ringan. Kalau keluhannya bertambah, segera bawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lanjutan.” “Baik,” jawab Laura sambil berdiri untuk mengantar Dina keluar kamar. Sebelum pergi, Laura menoleh pada Amel. “Mama tinggal dulu. Kalau ada apa-apa, langsung ke kamar Mama, ya?” Amel mengangguk. “Iya, Ma.” Saat pintu menutup, kesunyian kembali memenuhi ruangan. Tubuh Amel terasa ringan sekaligus kosong. Ia berbaring, mencoba memejamkan mata. Entah berapa lama ia terlelap, hingga sebuah sentuhan lembut di kepalanya membuatnya tersadar. Perlahan, ia membuka mata. Senyum tipis sempat terbit di bibirnya, berharap di sisinya itu Jonathan. Tapi senyum itu seketika pudar. “Kak Marcell?” bisiknya kaget. Tubuhnya refleks mundur. Marcell duduk di sisi ranjang, menatapnya tanpa berkedip. “Kamu sudah bangun.” Suaranya tenang, seakan mereka hanya sedang bercakap biasa. “Untuk apa kamu di sini?” Suara Amel serak, matanya menatap pintu seakan mencari pertolongan. “Aku hanya memastikan kamu baik-baik saja. Bagaimana kalau tiba-tiba kamu membutuhkan sesuatu?” “Mama mana?” tanyanya cepat. “Keluar sebentar. Mau ku hubungi dia?” Marcell menaikkan sebelah alis. “Ah, rasanya tidak perlu. Ada aku disini.” “Keluar!” Suaranya lirih. “Kumohon.” Marcell menatapnya lama. Tatapan itu membuat Amel ingin beringsut lebih jauh. Akhirnya, ia menghela napas pendek, berdiri. “Baiklah. Tapi ingat,” ujarnya pelan, nadanya lebih menyerupai ancaman yang dibungkus kepedulian. “Aku akan selalu datang tepat waktu… kapanpun kamu butuh atau saat aku ingin datang.” “Aku tidak butuh apapun darimu,” bisik Amel. Marcell hanya menekuk bibirnya dalam senyum kecil sebelum melangkah keluar, menutup pintu dengan bunyi pelan. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel di atas nakas. Layarnya tetap kosong—tak satupun pesan masuk. Padahal ia menunggu kabar dari Jonathan. Jam sudah hampir pukul tiga sore. Beberapa kali ia menoleh ke pintu, berharap suara langkah kaki yang dirindukan. Hingga akhirnya gagang pintu bergerak. Amel langsung menegakkan punggung, seulas senyum lega sempat merekah. Namun senyum itu mati begitu saja. Di ambang pintu, Fidya berdiri tegak dengan mantel hijau tua. Mata perempuan itu sembab, tapi sorotan tajam, seakan melihat musuh lamanya. “Aku ingin bicara,” suaranya datar. Amel menurunkan kakinya dari ranjang. “Siapa yang menyuruhmu masuk ke rumah ini?” tanyanya dingin. “Marcell.” Fidya melangkah masuk. “Dia membiarkanku masuk. Katanya aku bisa menemuimu di kamar.” “Keluar. Aku tidak mau bicara apa pun denganmu.” “Kita harus bicara.” Fidya berhenti hanya setengah langkah darinya. “Tentang aku dan Jonathan.” “Bukankah sudah jelas kalau hubungan kalian sudah berakhir?” Fidya terkekeh pelan, suaranya getir. “Kau pikir bisa mengambilnya dariku? Jangan berharap dia akan mencintaimu seperti dia mencintaiku. Sembilan tahun kami bersama. Kau pikir hadirmu bisa menghapus segalanya?” “Tapi aku istrinya. Dan bagaimanapun awalnya, aku tetap istri sahnya.” Amel menutup mata sejenak. “Faktanya, aku yang mendampinginya sekarang, besok, dan seterusnya.” Fidya mendekat. “Kalau begitu bersiaplah. Karena hari-hari berikutnya tidak akan memberimu belas kasihan.” Amel menahan napas, jarinya mengepal di sisi tubuh. “Kalau saja malam itu kalian tidak bertengkar… mungkin aku masih kuliah. Masih punya hidupku sendiri. Tapi sekarang… aku yang harus menanggung semua akibatnya.” “Kau anak kecil yang tidak tahu apapun!” bentak Fidya, suara bergetar. Amel tertawa pendek, getir. “Mungkin. Tapi pada akhirnya akulah yang jadi korban dari kebodohan kalian. Dan aku tidak akan mundur. Bahkan tanpa anak ini, Jonathan Sailendra tetap suamiku.” Mata Fidya memerah. Tangannya terangkat, siap menghantam wajah Amel. Namun suara langkah kaki terdengar dari lorong. Gagang pintu bergerak perlahan. Mereka sama-sama menoleh. “Amel?” Suara Jonathan terdengar dari balik pintu. **9 bulan kemudian. Di ruang bersalin, semua menunggu dengan cemas di depan pintu. Ratna, Laura, dan Raden—mereka semua tak ingin melewatkan momen penting itu.Tapi di tengah keheningan itu, tiba-tiba, suasana berubah menjadi genting ketika terdengar suara tangisan Jonathan dari dalam ruangan.Wajah mereka seketika pucat dan panik. Laura menggenggam erat tangan rapuh Ratna, mencoba menenangkan diri sendiri sekaligus orang di sampingnya.“Apa yang terjadi di dalam? Kenapa Jonathan menangis di sana?” tanya Laura dengan suara gemetar, matanya menatap Ratna penuh kekhawatiran. Ia juga hampir tak kuasa menahan tangis karena mulai memikirkan bagian terburuk. Ratna semakin cemas. Suara tangisan Jonathan terdengar begitu keras hingga membuat jantungnya ikut berdebar.“Semoga cucu dan menantuku baik-baik saja, Tuhan… Kami memohon padaMu,” doa Laura lirih, suaranya dipenuhi harap dan kecemasan.Sementara itu, di ruang bersalin, Amel yang tengah menahan sakit juga harus menenangkan Jonathan yang
Beberapa bulan berlalu, kehidupan rumah tangga Amel dan Jonathan berjalan begitu harmonis. Namun, pagi itu Amel terbangun dengan tubuh yang terasa lemah, perutnya mual, dan muntah-muntah untuk kesekian kalinya. Wajahnya pucat, tubuhnya lunglai, hingga membuat Jonathan benar-benar khawatir.“Ayo kita ke rumah sakit,” ucap Jonathan cemas, bahkan sudah bersiap untuk menggendong Amel.Amel menggeleng pelan. “Tidak perlu, aku baik-baik saja,” jawabnya lirih.“Tapi, Amel—”“Aku hanya butuh istirahat sebentar. Nanti juga membaik,” ujarnya mencoba menenangkan Jonathan.Belum sempat Jonathan membalas, suara ketukan terdengar di pintu. Laura muncul sambil memberi kabar bahwa sarapan sudah siap. Dengan langkah pelan, Amel dan Jonathan menuju ruang makan.Namun begitu mencium aroma masakan dari dapur, rasa mual Amel semakin menjadi-jadi. Perutnya bergejolak hebat, membuatnya segera berlari ke wastafel. Ia memuntahkan isi perutnya di sana, merasa tak enak hati karena harus melakukannya di depan Ra
“Usia kehamilanku semakin bertambah, dan aku butuh tanggung jawabmu, Jonathan,” desis Fidya penuh penekanan.Jonathan tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh ke arah Amel. Tatapan mereka bertemu, dan Amel mengangguk pelan, memberi izin.Jonathan mengeluarkan sebuah alat perekam dari sakunya. Ia meletakkannya di atas meja, mendorongnya perlahan ke arah Fidya.Fidya mengernyit, wajahnya menegang penuh kebingungan. “Benda apa ini?”“In rekaman yang menyimpan kebenaran tentang kehamilanmu,” jawab Jonathan. Begitu tombol play ditekan, suara dalam rekaman memenuhi ruangan. Wajah Fidya pucat seketika, matanya membelalak tak percaya. Ia mengenali suara itu. Itu suaranya dan suara Marcell. Tidak bisa disangkal lagi.“Ini tidak benar, Jona. Kamu harus percaya padaku,” ucapnya terbata, panik.Jonathan menatapnya penuh luka sekaligus kecewa.“Aku pernah berpikir kau wanita terhormat, Fidya. Seseorang yang tidak akan merendahkan dirinya hanya demi menjebakku. Tapi ternyata aku salah.” “Jona…”
Namun sebelum rencana Jonathan untuk ikut menemani Fidya ke rumah sakit terlaksana, Raden justru menemukan sesuatu yang jauh lebih mengejutkan. Ia kembali membuntuti Fidya secara diam-diam. Meski tidak bisa masuk ke dalam lapas untuk menyaksikan langsung pertemuan Fidya dan Marcell, ia tidak terlalu khawatir, perekam kecil yang ia titipkan pada Nico sudah terpasang rapi di tas Fidya, persis sesuai arahan yang ia berikan sebelumnya. Dan ketika Raden mendengarkan rekaman itu, tubuhnya menegang. Suara Marcell terdengar jelas, dingin dan penuh perhitungan. “Kau harus pertahankan cerita itu, Fidya. Biarkan mereka percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah hasil dari Jonathan. Dengan begitu, posisi kita aman, dan keluarga Sailendra tidak akan bisa menolakmu lagi.”Tak lama, terdengar sahutan Fidya. Suaranya penuh kebencian, penuh dendam yang membara.“Ya! Amel harus menyingkir. Aku yang akan masuk ke keluarga Sailendra. Semua orang akan memandangku sebagai istri sah Jonathan. Tidak ada y
Raden menyipitkan mata dari kejauhan. Ia sudah mengikuti Fidya sejak wanita itu keluar dari kafe. Langkahnya ragu saat melihat mobil Fidya berhenti tepat di depan lapas kota. Hatinya langsung dipenuhi tanda tanya besar. “Untuk apa dia ke sini?” gumamnya pelan. Tak butuh waktu lama, Raden melihat Fidya masuk melewati pintu pemeriksaan, lalu menghilang di balik lorong panjang. Raden menunggu dengan sabar, menahan diri agar tidak gegabah. Sekitar setengah jam kemudian, Fidya keluar dengan wajah masam, namun di matanya jelas ada cahaya puas. Raden mengepalkan tangan di samping tubuhnya. “Dia menemui Marcell… berarti dugaan Jonathan benar. Mereka berdua masih bekerja sama.” Kecurigaan itu semakin kuat ketika Raden menyadari betapa hati-hatinya Fidya saat meninggalkan lapas, seakan sedang menyembunyikan sesuatu. Tak menunggu lama, Raden segera menyalakan mobilnya. Ia menghubungi Jonathan dengan suara tegas. “Jonathan, dugaanmu tidak salah. Fidya barusan menemui Marcell. Dan aku yakin
Jonathan menarik napas panjang, menatap mata istrinya yang basah. “Aku akan berusaha membuktikan semuanya, Amel,” ucapnya mantap, meski jauh di dalam hatinya masih ada keraguan yang menusuk. “Aku akan buktikan kalau semua ucapan Fidya itu salah. Kamu hanya perlu percaya padaku.” Amel terdiam, lalu mengangguk. Ia menunduk, tubuhnya sedikit bergetar sebelum akhirnya bersandar pada dada Jonathan. Ia membiarkan tangannya melingkari pinggang pria itu, membiarkan dirinya dikelilingi hangat tubuhnya. Meski hatinya belum sepenuhnya tenang, di dalam pelukan itu ia menemukan sedikit tempat untuk bernapas. Amel tahu, Jonathan tidak akan pernah ingkar. Pria itu akan menepati semua ucapannya. Jonathan merapatkan pelukannya, mencium pucuk kepala Amel seakan menegaskan janjinya. Amel mengangkat wajahnya pelan, matanya masih sembab. “Kenapa kamu begitu yakin untuk membuatku bertahan? Padahal aku tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan padamu, dan juga kamu tidak punya alasan apa pun untuk memilih







