Pintu kamar tertutup, suara langkah Marcell menghilang di baliknya. Amel menunduk, memegangi perutnya yang terasa kencang, seakan ikut menolak semua ketakutan yang merayap dalam benaknya. Ia menarik napas dalam, tapi tidak mampu menenangkan debaran di dadanya.
Entah apa yang lebih menakutkan: tatapan Marcell yang gelap, ancamannya, atau kenyataan bahwa pria itu sudah memperhatikannya sejak lama. Pintu kembali terbuka, dan kini rona takut itu berganti kelegaan hingga matanya bergetar. Sudut bibirnya tertarik ke atas secara spontan. Jonathan sudah berdiri di ambang, tangan kirinya menggenggam kantong berisi obat. “Amel,” katanya, langsung menghampiri. “Aku langsung kembali begitu terima telpon darimu." Suara itu—lembut, tulus, dan penuh kepanikan. Tanpa sempat berkata apa pun, Amel melangkah maju dan merengkuh pinggangnya. Kedua tangannya melingkar erat di punggung Jonathan, seolah jika ia melepaskan, semua yang menakutkan akan kembali merayap. Pria itu sempat terkejut, tubuhnya menegang. Tapi kemudian jemarinya terulur, meraba kepala Amel, menepuk pelan seakan memastikan ia nyata di sana. “Ada apa?” Jonathan bertanya sambil menarik diri sedikit, menatap wajah Amel yang sembab. “Tadi ada yang datang,” bisiknya nyaris tak terdengar. “Siapa?” dahi Jonathan mengernyit. "Kak Marcell… dia masuk ke sini.” Suara Amel bergetar. Wajah Jonathan mengeras seketika. “Apa dia melakukan sesuatu?” serunya, matanya penuh kepanikan. Amel menggeleng lirih. “Dia cuma bilang, dia akan sering datang menemuiku kapanpun dia mau, dan aku tidak boleh menolaknya.” Jonathan menarik napas tajam. “Jangan dengarkan dia! Dia sudah hilang akal.” Amel hanya mengangguk pelan. Lalu ia menunduk, suaranya berubah pelan dan dalam. “Kak, jangan tinggalin aku sendirian lagi. Aku takut kak Marcell akan datang kalau kamu pergi.” Jonathan menghela napas berat. Kedua tangannya menangkup pipi Amel, memaksanya mendongak. Mata mereka bertaut—mata Jonathan yang gelap dan penuh kemarahan, bercampur rasa bersalah. “Aku minta maaf,” desisnya pelan. “Seharusnya aku tidak membiarkanmu sendiri.” Amel hanya menggeleng, air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. “Aku takut.” Jonathan menunduk lebih dekat hingga kening mereka nyaris bersentuhan. “Aku janji, Amel. Dia tidak akan menyentuhmu lagi. Tidak akan pernah.” Jantung Amel mencelos. Tatapan itu, kalimat itu—terlalu mudah membuatnya ingin percaya. Padahal ia tahu, ia tidak seharusnya bergantung sedalam ini pada pria yang dulu ia panggil kakak. Tapi saat ini, dalam dekapan Jonathan yang hangat, Amel membiarkan dirinya memejamkan mata. Membiarkan ketakutannya mereda meski hanya sementara. Dan di relung hatinya yang paling dalam, ia sadar satu hal: Rasa aman ini semakin membuatnya tidak rela jika Jonathan kembali pergi ke pelukan wanita lain. “Perut sebelah mana yang sakit?” tanya Jonathan seraya menuntunnya ke sisi ranjang. Amel membenarkan cara duduknya lalu menunjuk perut yang terasa perih sedari tadi. Jonathan duduk disebelahnya. “Kamu tadi makan apa saja setelah sarapan?” tanyanya pelan. Amel memiringkan kepalanya mengingat apa saja yang dia makan saat setelah sarapan. “Hmm… aku sempat minta mangga muda sama sambal ke mbak. Mungkin karena itu,” jawabnya sambil tersenyum kecut, menyadari betapa sembrono tindakannya. Jonathan menghela napas. “Lain kali perhatikan apa yang kamu makan. Lambung kamu sensitif, apalagi sekarang kamu sedang hamil, janin kamu butuh makanan sehat. Ini, sudah aku belikan obat, sebelumnya aku sudah konsultasi dengan dokter keluarga dan beliau bilang obatnya aman buat ibu hamil." Amel mengangguk kecil. “Iya, kak, maaf ngerepotin.” Jonathan menggeleng. “Sama sekali tidak.” Setelah memastikan Amel nyaman, Jonathan bangkit dari duduknya. “Aku ambil makanan biar kamu bisa langsung minum obatnya.” Amel mengangguk. Tapi sebelum pria itu benar-benar melangkah ke pintu, suara lirih memanggilnya. “Kak Jonathan?” Jonathan menoleh. “Iya?” “Anak ini…” Amel menyentuh perutnya. Tatapannya ragu. “Kamu menerimanya juga, kan?” Jonathan terdiam sejenak. Sekejap matanya meredup, seakan menimbang sesuatu yang tak sederhana. Perlahan, ia menunduk, menatap perut Amel, lalu kembali menatap wajahnya. Ia mengangguk pelan, mengukir senyum tipis. “Ya,” jawabnya pelan, suaranya terdengar lebih jujur. “Aku menerimanya. Dia alasan kenapa aku ada disini.” Amel menunduk, gigit bibirnya. Kalimat itu—salah satu alasan—entah kenapa lebih menyakitkan daripada jika Jonathan tak menjawab sama sekali. “Kalau bukan karena bayi itu, kamu pikir dia akan memilihmu, menikahimu? Jangan bodoh, Amel.” Kata-kata Marcell kembali menghantamnya. Amel menarik napas panjang, lalu menegakkan kepala, menatap mata pria itu tanpa berkedip. “Lalu aku?” Suaranya nyaris hanya desis, tapi ada keteguhan yang baru tumbuh di sana. “Bagaimana dengan aku… sebagai Amel? Bukan sekadar ibu dari anak ini. Bukan sekadar beban tanggung jawab yang harus kamu pikul.” Jonathan tak langsung menjawab. Pandangannya jatuh ke lantai seakan mencari jawaban di sana, lalu perlahan naik kembali. Tatapan mereka bertemu, lama, berat, seolah saling menuntut pengakuan yang tak terucap. Namun, sebelum ia bisa membuka mulut, ponselnya bergetar di saku celana. Satu pesan masuk. Jonathan merogoh ponsel dari sakunya. Saat ia membaca layar, raut wajahnya berubah. Matanya memburam dengan helaan nafas yang begitu lelah. “Siapa?” tanya Amel lirih, jantungnya berdetak tak karuan berharap bukan nama itu yang akan diucapkan oleh Jonathan. Jonathan diam sejenak lalu menjawab pelan. “Fidya.” Hening menggantung di antara mereka. Tangan Amel mengepal di atas selimut, matanya yang bulat sembab itu menatap tajam. “Kamu mau menemuinya lagi?” tanyanya, pelan tapi ketus. “Apa tidak cukup dia datang kemari, merendahkanku di depan keluargamu? Apa tidak cukup dia membuatku merasa seperti penjahat?” Jonathan menahan napas. “Amel…” “Tolong jawab.” Matanya menatap lurus, berkaca-kaca. “Kalau kakak mau pergi padanya, bilang saja. Aku bisa terima kalau memang aku hanya kewajiban. Tapi jangan buat aku berharap kalau akhirnya aku tetap akan ditinggalkan.” Jonathan terdiam. Nafasnya berat, raut wajahnya sendu. Amel menyadari—di balik keteguhan pria itu, ada luka yang juga belum sembuh. Tapi dia tidak ingin peduli. Karena kalau ia peduli, ia akan kalah pada perasaan yang sejak lama ingin ia tolak. Dan ketika Jonathan masih tetap diam, Amel menunduk, suaranya merosot lebih pelan. “Setidaknya… sekali saja, aku ingin merasa kalau kehadiranku cukup untuk membuatmu bertahan di sini.” Suara Amel meredup di akhir kalimat. Jonathan menatap gadis itu lama, seakan mencoba memastikan ia tak salah dengar. Dada pria itu naik-turun pelan, matanya menatap Amel penuh pertanyaan yang tak berani langsung diucapkan. Perlahan, ia melangkah mendekat. Jemarinya terulur, meraih dagu Amel agar wajah mereka sejajar. Tatapan itu begitu dekat, menelusup jauh ke dalam dada Amel hingga ia hampir tak sanggup menahan debar. “…Kamu… cemburu padanya?” suara Jonathan serak, nyaris seperti bisikan. “Pada Fidya?” **Pukul sebelas siang, Amel masih berdiri di dapur dengan celemek bergambar jeruk melingkar di pinggangnya. Tangannya sibuk mengaduk kuah sup jagung sementara wajahnya berseri-seri. Tadi pagi, Jonathan mengirimkan pesan yang katanya, dia akan pulang saat makan siang. Untuk itu, dari jam sembilan Amel sudah berkutat di dapur untuk masak. “Non Amel, perlu kami bantu?” tawar seorang asisten yang sedari tadi memperhatikan nona mudanya. Amel menggeleng. “Tidak perlu, Mbak. Aku bisa sendiri. Tapi kalau nanti aku butuh bantuan, aku akan bilang ke Mbak,” ujar Amel. Asisten itupun mengangguk sopan dan undur diri dari hadapan Amel. Sejam telah berlalu, meja makan sudah ditata rapi. Tumis buncis, ayam panggang madu, dan sup jagung kesukaan Jonathan sudah tersusun rapi. Semua tampak sempurna. Jam makan siang nyaris tiba ketika Amel memeriksa ponselnya lagi. Tidak ada pesan baru. Hanya pesan singkat dari Jonathan pagi tadi, “Siang ini aku akan pulang. Ayo kita makan siang bersama.” Kalim
Aroma roti yang hampir gosong menguar dari dapur, menyusup ke ruang makan seperti sinyal darurat. Beberapa kepulan asap tipis mengepul dari toaster yang dibiarkan terlalu lama menyala. Jonathan—dengan celemek abu-abu tergantung di lehernya dan satu roti gosong di tangan—menatap panik ke arah wajan di sebelah kanan, tempat sebutir telur nyaris meledak karena terlalu lama didiamkan. “Jonathan, astaga! Kamu masak atau mau bakar dapur?” seru Laura yang buru-buru menghampiri Jonathan. Tangannya sudah siap merebut spatula dari tangan putra sulungnya itu. “Aku bisa, ma. Tunggu sebentar,” jawab Jonathan terburu-buru. Ia buru-buru membalik telur, tapi malah membuatnya hancur tak berbentuk. Ratna yang mengekor dari belakang Laura hanya menengok karena penasaran. Lalu mendudukan dirinya di kursi meja makan. “Apa yang kamu lakukan sepagi ini, Jonathan?” tegur Ratna. “Memanggang roti dan goreng telur, eyang,” jawab Jonathan menatap miris telurnya yang hancur. “Kamu kan bisa minta tolong
Suasana malam nyaris sunyi, hanya suara jam dinding. Jonathan masih bertahan di sisi Amel tanpa mau mengusik tidurnya. Lalu tak lama pintu utama dibuka dari luar, terdengar langkah kaki menyentuh lantai marmer dengan tergesa. Jonathan mendongak, di sana Marcell datang dengan wajah letih dan ada sedikit kemarahan yang tertinggal. Langkah itu semakin dekat, lalu berhenti begitu melihatnya di ruang tengah.Marcell menyeringai sinis, berdiri dengan tangan menyilang di dada. “Baru kemarin kau membuat kegaduhan, dan malam ini berperan jadi suami yang setia pada istrimu.” Jonathan tak menyahut. Ia bangkit pelan-pelan, berhati-hati agar tidak membangunkan Amel. Lalu dengan satu gerakan lembut, ia mengangkat tubuh gadis itu dalam gendongan. “Turunkan suaramu!” tegur Jonathan tanpa menatapnya. “Dia lelah dan butuh istirahat.” Marcell melangkah mendekat. “Dia memang kelelahan, setelah semua yang telah kau lakukan padanya. Dan kau masih punya muka bersikap manis setelah mempermalukannya di de
Langit siang tampak bersih, tak sebanding dengan keruwetan yang masih menunggu di kantor. Tapi Jonathan sengaja pulang. Barangkali setengahnya untuk beristirahat, setengahnya lagi untuk memastikan keadaan Amel yang dia tinggal di pagi hari. Saat pintu rumah dibuka, aroma kaldu gurih menyambutnya. Asisten rumah yang membuka pintu memberi salam.“Amel di mana?” tanya Jonathan langsung tanpa basa-basi. “Di meja makan, pak. Sedang menunggu anda,” jawab Asisten rumah itu sambil tersenyum. Jonathan langsung menuju meja makan, langkahnya pelan menapaki lantai marmer. Dadanya berdesir saat melihat punggung kecil itu duduk sendirian di meja panjang. Rambutnya dikuncir seadanya. Wajahnya yang tanpa riasan tampak lebih berisi.Amel mendongak begitu mendengar suara langkah. Matanya sedikit melebar. “Kakak?” panggilnya, wajahnya berseri tanpa sadar.Jonathan menarik kursi dan duduk disampingnya. Ia menatap meja, lalu menatap wajah Amel. “Kamu sudah makan?” Amel menggeleng. “Aku menunggumu.”H
Pukul tujuh pagi, Jonathan membuka mata dengan kepala berat dan tubuh yang belum sempat beristirahat. Matanya merah, pundaknya nyeri. Dia hanya tidur sejam—jika bisa disebut tidur. Dia bangkit mencoba tidak membuat suara sekecil apapun. Di sisi tempat tidur, Amel masih terlelap, wajahnya tenang di bawah selimut. Tangannya terulur meraih ponsel di atas meja. Matanya sibuk membaca deretan pesan dan pastinya tautan-tautan yang muncul di sana. Sesuai tebakannya, pagi ini namanya kembali menghiasi layar berita gosip.Dengan tema, “Direktur Sailendra tertangkap kamera merangkul mantan kekasih di acara resmi perusahaan.”Dia menggeleng pelan lalu meletakan kembali ponselnya di atas meja dan bersiap pergi ke kantor. Jonathan keluar dari kamar melewati ruang makan. Pagi itu meja makan kosong, Ratna dan Laura sudah pasti telah berangkat ke kantor, dan Marcell sepertinya menginap di Bar dari semalam. Sebelum keluar, dia sempat berpesan singkat ke mbak di dapur untuk memasak bubur ayam dan re
Hampir pukul lima pagi saat Jonathan masuk ke kamar membawa semangkuk ikan rebus dan nasi panas di atas nampan kecil. Bau jahe dan bawang putih menyengat memenuhi ruangan. Di ranjang, Amel masih terjaga, bersandar di kepala ranjang. “Aku sudah masak,” gumam Jonathan canggung, duduk di sisi ranjang. “Entah rasanya bisa dimakan atau tidak,” sambungnya lagi. Amel mengangkat alis pelan, lalu meraih nampan itu. “Kamu masak sendiri?” Jonathan mengangguk. Tangannya sibuk mengusap tengkuk, seperti sedang menyesali keputusannya masuk dapur tanpa arahan. “Ya, kamu yang minta, kan?” Mata Amel memanas, ia tidak menyangka kalau di balik kekacauan dan luka, pria itu masih sempat melakukan hal kecil untuknya. Bahkan ketika tampilan ikannya tampak tidak menggiurkan sama sekali lalu potongan jahe dan bawang putih yang tidak enak dipandang, dia tetap suka. Ia mencicipi kuahnya perlahan. Matanya menyipit. Rasanya tidak jelas dan aneh. Tapi ada sesuatu di sana yang membuat hatinya menghangat da