Beranda / Romansa / Mendadak jadi istri kakak tiriku / Bab 7. Cemburu pada Fidya

Share

Bab 7. Cemburu pada Fidya

Penulis: Ralonya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-04 12:46:49

Pintu kamar tertutup, suara langkah Marcell menghilang di baliknya. Amel menunduk, memegangi perutnya yang terasa kencang, seakan ikut menolak semua ketakutan yang merayap dalam benaknya. Ia menarik napas dalam, tapi tidak mampu menenangkan debaran di dadanya. 

 Entah apa yang lebih menakutkan: tatapan Marcell yang gelap, ancamannya, atau kenyataan bahwa pria itu sudah memperhatikannya sejak lama. 

  Pintu kembali terbuka, dan kini rona takut itu berganti kelegaan hingga matanya bergetar. Sudut bibirnya tertarik ke atas secara spontan. Jonathan sudah berdiri di ambang, tangan kirinya menggenggam kantong berisi obat.

  “Amel,” katanya, langsung menghampiri. “Aku langsung kembali begitu terima telpon darimu." Suara itu—lembut, tulus, dan penuh kepanikan. 

 Tanpa sempat berkata apa pun, Amel melangkah maju dan merengkuh pinggangnya. Kedua tangannya melingkar erat di punggung Jonathan, seolah jika ia melepaskan, semua yang menakutkan akan kembali merayap.

 Pria itu sempat terkejut, tubuhnya menegang. Tapi kemudian jemarinya terulur, meraba kepala Amel, menepuk pelan seakan memastikan ia nyata di sana.

 “Ada apa?” Jonathan bertanya sambil menarik diri sedikit, menatap wajah Amel yang sembab.

  “Tadi ada yang datang,” bisiknya nyaris tak terdengar.

  “Siapa?” dahi Jonathan mengernyit.

  "Kak Marcell… dia masuk ke sini.” Suara Amel bergetar.

  Wajah Jonathan mengeras seketika. “Apa dia melakukan sesuatu?” serunya, matanya penuh kepanikan. 

 Amel menggeleng lirih. “Dia cuma bilang, dia akan sering datang menemuiku kapanpun dia mau, dan aku tidak boleh menolaknya.”

  Jonathan menarik napas tajam. “Jangan dengarkan dia! Dia sudah hilang akal.”

 Amel hanya mengangguk pelan. Lalu ia menunduk, suaranya berubah pelan dan dalam. “Kak, jangan tinggalin aku sendirian lagi. Aku takut kak Marcell akan datang kalau kamu pergi.”

 Jonathan menghela napas berat. Kedua tangannya menangkup pipi Amel, memaksanya mendongak. Mata mereka bertaut—mata Jonathan yang gelap dan penuh kemarahan, bercampur rasa bersalah.

 “Aku minta maaf,” desisnya pelan. “Seharusnya aku tidak membiarkanmu sendiri.”

 Amel hanya menggeleng, air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. “Aku takut.”

 Jonathan menunduk lebih dekat hingga kening mereka nyaris bersentuhan. “Aku janji, Amel. Dia tidak akan menyentuhmu lagi. Tidak akan pernah.”

 Jantung Amel mencelos. Tatapan itu, kalimat itu—terlalu mudah membuatnya ingin percaya. Padahal ia tahu, ia tidak seharusnya bergantung sedalam ini pada pria yang dulu ia panggil kakak.

 Tapi saat ini, dalam dekapan Jonathan yang hangat, Amel membiarkan dirinya memejamkan mata. Membiarkan ketakutannya mereda meski hanya sementara.

 Dan di relung hatinya yang paling dalam, ia sadar satu hal: Rasa aman ini semakin membuatnya tidak rela jika Jonathan kembali pergi ke pelukan wanita lain.

  “Perut sebelah mana yang sakit?” tanya Jonathan seraya menuntunnya ke sisi ranjang.

  Amel membenarkan cara duduknya lalu menunjuk perut yang terasa perih sedari tadi. Jonathan duduk disebelahnya.

  “Kamu tadi makan apa saja setelah sarapan?” tanyanya pelan. 

  Amel memiringkan kepalanya mengingat apa saja yang dia makan saat setelah sarapan. 

  “Hmm… aku sempat minta mangga muda sama sambal ke mbak. Mungkin karena itu,” jawabnya sambil tersenyum kecut, menyadari betapa sembrono tindakannya.

  Jonathan menghela napas. “Lain kali perhatikan apa yang kamu makan. Lambung kamu sensitif, apalagi sekarang kamu sedang hamil, janin kamu butuh makanan sehat. Ini, sudah aku belikan obat, sebelumnya aku sudah konsultasi dengan dokter keluarga dan beliau bilang obatnya aman buat ibu hamil."

  Amel mengangguk kecil. “Iya, kak, maaf ngerepotin.”

  Jonathan menggeleng. “Sama sekali tidak.”

  Setelah memastikan Amel nyaman, Jonathan bangkit dari duduknya. “Aku ambil makanan biar kamu bisa langsung minum obatnya.”

  Amel mengangguk. Tapi sebelum pria itu benar-benar melangkah ke pintu, suara lirih memanggilnya.

  “Kak Jonathan?”

  Jonathan menoleh. “Iya?”

  “Anak ini…” Amel menyentuh perutnya. Tatapannya ragu. “Kamu menerimanya juga, kan?” 

  Jonathan terdiam sejenak. Sekejap matanya meredup, seakan menimbang sesuatu yang tak sederhana. Perlahan, ia menunduk, menatap perut Amel, lalu kembali menatap wajahnya. Ia mengangguk pelan, mengukir senyum tipis.

  “Ya,” jawabnya pelan, suaranya terdengar lebih jujur. “Aku menerimanya. Dia alasan kenapa aku ada disini.”

 Amel menunduk, gigit bibirnya. Kalimat itu—salah satu alasan—entah kenapa lebih menyakitkan daripada jika Jonathan tak menjawab sama sekali.

  “Kalau bukan karena bayi itu, kamu pikir dia akan memilihmu, menikahimu? Jangan bodoh, Amel.” 

 Kata-kata Marcell kembali menghantamnya. 

 Amel menarik napas panjang, lalu menegakkan kepala, menatap mata pria itu tanpa berkedip.

 “Lalu aku?” Suaranya nyaris hanya desis, tapi ada keteguhan yang baru tumbuh di sana. “Bagaimana dengan aku… sebagai Amel? Bukan sekadar ibu dari anak ini. Bukan sekadar beban tanggung jawab yang harus kamu pikul.”

 Jonathan tak langsung menjawab. Pandangannya jatuh ke lantai seakan mencari jawaban di sana, lalu perlahan naik kembali. Tatapan mereka bertemu, lama, berat, seolah saling menuntut pengakuan yang tak terucap.

  Namun, sebelum ia bisa membuka mulut, ponselnya bergetar di saku celana.

  Satu pesan masuk.

 Jonathan merogoh ponsel dari sakunya. Saat ia membaca layar, raut wajahnya berubah. Matanya memburam dengan helaan nafas yang begitu lelah. 

  “Siapa?” tanya Amel lirih, jantungnya berdetak tak karuan berharap bukan nama itu yang akan diucapkan oleh Jonathan. 

  Jonathan diam sejenak lalu menjawab pelan.

  “Fidya.”

 Hening menggantung di antara mereka. Tangan Amel mengepal di atas selimut, matanya yang bulat sembab itu menatap tajam.

 “Kamu mau menemuinya lagi?” tanyanya, pelan tapi ketus. “Apa tidak cukup dia datang kemari, merendahkanku di depan keluargamu? Apa tidak cukup dia membuatku merasa seperti penjahat?”

 Jonathan menahan napas. “Amel…”

 “Tolong jawab.” Matanya menatap lurus, berkaca-kaca. “Kalau kakak mau pergi padanya, bilang saja. Aku bisa terima kalau memang aku hanya kewajiban. Tapi jangan buat aku berharap kalau akhirnya aku tetap akan ditinggalkan.”

 Jonathan terdiam. Nafasnya berat, raut wajahnya sendu. Amel menyadari—di balik keteguhan pria itu, ada luka yang juga belum sembuh. Tapi dia tidak ingin peduli. Karena kalau ia peduli, ia akan kalah pada perasaan yang sejak lama ingin ia tolak.

 Dan ketika Jonathan masih tetap diam, Amel menunduk, suaranya merosot lebih pelan.

 “Setidaknya… sekali saja, aku ingin merasa kalau kehadiranku cukup untuk membuatmu bertahan di sini.”

 Suara Amel meredup di akhir kalimat. Jonathan menatap gadis itu lama, seakan mencoba memastikan ia tak salah dengar. Dada pria itu naik-turun pelan, matanya menatap Amel penuh pertanyaan yang tak berani langsung diucapkan.

 Perlahan, ia melangkah mendekat. Jemarinya terulur, meraih dagu Amel agar wajah mereka sejajar. Tatapan itu begitu dekat, menelusup jauh ke dalam dada Amel hingga ia hampir tak sanggup menahan debar.

 “…Kamu… cemburu padanya?” suara Jonathan serak, nyaris seperti bisikan. “Pada Fidya?”

  **

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 121. Halusinasi

    Hari-hari berlalu. Sudah tiga hari Amel menetap di rumah tuanya itu. Meski hidup sendiri, ia tak pernah benar-benar merasa sendirian. Ada Santi dan beberapa tetangga yang selalu hadir dengan cara-cara sederhana. Setiap pagi, Santi sering menyapanya lebih dulu, sekedar berbincang tentang cuaca atau tanaman di halaman. Siang hari, ia datang sambil membawa sepiring lauk, selalu dengan alasan yang sama yaitu, “Saya masak kebanyakan, Amel. Sayang kalau tidak dimakan.” Sore harinya, Santi kerap mengetuk pintu, mengajak Amel duduk di teras sambil minum teh bersama. Hari ini, Santi memperkenalkan seorang pria paruh baya padanya. “Ini namanya Pak Wawan, Amel. Dia bisa perbaiki kran air kamu yang macet. Katamu semalam air tidak keluar, kan?” ujarnya ringan. Amel tertegun, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Mbak Santi. Saya sungguh terbantu.” Malam pun tiba. Suasana sedikit ramai berkat suara petugas ronda yang berkeliling sambil menabuh kentongan, membuatnya merasa jauh lebih aman. Ditam

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 120. Perhatian secara diam-diam

    Dari balik pintu yang tertutup rapat, suara Jonathan terdengar parau, “ Aku pergi, tapi tidak untuk bercerai. Karena sampai kapan pun, kamu tetap istriku, Amel.” Amel tersentak. Kedua tangannya perlahan turun dari wajahnya, tapi air mata masih mengalir deras di pipi. Tangisnya mereda, namun kalimat itu seperti stempel yang tak bisa dihapus olehnya. Jonathan tahu kalau gadis itu akan menolak mentah-mentah jika ia muncul terang-terangan untuk menemuinya. Maka, cara satu-satunya hanyalah menjaganya dari jauh. Tanpa Amel sadari. Ia menjual beberapa asetnya, lalu menyuruh orang kepercayaannya mengontrak beberapa rumah kosong yang terbengkalai, hanya agar ada “tetangga” di sekitar Amel. Dari luar terlihat seperti tetangga baru biasa, padahal semua itu hanyalah peran yang ia ciptakan agar Amel tidak lagi terjebak dalam sepi. Orang-orang yang diam-diam disuruh Jonathan sesekali muncul, menyapa, atau sekedar mengobrol ringan dengan Amel. Seperti pagi ini, saat Amel membuka pintu samping r

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 119. Jangan pergi lagi

    Angin malam menyusup masuk dari celah pintu kayu yang setengah terbuka, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Rumah tua itu sunyi, hanya suara jangkrik dari luar yang terdengar bersahutan. Di luar, gelap menguasai halaman karena lampu jalanan dan teras mati, meninggalkan bayangan pekat. Amel berdiri kaku di ruang tamu sederhana, dadanya terasa sesak. Tubuhnya membeku ketika langkah berat terdengar mendekat, lalu berhenti tepat di ambang. Sebuah tangan menahan pintu, mencegahnya menutup. Jonathan berdiri di sana, tersenggal seolah baru saja berlari menembus malam. Bahunya naik-turun, sorot matanya meski lelah, tapi tak bisa menyembunyikan emosi yang menusuk. “Amel,” panggil Jonathan, suaranya serak, tapi tegas. “Aku selalu bisa menemukanmu.” Lutut Amel hampir kehilangan daya ketika tatapan tajam pria itu menembus dirinya, seolah menelanjangi segala pertahanannya. Pintu kayu yang rapuh masih ditahannya, berderit pelan saat Amel berusaha menutupnya, tapi sia-sia—tenaga

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 118. Merindukannya

    Satu jam kemudian. Berita tentang Jonathan memenuhi layar televisi dan media online. [Jonathan Sailendra, Direktur utama Sailendra Corp, resmi mengundurkan diri setelah tersandung skandal yang mengguncang dunia bisnis. Dewan direksi menyatakan langkah ini perlu diambil untuk menjaga stabilitas perusahaan.]Di dalam sebuah taksi yang melaju meninggalkan kawasan apartemen mewah, Amel menatap layar ponselnya. Wajahnya memucat, ia menekan bibirnya, menahan isak meski air matanya jatuh tanpa bisa dicegah. Segalanya telah rusak. Dirinya bahkan Jonathan yang telah kehilangan segalanya. “Maafkan aku karena pergi saat semuanya diambil darimu,” gumam Amel. Ia menunduk, kedua tangannya bergetar di pangkuan. Ia menutup ponsel, menyandarkan kepala ke jendela, menatap gedung-gedung besar yang berlari mundur dengan cepat. Penthouse megah yang begitu ia banggakan kini hanya meninggalkan luka. Ia tak sanggup lagi menetap di sana.Tiga jam perjalanan ia habiskan dalam diam, hingga akhirnya, taksi i

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 117. Mari hancur bersama

    Pagi itu, kantor pusat Sailendra seperti sarang lebah yang terusik. Semua orang sibuk berbisik, menatap layar ponsel, lalu mengalihkan pandangan dengan wajah penuh tanya ketika Jonathan melintas. Langkah Jonathan terasa berat saat memasuki lobi. Ia bisa merasakan tatapan menusuk dari karyawan-karyawannya. Beberapa pura-pura sibuk menunduk, sebagian lain saling berbisik, jelas membicarakannya. Ponselnya tak berhenti bergetar—panggilan, pesan, notifikasi berita. Foto-foto itu sudah menghiasi portal bisnis dan media gosip, lengkap dengan judul sensasional. Raden berdiri di ambang pintu, wajahnya kusut tak kalah dengan Jonathan yang baru saja tiba.“Selama empat hari ketidakhadiranmu mereka sudah mengajukan petisi pemecatanmu,” ucapnya, nada suaranya berat.Jonathan membuang napas kasar, kepalanya menunduk sesaat. “Aku tahu.”Raden gelisah, langkahnya maju setengah. “Ini sangat buruk. Mereka mungkin akan menendangmu keluar hari ini juga.”Jonathan mengangguk pelan, sorot matanya menaja

  • Mendadak jadi istri kakak tiriku    Bab 116. Foto yang tersebar luas

    Amel baru saja selesai melipat pakaiannya dan memasukkannya ke dalam koper kecil. Tangannya bekerja cepat, meski hatinya terasa semakin berat. Saat pintu utama terdengar terbuka lalu tertutup pelan, Amel tahu Jonathan sudah kembali. Ia tak ingin tahu kemana pria itu pergi hingga selarut ini. Dalam benaknya hanya ada satu jawaban yang membuat dadanya kembali remuk: pasti ia menemui wanita itu.Air matanya menggenang, tapi tangannya tetap bergerak memasukan baju terakhir sebelum menutup koper dengan satu hentakan tegas. Ia mendorong koper itu ke sudut ruangan. “Aku tidak pernah menyangka, dia akan tega melakukan itu padaku,” gumam Amel parau. Dadanya sesak, matanya berkaca-kaca. Amel sudah mantap dengan keputusannya, ia harus pergi. Ia tak sanggup lagi berada di bawah atap yang sama dengan Jonathan. Hatinya sudah terlalu hancur. Namun lamunannya buyar ketika ponselnya di atas meja bergetar. Sekali, dua kali, lalu berderet tanpa henti. Notifikasi memenuhi layar, seolah tak memberinya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status