Pagi itu, sinar matahari menelusup lembut lewat celah tirai. Amel membuka matanya perlahan. Masih mengantuk, ia mengusap kelopak matanya dan mengedarkan pandangan ke sisi tempat tidur. Kosong. Hanya selimut yang kusut. Ia duduk perlahan, lalu matanya menoleh ke arah balkon. Di balik pintu kaca yang sedikit terbuka, siluet Jonathan berdiri di sana. Satu tangan memegang cangkir kopi, dan tangan satunya lagi bertumpu pada pagar besi. Amel memandangnya tanpa berniat menghampiri. Lalu Jonathan berjalan masuk, angin sempat berhembus masuk saat pintu kaca itu dibuka. “Kamu sudah bangun,” ucap Jonathan, menutup kembali pintu itu. Amel mengangguk tak menjawab. Mereka saling tatap beberapa detik, sebelum Jonathan memutus kontak dan berjalan keluar kamar. Amel memilih beranjak menuju kamar mandi. Di meja makan, suasana seperti sebelum-sebelumnya. Tapi yang membuat hangat, ada sepiring roti di depannya. Amel menoleh pada Jonathan, pria itu hanya melirik sebentar lalu menyesap kopi hitamnya de
Langit masih gelap ketika suara pelan dari kamar mandi membangunkan Jonathan dari tidurnya. Ia sempat terdiam, mencoba menangkap suara itu, hingga terdengar bunyi muntahan yang tertahan. “Amel?” Jonathan langsung bangkit dari ranjang, menyibak selimut dengan cemas. Begitu menyadari sisi ranjang kosong, ia buru-buru menuju kamar mandi. Pintu tak tertutup rapat. Ia dorong perlahan. Amel berdiri sambil berpegangan pada pinggiran wastafel. Tubuhnya gemetar, rambutnya menutupi sebagian wajah yang tampak sangat pucat. “Mel,” Jonathan mendekat, suaranya terdengar cemas. “Kamu tidak apa-apa?” Amel mengangguk lemah. “Aku cuma mual, Kak,” suaranya lirih. Jonathan memapahnya pelan, membantu Amel duduk di tepi bathup. Ia ambil handuk kecil dan membasahinya, lalu menyeka pelan kening Amel yang dingin dan basah keringat. Hela napas Amel masih pendek-pendek. Matanya sayu, kulitnya terlihat lebih pucat dari biasanya. Tanpa banyak bicara, Jonathan menyingkirkan handuk itu, lalu mengangkat tubu
Jonathan menghela napas pelan, menatap Marcell dengan ekspresi jengah. “Amel, bisa tolong ambilkan ayam potong itu untukku?” ucap Marcell santai, namun dengan nada yang tak memberi ruang penolakan. Amel sontak menoleh. Keningnya berkerut, mengingat kejadian tadi siang. Seperti sebelumnya, Marcell menyodorkan piring ke arahnya tanpa bekata lebih, dan tidak juga menariknya jika ayam itu belum berpindah ke atas piring. Tanpa banyak protes, Amel mengangguk dan memenuhi permintaannya. Namun belum selesai, Jonathan ikut menyodorkan piringnya. “Amel, bisa tolong sendokkan nasi? Tanganku agak pegal, habis ngetik laporan panjang barusan,” katanya dengan senyum tipis—terlihat tenang. Amel terdiam sejenak. Ini tidak biasa. Jonathan tidak pernah memintanya seperti ini. Tapi ia tetap berdiri dan melayani keduanya. Nasi untuk Jonathan, sepotong ayam untuk Marcell. Baru saja dia akan kembali duduk, Jonathan kembali menyodorkan piringnya, kali ini lebih cepat. “Ayam gorengnya juga,” ucap
Langit mulai menguning ketika suara mobil terdengar memasuki pelataran rumah. Amel yang sedang duduk di ruang tamu menoleh cepat, berharap. Tapi rasa itu segera berubah menjadi gelisah dan ada sedikit rasa kecewa di sana. Meskipun begitu, matanya tak lepas dari daun pintu. Kemudian pintu itu terbuka pelan. Amel bangkit, tapi tidak beranjak mendekat. Tatapannya menyapu Jonathan yang akhirnya pulang. Memperhatikannya yang mendekat dengan wajah tenang, seolah tak terjadi apapun. Amel masih diam menunggu Jonathan untuk bersuara, tapi sepertinya keraguan lebih dulu menggenggam lidah pria itu, membuatnya justru diam berdiri di sana. “Maaf,” ucap Jonathan begitu pelan. Keningnya mengkerut seperti menahan sesuatu. Amel menunggu, namun yang ia dapat hanya sorot mata kosong, tidak ada penjelasan, tidak ada alasan. “Aku tadi ada urusan mendesak,” tambah Jonathan saat Amel tak menanggapi. Gadis itu tersenyum simpul, lalu mengangguk pelan. Memaklumi jika suaminya punya banyak urusan di
Pukul sebelas siang, Amel masih berdiri di dapur dengan celemek bergambar jeruk melingkar di pinggangnya. Tangannya sibuk mengaduk kuah sup jagung sementara wajahnya berseri-seri. Tadi pagi, Jonathan mengirimkan pesan yang katanya, dia akan pulang saat makan siang. Untuk itu, dari jam sembilan Amel sudah berkutat di dapur untuk masak. “Non Amel, perlu kami bantu?” tawar seorang asisten yang sedari tadi memperhatikan nona mudanya. Amel menggeleng. “Tidak perlu, Mbak. Aku bisa sendiri. Tapi kalau nanti aku butuh bantuan, aku akan bilang ke Mbak,” ujar Amel. Asisten itupun mengangguk sopan dan undur diri dari hadapan Amel. Sejam telah berlalu, meja makan sudah ditata rapi. Tumis buncis, ayam panggang madu, dan sup jagung kesukaan Jonathan sudah tersusun rapi. Semua tampak sempurna. Jam makan siang nyaris tiba ketika Amel memeriksa ponselnya lagi. Tidak ada pesan baru. Hanya pesan singkat dari Jonathan pagi tadi, “Siang ini aku akan pulang. Ayo kita makan siang bersama.” Kalim
Aroma roti yang hampir gosong menguar dari dapur, menyusup ke ruang makan seperti sinyal darurat. Beberapa kepulan asap tipis mengepul dari toaster yang dibiarkan terlalu lama menyala. Jonathan—dengan celemek abu-abu tergantung di lehernya dan satu roti gosong di tangan—menatap panik ke arah wajan di sebelah kanan, tempat sebutir telur nyaris meledak karena terlalu lama didiamkan. “Jonathan, astaga! Kamu masak atau mau bakar dapur?” seru Laura yang buru-buru menghampiri Jonathan. Tangannya sudah siap merebut spatula dari tangan putra sulungnya itu. “Aku bisa, ma. Tunggu sebentar,” jawab Jonathan terburu-buru. Ia buru-buru membalik telur, tapi malah membuatnya hancur tak berbentuk. Ratna yang mengekor dari belakang Laura hanya menengok karena penasaran. Lalu mendudukan dirinya di kursi meja makan. “Apa yang kamu lakukan sepagi ini, Jonathan?” tegur Ratna. “Memanggang roti dan goreng telur, eyang,” jawab Jonathan menatap miris telurnya yang hancur. “Kamu kan bisa minta tolong