"Ayah tolong jangan menyalahkan Ainun. Aku mengerti keadaannya. Ainun sebenarnya akan menjadi orang paling bahagia kalau aku dilamar seseorang jika saja orang itu bukan Nizar." Aku menjawab dengan pelan karena takut jika sampai ayah marah.
Ayah adalah sosok laki-laki yang selalu tersenyum, mudah beradaptasi serta sering melempar guyonan untuk keluarga demi mencairkan suasana. Namun, untuk masalah serius yang melibatkan kehormatan ini membuat ayah terlihat berbeda.
"Jujur, ayah tidak akan menyalahkan Ainun jika dia sudah tidak mendesakmu lagi. Masih gadis begitu malah bucin kebangetan seolah sudah tidak ada lagi lelaki lain di luar sana. Kata kasarnya, terkesan tidak laku. Ayah mencoba memahami karena kalian bersahabat, sayangnya gagal."
Aku menunduk dalam, sedikit tersinggung mendengar ucapan ayah tadi. Ainun memang bersalah dalam hal mencintai terlalu dalam serta melambungkan harapan setinggi langit. Namun, jangan lupakan bahwa Nizar berperan penting dalam mempermainkan perasaannya.
Setelah berpikir ulang, aku sepertinya harus mendesak Nizar memutus lamaran ini. Entah dengan cara menceritakan semuanya pada Ustazah Halimah atau datang langsung ke rumah orang tuanya agar kelar walau ujungnya bisa saja menimbulkan masalah baru.
Nizar ... entah kenapa pikiranku selalu menyalahkan dirinya. Wanita adalah makhluk perasa, mereka mudah saja jatuh cinta jika mendapat perhatian kecil. Sementara menurut pengakuan Ainun, mereka pernah membahas masa depan bersama, itu berarti Nizar terus menabur harapan pada Ainun.
Perih. Kehilangan sahabat yang selama ini selalu ada demi Nizar? Nizar yang begitu jahat sudah menyakiti hati Ainun. Entah kenapa aku malah berdiri melawan sahabat sendiri, bukannya turut membela demi meluluhkan hati Nizar untuk kembali padanya.
"Apa yang membuatmu diam, Lia? Kamu masih memikirkan Ainun yang sama sekali tidak memikirkanmu?" Kini, mama yang memecah lamunan.
Aku menatap mereka berdua bergantian berharap mendapat dukungan. Pasalnya susah karena Nizar adalah murid teladan menurut beberapa guru yang mengajarinya. Ya, Nizar tidak fokus pada hafalan qur'an sekalipun telah khatam tiga juz dari belakang. Dia lebih sering mengaji kitab kuning.
Meski begitu, bukankah tidak ada manusia sempurna di muka bumi ini? Nizar termasuk salah satu dari mereka yang memiliki kekurangan. Bukan sesuatu mustahil apabila dia melakukan kesalahan dengan mempermainkan perasaan Ainun.
Ada asap, berarti ada api. Dalam artian, tidak akan ada akibat tanpa sebab.
"Ainun bukan tidak memikirkan aku, Ma. Ainun itu sayang sama aku, tetapi kali ini dia sedang terluka. Sebagai sahabat, seharusnya aku memeluknya agar ikut merasakan luka itu, tetapi ternyata aku lah penyebab lukanya."
"Semua karena kesalahannya sendiri. Ainun telah membuka hati untuk Nizar, berarti siap terluka oleh pengharapannya. Jangan pikirkan masalah ini, sekarang masuk kamarmu dan bilang sama Ainun untuk melupakan Nizar saja. Mereka tidak berjodoh, begitu garis takdir memisahkan mereka." Ayah kembali berucap tegas, aku menundukkan kepala, lalu melangkah pelan menuju kamar dan mengunci dari dalam.
Perasaanku saat ini kacau, tidak ingin diganggu siapa pun. Meski malam semakin larut, mata tetap saja sulit terpejam. Aku tidak sabar menunggu hari esok, Nizar harus menjelaskan ulang hubungannya dengan Ainun.
Aku : Nizar, ahad besok kamu tidak ada kegiatan pukul sebelas siang, kan? Kita ketemu di Masjid Nurul Hidayah.
Pesan itu aku kirim dalam keadaan ragu. Memang bukan kali pertama aku mengajak seorang lelaki bertemu di luar dalam keadaan mendesak, tetapi aku bingung harus mengajak siapa agar tidak berduaan.
Benda pipih itu aku charger karena sudah hampir kehabisan baterai. Lama melamun membuatku tidak sadar jika jarum panjang sudah menunjuk angka satu dini hari. Menyibak tirai jendela, suasana begitu gelap mencekam karena langit malam tidak berhias bintang seperti biasa.
Semilir angin menembus kamar melalui celah ventilasi. Aku mematikan kipas juga lampu utama, kemudian menenggelamkan diri dalam selimut tebal motif bulan dan bintang. Dalam sepinya malam, pikiran begitu ramai memikirkan hari esok dan seterusnya.
***
Pukul sebelas lewat lima menit, aku sudah tiba di depan Masjid Nurul Hidayah. Untung saja pengunjung sedang ramai untuk ziarah ke kuburan kyai yang berada tepat di samping masjid besar ini, artinya kami tidak berduaan.
Aku menyisir sekitar, berhasil menemukan sosok itu. Dengan langkah pelan sambil mengepal kedua tangan untuk meminimalisir rasa gugup, akhirnya aku berdiri dari jarak satu meter di depan Nizar yang sedang menatap lurus ke depan.
Entah apa yang lelaki itu pikirkan sampai tidak menyadari kehadiranku.
"Ehem." Sengaja aku berdeham, tetapi tidak berhasil mengusiknya. "Nizar!" lanjutku memanggil dengan volume suara sedikit tinggi.
Dia tersentak. Tasnya hampir saja jatuh ke lantai. Senyumnya kikuk, tidak seperti biasa. "Kamu sudah lama tiba?"
"Baru saja." Aku menjeda beberapa saat demi mengumpulkan nyali. Setelah itu mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tas bahu yang aku pakai, menyerahkannya pada Nizar. "Baca itu saja, aku tidak bisa menjelaskan secara langsung."
"Apa ini?" tanyanya ketika menerima surat itu.
Aku memilih diam, menunggu Nizar selesai membaca sesuatu yang seharusnya aku sampaikan secara langsung. Namun, entah kenapa ketika hendak berbicara pada seorang lelaki yang tidak begitu akrab denganku, lidah terasa kelu, tenggorokan bagai tersekat.
Beberapa menit kemudian, dia mengangkat wajahnya. Pandangan kamu bertemu dalam tiga detik, lalu aku menunduk karena takut dia marah. Keputusan sudah bulat, tinggal menunggu persetujuan Nizar.
"Aku tidak bisa," tolak lelaki berwajah teduh itu pelan.
"Kenapa tidak bisa? Aku dan Ainun sama-sama perempuan. Dia juga memakai jilbab syar'i, menjaga diri dari pergaulan serta menuntut ilmu agama. Bedanya, Ainun sudah tidak memiliki abi lagi dan itu bukan alasan logis. Tolong, nikahi dia."
"Sulit mengatakan ini, tetapi aku tidak akan menikahinya. Aku mencintaimu, Alia."
"Kalau begitu, nikahi Ainun demi aku!" balasku berusaha tegas karena tidak mau mengalah.
Nizar tersentak, sesaat kemudian memalingkan pandangannya. Kertas dalam genggaman itu dia temas kuat, mungkin untuk melampiaskan kekesalannya. Aku sendiri mematung, menunggu jawaban apa yang akan diberikan.
Kubiarkan Nizar berpikir. Aku harap keputusannya menguntungkan bagi Ainun. Tidak ada yang tahu bagaimana keadaan Ainun saat ini. Seorang gadis apabila patah hati terutama untuk kali pertama itu mencemaskan siapa saja. Jangan sampai mereka salah mengambil keputusan akibat buta akan cinta.
"Tidak." Mata lelaki itu berkaca-kaca. "Kalau kamu memintaku bertemu hanya untuk membahas Ainun, maaf. Aku tidak punya waktu."
"Kalau begitu, jelaskan kenapa kamu harus meninggalkannya? Kalian sudah dekat selama hampir tiga tahun, membahas masa depan bersama, tentu melewati banyak rintangan yang selalu membuat kalian semakin kuat dan yakin. Lantas, kenapa harus meninggalkannya begitu saja? Sebuah komitmen yang kalian bangun, hancur begitu saja. Sebagai calon istri, aku berhak mengetahui semuanya daripada berujung penyesalan di kemudian hari."
"Ainun yang sudah berharap lebih. Aku sudah bilang satu bulan yamg lalu bahwa pengorbanan dalam cinta itu ada. Sikapnya yang kadang mau menang sendiri membuatku menyerah. Dia ... terlalu mengekang."
"Aku tidak melihat kejujuran di matamu, Nizar. Jadi, tolong jawab dengan jujur. Tidak mungkin aku bahagia, sementara Ainun harus menangis karena ulahmu. Sekarang, dia pasti sedang terpuruk, mencoba menerima luka itu. Sebagai sesama wanita, aku jelas memahami keadaannya. Ditinggal menikah oleh lelaki yang kita cintai itu menyakitkan, apalagi jika pilihannya adalah sahabat kita sendiri. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Jadi, aku beri kamu kesempatan untuk berpikir, sebelum semuanya menjadi semakin rumit dan terlambat untuk mengatasinya."
Sekali lagi, Nizar menghela napas berat. Dia menyisir ke sekeliling seakan mencari sesuatu. Aku meremas ujung jilbab karena sedikit geram padanya. Hubungan kami jelas menyakiti hati orang lain. Apakah itu bagus?
"Jangan katakan apa pun lagi tentang Ainun. Hubungan kami sudah selesai, dia saja yang membuat semuanya rumit seolah Ainun adalah korban padahal aku. Akulah korban sesungguhnya!" ujar Nizar dalam suara tertahan. Mungkin saja khawatir memancing perhatian orang-orang.
Kali ini aku yang membuang napas kasar. Sesak di dalam dada semakin menjadi. "Kenapa kamu yang menjadi korban padahal kamu lah pengkhianatnya?"
Bab 88. Takdir Itu Selalu Indah.Setiap hari selalu sama, diisi dengan warna kehidupan yang indah. Seperti dulu, seolah tidak ada kisah kelam di masa lalu yang menyebabkan hati hancur tanpa kepingan lagi.Ainun bahagia berada di dekat teman-temannya, tetapi tentu saja ada masa dia menangis dalam kesendirian mengingat orang yang telah mendahului.Semua orang bahagia meski tidak ada kabar dari Rania. Semenjak pindah ke Manado, dia menghilang bagai ditelan bumi. Namun, mereka semua berusaha untuk terlihat santai walau khawatir pindah agama.Tak terasa sudah dua tiga berlalu. Usaha bakso meriang pun tidak lagi berada di depan rumah Bu Zahra melainkan di sampingnya. Jadi tetangga sebelah rumah Alia pindah ke luar kota, jadi mereka membeli lokasi itu karena lumayan luas.Rumah diratakan, lalu membangun warung makan yang lebih terkesan mewah dan bersih. Sementara pada tingkat dua adalah rumah Nizar dan Alia."Cie yang mau nikah. Jadinya sama
Bab 87. Pengaruh NgidamAlia pulang ke rumahnya setelah siang karena Nizar yang meminta. Sementara Ainun berkumpul dengan keluarga Diqi, mereka begitu baik karena mau membantu Ainun.Sebenarnya perempuan itu merasa sedih, seolah dilupakan oleh Rania. Dia hanya menanggapi status Face-book tentang kematian sang umi dengan emotikon sedih, tanpa mengirim pesan apalagi memunculkan batang hidungnya.Dia terbuai oleh godaan Cris. Mereka terlalu bucin sampai lupa pada teman dan yang lainnya. Mereka seperti perangko, menempel siang dan malam. Rania melangkah semakin jauh dari Tuhannya."Kamu pake parfum kopi ya?"Sebelah alis Nizar terangkat tipis. "Iya, emang selalu pake, kan?"Alia mengulum senyum, kemudian memeluk erat Nizar padahal posisinya sedang berada di depan rumah. Untung saja lagi sepi pelanggan siang itu karena cuaca benar-benar panas.Menghirup lekat-lekat aroma parfum Nizar, membuatnya mengulum senyum. "Suka banget!""Lepa
Bab 86. Aroma MenyengatPukul delapan pagi, Ainun baru saja keluar dari kamar mandi tepat setelah Nawaf dan Nizar pulang karena harus bekerja, begitu pula dengan kedua mertuanya.Saat tiba di dalam kamar, aroma sabun lemon menguar begitu saja sampai menusuk indra penciuman Alia yang sedang sibuk berkirim pesan dengan suaminya."Ainun!" pekik Alia merasa mual. Dia berlari keluar dari kamar sambil menutup hidung rapat. Kepalanya mendadak pusing, keringat membasahi pelipis.Perempuan yang baru saja ingin mengambil daster panjang dalam lemari pakaian itu mengerutkan kening, bingung. Kenapa Alia menutup hidung seakan mencium bau busuk atau menyengat?Padahal selama ini selera sabun mereka sama. Lantas, kenapa? batin Ainun penasaran.Sementara dalam kamar mandi, Alia muntah sedikit. Setelah itu mengambil minum dan langsung meneguknya setengah gelas. Dia terduduk lesu di meja makan sambil sesekali menghela napas panjang."Kamu kenapa, sih?"
Bab 85. Jangan Tinggalkan Aku"Jangan larut dalam kesedihan, Ainun. Perbanyak doa untuk umi, semoga Allah menerima semua amal kebaikannya," kata Ustazah Halimah begitu melihat perempuan itu duduk di dalam kamarnya, menatap kosong dalam pelukan Alia."Umi sudah nggak ada. Sekarang aku yatim piatu, Ustazah," balas Ainun lirih. Tidak ada lagi air mata yang mengalir di sepanjang pipinya.Puncak dari segala kesedihan adalah ketika mata tak lagi mampu menangis. Kehilangan kedua orang tua sangat menyakitkan, membuat Ainun merasa sendiri di dunia.Sakit yang disebabkan kehilangan itu tidak memiliki obat. Mereka bilang, hati akan pulih seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, menurut Ainun berbeda. Sampai kapan pun, rasa sakit itu akan selalu ada.Apalagi karena kehilangan orang tua, di mana setiap insan tidak bisa terlahir kembali. Orang tua adalah sosok yang tidak ada gantinya. Mereka ada dalam hati, di tempat paling istimewa.Perempuan itu menunduk
Bab 84. Berujung Air MataEmosi Diva meluap sampai ke ubun-ubun. Baru saja si Kemayu itu ingin menyerang Ainun ketika Diqi lantas mendorongnya.Diqi sudah berjanji akan melindungi Ainun dalam keadaan apa pun bahkan jika harus kehilangan nyawa sendiri. Dia memberi tatapan tajam, dingin tak tersentuh pada Diva. "Jangan berani menyentuh istriku atau kamu harus berakhir di rumah sakit!" ancamnya serius."Serius amat, Yang? Padahal kalau kamu bagi nomer Whats-App, kan, gak bakal seribet ini. Ayolah!" Diva mengedipkan sebelah mata, sengaja ingin menggoda Diqi.Namun, siapa yang akan tergoda padanya? Setiap lelaki normal itu mencintai wanita dan bukan waria. Diqi sangat tahu bagaimana Islam melarang perbuatan yang meniru umat terdahulu, sebut saja Kaum Sodom."Minggir!" Ainun dengan penuh keberanian mendorong bahu lelaki kemayu itu sampai harus tersungkur ke belakang. Beberapa pasang memperhatikan mereka. Ada yang merasa kasihan ada pula yang menganggap m
Bab 83. Senyum tanpa Makna"Kamu beneran hamil, Sayang?" tanya Nizar sangat antusias. Kedua matanya berbinar, lalu bulir bening menggenang di sana."Iya, alhamdulillah. Sebentar lagi kamu akan jadi seorang ayah." Alia mengulum senyum, tidak lama setelah itu Nizar langsung menariknya masuk kamar agar bisa leluasa memeluk sang istri.Sebenarnya bisa saja melakukan itu di luar, tetapi khawatir tertangkap basah sama Bu Aminah dan Pak Abdullah, mereka bisa malu. Di dalam kamar, Nizar memeluk erat istrinya sambil menghujaninya dengan kecupan lembut di seluruh wajah."Makanya tadi aku suruh mandi dulu sebelum ngasih tahu, takut bau jigong!" kata Alia setelah Nizar melonggarkan pelukannya.Namun, lelaki itu tidak menanggapi. Dia menuntun Alia untuk duduk di tepi ranjang, setelah itu dia akan mensejajarkan wajahnya dengan perut Alia yang masih sangat rata.Tangan kanannya mengusap perut perempuan itu. "Anak abi. Apa kabar, Sayang? Oh iya, kamu jangan
Bab 82. Takdir yang DirindukanPukul sebelas malam, kedua mempelai sudah memasuki kamar karena kelelahan karena terus melayani tamu dan memaksakan senyuman. Padahal, Ainun merasa nyeri di bagian perut dan pinggangnya.Saat sedang duduk di depan kaca rias untuk menghapus make up dengan remover, tiba-tiba Diqi berlutut dan memeluknya dari belakang membuat bulu kuduk perempuan itu meremang."Ada apa?" tanya Ainun sedikit gugup. Dia takut melakukan itu. Apalagi sekarang ada di rumah Diqi, mudah bagi lelaki itu untuk memaksanya.Bibirnya yang sedikit gemetar terlihat jelas dari pantulan cermin. Diqi menarik sudut bibir tipis, kemudian berdiri, melangkah menuju lemari pakaian.Setelah kembali, dia meletakkan hadiah dari Alia tadi di meja, tepat depan Ainun. "Buka sekarang!""Nanti saja, Diq–""Eh, bukan Diqi. Habibi, singkatnya 'bi'. Mengerti, Sayangku?"Jauh di lubuk hati, Ainun merasa senang karena melihat binar cinta terpanc
Bab 81. Gemuruh dalam DadaLepas salat asar, kedua mempelai kembali ke pelaminan. Semua masih saja, tamu undangan silih berganti menyalami mereka. Tentu saja, baik Ainun maupun Nizar hanya mengulurkan tangan kepada mahram saja dan mengatup kedua tangan di depan dada untuk yang lainnya.Rasa lelah duduk seharian hadir memeluk raga mereka. Ainun ingin sekali masuk kamar untuk meregangkan otot walau sebentar. Namun, senyum dari setiap tamu seolah membakar semangatnya lagi dan lagi."Kamu udah buka kado dari Alia?" Kembali Diqi bertanya sesuatu yang tidak ingin Ainun bahas saat ini."Belum. Gak mau buka sekarang, nanti saja.""Kenapa?""Pokoknya nanti saja. Gak usah terlalu penasaran, nanti malah gak sesuai harapan. Alia pasti ngasih jilbab kalau gak gamis.""Menurut aku bukan gamis, melainkan ...." Diqi tersenyum, sengaja menggantung ucapannya lantas mengerling manja pada sang istri.Ainun sendiri menghela napas panjang, lalu memb
Bab 80. Qobiltu"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq," ucap Diqi begitu lantang melafazkan sighot qabul di depan penghulu dan semua orang.Air mata Ainun kembali menggenang ketika mengingat momen beberapa jam lalu saat dia telah resmi menjadi seorang istri. Seluruh keluarga serta tamu undangan nampak bahagia, Ainun mengulum senyum.Achmad Asshidiqi adalah sosok lelaki yang sudah lama menjadi sahabat gadis bermata indah itu. Mereka sering berbagi pengalaman dan saling melempar pendapat sehingga Diqi tidak menyadari bahwa benih cinta perlahan tumbuh di dalam hatinya.Dia anak bungsu, tetapi hidup mandiri. Tanpa sahabatnya ketahui bahwa sejak sekolah, Diqi memang pernah diajari berbisnis oleh orang tua. Padahal dia terlahir dari keluarga berada.Cinta yang terus tumbuh detik demi detik. Diqi berjanji akan selalu menjaga Ainun, dalam suka duka bahkan di siang dan malamnya."Alhamdulillah, s