Share

Bab 6. Resah

"Ayah tolong jangan menyalahkan Ainun. Aku mengerti keadaannya. Ainun sebenarnya akan menjadi orang paling bahagia kalau aku dilamar seseorang jika saja orang itu bukan Nizar." Aku menjawab dengan pelan karena takut jika sampai ayah marah.

Ayah adalah sosok laki-laki yang selalu tersenyum, mudah beradaptasi serta sering melempar guyonan untuk keluarga demi mencairkan suasana. Namun, untuk masalah serius yang melibatkan kehormatan ini membuat ayah terlihat berbeda.

"Jujur, ayah tidak akan menyalahkan Ainun jika dia sudah tidak mendesakmu lagi. Masih gadis begitu malah bucin kebangetan seolah sudah tidak ada lagi lelaki lain di luar sana. Kata kasarnya, terkesan tidak laku. Ayah mencoba memahami karena kalian bersahabat, sayangnya gagal."

Aku menunduk dalam, sedikit tersinggung mendengar ucapan ayah tadi. Ainun memang bersalah dalam hal mencintai terlalu dalam serta melambungkan harapan setinggi langit. Namun, jangan lupakan bahwa Nizar berperan penting dalam mempermainkan perasaannya.

Setelah berpikir ulang, aku sepertinya harus mendesak Nizar memutus lamaran ini. Entah dengan cara menceritakan semuanya pada Ustazah Halimah atau datang langsung ke rumah orang tuanya agar kelar walau ujungnya bisa saja menimbulkan masalah baru.

Nizar ... entah kenapa pikiranku selalu menyalahkan dirinya. Wanita adalah makhluk perasa, mereka mudah saja jatuh cinta jika mendapat perhatian kecil. Sementara menurut pengakuan Ainun, mereka pernah membahas masa depan bersama, itu berarti Nizar terus menabur harapan pada Ainun.

Perih. Kehilangan sahabat yang selama ini selalu ada demi Nizar? Nizar yang begitu jahat sudah menyakiti hati Ainun. Entah kenapa aku malah berdiri melawan sahabat sendiri, bukannya turut membela demi meluluhkan hati Nizar untuk kembali padanya.

"Apa yang membuatmu diam, Lia? Kamu masih memikirkan Ainun yang sama sekali tidak memikirkanmu?" Kini, mama yang memecah lamunan.

Aku menatap mereka berdua bergantian berharap mendapat dukungan. Pasalnya susah karena Nizar adalah murid teladan menurut beberapa guru yang mengajarinya. Ya, Nizar tidak fokus pada hafalan qur'an sekalipun telah khatam tiga juz dari belakang. Dia lebih sering mengaji kitab kuning.

Meski begitu, bukankah tidak ada manusia sempurna di muka bumi ini? Nizar termasuk salah satu dari mereka yang memiliki kekurangan. Bukan sesuatu mustahil apabila dia melakukan kesalahan dengan mempermainkan perasaan Ainun.

Ada asap, berarti ada api. Dalam artian, tidak akan ada akibat tanpa sebab.

"Ainun bukan tidak memikirkan aku, Ma. Ainun itu sayang sama aku, tetapi kali ini dia sedang terluka. Sebagai sahabat, seharusnya aku memeluknya agar ikut merasakan luka itu, tetapi ternyata aku lah penyebab lukanya."

"Semua karena kesalahannya sendiri. Ainun telah membuka hati untuk Nizar, berarti siap terluka oleh pengharapannya. Jangan pikirkan masalah ini, sekarang masuk kamarmu dan bilang sama Ainun untuk melupakan Nizar saja. Mereka tidak berjodoh, begitu garis takdir memisahkan mereka." Ayah kembali berucap tegas, aku menundukkan kepala, lalu melangkah pelan menuju kamar dan mengunci dari dalam.

Perasaanku saat ini kacau, tidak ingin diganggu siapa pun. Meski malam semakin larut, mata tetap saja sulit terpejam. Aku tidak sabar menunggu hari esok, Nizar harus menjelaskan ulang hubungannya dengan Ainun.

Aku : Nizar, ahad besok kamu tidak ada kegiatan pukul sebelas siang, kan? Kita ketemu di Masjid Nurul Hidayah.

Pesan itu aku kirim dalam keadaan ragu. Memang bukan kali pertama aku mengajak seorang lelaki bertemu di luar dalam keadaan mendesak, tetapi aku bingung harus mengajak siapa agar tidak berduaan.

Benda pipih itu aku charger karena sudah hampir kehabisan baterai. Lama melamun membuatku tidak sadar jika jarum panjang sudah menunjuk angka satu dini hari. Menyibak tirai jendela, suasana begitu gelap mencekam karena langit malam tidak berhias bintang seperti biasa.

Semilir angin menembus kamar melalui celah ventilasi. Aku mematikan kipas juga lampu utama, kemudian menenggelamkan diri dalam selimut tebal motif bulan dan bintang. Dalam sepinya malam, pikiran begitu ramai memikirkan hari esok dan seterusnya.

***

Pukul sebelas lewat lima menit, aku sudah tiba di depan Masjid Nurul Hidayah. Untung saja pengunjung sedang ramai untuk ziarah ke kuburan kyai yang berada tepat di samping masjid besar ini, artinya kami tidak berduaan.

Aku menyisir sekitar, berhasil menemukan sosok itu. Dengan langkah pelan sambil mengepal kedua tangan untuk meminimalisir rasa gugup, akhirnya aku berdiri dari jarak satu meter di depan Nizar yang sedang menatap lurus ke depan.

Entah apa yang lelaki itu pikirkan sampai tidak menyadari kehadiranku.

"Ehem." Sengaja aku berdeham, tetapi tidak berhasil mengusiknya. "Nizar!" lanjutku memanggil dengan volume suara sedikit tinggi.

Dia tersentak. Tasnya hampir saja jatuh ke lantai. Senyumnya kikuk, tidak seperti biasa. "Kamu sudah lama tiba?"

"Baru saja." Aku menjeda beberapa saat demi mengumpulkan nyali. Setelah itu mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tas bahu yang aku pakai, menyerahkannya pada Nizar. "Baca itu saja, aku tidak bisa menjelaskan secara langsung."

"Apa ini?" tanyanya ketika menerima surat itu.

Aku memilih diam, menunggu Nizar selesai membaca sesuatu yang seharusnya aku sampaikan secara langsung. Namun, entah kenapa ketika hendak berbicara pada seorang lelaki yang tidak begitu akrab denganku, lidah terasa kelu, tenggorokan bagai tersekat.

Beberapa menit kemudian, dia mengangkat wajahnya. Pandangan kamu bertemu dalam tiga detik, lalu aku menunduk karena takut dia marah. Keputusan sudah bulat, tinggal menunggu persetujuan Nizar.

"Aku tidak bisa," tolak lelaki berwajah teduh itu pelan.

"Kenapa tidak bisa? Aku dan Ainun sama-sama perempuan. Dia juga memakai jilbab syar'i, menjaga diri dari pergaulan serta menuntut ilmu agama. Bedanya, Ainun sudah tidak memiliki abi lagi dan itu bukan alasan logis. Tolong, nikahi dia."

"Sulit mengatakan ini, tetapi aku tidak akan menikahinya. Aku mencintaimu, Alia."

"Kalau begitu, nikahi Ainun demi aku!" balasku berusaha tegas karena tidak mau mengalah.

Nizar tersentak, sesaat kemudian memalingkan pandangannya. Kertas dalam genggaman itu dia temas kuat, mungkin untuk melampiaskan kekesalannya. Aku sendiri mematung, menunggu jawaban apa yang akan diberikan.

Kubiarkan Nizar berpikir. Aku harap keputusannya menguntungkan bagi Ainun. Tidak ada yang tahu bagaimana keadaan Ainun saat ini. Seorang gadis apabila patah hati terutama untuk kali pertama itu mencemaskan siapa saja. Jangan sampai mereka salah mengambil keputusan akibat buta akan cinta.

"Tidak." Mata lelaki itu berkaca-kaca. "Kalau kamu memintaku bertemu hanya untuk membahas Ainun, maaf. Aku tidak punya waktu."

"Kalau begitu, jelaskan kenapa kamu harus meninggalkannya? Kalian sudah dekat selama hampir tiga tahun, membahas masa depan bersama, tentu melewati banyak rintangan yang selalu membuat kalian semakin kuat dan yakin. Lantas, kenapa harus meninggalkannya begitu saja? Sebuah komitmen yang kalian bangun, hancur begitu saja. Sebagai calon istri, aku berhak mengetahui semuanya daripada berujung penyesalan di kemudian hari."

"Ainun yang sudah berharap lebih. Aku sudah bilang satu bulan yamg lalu bahwa pengorbanan dalam cinta itu ada. Sikapnya yang kadang mau menang sendiri membuatku menyerah. Dia ... terlalu mengekang."

"Aku tidak melihat kejujuran di matamu, Nizar. Jadi, tolong jawab dengan jujur. Tidak mungkin aku bahagia, sementara Ainun harus menangis karena ulahmu. Sekarang, dia pasti sedang terpuruk, mencoba menerima luka itu. Sebagai sesama wanita, aku jelas memahami keadaannya. Ditinggal menikah oleh lelaki yang kita cintai itu menyakitkan, apalagi jika pilihannya adalah sahabat kita sendiri. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Jadi, aku beri kamu kesempatan untuk berpikir, sebelum semuanya menjadi semakin rumit dan terlambat untuk mengatasinya."

Sekali lagi, Nizar menghela napas berat. Dia menyisir ke sekeliling seakan mencari sesuatu. Aku meremas ujung jilbab karena sedikit geram padanya. Hubungan kami jelas menyakiti hati orang lain. Apakah itu bagus?

"Jangan katakan apa pun lagi tentang Ainun. Hubungan kami sudah selesai, dia saja yang membuat semuanya rumit seolah Ainun adalah korban padahal aku. Akulah korban sesungguhnya!" ujar Nizar dalam suara tertahan. Mungkin saja khawatir memancing perhatian orang-orang.

Kali ini aku yang membuang napas kasar. Sesak di dalam dada semakin menjadi. "Kenapa kamu yang menjadi korban padahal kamu lah pengkhianatnya?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status