Share

3. Hamil

"Wi, kamu kenapa? Masuk angin?" tanya Bram di depan pintu kamar mandi. "Dewi!"

"Ada apa, Bang? Kenapa kamu manggil aku di kamar mandi?"

Bram berbalik saat mendengar suara isterinya dari belakang tubuh. Pria itu mengerutkan kening melihat istrinya mengambil gelas di rak. Dia lalu menoleh kembali ke kamar mandi. "Kamu dari mana?" tanyanya heran.

"Kehabisan gula pas mau bikin kopi buat Abang. Jadi, aku ke warung beli gula," jawab Dewi.

"Lalu, siapa yang di kamar mandi? Kinan?"

"Kinan tadi sudah ke kamar mandi."

"Tapi ...."

"Huek! Huek! Huek!"

Bram dan Dewi saling pandang. Suara yang didengar Bram kembali berbunyi. "Kinan?" Bram dan Dewi saling melempar tanya dengan tatapan heran.

Kinanti keluar dari kamar mandi dengan wajah sembab. Gadis itu baru saja memuntahkan isi perutnya yang belum sarapan. Wajahnya pucat melihat kedua orang tuanya berada di depan pintu kamar mandi.

"Kamu kenapa, Nan?" tanya Dewi. Bram tidak mengajukan tanya, tetapi sorot matanya sangat tajam pada Kinanti.

"Sepertinya aku masuk angin, Bu. Kemarin ngerjain tugas sama Lala dan teman-teman di lantai teras belakang rumah Seli sambil rebahan," jawab Kinanti beralasan.

"Ya sudah, kamu istirahat nanti ibu belikan tolak angin," ucap Dewi.

"Makasih, Bu."

Kinanti kembali ke kamarnya, sedangkan Dewi segera membuatkan kopi untuk Bram. Bram sarapan sebelum berangkat narik angkot. Kendra keluar dari kamarnya dan langsung duduk menyantap sarapan.

"Kinan mana, Bu?" tanya pemuda 20 tahun itu pada Dewi.

"Adikmu masuk angin katanya. Pucat dan muntah-muntah. Kalau kamu masih sempet, beliin tolak angin dulu ya buat Kinan," jawab Dewi.

"Ya, Bu."

Mereka sarapan bertiga dengan santai. Tidak sedikitpun rasa curiga di pikiran mereka tentang Kinanti. Mereka percaya jika gadis itu masuk angin. Selama ini, Kinanti gadis penurut yang tidak pernah pulang terlambat apalagi pulang malam, kecuali ada tugas kelompok.

Bram dan Kendra sudah berangkat beraktifitas. Hanya ada Dewi dan Kinanti di rumah itu. Dewi membawakan bubur yang baru dibelinya serta segelas air putih. Tidak lupa tolak angin yang dibeli Kendra dia bawa ke kamar putrinya.

Kinanti segera menyembunyikan kalender meja yang sedang dilihatnya ke bawah bantal. Dia menghapus air mata yang mengalir di kedua pipinya. Gadis itu duduk di ranjang.

Dewi membuka pintu kamar Kinanti. "Sarapan dulu lalu diminum tolak anginnya, Nan," ucapnya seraya menaruh mangkuk dan gelas di meja belajar Kinanti.

"Makasih, Bu," ucap Kinanti pelan.

Dewi tersenyum lalu duduk di samping putrinya seraya membawa mangkuk berisi bubur. "Masuk angin aja kok nangis. Udah, ini dimakan dulu buburnya lalu diminum obatnya. Ibu mau masak dulu ya." Dewi keluar dari kamar Kinanti setelah membelai kepala gadis itu.

Kinanti menatap sendu pintu kamarnya setelah Dewi keluar. Gadis itu kembali menangis tanpa suara. 'Maafkan Kinan, Bu,' batinnya. Dia merasa sangat berdosa pada kedua orang tuanya.

Meski hal itu bukan keinginannya, tetapi tetap saja dia merasa bersalah pada keluarganya. Ayah dan ibunya selalu mewanti-wanti, jika seorang gadis itu harus bisa menjaga kehormatannya. Harus bisa menjaga kesuciannya hingga nanti diserahkan pada suami.

"Kita ini keluarga sederhana, tidak memiliki harta benda. Satu-satunya harta yang kita miliki adalah harga diri, kehormatan kita. Kehormatanmu sebagai wanita adalah kesucianmu, keperawananmu. Jangan hanya karena zaman sudah berubah, kamu terbawa arus pergaulan dan tidak menjaga norma agama."

Seperti itulah nasihat ayah dan ibunya kala itu. Kinanti pun mengiyakan dengan mantap tanpa ragu. Tidak terbersit dalam pikirannya jika dia akan kehilangan harta itu dengan cara paksa. Dan yang lebih menyakitkan, pelakunya adalah orang yang sudah dia anggap sebagai kakak sendiri.

Kinanti melihat tolak angin yang dibawa ibunya. Dia membaca aturan minum obat itu, di sana tertulis wanita hamil tidak boleh mengonsumsi obat itu. Sebuah pemikiran terlintas di benaknya. Dia segera menyantap bubur lalu meminum jamu tolak angin itu.

Kinanti menunggu reaksi jamu itu pada tubuhnya. Dia memegangi perut yang kembali terasa mual. Gadis itu berlari ke kamar mandi dan memuntahkan bubur yang baru saja dimakannya.

Dewi melihat dengan raut kasihan pada putrinya. Dia memijit tengkuk Kinanti yang sedang muntah di kamar mandi. "Obatnya sudah diminum, Nan?" tanyanya.

Kinanti yang masih membungkuk menganggukkan kepala. Setelah gejolak di perutnya reda, dia berkumur lalu cuci muka. Dia kembali ke kamar dan tiduran karena tubuhnya terasa lemas. Gadis itu membuka aplikasi pertemanan berwarna biru dan membaca postingan orang-orang yang berteman dengannya.

Entah sebuah keberuntungan atau pertolongan, pada salah satu postingan ada yang menanyakan obat untuk menghilangkan mual muntah saat hamil muda. Dia pun bergegas keluar kamar memakai masker. Meski tubuhnya lemah, demi mendapatkan obat itu dia memaksakan diri.

"Mau ke mana, Nan?" tanya Dewi.

"Beli obat dulu, Bu," jawabnya cepat lalu keluar dari rumah.

Kinanti merasa gugup saat sudah berada di depan apotek. Gadis itu diam dengan gelisah saat pelayan apotek sedang melayani pembeli lain. Dia bimbang apa yang akan dia katakan pada pelayan apotek.

"Nyari obat apa, Mbak?" tanya pelayan apotek ramah.

Kinanti menyebutkan dua macam obat yang sudah dicatatnya pada pelayan apotek. Dia membawa semua uang tabungannya untuk membeli obat itu. Pelayan apotek mengerutkan alis mendengar obat yang dicari Kinanti.

"Obat-obat ini buat siapa, Mbak?" tanya pelayan itu.

"Buat ibu saya, Mbak," jawab Kinanti berdusta.

"Ibunya gak mau hamil lagi ya, Mbak?"

Kinanti hanya tersenyum tipis pada pelayan itu. Setelah bertanya tentang dosis obat itu dan membayarnya, dia segera pulang. Kinanti berjalan cepat menuju rumahnya.

***

Hari terasa begitu cepat berganti. Kinanti semakin stres karena usahanya tidak membuahkan hasil. Dia sudah meminum obat dan jamu agar datang bulan, tetapi sampai sekarang dia belum juga datang bulan. Dia juga sudah minum obat penghilang mual dan muntah saat hamil muda, tetapi setiap pagi dia selalu muntah di kamar mandi.

Hal itu pula yang membuat kecurigaan Dewi muncul. Setiap pagi dia mendengar putrinya muntah di kamar mandi. Meski Kinanti sudah masuk sekolah lagi, tetapi gadis itu tampak tidak seceria biasanya. Bram berangkat pagi sekali karena angkotnya ada yang memesan.

"Kenapa kamu masih muntah-muntah terus, Kinan?" tanya Dewi tajam saat Kinanti keluar kamar mandi.

Kinanti merasa napasnya tercekat di tenggorokan. Dia menelan ludahnya kasar. Kinanti tidak bisa menjawab pertanyaan ibunya. Gadis itu menunduk tidak berani menatap wajah ibunya.

"Apa artinya ini, Kinanti?"

Kinanti mengangkat wajahnya. Tubuh gadis itu menegang dengan wajah pucat pasi seolah tidak berdarah. Matanya melebar sempurna melihat benda yang dipegang ibunya.

"Itu ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status