Share

4. Terusir

Kinanti menundukkan kepala sedalam-dalamnya. Gadis itu tidak berani menatap sang ibu yang tengah menatap tajam padanya. Air mata sudah tidak mampu dia bendung lagi. Bahu gadis itu berguncang dengan napas yang terasa sesak.

Dewi berdiri dengan tatapan tajam pada putrinya. Bukan kemarahan yang sarat pada sorot mata wanita itu. Namun, kekecewaan dan rasa tidak percaya membuat hatinya terluka. Sebuah kalender meja berada dalam genggamannya.

Kecurigaan Dewi membuat wanita itu memasuki kamar Kinanti saat putrinya sedang muntah di kamar mandi. Dia sangat terpukul melihat kalender meja di kamar Kinanti yang tidak ada lingkaran merah di bulan itu. Tanggal yang dilingkar merah bulan sebelumnya sudah terlewat dua minggu yang lalu.

"Apa artinya ini, Kinan?" tanya Dewi dengan suara bergetar seraya mengangkat tangan yang memegang kalender.

Kinanti menjatuhkan diri di depan ibunya. Dia bersimpuh di kaki wanita yang sudah melahirkannya itu. Tangis penyesalan tidak berhenti meski dia tahu tidak ada arti. "Ampun, Bu. Maafkan Kinan," ucapnya seraya menangis.

Dewi memejamkan matanya yang sudah dialiri air. Napas wanita itu terasa sesak mendengar kata maaf dari putrinya. Dadanya sakit seolah dipukul dengan gada. Dia membungkuk lalu meraih bahu Kinanti. "Apa yang sudah kamu lakukan, Kinan? Kenapa kamu tega mencoreng wajah ibu dan bapak seperti ini?" raungnya tertahan karena tidak ingin didengar tetangga.

Dewi duduk di kursi makan. Dia meraih ponsel jadul yang dia letakkan di meja makan. Setelah menekan nomor suaminya, dia mendekatkan benda itu ke telinga. "Pulang sekarang, Bang," ucapnya menahan emosi. "Pulang, Bang!" Dia menaikkan nada suaranya saat Bram di seberang telepon bertanya.

Dewi menaruh ponselnya dengan kasar. Kinanti masih bersimpuh di kakinya dengan tangis yang tak kunjung reda. Gadis itu sangat menyesal telah membuat luka di hati ibunya. Meski bukan keinginannya, tetap saja dia sudah mencoreng wajah kedua orang tuanya.

"Kenapa kamu seperti ini, Kinan? Apa kamu lupa semua yang ibu katakan pada kamu?"

"Maafkan Kinan, Bu."

"Katakan pada ibu, dengan siapa kamu melakukan dosa itu? Siapa laki-laki yang sudah melakukannya?" tuntut Dewi.

Bukannya menjawab, Kinanti semakin kencang menangis. Lidahnya terasa kelu untuk mengucap satu nama yang sudah menodainya. Dia tidak sanggup mengatakan hal itu pada orang tuanya karena pasti akan membuat mereka semakin terpukul.

"Ada apa sih, Wi? Kenapa suruh pulang? Padahal tadi penumpang lagi banyak," tanya Bram yang baru saja pulang.

Bram merasa aneh saat melihat Kinanti duduk bersimpuh di kaki Dewi. Hatinya penuh tanya saat melihat dua wanita yang sangat disayanginya menangis. "Kenapa kalian menangis?"

Kinanti semakin tergugu mendengar pertanyaan ayahnya. Gadis itu tidak berani menatap kedua orang tuanya. Dia terus mengucap maaf dalam hatinya.

"Kecurigaanku selama ini ternyata benar, Bang," ucap Dewi seraya menangis.

"Kecurigaan apa?" tanya Bram.

"Sakit Kinan itu bukan masuk angin. Dia ... dia ...." Dewi tidak sanggup mengatakannya. Dadanya semakin sesak saat harus mengatakan sebuah fakta yang menyakitkan bagi mereka.

"Lalu, Kinan sakit apa?" desak Bram.

Dewi menyodorkan kalender yang dipegangnya pada sang suami. Dia menunjukkan tanggal yang dilingkar merah bulan lalu serta tanggal bulan ini. Bram mengambil kalender itu. Dia mencoba memahami apa yang dimaksud oleh isterinya.

Tangan Bram yang memegang kalender bergetar dengan pegangan yang menguat. Rahang pria itu mengetat karena amarah. Napasnya memburu dengan emosi tingkat tinggi. Dia menarik tangan Kinanti yang masih memegangi kaki ibunya dengan kasar.

"Sejak kapan kamu berani melakukan itu, hah? Sejak kapan kamu melakukan dosa itu, hah? Berani kamu mencoreng wajah bapak? Berani kamu melempar kotoran ke wajah bapak?" cecar Bram seraya mengguncang tubuh Kinanti.

Kinanti tidak menjawab apa pun. Gadis itu hanya menangis tanpa mampu berucap. Dia tetap bungkam meski tubuhnya diguncang cukup kuat oleh ayahnya. "Maafkan Kinan, Pak," mohon gadis itu.

Plak!

"Ahk!" Kinanti memekik saat tangan besar Bram mendarat di pipi kirinya. Gadis itu bersimpuh di kaki sang ayah seraya menangis.

"Kehormatan adalah harga diri seorang wanita. Bagaimana bisa kamu menyerahkan itu pada laki-laki yang bukan suamimu? Di mana harga dirimu?" Kembali Bram mencecar putrinya.

Bruk!

"Ahk!" Kinanti kembali memekik saat tubuhnya didorong sang ayah hingga keningnya terantuk ke lantai.

Bram tidak peduli akan kesakitan putrinya. Dia mengabaikan luka lebam di kening Kinanti. Pria itu kembali menampar wajah manis gadis itu. Dia bahkan memukul dan menjambak rambut panjang Kinanti. "Katakan! Siapa laki-laki itu?"

"Ampun, Pak. Maafkan Kinan."

Hanya kata-kata itu yang keluar dari bibir Kinanti yang berdarah akibat tamparan ayahnya. Penampilan gadis itu sudah tidak karuan. Rambut kusut acak-acakan, wajah merah berdarah penuh lebam.

"Jangan, Bang! Cukup, Bang!" teriak Dewi saat Bram hendak memukul Kinanti lagi. Wanita itu memeluk tubuh putrinya. Meski dia marah dan terpukul dengan perbuatan putrinya, tetapi jiwa seorang ibu tidak akan tega melihat anak yang sudah dilahirkannya disakiti.

Bram berjalan cepat dan kasar ke kamar Kinanti. Dia memasukkan asal pakaian gadis itu ke tas besar. Setelah itu, dia keluar kamar dan melempar tas itu di depan Kinanti. "Keluar dari rumah ini sekarang juga! Bapak tidak sudi rumah ini ditinggali oleh orang yang sudah berbuat zina!" usirnya pada Kinanti.

"Bang!" Dewi menjerit mendengar perkataan suaminya.

"Maafkan Kinan, Pak. Kinan mohon jangan usir Kinan dari sini." Kinanti memohon belas kasih pada ayahnya. Dia bersujud di kaki pria itu.

"Pergi dari sini!" teriak Bram seraya menggerakkan kaki yang dipegang Kinanti, membuat gadis itu terjengkang.

"Aku mohon jangan usir Kinan, Bang," rengek Dewi.

Bram yang sedang terbakar amarah menarik tangan Kinanti. Tangan satunya mengambil tas berisi pakaian gadis itu. Dia menyeret Kinanti keluar rumah. Meski Kinanti terus memohon dan berusaha bertahan, tetapi tanaga Bram lebih kuat darinya. Bram mendorong kasar tubuh Kinanti dari teras rumah. Dia juga melempar tas besar itu ke tubuh putrinya.

"Pergi dari sini! Aku tidak sudi rumahku diinjak oleh anak durhaka sepertimu!" usir Bram. Dia tidak peduli menjadi tontonan tetangga.

"Kinan," panggil Dewi seraya berjalan ke arah putrinya.

"Biarkan dia pergi! Dia sudah durhaka pada kita! Dia sudah mencoreng wajah kita!" bentak Bram pada Dewi seraya menarik isterinya masuk rumah.

Para tetangga yang melihat hal itu bertanya-tanya, ada apa? Mereka tidak tahu apa penyebabnya. Mereka juga tidak tahu apa yang sudah dilakukan Kinanti hingga dicap sebagai anak durhaka oleh ayahnya. Yang mereka tahu, Kinanti adalah gadis yang baik, ramah dan sopan.

"Kinan!" teriak Dewi memanggil nama putrinya.

"Biarkan, Dewi! Jangan pedulikan dia! Atau ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status