Share

6. Kegusaran Evan

Kinanti merasakan sakit di perutnya. Namun, tidak ada darah yang keluar dari organ intimnya yang menandakan terjadinya keguguran. Dia mengerang kesakitan seorang diri. Kebenciannya pada Evan semakin bertambah sejalan dengan kebenciannya pada janinnya.

"Kamu dan ayah kamu itu sama-sama jahat! Kalian sudah membuatku menderita!" teriak Kinanti lalu menangis.

Semua penderitaan yang dialaminya membuat dia sangat membenci janin itu dan juga Evan. Akibat perbuatan sahabat kakaknya itu dia sekarang harus menanggung malu karena hamil di luar nikah. Dia juga harus meninggalkan sekolahnya karena tidak ingin mendapat malu jika sampai ketahuan oleh pihak sekolah dan teman-temannya.

***

"Bangun! Bangun! Jangan tidur di depan tokoku!"

Suara bentakan itu membangunkan Kinanti dari tidurnya. Bukan tidur nyaman dengan mimpi indah. Melainkan tidur meringkuk karena kedinginan. Gadis itu tidur beralaskan kardus yang keras.

"Cepat bangun! Jangan tidur di sini nanti daganganku tidak laku!" Ibu pemilik toko itu tidak hanya membentak. Wanita itu menarik rambut Kinanti yang kusut lalu menyeretnya.

"Iya, Bu. Aku akan pergi dari sini, tapi lepaskan rambutku. Sakit!" Kinanti meringis merasakan perih pada kulit kepalanya.

"Cantik-cantik jadi gembel!" hardik ibu pemilik toko pada Kinanti.

Kinanti berjalan dengan membawa tasnya. Dia melihat ke kanan dan ke kiri untuk mencari kamar mandi. Dia kebelet buang air kecil dan ingin membersihkan diri. Akhirnya dia menemukan kamar mandi umum di pasar itu.

"Numpang buang air kecilnya ya, Pak?" pinta Kinanti.

"Kalau buang air kecil bayar tiga ribu. Kalau buang air besar atau mandi bayar lima ribu," balas pria penjaga kamar mandi.

"Saya tidak punya uang, Pak," ucap Kinanti.

"Kalau tidak punya uang, cari tempat lain saja!" bentak pria penjaga toilet.

"Sebentar saja, Pak," pinta Kinanti.

"Sudah pergi sana! Jangan menghalangi orang yang akan ke kamar mandi!" Penjaga toilet itu mendorong tubuh Kinanti supaya menjauh dari tempat itu.

Kinanti melangkah pergi dari area toilet umum. "Kamu liat, kan? Jangankan mandi, pipis pun aku gak bisa. Ini semua gara-gara kamu!" omel Kinanti memukul perutnya. Dia kembali melangkah tanpa tujuan.

***

Matahari sudah berada di atas kepala. Cuaca sangat cerah hari ini hingga panasnya membakar kulit. Cuaca yang sangat mendukung manusia malas bergerak dengan dalih gerah dan panas.

Kendra terus melajukan motornya menyusuri jalan daerah perkampungan. Sudah beberapa hari dia selalu mencari keberadaan adiknya sebelum masuk kerja. Hari ini bahkan dia izin dari tempat kerjanya untuk mencari Kinanti.

Entah sudah berapa kilometer jarak yang dia tempuh untuk mencari keberadaan sang adik. Kali ini dia ditemani oleh Kayla, kekasihnya. Kayla sudah tahu apa yang menimpa Kinanti dari Kendra. Dia juga sudah mengenal Kinanti.

"Ke mana lagi kita akan mencari Kinanti?" tanya Kayla. Mereka sedang beristirahat di sebuah warung pinggir jalan.

"Aku juga gak tau," jawab Kendra. "Yang aku takutkan, gimana kalau Kinanti ketemu orang jahat? Dia juga pasti kelaparan karena gak bawa uang sepeser pun."

"Semoga kita bisa menemukan Kinanti secepatnya," balas Kayla.

Mereka melanjutkan perjalanan mencari Kinanti. Kendra baru pulang saat hari sudah malam. Dia tampak lelah dan putus asa. Seharian mencari adiknya, tetapi tidak menemukan gadis itu.

"Dari mana saja kamu?" tanya Bram dengan nada membentak pada Kendra.

"Kuliah, Pak," jawab Kendra pelan.

"Jangan bohong!" sentak Bram. "Mana ada kuliah dari pagi hingga larut malam begini?"

"Sudah, Pak. Jangan keras-keras, gak enak sama tetangga." Dewi mencoba meredam amarah suaminya.

"Dia sudah mulai tidak disiplin, Bu! Bapak tidak mau suatu hari ada anak gadis datang meminta pertanggungjawaban Kendra."

"Pak!" Dewi meninggikan suaranya. "Jangan bicara seperti itu, Pak. Ucapan orang tua itu doa."

"Bapak tidak mau dia juga mencoreng wajah Bapak sama seperti ...." Bram tidak melanjutkan ucapannya. Pria itu tidak sudi menyebut nama putri yang sudah membuat aib dalam keluarganya.

"Seperti Kinanti maksud Bapak?" tanya Kendra memancing agar Bram mau menyebut nama adiknya.

"Jangan sebut namanya di rumah ini!" bentak Bram.

"Seharian ini aku mencari Kinanti, Pak," ucap Kendra.

"Untuk apa kamu mencarinya? Dia sudah mati!"

"Pak!" Dewi berseru. "Kinanti anak kita, Pak."

"Bagiku dia sudah mati!"

"Kinanti tetap adikku dan aku akan mencarinya sampai ketemu," ucap Kendra penuh tekad.

"Jangan pernah bawa dia ke rumah ini. Aku tidak sudi rumahku diinjak oleh orang yang sudah berzina! Jika kamu ingin mencari dia, jangan pulang sekalian!" Bram masuk kamar lalu membanting pintunya.

"Aku akan tetap mencari Kinanti! Jika Bapak tidak menginginkannya, aku akan menghidupi Kinanti dengan uang hasil kerjaku!" seru Kendra agar sang ayah yang berada di kamar bisa mendengarnya.

"Sudah, Ken, sudah. Ini sudah larut malam, gak enak sama tetangga." Dewi mengusap punggung Kendra yang nampak naik turun. Dia tahu putranya sedang berada dalam kondisi emosi. Namun, dia juga tahu rasa kecewa Kendra lebih besar dari rasa marahnya pada sang ayah.

"Aku akan tetap mencari Kinanti, Bu," ucap Kendra pada sang ibu.

"Jika kamu sudah menemukan Kinanti, beri tahu ibu. Ibu sangat merindukan dia," ucap Dewi pelan agar tidak didengar suaminya.

"Aku gak bisa bayangin nasib Kinanti di luar sana, Bu. Dia pasti kelaparan, kepanasan dan kedinginan. Dia gak bawa uang sepeser pun." Dada Kendra bergemuruh membayangkan nasib adiknya.

"Ibu juga sama, Ken. Itu sebabnya ibu selalu memberi makan pengemis tua yang datang ke rumah. Ibu harap orang-orang di luar sana pun akan memberi makan pada Kinanti." Dewi sudah menangis pilu.

"Besok kuliahku libur, Bu. Aku akan mencari Kinanti lagi."

***

Kembali Kinanti tidur beralaskan kardus. Dia tidur di depan emperan sebuah toko yang sudah tutup. Namun, toko itu bukan toko sebelumnya. Sudah dua bulan lebih dia menjadi gelandangan tanpa tujuan. Dia tidur di emperan toko-toko yang dilewatinya.

Kinanti kini sudah berada di daerah kota hujan. Dia terus berjalan dari satu desa ke desa lain. Beberapa kali dia selalu mencoba menggugurkan kandungannya. Namun, janin itu sepertinya tidak ingin gugur begitu saja. Janin itu tetap berada di rahimnya.

Perut Kinanti sudah tampak membuncit karena usia kandungannya sudah memasuki 13 minggu. Kinanti berdiri di dekat pagar jembatan yang di bawahnya terdapat aliran sungai yang cukup deras. Dia merasa lelah karena usahanya untuk menggugurkan kandungan selalu gagal.

"Kamu jahat, Evan! Kamu brengsek! Kamu sudah membuat hidupku menderita! Aku tidak mau melahirkan anakmu! Aku benci kamu! Aku benci anak ini!" teriak Kinanti.

Kinanti mulai menapakkan kaki pada besi pagar jembatan. Dia sudah sangat lelah dan putus asa. Dia tidak ingin melahirkan bayi yang sudah membuat hidupnya hancur. Gadis itu berpikir jika kematian lebih baik daripada harus menanggung derita yang tiada akhir.

***

Evan merasa tidak nyaman saat mengikuti mata kuliah. Dia merasa ada sesuatu yang mengganjal hatinya, tetapi dia tidak tahu itu apa. Dia selalu bergerak gelisah dengan embusan napas yang jelas sekali menunjukkan kegusaran hatinya.

"Kau kenapa? Apa yang terjadi padamu?" tanya Mark, teman yang duduk di samping Evan.

"Aku tidak tahu. Aku merasakan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa itu," jawab Evan.

"Jangan sampai dosen menegurmu," ucap Mark. "Apa aku perlu memanggilkan April?" Mark beranggapan jika April adalah kekasih Evan.

"Tidak perlu," jawab Evan cepat.

Evan berusaha fokus pada mata kuliah yang sedang disampaikan oleh dosennya. Namun, pikirannya malah tertuju pada gadis yang diam-diam dia cintai. Wajah gadis itu yang berlinang air mata membuatnya merasa sangat bersalah.

Evan berjanji pada dirinya sendiri, jika dia akan menyelesaikan kuliahnya secepat mungkin agar bisa segera kembali ke tanah air. Dia ingin segera melamar gadis yang sudah dia janjikan sebuah ikatan pernikahan. Dia ingin melamar Kinanti.

"Kinanti!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status