Share

5. Terlunta di Jalanan

"Atau kau tidak akan bisa melihatnya lagi," desis Bram pada Dewi.

"Apa maksud kamu, Bang?" tanya Dewi dengan suara bergetar.

"Aku lebih suka melihat Kinanti mati daripada menerima aib ini," geram Bram.

"Bang! Istighfar, Bang!" seru Dewi.

"Daripada menanggung malu. Jika bukan dia yang mati, aku yang akan mati!"

Mata Dewi membulat sempurna. Wanita itu tidak menyangka sang suami akan mengatakan hal itu. Hal yang seharusnya tidak boleh diucapkan oleh orang tua untuk anak mereka.

***

Evan beranjak dari ranjang menuju pintu apartemen saat mendengar bel pintu berbunyi. Dia membukakan pintu untuk tamunya. Seorang gadis berdiri di depan pintu dan langsung masuk ke apartemennya.

"Keluar, yuk!" ajak April.

"Aku gak bisa," tolak Evan.

"Kenapa? Kamu sering banget nolak ajakanku, Van." April mengerucutkan bibirnya.

"Aku sedang gak enak badan, perutku mual dan kepalaku pusing," dalih Evan.

"Perasaan kamu belakangan ini sering banget pusing dan mual."

"Namanya juga sakit."

"Periksa dong, Van."

"Kamu kalau mau pergi, pergi saja dengan teman yang lain."

April mendengus kesal. Sejak tinggal di Toronto untuk kuliah, Evan sangat acuh padanya. Pemuda itu selalu menolak ajakannya untuk pergi berdua. Kalaupun mau, Evan pasti mengajak teman yang lain.

***

Kinanti melangkah gontai tak tentu arah. Matahari sedang terik-teriknya saat itu. Kepalanya terasa pening di bawah sengatan sinar matahari. Dia duduk di batang pohon yang ditebang. Keringat yang mengalir di pelipis dia seka dengan punggung tangannya.

Kinanti mengibaskan tangan di depan wajah untuk mendapatkan sedikit angin. Rasa haus menyerang tenggorokannya. Perutnya pun mulai berbunyi minta diisi. Perlakuan sang ayah membuatnya sangat membenci benih yang tumbuh di rahimnya.

Kinanti memukul perutnya beberapa kali, berharap janin itu akan gugur. "Kenapa kamu harus ada? Kamu sudah membuat aku disiksa dan diusir dari rumah!"

Bukan sakit yang berlanjut pada keguguran, tetapi rasa lapar yang melanda. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari warung yang mungkin bisa dimintai tolong. Kinanti sendiri merasa heran, kenapa dia tidak keguguran. Dia sudah berusaha mengonsumsi jamu dan buah nanas yang dilarang untuk wanita hamil.

Kinanti mendatangi sebuah warung nasi sederhana di pinggir jalan. Gadis itu menelan ludah melihat beberapa orang yang sedang makan dan minum di warung itu. Dia memberanikan diri mendekati penjual yang sedang melayani pembeli.

"Maaf, Bu. Apa boleh saya minta makan dan minum? Saya akan mencucikan piring di sini sebagai pengganti bayarnya," tanya Kinanti hati-hati.

Penjual warung nasi menatap Kinanti dengan heran. Gadis manis itu hanya menunduk tanpa berkata-kata lagi. "Boleh, tapi hanya sekali ini saja," jawab penjual itu ketus.

"I-iya, Bu. Enggak apa-apa," balas Kinanti girang.

Penjual itu menyodorkan sepiring nasi dengan hanya tahu dan tempe sebagai lauknya. "Minumnya ambil di sana!"

Kinanti menoleh ke arah yang ditunjuk penjual nasi. "Makasih, Bu."

Kinanti bergegas mengambil air minum dan segera duduk untuk menyantap makanannya. Dia makan dengan lahap bagai orang yang sudah berhari-hari tidak makan. Bagi gadis itu, yang penting dia tidak kelaparan.

***

Jam 3 sore Kendra baru pulang dari kampus. Dia melihat rumah sangat sepi. Keberadaan Bram di rumah membuat pemuda itu bertanya-tanya dalam hati. Biasanya sang ayah baru akan pulang saat hari sudah petang. Hatinya semakin bertanya-tanya saat melihat Dewi terisak dan sesekali menyeka air matanya.

"Ada apa, Pak? Bu? Di mana Kinan?" tanya pemuda itu mencari keberadaan sang adik.

"Jangan tanyakan dia lagi!" sahut Bram dengan nada garang. Pria itu duduk menonton televisi, meski sebenarnya dia tidak menikmati tontonan itu.

"Kenapa, Pak? Ada apa?" Kendra seperti orang linglung. Bram duduk dengan tatapan lurus dan tampak garang. Dewi sendiri masih terisak hingga matanya merah dan membengkak.

"Adik kamu sudah mencoreng muka bapak! Dia sudah menaruh kotoran pada wajah bapak!"

"Apa yang sebenarnya terjadi, Bu? Pak?"

Bram melempar kalender meja yang dipegangnya ke depan kaki Kendra. Kendra mengambil benda itu perlahan. Dia melihat hingga membolak-balik kalender itu. "Ini ... maksudnya apa, Pak?"

"Adik kamu tidak bisa menjaga harga dirinya sebagai seorang wanita! Adik kamu sudah membuat aib pada keluarga kita! Dia sudah kehilangan kehormatan dan harga dirinya! Dia hamil!"

Deg!

Dada Kendra bagai dihantam palu besar. Dia tidak menyangka jika Kinanti hamil. Adik perempuannya itu tidak pernah dekat dengan murid laki-laki di sekolah ataupun pria di luar sekolah. Kinanti gadis yang baik dan ramah. Ini benar-benar di luar dugaannya.

"Tidak mungkin, Pak. Kinanti tidak mungkin melakukan itu," ucap Kendra seraya menggeleng kepala.

"Tapi nyatanya itu benar! Adik kamu sudah menumpahkan kotoran di wajah bapak!" murka Bram.

"Lalu, di mana Kinanti?" tanya Kendra.

"Dia sudah bapak usir dari rumah! Anak durhaka yang sudah membuat malu keluarga itu tidak boleh tinggal di sini! Bapak tidak sudi rumah bapak diinjak oleh orang yang sudah berbuat zina!" berang Bram.

"Tapi, Pak, bagaimana Kinan di luar sana? Dia masih kecil, Pak," tanya Kendra.

"Jika dia masih kecil, harusnya dia tidak melakukan perbuatan yang hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah!"

"Kasian Kinan, Pak. Dia juga sebentar lagi akan menghadapi ujian." Kendra bergegas akan mencari adiknya.

"Berani kamu melangkah keluar dari rumah ini, maka kamu tidak akan bisa masuk kembali!" ancam Bram lantang.

Kendra menghentikan langkahnya menuju pintu. Ancaman ayahnya membuat nyali pemuda itu ciut. Jika dia tidak tinggal di rumah, dia akan tinggal di mana?

Meski dia bekerja paruh waktu untuk meringankan biaya yang dikeluarkan orang tuanya, tetapi dia tidak ingin membuat ayahnya semakin marah. Dia tidak ingin dicap sebagai anak durhaka dan membuat kedua orang tuanya semakin terluka. Dia akan mencari Kinanti di lain hari.

***

Hari sudah gelap dan Kinanti masih berada di jalanan tanpa tujuan. Gadis itu tidak tahu harus ke mana. Saat sedang berjalan, perutnya terasa mual. Dia memuntahkan semua isi perutnya. Gadis itu menyeka mulutnya dengan punggung tangan. Dia mengambil botol air mineral pemberian penjual nasi campur lalu menenggaknya.

Kakinya terus melangkah tak tentu arah. Dia kini berada di area pasar yang gelap. Kinanti memeluk tubuhnya sendiri. Sebenarnya dia takut berada di tempat itu, tetapi kakinya sudah sangat lelah berjalan. Malam juga semakin larut dan kelam.

Kinanti melangkahkan kakinya ke ruko yang ada di pasar. Beberapa orang sedang terlelap di lantai pasar yang kotor hanya beralaskan kardus. Matanya bergerilya ke sana kemari. Mata bening itu menangkap sebuah kardus yang sudah terbuka di sudut sebuah ruko.

Kinanti berjalan ke depan ruko itu. Dia menggelar kardus itu lalu menjadikannya alas tidur. Tas yang dibawanya dia jadikan bantal. Gadis itu berbaring meringkuk di atas kardus. Dia terisak meratapi nasib yang tidak berpihak. Dia diusir dari rumah sementara pelakunya hidup normal seperti biasa bahkan hidup mewah.

Gadis itu memukuli perutnya, berharap janin yang sangat tidak diharapkannya itu gugur. Beberapa kali dia melakukan itu. Dia sangat berharap jika janin itu akan keluar hingga berhenti menyiksanya.

"Ahk!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status