Share

Garis Dua

“Siapa orangnya?” tanya Erlin penasaran. Namun belum sempat Antonio memberikan jawaban, ponsel di dalam tas Erlin sudah lebih dulu berdering. Ada satu panggilan dari teman kuliahnya.

“Ada apa, Windy?” ujar Erlin setelah panggilan tersambung.

“Kamu di mana sih? Jam segini belum kelihatan di kampus. Kamu enggak bolos kan?” cecar temannya yang bernama Windy dari seberang.

“Bolos sih enggak. Tapi mungkin telat sebentar. Aku masih ada urusan,” jawab Erlin.

“Ya ampun urusan apa sih? Lebih baik kamu segera ke kampus deh. Pokoknya usahakan jangan telat,” titah Windy.

“Emangnya kenapa sih sampai segitunya?” tanya Erlin heran dengan sikap Windy yang tak biasa.

“Kalau hanya karena ada gosip terbaru yang ingin kamu ceritakan, bisa pending nanti aja deh. Serius aku lagi ribet sekarang,” imbuh Erlin. Dia tahu biasanya Windy bersikap heboh jika mendapatkan isu terbaru seputar anak-anak di kampus. Bisa dikatakan mereka berdua adalah partner in crime dalam urusan berburu gosip.

“Aduh...justru akan lebih ribet kalau kamu enggak masuk kelas tepat waktu. Kamu enggak tahu ya kalau mata kuliahnya Ibu Maretha sudah diganti?”

“Hah? Diganti gimana maksudnya?” ujar Erlin terkejut.

“Iya jadi Ibu Maretha itu pergi ke luar negeri untuk melanjutkan kuliah doktornya. Sekarang dosen pengampu mata kuliah Akuntansi Perpajakan sudah diganti dan mulai masuk hari ini.”

“Terus siapa dosen penggantinya?”

“Pak Adian.”

“What? Kenapa harus dia sih? Dapat satu mata kuliah yang diajar dia aja udah nyebelin banget. Apalagi dua mata kuliah?” respon Erlin terkejut. Dia mengacak-acak rambutnya karena kesal. Ada banyak hal yang membuatnya syok hari itu.

“Udah enggak usah banyak komentar. Kelas dimulai lima menit lagi. Kamu ngerti kan gimana aturan kelas yang ditetapkan Pak Adian. Di mana pun kamu berada, lebih baik sekarang berangkat ke kampus deh,” kata Windy membuat kesimpulan.

Erlin mengumpat sebal. Sikapnya jelas menjadi pusat perhatian dokter sejak tadi. Tapi Erlin benar-benar tidak peduli. Dia hanya menyampaikan bahwa dia harus pergi namun pasti akan kembali lagi untuk mengurus masalah yang belum selesai.

Secepat kilat Erlin kemudian keluar dari ruangan dokter. Dia bergegas berangkat ke kampus  dengan menggunakan ojek online. Sepanjang perjalanan dia gelisah memantau lingkaran jam di tangannya.

Detik dan menit terus berlalu. Erlin mendesak sang driver untuk mempercepat laju motornya. Namun ternyata jalanan yang dilalui justru macet. Cukup lama mereka harus menunggu.

Erlin berdecak sebal saat menyadari dia tidak bisa sampai di kampus tepat waktu. Dia langsung mengirim pesan pada Windy dan mengatakan dirinya terpaksa akan datang terlambat. Erlin sudah pasrah walau dia tahu konsekuensi apa yang akan dia dapatkan dari Pak Adian nantinya.

Mengejar waktu ke kampus juga percuma, Erlin akhirnya meminta driver untuk mencari apotek terdekat. Dia ingin mampir untuk membeli alat tes kehamilan. Walau sudah dijelaskan sedemikian rupa tapi rasanya Erlin belum bisa percaya dengan perkataan dokter.

Tidak cukup satu, Erlin membeli beberapa merk test pack sekaligus. Dia benar-benar dalam kondisi darurat. Besar harapan bahwa semua itu bukanlah kenyataan. Setelah dari apotek, Erlin kembali meminta driver untuk mengantarnya ke kampus.

Seperti yang sudah diduga, kelas sudah dimulai saat Erlin tiba. Pak Adian memang dosen yang sangat tepat waktu. Erlin berusaha tenang dan mengatur napas. Dia kemudian memberanikan diri membuka pintu kelas dan menunjukkan keterlambatannya di depan semua orang.

“Kenapa telat?” sapa Adian dengan ketusnya.

“Maaf, Pak. Tadi di jalan terjebak macet. Lagi pula saya juga baru mendengar informasi kalau dosen untuk mata kuliah ini diganti dengan Pak Adian” jawab Erlin berusaha seramah mungkin.

“Memang apa bedanya? Kalau Bu Maretha yang mengajar lalu kamu bisa telat seenaknya begitu?” balas Adian sinis.

“Tidak, Pak” ujar Erlin hanya bisa menundukkan kepala.

“Dengar ya semua, meskipun saya hanya dosen pengganti yang melanjutkan mata kuliah Ibu Maretha, tapi saya mau memberlakukan aturan yang sama seperti mata kuliah saya yang lainnya,” kata Adian memberi peringatan pada semua mahasiswa. Tidak ada seorang pun yang berani membantah.

“Dan kamu, Erlin. Kamu tahu kan apa konsekuensinya kalau datang terlambat?” imbuh Adian kembali ditujukan pada Erlin.

“Tahu, Pak” jawab Erlin lemah.

“Kalau begitu silahkan keluar dari kelas ini,” usir Adian tanpa memberi pengampunan.

Erlin hanya bisa menurut dan meninggalkan kelas. Beberapa kali dia sempat merutuki dirinya sendiri. Seharusnya dia tidak perlu menunjukkan diri ke kelas jika sudah tahu akan diusir. Bahkan tidak ada bedanya jika dia bolos.

Erlin berjalan lemah. Keberuntungan benar-benar tidak berpihak padanya kali ini. Suasana kampus terasa sepi karena sebagian besar mahasiswanya sedang menjalani perkuliahan di kelas masing-masing.

Erlin kemudian teringat dengan test pack yang baru saja dia beli. Erlin pergi ke toilet untuk melakukan pemeriksaan mandiri. Dia tidak sabar ingin mengetahui hasilnya. Kebetulan toilet juga sedang kosong sehingga dia merasa aman.

Erlin mencoba satu persatu test pack itu. Ada sekitar lima test pack dengan merk yang berbeda. Hasil pertama, kedua dan ketiga masih tidak membuatnya hilang keyakinan. Tapi pada percobaan kelima, harapannya pupus karena semua alat tes itu menunjukkan hasil yang sama. Dia benar-benar positif hamil.

Tubuh Erlin terasa lemas di tempatnya. Kaki seolah tak mampu menopang beban tubuh. Dia benar-benar syok dengan kenyataan yang harus dihadapi. Bahkan pantulan wajahnya di cermin wastafel juga terlihat memucat.

“Ya Tuhan...bagaimana bisa aku hamil? Apa yang harus aku lakukan sekarang?” ujar Erlin kebingungan.

Ada banyak hal yang mengganggu pikiran Erlin. Masa depan pendidikan dan karirnya, harapan orang tua dan juga hubungan asmara dengan sang kekasih. Semua tak akan sama lagi dengan adanya kehamilan itu.

Apalagi dia hamil tanpa menikah. Dengan gampangnya orang-orang bisa salah paham dan mengira dia sudah terlibat pergaulan bebas. Bahkan menjelaskan sampai mulut berbusa juga masih sulit untuk membuat orang lain percaya.

Erlin berpikir dia tidak bisa tinggal diam setelah menjadi korban kesalahan besar yang dilakukan pihak rumah sakit. Sekalipun membuat tuntutan tidak bisa mencegah kehamilan yang sudah terlanjur terjadi, tapi setidaknya dia ingin tahu siapa ayah dari bayi itu. Memikirkan semuanya membuat Erlin semakin kalut.

Sekalipun mengetahui siapa laki-laki itu, belum tentu juga Erlin bisa meminta pertanggung jawaban. Dokter mengatakan biasanya proses inseminasi buatan dilakukan untuk membantu pasangan suami istri. Erlin bergidik ngeri membayangkan jika ternyata ayah dari bayi itu adalah laki-laki yang sudah beristri. Dia berpotensi menjadi pelakor yang dibenci habis-habisan oleh istri sah.

Erlin berusaha menenangkan diri sebelum pikiran negatif semakin memenuhi ruang otaknya hingga dia tidak bisa berpikir jernih. Dia mencoba untuk menanamkan keyakinan positif bahwa masih ada jalan keluar untuk masalah yang dia hadapi.

Setelah merasa cukup tenang, Erlin memutuskan untuk keluar dari toilet. Dia berniat untuk pulang saja karena tidak ada gunanya juga berada di sana. Apalagi tidak ada mata kuliah lagi selain kelas Bu Maretha yang tiba-tiba diganti Pak Adian.

Erlin membereskan test pack miliknya dan memasukkan ke dalam tas. Tidak boleh ada orang lain yang tahu tentang rahasia itu. Dia berusaha menormalkan ekspresi saat keluar.

Namun ternyata usahanya gagal karena dia langsung berhadapan secara tidak sengaja dengan Ervan di depan toilet. Kebetulan toilet laki-laki dan perempuan memang bersebelahan. Lebih parahnya lagi, mereka sempat bertabrakan hingga tas Erlin terjatuh dan beberapa barangnya berserakan di lantai.

“Erlin? Kok kamu di sini? Bukannya tadi bilang hari ini ada kuliah?” sapa Ervan sembari mengerutkan kening. Dia masih ingat isi percakapan via w******p dengan kekasihnya itu beberapa saat yang lalu.

“Oh...emm itu...iya sebenarnya aku memang ada kuliah. Tapi dosennya diganti dan aku datang terlambat jadi aku dilarang ikut kelas,” jawab Erlin dengan kegugupan yang tak bisa disembunyikan.

Ervan hanya menyimpul senyum mendengar penjelasan Erlin. Fokusnya kemudian beralih pada barang-barang Erlin yang jatuh. Ervan langsung sigap membantu membereskan.

Erlin pun tak kalah gesit memasukkan kembali barang-barang itu ke dalam tasnya. Erlin begitu panik dan berusaha menyembunyikan test pack-test pack itu dari Ervan. Namun sayangnya laki-laki itu sudah dulu memegang salah satunya.

“Ini test pack, kan? Garis dua? Maksudnya apa, Erlin?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ubas Nuthit
miris bener ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status