Share

Part 2 : Siasat Fero

Di malam hari, langit begitu cerah, Sarah yang saat itu berada di halaman rumah sedang menengadahkan kepalanya sambil menatap bintang-bintang di langit. Teringat jelas di benaknya saat ia berada di kantor dan membaca sebuah judul di halaman utama sebuah Surat kabar : "Pemilik Perkebunan & Perusahaan teh ditemukan mati gantung diri."

Peristiwa itu sudah sebulan lebih berlalu, tapi baginya itu merupakan peristiwa yang tidak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya, karena setelah ia memutuskan hubungannya dengan Fadli, sering sekali Fadli menelfonnya serta mengancam akan bunuh diri. Sarah sama sekali tidak mengira kalau Fadli benar-benar mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri, Sarah mengira perkataan Fadli hanyalah sebuah ancaman belaka, dan andai saja saat kencan terakhirnya dengan Fadli ia tidak meminjam kalung Sinta, maka tidak akan resah seperti sekarang ini.

"Dasar kalung pembawa sial huhh....!, sama sialnya dengan anak angkat itu, ngapain juga aku meminjam kalung itu malah sekarang rumit begini jadinya?" gerutu Sarah sambil meremas remas kedua telapak tangannya.

"Masalah rumit apa sih kak, kok sepertinya kakak cemas sekali?" tanya Sinta yang tiba-tiba mengagetkan Sarah.

"Kamu...kamu sejak kapan ada di sini?, bukannya tadi kamu sedang memijit Ibu di kamar?"

"Aku tadi mau mematikan lampu ruang tamu, tapi kok pintu depan terbuka, aku pikir ibu lupa mengunci pintunya, eh ternyata aku melihat kakak sendirian di sini."

"Aku sedang ingin menyendiri sambil memandangi bintang-bintang, oh ya ... tadi pagi ada seorang pemuda yang bernama Fero datang ke sini mencari kamu, dia bilang sudah menemukan kalung kamu loh!"

"Iya Kak, tapi kalungku masih dibawa sama dia, dia masih belum mengembalikan kalung itu."

"Haaa yang bener?, tadi dia bilang sendiri ke aku kalau mau mengembalikannya ke kamu kok!, memang siapa sih Fero itu?, apa kamu mengenalnya?'' tanya Sarah penasaran.

"Aku juga tidak mengenalnya kak, aku juga baru bertemu dia pagi tadi."

"Kok aku merasa ada yang aneh dengan sikapnya itu ya?!, apa mungkin ini hanya perasaanku saja?, apa aku ini terlalu berlebihan bila mencurigai dia?!"

"Curiga?, memangnya ada apa sih kak?"

" Emmmm... tidak ada apa-apa kok, anggap aja aku cuma ngelantur, sudah larut malam aku ngantuk sekali, aku mau tidur dulu ah... jangan lupa kunci pintunya ya!"

"Iya biar aku saja yang menutup pintu!, lagian besok kan kakak harus berangkat kerja pagi-pagi sekali, kakak tidur saja dulu gihhh!" seru Sinta kepada Sarah yang hendak beranjak pergi meninggalkannya sendiri di teras.

Tak terasa malam pun semakin larut, tapi Sarah masih belum juga bisa memejamkan matanya, arah bola matanya menerawang ke langit-langit kamar, kedatangan Fero tadi pagi sangat mengganggu pikirannya saat ini. Selama ia belum mengetahui perihal siapa sebenarnya Fero itu, sampai kapanpun hatinya tidak akan bisa tenang, berbagai pertanyaan pun berkecamuk dalam hatinya.

****

Pagi-pagi sekali selesai sarapan, Sarah bergegas pergi menuju Perusahan Teh milik Almarhum Fadli, dia pun pergi dengan memesan taxi online.

"Pak tolong antarkan saya ke Perusahaan teh ya!" ucap Sarah pada pak sopir.

"Baik mbak!" tentu saja pak sopir tidak banyak tanya lagi, karena di kota Malang hanya ada sebuah Perusahan Teh yang termasyhur yaitu Perusahaan yang dikelolah Ayah Fero kemudian diteruskan oleh Fadli dan Fero. Sekitar 10 menit kemudian Sarah tiba di Perusahan, ia pun membayar taxi, setelah itu Sarah bergegas menuju ke arah pintu gerbang, terlihat olehnya seorang Security yang sedang berdiri di dekat pintu gerbang Perusahaan.

"Maaf pak saya ada janji dengan Pak Fero hari ini, ngomong-ngomong apa Pak Fero sudah datang ya pak?" tanya Sinta

"Maaf dengan ibu siapa ya?" Sang Security balik bertanya kepada Sarah

"Waduh...bisa ketahuan ini kalau aku sama sekali tidak punya janji dengan Fero." bisik Sarah dalam hati,

"Eemm...tapi benarkan CEO perusahan ini bernama Pak Fero?, maaf pak saya juga punya beberapa relasi yang bernama Fero jadi takut salah orang, ciri-cirinya Pak Fero itu orangnya tinggi, ganteng, kulitnya putih, rambutnya berombak, memiliki brewok tipis-tipis di wajahnya betul kan pak?" tanya Sinta berlagak sok tau

"Iya Bu, betul sekali itu memang ciri-ciri dari Pak Fero, beliau adalah Owner sekaligus CEO Perusahaan kami."

"Lalu bapak sudah berapa lama kerja menjadi security di sini?"

"Saya belum satu Minggu Bu bekerja di sini."

"Oowww pantas saja, aku begitu mudah memancing dia untuk memberikan informasi, kalau saja security yang sudah senior pastinya sulit sekali untuk mendapatkan info, bahkan bisa-bisa aku sudah diusir dari sini karena ketahuan berbohong." bisik Sarah dalam hati sambil bernafas lega.

Memang benar dugaan Sarah bahwa Fero ada hubungannya dengan Fadli yang pasti mereka ada hubungan keluarga, Sarah yakin itu.

 

***

Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 09.45 WIB. Sinta berjalan dengan santai menuju toko, ia harus menggantikan ibunya menjaga toko, karena akhir-akhir ini beliau sering sakit. Toko kecil tersebut merupakan peninggalan Almarhum ayah Sarah dan Sinta. Di toko tersebut menjual berbagai macam alat tulis dan perlengkapan sekolah. Maklum tak jauh dari toko itu terdapat beberapa sekolah mulai dari TK, SD, SMP hingga SMA yang dibangun dalam satu kawasan. Selang beberapa menit kemudian Sinta pun sudah sampai di toko, segera ia membuka gembok rolling door yang tertancap di lantai depan toko, setelah itu di ambilnya kemucing untuk membersihkan debu yang menempel di permukaan kaca etalase. Tak lama kemudian sebuah mobil Alphard berwarna hitam mengkilap berhenti di depan toko. Sosok pemuda berkaca mata hitam dengan memakai kemeja berwarna putih polos keluar dari mobil tersebut, karena Sinta telalu fokus membersihkan tiap-tiap sudut etalase, ia tidak menyadari kehadiran sosok pemuda gagah berkaca mata itu.

"Apakah di sini menjual map untuk menyimpan arsip atau dokumen?" tanya Fero

"Iya di sini menyediakan stopmap folio, ordner, map folder juga map snelhecter!" jawab Sinta Mencoba untuk meyakinkan pembeli di hadapannya itu.

"Nah itu yang saya butuhkan map folder, tolong ambilkan yang berwarna merah 2 buah!" ujar Fero sambil ibu jarinya menunjuk ke deretan map folder yang ia maksud, kemudian melepas kaca matanya. Dengan segera Sinta mengambilkan map folder yang diminta Fero. Saat Sinta menyerahkan map folder tersebut, Sontak ia menatap wajah pemuda di hadapannya itu yang baginya wajah tersebut tidaklah asing.

"Kok sepertinya aku pernah bertemu dia sebelumnya ya?, tapi di mana?" bisiknya dalam hati

" Loh kamu nona Sinta yang pernah aku temui di sungai itu kan?" tanya Fero tiba-tiba sambil ibu jarinya menunjuk ke arah sinta

"Ka..kamuuuu...!" sahut Sinta spontan melakukan hal yang sama dengan menunjuk Fero dengan jari telunjuknya.

"Saya tidak menyangka kita bertemu lagi...okey karena saya sedang terburu-buru ini uangnya!" Ucap Fero sambil meletakkan selembar uang seratus ribu di atas etalase.

"Tunggu dulu saya ambilkan kembaliannya sebentar !"

"Uang kembaliannya buat kamu saja!"

"Ehhh...tapi!"

Belum sempat Sinta menyerahkan uang kembalian yang sudah berada di telapak tangannya serta mengucapkan terima kasih, Fero sudah menutup pintu mobil kemudian berlalu pergi.

Waktu terus berjalan, tiba pukul 13.00 WIB. Sinta menutup toko, kemudian bergegas untuk pulang ke rumah. Dengan santai Sinta berjalan menyusuri jalan berpaving yang menuju ke arah rumahnya, namun di tengah perjalanan ia merasa ada seseorang yang mengikutinya dari belakang, saat ia menoleh ke belakang ternyata tidak ada seorangpun di sana.

"Aneh...padahal sepi tidak ada siapa-siapa, apa ada yang bersembunyi  di balik pohon itu ya?!" bisik Sinta dalam hati ,sambil berjalan pelan-pelan menuju ke arah pohon mangga yang besar dan cukup rindang di tepi jalan yang ia lewati. Namun setelah sampai di balik pohon mangga ternyata kosong ia tidak menemukan siapa-siapa.

"Ah.... mungkin ini hanya perasaanku saja!" ucapnya lirih, Sintapun membalikkan badannya, akan tetapi tiba-tiba ia tersentak kaget karena sudah muncul seseorang di hadapannya.

"Waaahhhhh.......!" teriaknya sambil memegangi kedua pipinya dengan refleks.

"He..he..he...ada apa nona?, kenapa anda berteriak histeris seperti itu?" tanya Fero sambil tertawa.

"Bukankah kamu yang tadi membeli map ke toko ku?, apa yang kamu lakukan di sini?"

"Tadi aku lihat kamu berjalan sendirian, terus aku panggil-panggil tapi sepertinya kamu tidak mendengarnya, kemudian ya...aku berjalan cepat untuk menyusul, kenapa apa ada yang salah?" tanya Fero berlagak tanpa dosa.

"Memangnya ada perlu apa sampai kamu mengikuti aku ke sini?, apa kamu mau mengembalikan kalung saya sekarang?"

"Masih belum saatnya, akan ada saat yang tepat untuk saya mengembalikan kalung itu."

"Oooww begitu ya?!, itu kalung saya, tunggu waktu yang tepat apa lagi?, sepertinya kamu memang sengaja ingin mempermainkan saya, sudahlah kalau begitu buang-buang waktu saja saya di sini!" ucap Sinta sambil bergegas pergi

"Eeiittt tunggu dulu!" ujar Fero sambil menarik tangan Sinta hingga membuat wajah mereka saling berhadapan satu sama lain dengan jarak yang hanya beberapa centimeter saja, menyadari hal itu Sinta segera memalingkan muka ke arah yang berlawanan.

"Tolong lepaskan tangan saya!" pinta Sinta

"Oh...maaf!" jawab Fero sambil melepaskan genggaman tangannya.

"Saya sengaja menemui kamu hanya untuk memberikan kartu nama saya ini!" ujar Fero sambil menyodorkan sebuah kartu nama kepada Sinta.

"Saya tidak membutuhkan kartu nama, saya hanya ingin kalung saya kembali!"

"Ayolah, aku yakin suatu saat nanti kamu akan membutuhkan kartu nama ini, bukankah kamu ingin kalungmu itu kan?!"

"Aku rasa tidak ada hubungannya antara kalungku dengan kartu nama kamu!"

"Baiklah jika tetap bersikeras dengan pendirianmu itu, jangan harap aku akan mengembalikan kalungmu, pulanglah!"

"Bagaimana bisa kamu menahan barang milik orang lain dengan seenaknya gitu?"

"Why not?, jika ada seseorang menemukan barang di suatu tempat, lalu orang yang menemukan barang tersebut memberitahukan kepada si pemilik, sebagai orang yang tahu berterima kasih bahwa barang yang dicarinya itu aman dan baik baik saja, apakah tidak ada imbalan sebagai ucapan terima kasih?!"

"Baiklah, kalau begitu kamu ingin imbalan apa sebagai bentuk ucapan terima kasih?"

"Saya tidak ingin imbalan apa-apa, saya hanya ingin kamu menyimpan kartu nama saya ini baik-baik, itu saja!"

"Saya akan menerima kartu nama kamu, tapi dengan satu syarat!"

"Woow.... !, baru pertama kali saya menemukan gadis yang cukup unik seperti ini, sungguh cukup berani sekali, hemmm...!, baiklah syarat apakah itu?"

"Saya ingin kamu berjanji bahwa kamu tidak berniat membohongi saya untuk mengembalikan kalung itu!"

"Baiklah...saya berjanji, percayalah.... ini hanya masalah waktu !"

"Berikan kartu namanya, aku harap kamu bisa memegang kata-katamu itu!" ucap Sinta dengan sewot. 

Sambil tersenyum Fero memberikan kartu namanya kepada Sinta.

"Sungguh gadis yang cukup berani sekali dia, ini akan sangat menarik sekali!" bisik Fero dalam hati.

***

~ Seminggu kemudian ~

Tidak seperti biasanya, malam itu Sinta tidak bisa tidur. Ia kemudian membuka jendela kamar, tampak dengan jelas bulan purnama yang bersinar terang di langit.

"Sudah seminggu berlalu, tapi mengapa dia belum mengembalikan kalungku ya?" entah mengapa tiba-tiba Sinta teringat akan kalungnya.

"Apa lebih lebih baik aku tanyakan saja?, Ah tidak-tidak...!, sebaiknya aku tunggu dulu sampai dia mengembalikannya, tapi sampai kapan dia akan menahan kalung itu?, Seminggu lagi, Sebulan, Setahun?, ahhh... bikin jengkel saja?, apa sih sebenarnya mau dia itu?, masak bodohlah aku telfon saja dia dari pada gak jelas seperti ini!" Sintapun membuka laci lemari lalu dicarinya kartu nama yang diberikan Fero tempo hari, setelah ketemu diraihnya HP yang berada di atas tempat tidur, kemudian diketiknya nomor HP sesuai dengan yang tertera pada kartu nama.

"Sudah tersambung tapi koq gak diangkat ya?, mungkin saja dia sibuk, apa aku coba telfon lagi?, oke aku akan coba lagi!" ucap Sinta pada dirinya sendiri. Begitulah satu, dua, tiga dan akhirnya yang ke empat kali barulah Fero mengangkat telfon dari Sinta.

"Hallo.... !" Fero memulai percakapan

"Eemmm...hallo!" jawab Sinta

"Ini siapa ?" tanya Fero

"Ini aku... Sinta!"

"Ooowwww...Nona Sinta yang jutek itu ya?"

"Whatttt jutek?"

"He...he..he... maaf aku hanya bercanda kok, oh ya... apa ada yang bisa aku bantu?, sampai-sampai si nona cantik ini rela menelfonku malam-malam begini?"

"Ini sudah satu minggu lebih, tapi mengapa kamu masih menahan kalung saya?, kapan kamu akan mengembalikannya?"

"Waduh...., kamu cantik-cantik tapi galak juga ya?!, sabar dulu dong... rileks...!"

"Lalu sampai kapan aku harus bersabar?, apa kamu memang sengaja mengulur waktu hingga aku lupa dan tidak pernah menanyakannya lagi?, bukankah kamu sudah berjanji untuk mengembalikannya, tapi nyatanya apa?, Sampai detik ini kamu masih belum juga memberikannya."

"Kamu ingin tahu nggak kenapa aku melakukan ini?"

"Aku tidak tau, karena aku tidak bisa membaca pikiran orang lain"

"Aku beritahu yang sejujurnya ya!, aku tidak segera memberikan kalungmu itu karena.... eemmm...!"

"Karena apa?"

"Karena aku tidak mau saat aku sudah memberikan kalung itu hubungan kita hanya sampai di situ saja."

"Ya tentu saja, di manapun, siapapun kalau sudah selesai ya sudah, ngapain musti diperpanjang lagi urusannya?"

"Bagaimana kalau tahun depan saja aku kembalikan ?"

"Heyyy, jangan seenaknya gitu ya!"

"He..he.., aku hanya bercanda kok, kalau kamu masih ingin aku mengembalikan kalung itu, aku tunggu besok pagi di sungai jam 08.00, jangan sampai terlambat, ingat harus on time !" ucap Fero kemudian mematikan telfonnya.

"Hallo..hallo...!, Loh... aku belum selesai bicara kok diputus gitu aja telfonnya, kok ada ya orang yang nyebelin gini di dunia ini?, uuhhh...!" bisik Sinta sambil memukul-mukul bantal di pangkuannya karena ia merasa jengkel sekali kepada Fero. Malam semakin gelap, rasa kantuk pun mulai hinggap, Sinta tak lupa menutup jendela, lalu menyingkap selimut kemudian tak butuh waktu lama iapun tertidur lelap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status