Share

Part 7 : Gudang Kumuh Dan Kotor

"Apa kamu memiliki bukti Fero, hingga begitu yakinnya menuduhku untuk sesuatu yang sama sekali tidak aku perbuat?"

"Tentu saja aku punya cukup bukti bahwa kamu adalah orang yang telah menyebabkan kakakku mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya!" teriak Fero lantang sambil menarik kalung dari leher Sinta, hingga membuat mulut Sinta ternganga karena kaget.

"Lihat ini baik-baik! ini adalah kalung yang aku temukan di tangan kakakku saat ia sudah tidak lagi bernyawa, kalung ini digenggamnya sangat erat, hingga sulit sekali untuk dilepaskan dari tangan kanannya, dan ini adalah Berita utama di sebuah surat kabar, lihat baik-baik kalung milikmu itu terlihat sangat jelas di gambar surat kabar sedang digenggam oleh kakakku!"

Sontak Sinta semakin kaget dengan apa yang ia dengar dan lihat dengan mata kepalanya sendiri, ia tidak habis fikir bagaimana bisa kalungnya benar-benar berada di tangan orang yang tidak ia kenal dalam halaman utama di surat kabar itu. Secara refleks Sinta menutup mulutnya.

"Tidak…! Bagaimana mungkin kalungku dalam genggaman orang yang sudah meninggal itu, dan juga aku sama sekali tidak mengenal orang itu, ini sama sekali tidak mungkin, ini fitnah Fero!"

"Berkelitlah semaumu! seribu alasan pun yang keluar dari mulutmu itu aku sudah tidak mempercayainya sama sekali, karena di mana-mana seorang penjahat jika kedoknya terbongkar maka dia juga akan membuat seribu alasan untuk membela diri, jadi tidak heran kalau kamu juga melakukan hal yang sama!"

"Fero aku mohon, aku mohon percayalah kepadaku, aku juga tidak mengerti bagaimana bisa kalungku ada di tangan kakakmu saat meninggal, karena…, karena terakhir kali yang meminjam kalungku adalah kak Sarah…iya kak sarah meminjam kalung itu untuk pergi ke luar rumah, dan saat pulang kembali ke rumah kak Sarah bilang kalau kalung yang ia pinjam dariku itu hilang, begitulah cerita yang sebenarnya Fero!" jawab Sinta dengan sejujurnya kepada Fero.

"Pok..pok..pok..pok..." 

Fero betepuk tangan dengan sangat keras begitu mendengar penjelasan dari Sinta.

"Bagus sekali, sebuah akting yang cukup bagus, setelah kelakuanmu ketahuan, sekarang kamu menunjuk kakak angkat yang sudah menyayangimu dengan sepenuh hati, mana mungkin orang tua angkatmu yang sudah membesarkanmu dengan penuh ketulusan sekarang kamu balas dengan melimpahkan kesalahan pada anaknya? dan sekarang kamu menfitnah kakakmu itu untuk menutupi semua kebusukanmu, inikah balasanmu pada orang-orang yang sudah berbuat kebaikan selama bertahun-tahun kepadamu ha? anak yang baru lahir saja tidak akan percaya dengan apa yang kamu katakan ini, karena hal ini benar-benar sesuatu yang terlalu dibuat-buat."

Air mata Sinta semakin mengalir deras mendengar semua tuduhan yang terlontar dari mulut Fero, ia tidak habis pikir sedikitpun Fero sama sekali tidak mempercayainya, hatinya benar-benar sakit, hatinya benar-benar perih.

"Hapus air mata buayamu itu! aku sudah tidak ingin melihat sandiwaramu lagi, ayo cepat keluar dari kamarku!" bentak Fero sambil menarik tangan Sinta dengan kasar untuk keluar dari kamarnya, karena sudah lemas lunglai tak ada perlawanan sedikitpun dari Sinta untuk menerima perlakuan yang teramat sangat menyakitkan itu. Setelah sampai di sebuah ruangan yang kumuh dan kotor, Fero melepaskan cengkeraman tangannya.

"Ini…di sinilah kamu lebih pantas untuk tinggal! tempat ini lebih buruk dari penjara, hanya dengan hewan-hewan di ruangan ini kamu lebih pantas untuk tinggal bersama!"

"Braaakkkk....!" Fero menutup pintu dengan sangat keras. Sontak jantung Sinta berdetak kencang karena kaget dibuatnya, secara refleks pula ia menutup kedua telinganya. Sinta sama sekali tak berdaya dengan perlakuan Fero, ingin rasanya hatinya berontak dan berucap,

 "Aku tidak bersalah, demi Allah aku tidak melakukannya, hiiks… hiiiks… hiiks…!"

Isak tangis yang kian menjadi meluapkan semua isi hatinya, rasa pilu, kepedihan, hati yang terluka semuanya tumpah ruah, bukan saja tuduhan keji yang tak sepantasnya ia terima, namun juga perlakuan kasar dari suami yang dicintainya, dan yang lebih menyesakkan dada, ia harus menerima kenyataan pahit bahwa selama ini Fero hanya berpura-pura mencintainya, ia sedikitpun tidak memiliki perasaan apa-apa terhadapnya, Fero menikahinya semata-mata hanya karena dendam yang salah sasaran kepadanya, akibatnya ia harus tinggal di dalam ruangan yang sangat kumuh dan kotor, dindingnya berlumut lantainya pun penuh dengan debu, hewan-hewan seperti tikus, cicak, laba-laba bahkan kecoak melintas kesana-kemari. Barang-barang yang tak terpakai memenuhi ruangan itu terlihat sangat berantakan sekali. Sinta baru sadar bahwa ia sekarang sedang berada di dalam sebuah gudang yang tak terpakai bahkan sudah sangat lama tidak dipakai lagi, hal itu terbukti dari penampakannya yang sangat tidak layak untuk dihuni oleh makhluk yang bernyawa tak terkecuali dirinya.

Sinta mengamati seisi ruangan dengan mengelus dada, tak ada sedikitpun bagian di dalam ruangan tersebut yang lolos dari tatapannya yang tajam dan menelisik. Di sisi lain ia juga bingung nantinya harus tidur di mana? karena tidak ada tempat tidur ataupun tikar dan semacamnya. Tanpa banyak berfikir, akhirnya ia mengambil sapu yang terletak di sudut ruangan kemudian dibersihkannya semua debu yang menempel pada dinding, lantai serta langit-langit ruangan, setelah itu dirapikan semua barang yang tata letaknya amburadul, begitu juga di bagian kamar mandi yang bersebelahan dan hanya dipisahkan oleh sebuah dinding yang kokoh, namun sayang dipenuhi lumut yang tumbuh dengan subur. Sinta segera membersihkan  semua bagian ruangan, sebenarnya ia sangat takut dengan hewan-hewan yang berkeliran di depannya sedari tadi, namun tekad untuk membersihkan ruangan itu lebih besar dari rasa takutnya, hingga tanpa berfikir panjang lagi diusirlah hewan-hewan itu dengan menggunakan sapu yang berada di tangannya.

"Huss…huss…huss …!" desis Sinta membuat mereka makin berlarian menjauh kemudian keluar dari lubang pembuangan air di kamar mandi yang sebelumnya oleh Sinta dibuka terlebih dahulu penutupnya. Sedang kecoak yang masih tersisa karena bersembunyi di balik tumpukan buku-buku ia pukul hingga mati dengan menggunakan sapu lalu dibuang dan dimasukkan ke dalam kresek. Setelah dirasa cukup bersih Sinta turun ke lantai bawah menuju ke dapur sambil membawa tumpukan sampah di tangannya.

Setelah sampai di pintu dapur ia menoleh ke samping kanan dan kiri untuk melihat apakah ada tong sampah di sekitar situ, dan benar saja ternyata tong sampah ada di samping kiri pintu keluar, dengan cekatan ia membuang tumpukan sampah yang ia bawa ke dalam tong sampah. Setelah selesai ia kembali menuju ke dapur, di sana ia melihat seorang Bibik yang pernah memberikannya minuman dan juga cemilan saat pertama kali berkunjung ke rumah ini. Tanpa berpikir lagi Sinta menghampiri Bibik tersebut.

"Bik apa boleh saya pinjam karbol dan alat pel sebentar, nanti kalau sudah selesai saya kembalikan lagi!" ujar Sinta

"Tentu saja boleh atu Non, itu Non ada di bawah tangga, tapi ngomong-ngomong untuk apa ya Non?" Jawab Bik Narti.

"Untuk membersihkan gudang atas Bik"

"Tidak usah Non, biar saya saja yang membersihkannya, Enon duduk di sini saja!"

"Bibik lanjutkan saja pekerjaan Bibik, tidak apa-apa saya akan membersihkannya sendiri!"

Tanpa menyadari Si Bibik yang masih terheran-heran karena kehadirannya yang tiba-tiba, Sintapun mengambil alat pel dan juga karbol yang berada di bawah tangga, ternyata di situ tidak hanya ada perlengkapan untuk mengepel lantai namun Sinta juga melihat sebuah matras yang di gulung  dengan menggunakan tali rafia. Spontan terbesit dalam pikirannya kalau matras tersebut bisa ia gunakan untuk tidur nanti malam dari pada nantinya ia harus tidur tanpa menggunakan selembar alas apapun. Sinta pun kembali mendatangi Bibik,

"Bik matras yang digulung dengan tali rafia di bawah tangga itu punya siapa ya?"

"Ooww…itu matras tidak dipakai Non, Mang Inyong yang meletakkan matrasnya di situ karena dulu Si Marni membawa dari kampung non, maksud Marni buat tiduran di dalam kamar Non, tapi sekarang Si Marni sudah tidak bekerja lagi di sini karena sama anaknya tidak di perbolehkan bekerja, anak Marni sudah hidup mapan non di kampung."

"Kalau begitu boleh tidak saya pinjam matras itu Bik?"

"Boleh non silahkan!, tapi harus dibersihkan dulu itu Non karena sudah lama tidak dipakai, biar saya bersihkan dulu ya Non?"

"Tidak usah Bik, biar saya bersihkan sendiri, ini pekerjaan mudah kok!"

"Sungguh tidak apa-apa non, sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu enon."

"Beneran bik, saya bisa melakukannya sendiri, kalau begitu terima kasih ya Bik!"

"Iya non sama-sama!"

Dengan cekatan Sinta menggotong matras dan juga dibawanya pula sebungkus detergen serta penggebuk kasur dari rotan yang berada di bawah tangga menuju ke luar pintu dapur, lalu matras itu dilepaskan tali rafianya, dilepaskan pula seprei yang membungkus matras  dengan cara membuka resleting pada sisi kiri matras, setelah itu dibersihkan matras dengan cara memukul-mukul matras dengan menggunakan penggebuk kasur, Setelah selesai Sinta menjemurnya di bawah terik sinar matahari yang berada persis di samping timur tembok dapur, lalu sprei yang sudah ia lepaskan itu ia cuci di tempat kran air yang terletak di dekat tong sampah. Selesai dicuci  hingga bersih sprei tersebut dijemur di atas tanaman daun dolar yang mengelilingi bagian belakang dapur hingga menyerupai sebuah pagar. Kemudian ia kembali ke bawah tangga untuk mengambil karbol, kaleng, alat pel dan sikat. Dengan cekatan pula ia mengepel di dalam gudang, menyikat serta menguras bak mandi, agar terlihat lebih bersih dari pada saat pertama kali ia masuk ke dalam gudang. Tembok yang berlumutpun ia sikat pula, sehingga meski masih membekas warna hijau pada dinding gudang yang sebelumnya berlumut, namun setelah dibersihkan lebih bisa di terima oleh mata yang memandangnya yaitu Sinta sendiri.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan Jam 13.50 WIB. Sinta bergegas ke kamar mandi untuk keramas dan juga mandi membersihkan diri, Setelah itu ia ganti baju bersih yang sebelumnya ia ambil dari dalam koper, kemudian Sinta melaksanakan sholat dhuhur, seperti biasa setelah sholat ia pun berdzikir, karena sangat kelelahan selepas aktifitas bersih-bersih, tanpa ia sadari akhirnya tertidur pulas di atas sajadah dengan tetap menggunakan mukena di tubuhnya. Terlihat dengan seksama rupanya Fero sedang mengamati  Sinta sedari tadi dari layar cctv yang terpampang di meja kerjanya.

"Sungguh gadis yang bermental baja dia, masih mau-maunya membersihkan gudang yang sangat kumuh dan tak layak huni itu." ungkap Fero dalam hati.

 

 

***

Suara Adzan Asar berkumandang terdengar jelas sekali sampai di dalam gudang membuat Sinta terbangun dari tidur lelapnya. Ia pun melepas mukena yang dipakainya, kemudian wudlu ke kamar mandi dilanjutkan dengan melakukan sholat. Setelah selesai dilipatnya sajadah untuk kemudian diletakkan di atas tumpukan kardus yang terletak di sudut gudang.

"Oh ya, pasti matras dan sprei yang ku jemur tadi sudah bersih dan kering, sebaiknya aku ambil saja sekarang, lalu aku bawa kemari!" bisik Sinta dalam hati.

Dan benar saja matras dan sprei yang ia jemur memang sudah bersih dan kering. Tanpa berlama-lama lagi ia angkat matras dan sprei menuju ke dalam gudang, meski sedikit tertatih-tatih karena ukuran matras yang lebih lebar dan panjang darinya, namun Sinta mengerahkan semua tenaganya untuk mengangkat matras tersebut, kemudian ia letakkan di pojok gudang, lalu dipasangnya sprei yang sudah ia cuci bersih dan juga sudah kering karena terpapar sinar matahari dengan durasi beberapa jam lamanya. Tercium pula bau harum dari sprei tersebut karena sapuan detergen bercampur air mengalir yang telah melenyapkan sekian persen debu dan kotoran yang hinggap di atasnya.

"Alhamdulillah….akhirnya selesai juga bersih-bersihnya, huft… !" ucap Sinta lirih. Sinta merasa lega akhirnya gudang yang semula kumuh juga kotor itu kini menjadi lebih bersih, rapi dan layak huni. Namun ia sadar perutnya mulai keroncongan ia pun segera beranjak menuju dapur. Sinta mengamati setiap sudut dapur mencari si bibik untuk bertanya ada bahan apa saja yang bisa untuk dimasak, namun ternyata yang ia cari tidak ada. Ia pun berjalan menuju meja makan lalu dibukanya tudung saji di atas meja makan, ternyata tidak ada lauk juga sayur apapun, di situ benar-benar kosong tidak ada apa-apa, Sinta pun menghampiri magicom yang terletak di sudut dapur dekat rak piring, lalu dibukanya magicom tersebut.

"Syukurlah masih ada nasi di dalamnya!" ucapnya lega.

Bak seperti mata elang Sinta mencari bawang merah dan bawang putih, ternyata Bibik meletakkannya di samping kitchen set, tanpa banyak berfikir lagi ia segera mengupas beberapa butir bawang merah dan bawang putih kemudian diiris tipis-tipis, setelah itu dinyalakan kompor yang sebelumnya diletakkan sebuah wajan di atasnya terlebih dulu dan dituangnya sedikit minyak goreng, beberapa saat kemudian minyak dalam wajan sudah mengeluarkan sedikit asap, lalu dipecahkannya sebutir telur dan digoreng orak arik telur tersebut hingga setengah matang, kemudian bawang yang sudah diiris tipis-tipis itu dimasukkan ke dalam wajan, sambil menumis bawang hingga menunggu baunya harum, diambilnya pula dua entong nasi kemudian ia masukkan pula ke dalam wajan, tak lupa ia tambahkan sedikit merica, kecap manis, garam juga gula secukupnya. Tanpa berlama-lama lagi nasi goreng siap untuk disantap, tak lupa pula ia matikan kompor. Di meja makan dengan suka cita Sinta menikmati nasi goreng hasil buatannya sendiri.

"Hemmm…, lezat juga nasi goreng buatanku ini, lumayan buat isi perut yang sudah memanggil-manggil sedari tadi!" gumam Sinta senang.

Sendok demi sendok nasi goreng ia makan dengan lahap. Tanpa ia sadari seseorang sedang mengamatinya dari belakang.

"Ehemmm…ehemm…!" Fero berdehem, keberadaannya yang tiba-tiba dari belakang kursi membuat Sinta tersentak kaget.

"Pufttt…!" Spontan beberapa butir nasi menyembur keluar dari mulut Sinta.

"Kenapa, segitu kelaparannya ya, sampai tersedak gitu?" ledek Fero

Spontan Sinta meraih segelas air putih kemudian meminumnya.

"Kamu…sejak kapan kamu berada di belakang situ? bikin orang kaget saja!" sahut Sinta sambil memunguti butiran nasi yang tercecer di meja makan.

"Loh, kok malah nyalahin aku, kamunya saja yang saking seriusnya makan sampai tidak tau kalau ada orang!"

"Apa kamu sudah makan?, kalau belum apa mau aku bikinin nasi goreng?"

"Heh… yang benar saja, dari pada aku harus makan makanan yang gak jelas rasanya, mending makan di luar saja!" jawab Fero sinis.

"Iya benar dari pada kamu makan masakanku yang rasanya gak jelas ini, lebih baik makan di restoran yang dimasak oleh chef profesional saja!" sahut Sinta sambil bergegas untuk mencuci piring dan peralatan yang sudah ia pakai untuk makan dan memasak. Mendengar jawaban Sinta yang santai itu Fero Beranjak pergi meninggalkan dapur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status