*Happy Reading*
Bianca menelan saliva kelat saat menatap manik Marcel yang gelap dan penuh dendam. Itu berarti, kali ini sudah bisa di pastikan. Bianca akan hancur di tangan pria itu.Bodohnya Bianca mau percaya lagi. Hanya karena cemburu dan iming-iming kemewahan. Bianca menjatuhkan diri kembali pada laki-laki bajingan ini, dan di jerumuskan pada lembah kenistaan yang curam.Sekarang Bianca harus bagaimana? Biasakah Bianca keluar dan lepas dari jerat tali neraka yang sudah Marcel persiapkan untuknya. Tuhan, tolonglah Bianca."Ta-tapi demi Tuhan, Marcel. Dia belum pernah menyentuhku," hiba Bianca. Meminta belas kasihan yang semoga saja masih Marcel miliki.Meski secuil, tapi itu jelas sangat berharga untuk Bianca. Karena demi Tuhan. Bianca tidak ingin menjadi wanita pemuas nafsu untuk pria sembarangan.Ya, ya, ya. Bianca memang sudah murahan sebelum ini pun. Tetapi sekali lagi Bianca tekankan. Dia hanya murahan pada pria yang di*Happy Reading*Dunia terlihat gelap di mata Alvaro, membuat langkahnya tertatih-tatih tanpa tujuan pasti. Alvaro bahkan tidak tahu di mana dia saat ini.Alvaro hanya berjalan dan terus berjalan mengikuti ke mana langkah kaki membawanya.Bianca. Hanya nama itu yang terus Alvaro ingat dalam benaknya.“Bi, di mana kamu?” lirih Alvaro yang selalu saja dibalas dengan kesunyian.Saat Alvaro mulai dilanda putus asa, terlihatlah setitik cahaya terang. Ini membuat harapan kembali muncul. Dia pun bergegas menghampiri.Tiba-tiba cahaya itu semakin menyilaukan, hingga Alvaro terpaksa menutup pandangan menggunakan lengan.“Al.”Degh!Akhirnya, Alvaro bisa mendengar suara itu lagi.“Bi? Itu kamu, kan?” tanya Alvaro yang perlahan-lahan menurunkan tangan.Sesosok wanita dengan gaun putih panjang tersenyum lembut. Membuat Alvaro bergegas menghampirinya, ingin segera memeluk. Namun, sekuat apa pun Alva
*Happy Reading*"Posisi target sudah ditemukan, Bos!" beritahu salah satu anak buah Reyn lewat sambungan telepon. "Di mana?""Yang wanita ada di sebuah Villa di sebuah bukit, di jaga beberapa bodyguard. Kami sudah memindai lokasi. Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Beberapa orang sudah di sebar di sekelilingnya, hanya tinggal menunggu perintah untuk menyerang," info dari orang diseberang sana lebih detail."Okeh! Kirimkan lokasi, aku segera ke sana," sahut Reyn tegas seraya menginjak memutar gas motornya dalam-dalam. Tak lama setelahnya, sebuah titik lokasi pun muncul seperti hologram di sebelah kiri helmnya yang memang dirancang khusus. Reyn pun segera mengikuti arah lokasi yang di kirimkan tanpa membuang waktu lagi.Reyn menghentikan motornya lumayan jauh dari titik lokasi. Sengaja menyimpan motornya di semak belukar agar musuh tak mengetahui kedatangannya. "Bagaimana?" Terlebih dahulu, Reyn menemui salah satu ora
Di rumah sakit. Marcel yang tengah berpura-pura menjadi dokter, tidak mengalami kesulitan apa pun saat memasuki ruangan Alvaro. Tentu saja, dia sudah mengatur rencana ini sedemikian rupa agar tak ada akan kata gagal. Otaknya selalu sangat briliant jika terhadap kelicikan. Hingga sepanjang di berjalan di koridor seramai ini, tidak ada satu pun yang curiga. Ceklek!Pria itu kini menyeringai penuh kemenangan di balik masker, ketika melihat Alvaro yang tengah terbaring tak berdaya di atas brankar rumah sakit. Marcel masuk dan segera menutup pintu dengan perlahan. Mendekati Alvaro yang tengah terpejam, lalu mengeluarkan pistol yang sudah di lengkapi dengan silencer. Kemudian, mengarahkannya pada tubuh Alvaro dan ...Dzing! Dzing! Dzing!Tiga tembakan di layangkan, tanpa adanya suara yang terdengar."Mampus lo!" Sekali lagi, Marcel menyeringai penuh kemenangan. Pria itu tak ingin membuang waktu dengan merayakan ke
Hawa dingin yang menusuk menyadarkan Marcel dari pingsan. “Ini di mana?”Marcel melotot saat menyadari ada rantai yang mengikat tangan dan kakinya. Belum lagi kondisi tubuhnya yang tanpa busana.“Sudah sadar?” tanya suara maskulin yang terdengar begitu jauh.Mata Marcel menyipit agar bisa melihat wajah lawan bicaranya. Namun, sia-sia karena terlalu gelap.Suara alas kaki beradu dengan lantai terdengar menggema, Marcel curiga kalau dia disekap di gudang yang jauh dari pemungkiman. Namun, rupanya orang itu tidak berjalan mendekat, hanya berpindah tempat beberapa langkah saja.“Di mana kamu, itu tidak penting. Aku dengar kamu menggunakan Bianca sebagai alat tukar bisnis, padahal wanita itu adalah pacarmu?” Suara itu terdengar lagi.“Cih! Wanita itu hanyalah seorang pelacur, yang bisa dengan mudah berpaling ke pelukan pria lain,” bantah Marcel dengan nada jijik.“Dan kamu memilih untuk percaya dengan halusinasimu itu?" sahut
*Happy Reading*"Mak?""Hm ....""Tahu, gak? Kemaren emaknya karyawan Nur di toko. Tiba-tiba kena bisul gede banget diujung mata, loh. Katanya sih, gara-gara suka ngintipin sama nguping pembicaraan orang."Mak Kanjeng pun langsung mendelik galak, pada anak bungsunya yang baru saja menyindir dengan terang terangan. "Lo nyumpahin, gua?" salaknya tak terima. "Kagak, sih. Ngasih tahu doang," sahut Nur dengan polos. "Tapi ... semisal emak kesinggung sih, Alhamdulilah. Itu berarti emak masih punya kemaluan."Pletak!Sejurus kemudian. Jitakan maut Mak kanjeng pun melayang cepat ke arah kepala Nur. Membuat yang punya kepala mengaduh kesakitan. "Anak durhaka emang lo! Sekate-kate kalau ngatain gue. Heh! Kalau gue gak punya kemaluan. Lo sama si Al brojol dari mana?!" tukas Mak Kanjeng sengit. "Bukan itu maksud Nur, ih!" Nur membantah seraya mengusap-usap kepalanya yang terasa nyeri akibat jitakan Mak
“Yuhu, Ladies. Apa kalian tidak bisa menghentikannya sejenak? Aku bahkan belum berkesempatan mengenalkan anak-anakku padanya. Kenapa kalian menyerobot giliranku?” Ucapan santai dari wanita kelima membuat wanita yang lain menghentikan kegiatan mereka.Dengan perlahan mereka mundur, sambil merapikan tatanan rambut yang berantakan, akibat terlalu bersemangat melampiaskan emosi."Siapa? Siapa kalian sebenarnya? Kenapa mau repot-repot membalaskan dendam Bianca? Dibayar berapa kalian oleh Bianca? Aku bisa melipat gandakannya untuk kalian." Akhirnya Marcel bisa menyuarakan benaknya, seraya mencoba bernegosiasi dengan wanita-wanita syco yang ada di tempat itu. Bukannya tertarik dengan tawaran Marcel, keenam wanita itu malah tergelak renyah dengan nada merendahkan tawaran Marcel barusan."Kamu kira kami begini hanya sekedar untuk uang saja, Sayang?" Wanita keempat menjawab, sambil melipat tangannya di bawah dada dengan gaya angkuh. "Tidak, Sayang. Bukan h
*Happy Reading*Lolongan demi lolongan memilukan pun terdengar setelahnya dari mulut Marcel. Dengan aroma darah yang semakin kental, seiring banyaknya luka pada tubuh pria itu. Reyn tersenyum puas melihatnya. Memejamkan mata dan menghirup aroma kehancuran dengan senang sekali. Bukankah lolongan itu terdengar merdu. Sangat menentramkan hati, dan menenangkan. Ugh ... cobalah hidu aroma darah ini. Sangat menyegarkan dan membuat gelora semakin naik. Astaga! Reyn suka sekali. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari semua kehancuran ini. "Bos, apa kau tidak ingin ambil bagian dari kesenangan ini?" Sebuah suara menyita atensi Reyn yang tengah terlarut menikmati aroma darah yang menguar dalam ruangan itu. Netra hijau itu pun terbuka perlahan, dengan senyum yang belum luntur dari birainya. Lelaki itu lalu melirik pria yang sudah tak berdaya di tempatnya, dengan beberapa bagian tubuh yang sudah tidak pada tempatnya. Meski beg
*Happy Reading*"Mas Bos.""Hm ....""Aika jadi pengen ketemu Mama Desi, deh," ucap Aika tiba-tiba, saat menunggu di luar ruangan Bianca. Memberi waktu pad Alvaro dan Bianca untuk bicara berdua. Setelah dokter yang memeriksa Bianca berlalu pergi."Bukankah tadi pagi sudah ketemu? Belum puas?" tanya Kairo heran. "Ck, Mas Bos mah gak peka!" Lah? Kairo pun makin heran saat setelahnya, Aika malah berdecak kesal dan merajuk. Salah Kairo di mana? Bukankah jawabannya benar adanya? Kenapa malah marah? Ada apa sebenarnya dengan istrinya ini? Aneh!Ah, lupa. Kalau gak aneh, justru bukan Aika namanya. "Iya, maaf. Saya memang kurang peka. Makanya jelasin dong, biar saya ngerti." Demi kemaslahat bersama, Kairo pun memilih mengalah. Lagi.Bukannya menjelaskan, Aika malah menghela napas kasar, sebelum akhirnya melingkarkan tangan pada Kairo, dan merebahkan kepalanya dengan nyaman di pundak sang suami.