Joana merasakan hatinya sedikit lega saat selesai pemberkatan. Kini, ia dan Don sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Joana tampak cantik dengan balutan gaun pengantin yang mengembang di bagian bawah dan mengekspos bahu mulusnya. Sementara Don juga tampak gagah dengan tuxedo yang melekat pas di tubuh kekarnya.
"Kamu deg-degan, ya?" Tanya Joana iseng pada Don yang sedari tadi hanya diam.
"Nggak. Kenapa saya harus deg-degan?" Don menjawab dengan santai.
"Mikirin malam pertama nanti mungkin," ucap Joana sambil mengerlingkan matanya nakal. Don sontak melotot. Tidak menyangka Joana akan berbicara dengan sangat frotal seperti itu.
"Jangan bicara ngawur. Saya nggak akan menyentuh kamu."
Joana terkekeh pelan. "Tapi aku yang akan menyentuhmu," ujarnya membuat Don menatapnya horor. Tangannya bergerak menggelendot ke lengan Don saat beberapa tamu penting menatap mereka. Joana tersenyum manis ke arah tamu-tamu, begitupun dengan Don. Bedanya, Don terlihat tampak terpaksa dan tidak nyaman.
"Aku udah beli lingerie banyak. Kamu suka warna apa?"
Don melirik Joana tajam. "Jangan macam-macam, Jo. Sudah saya bilang saya nggak akan menyentuh kamu."
"Yakin?" Joana kembali mengerlingkan matanya.
"Terserah." Don melengos kesal. Namun, tak bisa berlama-lama sebab beberapa tamu menatap mereka. Dari pendengaran Don, mereka tampak memuji kecantikan Joana. Don akui jika Joana memang cantik, sangat cantik malah. Hanya saja, hatinya masih belum bisa melupakan mantan istrinya. Ia tidak bisa menggeser posisi Lucy begitu saja di dalam hatinya. Dan mencintai Joana adalah bentuk penghianatannya pada Lucy.
Sore harinya, mereka telah selesai dengan acara pernikahan. Tidak ada resepsi malam harinya, jadi Joana dan Don bisa segera beristirahat di hotel yang telah dipesan. Nath ikut Margaret dan Wijaya di kamar sebelah. Sementara Wicaksana dan Raline juga menginap di kamar yang berbeda.
Joana mengeringkan rambutnya yang basah karena baru saja keramas. Sementara Don bergantian untuk pergi ke kamar mandi. Joana tersenyum tipis. Rencananya untuk menggoda Don di malam pertama mereka musnah begitu saja saat tamu bulanan Joana datang. Padahal, Joana sudah menyiapkan beberapa lingerie yang ia beli beberapa waktu lalu, dan juga pelumas jika memang diperlukan.
Sebenarnya, Joana sedikit deg-degan. Ini adalah pertama kalinya ada laki-laki asing yang akan tidur bersamanya. Sebelumnya, ia tidak pernah tidur dengan laki-laki. Dulu, Joana akan langsung menolak Samuel jika pria itu berniat macam-macam padanya. Dan kali ini, Joana tentu tidak akan menolak karena Don adalah suaminya. Mungkin, justru Don-lah yang akan menolaknya.
Joana berganti pakaian. Gaun tidur sepaha yang membungkus badan langsingnya, di tambah tali spageti rasanya sudah cukup membuat Joana percaya diri. Meskipun bukan ligerie, tapi gaun tidurnya sudah cukup membuatnya terlihat sexy. Apalagi, Joana tak memakai bra hingga putingnya sedikit tercetak di sana. Ia tak sabar ingin melihat bagaimana reaksi Don saat melihatnya seperti ini.
Suara pintu kamar mandi terbuka membuat Joana tersentak. Ia menatap Don, sedikit terpesona melihat ketampanan pria itu. Don sudah memakai celana training panjang dan kaos polos, terlihat ganteng. Apalagi saat ini laki-laki itu tengah mengusap-usap rambutnya basah dengan handuk, membuat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat.
"Terpesona, eh?" ucap Don menyeringai.
Joana tersenyum manis. "Iya. Kamu ganteng banget kalau habis mandi gitu. Harusnya kita mandi bareng tadi," ucap Joana tak malu.
Don langsung melotot. Lagi-lagi ia hanya bisa mengelus dadanya sabar untuk menghadapi perempuan tengil dan mesum yang sayangnya sudah resmi menjadi istrinya.
"Jangan mimpi."
"Ngapain mimpi, kalau bisa kenyataan."
Joana menatap puas Don yang tampak kesal dengan ucapannya. Ia kemudian melangkah maju ke arah Don, lalu menarik pria itu untuk duduk di ranjang. Joana terkekeh pelan saat melihat Don yang kebingungan. "Rambutmu nggak akan cepat kering kalau cuma kamu gosok pakai handuk. Dunia udah canggih. Ada yang namanya teknologi hairdyer."
Joana menyelakan hairdryer miliknya dan mengarahkannya pada rambut Don. Menyugar rambut pria itu yang ternyata lembut dan tebal sekali. "Kayaknya kamu harus cukur rambut besok, udah tebal banget ini."
"Saya suka rambut saya. Jangan ikut campur."
"Ck, batu banget kalau dibilangin. Terserah kamu, deh." Joana meneruskan kegiatannya tanpa mempedulikan Don yang berusaha untuk menghentikannya dan memintanya untuk memberikan hairdyer itu agar ia bisa menggunakannya sendiri. Tapi, tentu saja Joana tidak menyerahkannya. Ini adalah bentuk usahanya untuk mendekati Don.
Don diam saja akhirnya, membiarkan Joana menyelesaikan kegiatannya. Ia menunduk ke bawah, tidak berani menghadap depan karena posisi Joana benar-benar tepat di depannya. Jika Don mendongak, ia akan langsung menghadap ke dada Joana. Tentu saja ia tidak bisa membiarkan itu.
"Coba hadap sini. Jangan nunduk mulu." Joana berusaha menarik kepala Don agar menatapnya. Dengan sedikit paksaan, Don akhirnya menurut. Pandangan mereka akhirnya langsung bertemu.
Don menatap Joana. Perempuan itu tersenyum manis, mengatakan sesuatu yang Don sudah tidak bisa fokus mendengar ucapannya.
"Hallo, Bapak Don. Gimana? Nggak bilang terima kasih ke aku?" Joana tersenyum jahil.
Don langsung tersipu malu dan mengalihkan pandangannya dari mata Joana. Sialnya, matanya malah menatap yang tak seharusnya ia tatap. Apa itu? Don melotot.
"Bapak Don lihat apa?" tanya Joana pelan, menggoda Don sambil mengguncangkan dadanya sendiri ke kanan dan ke kiri.
Don kembali tersipu dan langsung menghindar dari Joana yang semakin maju dengan mundur ke belakang.
"Kamu mau lihat yang di dalem nggak, Mas?" tanya Doana, membuat Don semakin beringsut mundur. Menyadari dirinya sedang menjadi bahan candaan Joana, ia semakin beringsut mundur.
"Sialan, Jo. Jangan dekat-dekat saya. Jangan gila kamu."
Joana akhirnya tertawa terbahak-bahak. Ia melangkah menjauhi Don yang masih tampak kesal dengan kelakuannya.
"Mau kemana, Mas?" tanya Joana saat melihat Don yang bangkit berdiri.
"Minggir," ucapnya sambil kembali ke kamar mandi.
Joana kembali tertawa. Ia mengikuti Don ke kamar mandi setelah suara bantingan pintu kamar mandi terdengar. Joana tersenyum di balik kamar mandi. "Jangan main sendiri, ya, Mas. Kalau butuh bantuan, bilang aja," ucapnya sambil terkekeh. Ia semakin tertawa saat melihat umpatan Don dari dalam.
Sementara itu, dibalik kamar hotel milik Don dan Joana, para orang tua sedang menguping. Mereka masih dengan sabar mendekatkan telinganya ke pintu kamar hotel Don dan Joana. Berusaha mencari suara-suara yang mereka tunggu, tapi tak kunjung ada.
"Udah kedengaran?"
"Enggak ada."
"Emang Papa sama tante lagi ngapain, Oma?" tanya Nath yang berada dalam gendongan Margaret.
Margaret memandang suaminya dan Raline bergantian. Lalu menatap Nath yang tampak penasaran. "Papa sama mama lagi main di dalam."
"Nath mau ikut Papa."
"Eh enggak bisa. Papa sama Mama lagi main dokter-dokteran, nanti kamu disuntik, loh, kalau ikut."
Mendengar kata suntik, Nath langsung memeluk erat leher Margareth yang menggendongnya. Ia takut dengan jarum suntik.
"Ya udah, kita tidur aja, yuk."
Mereka akhirnya pergi. Meninggalkan kamar itu tanpa mendapatkan suara yang mereka tunggu.
Sore harinya, setelah Joana baru terbangun setelah tak sengaja ketiduran di kamarnya, ia mendengar suara tawa dari arah ruang keluarga. Joan melangkah ke sana dan melihat Don dan Nathan yang asik bersenda gurau. "Wah, seru banget kayaknya. Nggak ajak-ajak aku," ucapnya dengan muka cemberut. Joana langsung duduk mepet di samping Don. Lalu dengan tiba-tiba tangannya melingkar di lengan Don. Joana mendongak dan tersenyum manis menatap Don. Suara decakan dengan sedikit dorongan membuat Joana menghentakkan kakinya kesal. Tak mau berlarut, kini ia berpindah ke samping Nathan. Bocah itu langsung menyodorkan tangannya, meminta Joana memangkunya. Tentu saja Joana senang. Ia dengan antusias meraih Nathan dan meletakkannya di pangkuannya. Tak sampai di situ, Joana memepetkan badannya lagi ke arah Don, namun kini ada Nathan yang menjadi pelindungnya. Dengan begitu, tentu saja Don tidak akan mendorongnya. "Nath mau nonton kartun," ucap Nathan. Jo
Joana mulai melancarkan aksinya. Setelah Don berangkat bekerja, ia segera pergi ke kamar belakang untuk membuka kuncinya. Joana sedikit bersemangat. Dengan segala harapan, semoga saja salah satu kuncinya benar. Tangannya bergerak mengambil satu persatu kunci yang ia bawa. Ia mencobanya. Kunci pertama Gagal. Kunci kedua juga gagal. Kunci ketiga apalagi. Joana mendesah. Hanya tersisa satu kunci dan semoga saja memang itu kuncinya. Mata Joana membulat saat bunyi klik terdengar di telinganya. Ia mengerjapkan mata dan mulai memutar knop pintu kamar itu. Terbuka. Joana tersenyum senang. Ia melompat-lompat pelan, mencoba menahan teriakan senangnya. Joana menahan napasnya. Perlahan tangannya mendorong pintu itu agar terbuka. Bibirnya mulai tertarik ke atas. Dadanya berdebar-debar. Dan... "What? Apa ini?" Senyum Joana langsung luntur. Alisnya menukik sambil matanya menatap ke sekeliling ruangan. Ia menghela napas kasar. Joana melangkahkan kakinya ke da
"Joana!" Suara teriakan Don menggema di seluruh kamarnya. Pria itu sudah berdiri di samping ranjang dengan napas ngos-ngosan. Matanya menatap tajam Joana yang masih tertidur di ranjang kamarnya. "Bangun Joana!" geramnya setengah berteriak. Ia dengan kasar menarik selimut yang Joana pakai, hingga membuat Joana terbangun dengan sebuah pekikan yang cukup keras. "Aduh. Sakit tau, Mas," keluh Joana. Ia lalu ikut berdiri dan menatap Don yang terlihat marah. Dalam hati Joana sedikit takut. Tapi lagi-lagi ia mencoba menguatkan dan memberanikan diri. Jika ia takut, ia tidak akan mendapatkan hari Don. "Kenapa kamu tidur di kamar saya?" tanya Don. Kedua alisnya menukik tajam dengan rahang yang mengetat. Ia masih menatap Joana dengan tajam, menuntut penjelasan. "Nggak tau. Mas kali yang gendong aku ke sini," Joana berujar santai, tidak mengaku. Ia memutar bola matanya jengah saat melihat tatapan tajam Don yang mengar
Joana memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang ada di kamar itu. Ia bertanya pada Rudi, Mamat, dan Darmi, tetapi mereka semua mengatakan mereka tidak tahu. Tak kehabisan akal, Joana berniat masuk ke kamar Don mumpung pria itu masih berada di kantor. Mungkin kunci kamar misterius di belakang itu Don simpan di kamarnya. Tapi usahanya lagi-lagi gagal sebab ternyata Don mengunci kamarnya. Mau tak mau, Joana harus masuk kamar Don di malam hari, saat pria itu sudah tertidur. Joana harus menyusun rencana. Namun, sebelum itu ia perlu tetap terus berusaha mengambil hati Nathan. Bocah itu menang sudah cukup dekat dengannya, namun belum sepenuhnya. Kalau kata orang, kan, ambil dulu hati anaknya, baru bapaknya. Setidaknya ia punya pegangan ketika Nathan sudah terikat padanya. "Mau main apa kita hari ini?" tanya Joana antusias. Nathan sudah selesai mandi baru saja. Ia juga sudah sarapan. Sepertinya energinya sudah full dan siap memporak-porandakan seisi rum
Joana kembali sibuk di dapur pagi harinya. Don semalam mengatakan jika ia tidak perlu memasak makan malam untuknya. Artinya, ia tentu masih bisa memasak untuk sarapan. Begitu, kan? "Saya bantu, Non," tawar Bi Darmi. Joana menggeleng sopan. "Terima kasih, Bi. Tapi nggak papa, Bibi ngerjain yang lain aja. Saya pengen masakan untuk Mas Don full dari hasil tangan saya," Joana tersenyum manis. Darmi ikut tersenyum. Menatap nyonya barunya dengan tatapan kagum. "Pak Don beruntung banget pasti punya istri kayak Non Joana," ucapnya tulus. Joana hanya tersenyum tipis. Ia membatin, semoga saja Don memang merasa beruntung telah memilikinya. Hari ini Joana memilih untuk memasak rawon, menu yang sangat ia rindukan saat dulu ia tinggal di luar negeri. Berdasarkan obrolannya dengan Bi Darmi kemarin, Joana juga tahu bahwa rawon adalah makanan favorit Don, juga makanan nusantara yang berkuah lainnya. Asik memasa
Don pulang cukup larut. Pria itu melenggang begitu saja tanpa sepatah katapun saat Joana berusaha untuk menyambutnya pulang. Joana hanya bisa mengusap dada mencoba untuk berpikir positif. Mungkin Don sedang kelelahan dan banyak pikiran. "Kamu udah makan?" tanya Joana. Ia mengikuti langkah kaki panjang Don menuju kamarnya. Baru saja tangan Don memegang pegangan pintu, pria itu berhenti dan beralih menatap Joana. "Berhenti di sini. Jangan masuk kamar saya," ucap Don datar sambil menatap Joana dengan mata lelahnya. Don kemudian beranjak membuka pintu dan melangkahkan kakinya ke dalam. Sebelum menutup pintu kamarnya, pria itu kembali menatap Joana dengan malas. "Saya sudah makan. Kamu nggak perlu buatkan saya makan malam." Usai mengatakan itu, Don langsung membanting pintu dihadapan mata Joana. Joana hanya bisa mengelus dada. "Oke," ucapnya pelan di depan pintu kamar Don. Ia memilih untu