Joana membuka mata terlebih dulu sebelum Don membuka matanya. Ia tersenyum menatap wajah damai pria yang sekarang sudah resmi menjadi suaminya itu. Tangannya terulur untuk mengusap rahang tegas suaminya. Matanya meneliti wajah tampan Don yang mungkin akan menjadi kesukaannya.
Joana tersenyum. Setelah semalam melalui perdebatan panjang dengan Don, ia akhirnya bisa tidur nyenyak di samping pria itu. Awalnya, Don ingin tidur di sofa. Tapi tentu saja Joana tidak mengizinkannya sebab tidak mau punggung suaminya pegal-pegal. Akhirnya, Don memberikan solusi yang menurut Joana sebetulnya tidak berguna sama sekali. Pria itu menaruh guling di tengah-tengah ranjang, dan Joana dilarang untuk menggeser atau melewati batas yang Don buat itu. Namun, setelah Don tertidur, Joana membuang guling itu ke lantai dan mendekatkan badannya ke tubuh Don. Bahkan sewaktu tidur, Joana bisa merasakan tangan Don bergerak melingkar di perutnya. Yah, meskipun Don tidak sadar, tapi itu sudah cukup membuat Joana senang. Mata Don bergerak mengerjap, menatap cahaya pagi yang mulai mengintip dari balik gorden kamarnya. Melihat wajah tersenyum Joana yang tepat berada di depannya, ia langsung terkejut dan beringsut mundur. "Ngapain kamu di sini?" tanyanya kaget. "Ya nemenin kamu tidurlah. Kita, kan, udah suami istri," jawab Joana santai. Don mengusap wajahnya kasar. Seakan mengingat sesuatu, ia langsung menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Helaan napas menandakan ia sedikit lega. Pakaiannya masih lengkap melekat di badannya. Matanya menyipit saat mendengar suara cekikikan dari Joana. "Kenapa?" tanyanya penasaran. "Takut banget, ya, aku perkosa?" tanyanya geli. Don langsung melotot. "Mulutmu itu kotor banget." "Masa? Tapi enak, loh," ucap Joana semakin menggoda. Don memijat kepalanya pening. Ia lantas pergi ke kamar mandi meninggalkan Joana yang semakin mengerasan suara tawanya. "Mas, tungguin, kita mandi bareng."Brak Joana sedikit terlonjak saat Don malah menutup pintu kamar mandi dengan kencang. Ia tersenyum tipis. Joana mulai menyadari bahwa menggoda Don adalah kegiatan yang sangat menyenangkan. Sepertinya ia akan betah menjadi istri Don. Selagi suaminya tidak kasar, ia akan baik-baik saja. Joana berjalan ke arah koper Don dan membukanya. Ada beberapa setel pakaian santai di dalamnya. Tidak banyak yang dibawa Don, toh, mereka tidak akan lama tinggal di hotel. Joana mulai mengambil satu setel pakaian beserta celananya, dan juga tentu saja pakaian dalam. Joana terkekeh pelan saat membawa celana dalam Don. Mungkin pria itu akan kesal padanya karena dengan sembarangan memegang benda pusakanya itu. Sebuah ide terlintas di kepala Joana. Ia segera mengambil satu lingerie berwarna merah yang baru dibelinya beberapa hari lalu. Lalu ia memasukkannya ke dalam koper milik Don di bagian paling atas. Ia kemudian buru-buru mengembalikan pakaian Don---yang awalnya ia siapkan---kembali ke dalam koper. Don keluar kamar mandi di saat Joana sudah duduk di ranjang. Don keluar hanya mengenakan handuk yang menutupi sebagian tubuhnya. Ia berjalan begitu saja melewati Joana yang menatapnya seakan ingin memangsanya sekarang juga. "Jangan mesum," tegur Don pada Joana yang terus saja menatap tubuhnya. Joana hanya tertawa pelan sebagai respons ucapan Don. Mata Joana bergerak menatap Don yang akan membuka kopernya. Joana deg-degan. Di sana, Don sudah bersiap untuk membuka kopernya. Dalam hitungan ke 1,2, 3, dan .... "Apaan itu?" Joana bertanya, seakan tidak tahu sebelumnya. Ia menatap Don yang terseipu malu sambil tangannya memegang lingerie merah miliknya, lalu langsung dibuangnya. Dengan berusaha menahan senyum, Joana berjalan mendekat dan meraih lingerie itu. "Kamu beliin aku lingerie?" tanyanya dengan antusias. "Nggak nyangka ternyata kamu diam-diam beliin aku lingerie, merah lagi. Katanya nggak tertarik sama aku? Diam-diam mesum juga," ucap Joana sambil mengedip-ngedipkan mata menggoda. "Saya nggak beli itu. Nggak tau punya siapa." "Nggak usah malulah. Kayak sama siapa aja. Tapi sayangnya, aku lagi ada tamu bulanan, jadi belum bisa...." Joana tidak melanjutkan ucapannya dan justru malah menatap bagian bahwa Don yang tertutup handuk. Don langsung berdiri dan memegang erat handuknya. Ia mengambil lingerie itu dan melemparkannya ke arah Joana dan berakhir tepat mengenai wajah Joana. Don langsung kabur sambil membawa setelah pakaiannya dan kembali masuk ke kamar mandi. "Celana dalammu jatuh, Mas," teriak Joana saat melihat celana dalam milik suaminya terjatuh di depan kamar mandi. Don langsung mengambilnya dan kembali masuk ke kamar mandi. Semantara Joana tak lagi bisa menahan tawanya. **** "Eh pengantin baru mau sarapan?" goda Raline yang sudah berdiri di meja makan hotel di lantai 1. Para orang tua dan Nath sudah berkumpul dan menghabiskan sarapannya ketika Joana dan Don turun dari lantai 3, kamar mereka. "Gimana malam pertamanya, Sayang?" Kini giliran Margareth yang menggoda. Don tak mempedulikan mereka dan langsung mengambil sarapannya. Duduk di kursi paling ujung dan langsung menyantap sarapannya tanpa mempedulikan ucapan orang-orang di sana. Menghadapi mulut Joana sudah membuatnya kehabisan energi, ditambah dengan para orang tua itu, bisa-bisa Don langsung pingsan atau lebih parahnya jadi gila. "Aman, Ma. Doakan, ya, biar cepat jadi." Don memejamkan matanya sejenak dan menghela napas panjang. Bisa-bisanya Joana berkata demikian, seakan mereka baru saja melakukan sesuatu semalam. "Papa habis main dokter-dokteran, ya, Pa?" tanya Nath tiba-tiba. Ia menatap anak laki-lakinya. Sepertinya ini alasan yang diberikan mamanya. Ia terpaksa mengangguk agar bocah itu tak banyak bertanya. "Papa suntik mama Jo?" Terdengar suara terkikik pelan dari para orang tua. Joana mengulum senyumnya. Sementara Don menatap mereka semua bergantian. Tentu ia paham makna 'menyuntik' yang ada dipikiran Nath berbeda dengan yang dipikirkan orang dewasa di sekitarnya. "Enggak," jawab Don kesal. "Kenapa?" "Suntiknya rusak." Mendengar jawaban Don, Joana dan para orang tua sontak langsung tertawa terbahak-bahak, sementara Nath ikut tertawa juga meskipun tidak paham kenapa orang-orang di sekitarnya tertawa. "Sudahlah, sudah. Biarkan Don dan Jo makan dengan tenang. Kalian ganggu saja," ucap Wijaya menengahi, meskipun saat ini ia masih berusaha untuk menghentikan sisa-sisa tawanya. Don mendengus sebal. Entah sampai kapan ia akan bertahan hidup seperti ini. Sementara Jo, dia mengulum senyumnya. Sepertinya ia merasa lebih hidup sejak mengenal Don.Joana buru-buru berlari menuju meja nakas samping TV saat mendengar nada dering ponselnya berbunyi. Nama Suamiku Tersayang terpampang jelas di sana. Ia segera mengangkat telepon dari Don itu. "Jo, aku minta tolong." Joana menyunggingkan senyumnya. Suara Don terdengar panik. Tentu saja, sebab dokumennya tertinggal. Tadi, sebelum Don berangkat, Joana sudah melihat dokumen di map biru itu tergeletak di atas meja ruang tamu. Don mungkin lupa dan tak menyadarinya. Karena Don tidak mau mencium keningnya, Joana sedikit kesal. Akhirnya, ia diam saja, membiarkan dokumen itu ketinggalan. Dan kini, Don panik. Rasakan itu, batin Joana. "Minta tolong apa, Suamiku?" tanyanya dengan nada lembut. "Di ruang tamu, ada map warna biru. Tolong antarkan ke kantor. Jangan lewat ojek online. Itu dokumen penting," peringat Don menekankan di akhir kalimatnya. Joana tersenyum miring. "Aku dapat apa kalau nganterin dokumen penting ini?" tanyanya. Terd
Joana belum puas menggoda Don. Malam itu adalah makan malam pertama mereka bersama sebagai keluarga. Bagi Joana, ini kesempatan emas. Bagi Don, ini justru ujian kesabaran.Meja makan penuh hidangan: nasi hangat, capcay, ayam bakar yang masih mengepulkan aroma gurih. Joana duduk di samping Don, sengaja membuat jarak di antara mereka nyaris hilang. Senyumnya lebar, tangannya cekatan mengisi piring Don tanpa memberi kesempatan pria itu bergerak.“Mau lauk apa? Ini buatan aku semua, loh. Pastinya enak banget. Iya, kan, Nath?” tanyanya riang.Nathan, bocah kecil itu, mengangguk sambil terus mengunyah. Dari tadi Joana sudah mengambilkan makanan lebih dulu untuknya. Bocah itu tampak bahagia dengan piring penuh capcay dan ayam bakar, seolah dunia hanya milik dia dan makanannya.Don menatap piringnya yang sudah penuh, tapi tangannya belum sempat menyentuh sendok. Rahangnya mengeras. “Aku bisa ambil sendiri.”Joana pura-pura tidak mendengar, m
Sore harinya, setelah Joana baru terbangun setelah tak sengaja ketiduran di kamarnya, ia mendengar suara tawa dari arah ruang keluarga. Joan melangkah ke sana dan melihat Don dan Nathan yang asik bersenda gurau. "Wah, seru banget kayaknya. Nggak ajak-ajak aku," ucapnya dengan muka cemberut. Joana langsung duduk mepet di samping Don. Lalu dengan tiba-tiba tangannya melingkar di lengan Don. Joana mendongak dan tersenyum manis menatap Don. Suara decakan dengan sedikit dorongan membuat Joana menghentakkan kakinya kesal. Tak mau berlarut, kini ia berpindah ke samping Nathan. Bocah itu langsung menyodorkan tangannya, meminta Joana memangkunya. Tentu saja Joana senang. Ia dengan antusias meraih Nathan dan meletakkannya di pangkuannya. Tak sampai di situ, Joana memepetkan badannya lagi ke arah Don, namun kini ada Nathan yang menjadi pelindungnya. Dengan begitu, tentu saja Don tidak akan mendorongnya. "Nath mau nonton kartun," ucap Nathan. Jo
Joana mulai melancarkan aksinya. Setelah Don berangkat bekerja, ia segera pergi ke kamar belakang untuk membuka kuncinya. Joana sedikit bersemangat. Dengan segala harapan, semoga saja salah satu kuncinya benar. Tangannya bergerak mengambil satu persatu kunci yang ia bawa. Ia mencobanya. Kunci pertama Gagal. Kunci kedua juga gagal. Kunci ketiga apalagi. Joana mendesah. Hanya tersisa satu kunci dan semoga saja memang itu kuncinya. Mata Joana membulat saat bunyi klik terdengar di telinganya. Ia mengerjapkan mata dan mulai memutar knop pintu kamar itu. Terbuka. Joana tersenyum senang. Ia melompat-lompat pelan, mencoba menahan teriakan senangnya. Joana menahan napasnya. Perlahan tangannya mendorong pintu itu agar terbuka. Bibirnya mulai tertarik ke atas. Dadanya berdebar-debar. Dan... "What? Apa ini?" Senyum Joana langsung luntur. Alisnya menukik sambil matanya menatap ke sekeliling ruangan. Ia menghela napas kasar. Joana melangkahkan kakinya ke da
"Joana!" Suara teriakan Don menggema di seluruh kamarnya. Pria itu sudah berdiri di samping ranjang dengan napas ngos-ngosan. Matanya menatap tajam Joana yang masih tertidur di ranjang kamarnya. "Bangun Joana!" geramnya setengah berteriak. Ia dengan kasar menarik selimut yang Joana pakai, hingga membuat Joana terbangun dengan sebuah pekikan yang cukup keras. "Aduh. Sakit tau, Mas," keluh Joana. Ia lalu ikut berdiri dan menatap Don yang terlihat marah. Dalam hati Joana sedikit takut. Tapi lagi-lagi ia mencoba menguatkan dan memberanikan diri. Jika ia takut, ia tidak akan mendapatkan hari Don. "Kenapa kamu tidur di kamar saya?" tanya Don. Kedua alisnya menukik tajam dengan rahang yang mengetat. Ia masih menatap Joana dengan tajam, menuntut penjelasan. "Nggak tau. Mas kali yang gendong aku ke sini," Joana berujar santai, tidak mengaku. Ia memutar bola matanya jengah saat melihat tatapan tajam Don yang mengar
Joana memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang ada di kamar itu. Ia bertanya pada Rudi, Mamat, dan Darmi, tetapi mereka semua mengatakan mereka tidak tahu. Tak kehabisan akal, Joana berniat masuk ke kamar Don mumpung pria itu masih berada di kantor. Mungkin kunci kamar misterius di belakang itu Don simpan di kamarnya. Tapi usahanya lagi-lagi gagal sebab ternyata Don mengunci kamarnya. Mau tak mau, Joana harus masuk kamar Don di malam hari, saat pria itu sudah tertidur. Joana harus menyusun rencana. Namun, sebelum itu ia perlu tetap terus berusaha mengambil hati Nathan. Bocah itu menang sudah cukup dekat dengannya, namun belum sepenuhnya. Kalau kata orang, kan, ambil dulu hati anaknya, baru bapaknya. Setidaknya ia punya pegangan ketika Nathan sudah terikat padanya. "Mau main apa kita hari ini?" tanya Joana antusias. Nathan sudah selesai mandi baru saja. Ia juga sudah sarapan. Sepertinya energinya sudah full dan siap memporak-porandakan seisi rum