Hari ini Joana akan melakukan fitting gaun pengantin. Tidak ada resepsi nantinya. Itu keputusan mutlak Joana dan Don yang tidak ingin membuang-buang uangnya—meskipun keluarga mereka terbilang sangat kaya. Lagi pula, Joana tidak memiliki banyak teman untuk diundang. Sahabat satu-satunya justru menghianatinya dengan berselingkuh dengan pacarnya---yang sekarang sudah menjadi mantan.
"Kamu telat 5 menit." Joana berkacak pinggang menatap Don yang melenggang meninggalkannya begitu saja setelah ia baru saja sampai. Joana menghentakkan kakinya kesal dan mengikuti Don untuk masuk ke butik tempat mereka akan fitting baju pengantin. "Saya cuma punya waktu 30 menit. Jadi tolong cepat," ucap Don kepada desainer yang dipilih oleh mamanya. "Ck dasar gila kerja." Desainer itu mulai menjelaskan desain hasil rancangannya sesuai request Joana sebelumnya. Sementara Don, dia ikut saja. Asalkan baju itu bisa dan nyaman dipakai. Mengenai warna dan modelnya, ia menyerahkan pada Joana. Setelah Joana sedikit merevisi desain gaun miliknya—sementara Don dari tadi hanya mengangguk-anggukan kepalanya dengan malas tanpa berniat sedikitpun untuk mengoreksi desain gaun Joana ataupun miliknya, kini mereka lanjut ke proses mengukur badan. Don meminta duluan, sebab setelahnya ia pergi meninggalkan Joana yang hanya bisa pasrah. "Sabar, ya, Jo. Dia emang dingin dari dulu," ucap desainer bernama Rania yang berusia sepantarannya. "Kelihatan banget. Tipe-tipe cowok kaya yang ketawanya ngeluarin uang." Joana dan Rania langsung tergelak keras. Butuh sekitar 1 jam Joana berada di sana. Setelahnya, ia memutuskan untuk kembali pulang. Menghabiskan sisa hari lajangnya untuk tidur dan menonton list drama koreanya. Sebelum nantinya ia akan menjalankan proyek besar setelah menikah dengan Don, yaitu membuat Don bertekuk lutut padanya. Berhubung cuaca agak panas, Joana memilih untuk mampir dulu ke kedai ice cream langganannya dulu. Sudah lama sekali ia tidak pergi ke sana. Suasananya sudah cukup berbeda. Dulu, ia sering ke sini bersama teman-temannya yang sekarang entah ke mana. Mata Joana menyipit saat melihat siluet tubuh seseorang yang ia kenal. Matanya membola saat menyadari bahwa dugaannya benar. Don berada di sana dan menggendong seorang anak kecil laki-laki. Joana segera menghampirinya. "Sayang!" teriaknya sambil berlari dan melambaikan tangan ke arah Don. Pria itu tampak tak suka dengan panggilan Joana. Tapi Joana tidak peduli. "Kirain mau kerja. Ternyata malah di sini. Harusnya barengan aja tadi," ujar Joana sok akrab. "Ck jangan pangil saya dengan panggilan itu," ucap Don tak peduli dengan ucapan Joana sebelumnya. "S3. Suka suka saya." Joana memandang bocah laki-laki yang meringkuk dalam gendongan Don. Ia menatap Joana dengan tatapan ... takut? "Ini anak kamu?" Don mengangguk singkat. Joana menyipitkan matanya, membuat Don terheran. "Kamu udah tau, kan, kalau saya duda?" tanya Don. Joana mengangguk pelan. Ia sudah tau dari papanya. Hanya saja ia tidak tau jika Don telah memiliki anak dari pernikahan sebelumnya. Dan anaknya masih kecil. Mungkin sekitar 3 atau 4 tahun Joana taksir. "Kenapa? Kamu kaget? Nggak terima dan mau batalin pernikahan kita?" Joana terkekeh pelan. "Semangat banget, Pak, kalau masalah batalin pernikahan. Nggak, kok. Kamu jangan harap aku batalin pernikahan kita. Kan, aku mau ngurus kamu nanti, jadi istri yang setia melayani suami" ucap Joana menggoda. Don memutar bola matanya jengah. "Lagian, saya suka anak kecil. Mana mungkin saya tolak." Joana kembali terkekeh saat melihat raut muak Don. "Hallo, kamu siapa namanya? Kenalin, tante namanya Joana. Panggil tante Jo. Ah enggak. Panggil mama Jo." Joana bermaksud mengelus pipi bocah laki-laki itu, namun dia malah beringsut mundur. Bersembunyi ke arah dada kekar Don. "Nath nggak mau punya mama," ucapnya yang justru terdengar lucu di telinga Joana. "Kamu nggak mau punya mama? Tapi mama Jo akan tetap menjadi mama kamu nanti." "Ck ... kamu nakutin anak saya." Don mengelus pundak anaknya pelan. "Maaf, Sayang. Tapi, kamu menyesal loh kalau nggak nerima mama Jo. Mama Jo baik, loh. Nanti kita bisa main robot-robotan, tirex, Lego. Semua bisa." Anak kecil yang menyebut dirinya dengan nama Nath itu menatap Jo dengan sedikit penasaran. Namun, masih ada raut takut di wajahnya. Joana tersenyum tipis. "Kamu mau ice cream?" "Saya sudah beli. Tidak usah menawari lagi. Dia sudah makan cukup banyak hari ini," ucap Don memperingati. Joana mengerucutkan bibirnya kesal. "Ya udah. Lain kali aja ya kita beli ice creamnya. Papa bilang enggak boleh. Nanti papa marah, kayak kucing garong. Aum." Jaona meniru suara harimau sambil menggerakkan kedua tangannya seakan ingin mencakar. Nath tersenyum tipis, membuat Joana senang. Namun, rasa senangnya tak berlangsung lama karena Don akhirnya kembali melenggang begitu saja, tanpa berpamitan, meninggalkan Joana yang menghentak-hentakkan kakinya kesal."Sayang, sebentar!" Jo berteriak keras, hingga membuat beberapa pelanggan kedai ice cream itu menatapnya sekilas. Ia pergi berlari mengejar Don yang tanpa merasa terpanggil, terus berjalan santai menuju pintu.
Karena terlalu kencang berlari, Joana sedikit menubruk punggung Don hingga membuat Don sedikit terdorong ke depan. Pria itu berdecak sebal.
"Ck ... apa lagi?" tanyanya kesal sambil menatap Joana tajam.
Joana tersenyum lebar. Lalu tiba-tiba ia menunjuk pipi sebelah kanannya. "Ciuman perpisahan sebelum kita nikah," ujarnya santai. Tak hanya sampai di situ, Joana juga mengerucutkan bibirnya, seakan-akan menyuruh Don untuk menciumnya.
Don sontak langsung melotot. "Dasar perempuan gila." Don berujar pelan. Ia menatap sekeliling, untung saja tidak ada yang memperhatikan mereka. Pria itu lalu berdehem pelan. "Dengar, ya, nyonya Joana. Jangan harap kamu bisa menggantikan posisi istri saya. Meskipun kita menikah, kamu tidak akan pernah mendapatkan hati saya." Usai mengatakan itu, Don langsung pergi meninggalkan Joana yang mematung.
"Lebih susah mana antara punya pasangan yang tukang selingkuh dan yang belum move on dari masa lalunya?" gumamnya bertanya pada dirinya sendiri.
Joana menghela napas. Ia mencoba kembali menguatkan hatinya. Ia hanya perlu berusaha lebih keras dan Don pasti akan melihatnya sebagai sosok perempuan yang pantas untuk dicintai.
Joana kembali sibuk di dapur pagi harinya. Don semalam mengatakan jika ia tidak perlu memasak makan malam untuknya. Artinya, ia tentu masih bisa memasak untuk sarapan. Begitu, kan? "Saya bantu, Non," tawar Bi Darmi. Joana menggeleng sopan. "Terima kasih, Bi. Tapi nggak papa, Bibi ngerjain yang lain aja. Saya pengen masakan untuk Mas Don full dari hasil tangan saya," Joana tersenyum manis. Darmi ikut tersenyum. Menatap nyonya barunya dengan tatapan kagum. "Pak Don beruntung banget pasti punya istri kayak Non Joana," ucapnya tulus. Joana hanya tersenyum tipis. Ia membatin, semoga saja Don memang merasa beruntung telah memilikinya. Hari ini Joana memilih untuk memasak rawon, menu yang sangat ia rindukan saat dulu ia tinggal di luar negeri. Berdasarkan obrolannya dengan Bi Darmi kemarin, Joana juga tahu bahwa rawon adalah makanan favorit Don, juga makanan nusantara yang berkuah lainnya. Asik memasa
Don pulang cukup larut. Pria itu melenggang begitu saja tanpa sepatah katapun saat Joana berusaha untuk menyambutnya pulang. Joana hanya bisa mengusap dada mencoba untuk berpikir positif. Mungkin Don sedang kelelahan dan banyak pikiran. "Kamu udah makan?" tanya Joana. Ia mengikuti langkah kaki panjang Don menuju kamarnya. Baru saja tangan Don memegang pegangan pintu, pria itu berhenti dan beralih menatap Joana. "Berhenti di sini. Jangan masuk kamar saya," ucap Don datar sambil menatap Joana dengan mata lelahnya. Don kemudian beranjak membuka pintu dan melangkahkan kakinya ke dalam. Sebelum menutup pintu kamarnya, pria itu kembali menatap Joana dengan malas. "Saya sudah makan. Kamu nggak perlu buatkan saya makan malam." Usai mengatakan itu, Don langsung membanting pintu dihadapan mata Joana. Joana hanya bisa mengelus dada. "Oke," ucapnya pelan di depan pintu kamar Don. Ia memilih untu
Joana memilih untuk membuat sarapan, mumpung Nathan masih belum ada tanda-tanda untuk bangun. Sepertinya dia terbiasa bangun siang. Dan itu adalah kebiasaan yang buruk. Mulai besok, Joana berencana akan mengajak Nathan untuk bangun pagi, agar tidak menjadi kebiasaan. Apalagi, sebentar lagi, mungkin sekitar 2 atau 3 tahun lagi, Nathan pasti sudah harus masuk di bangku sekolah. Joana membuka lemari pendingin di dapur. Bibirnya menipis saat melihat isi lemari pendingin itu. Sepertinya Don bukan tipe laki-laki yang suka memasak. Joana juga sangsi apakah laki-laki itu bisa memasak. Lihatlah, hanya ada beberapa butir telur dan beberapa potong ayam yang entah sudah berapa bulan di sana. Baunya sungguh membuat Joana ingin muntah. Joana mendesah, berhubung ia belum tahu daerah tempat tinggalnya sekarang, dan tidak mungkin juga ia hanya menggoreng telur untuk sarapan Nathan, jadi ia memilih meminta tolong Pak Mamat untuk membeli bahan masakan. Untun
Malamnya, Don akhirnya mengajak Joana pulang ke rumahnya. Don memang sudah memiliki rumah sendiri yang cukup luas untuk ia tinggali sendiri bersama Nath saja. Dulu, ia sengaja membangun rumah yang luas karena berharap ia dan Lucy, mantan istrinya, bisa memiliki banyak anak dan hidup bahagia. Namun, sayangnya Lucy telah berpulang lebih dulu setelah melahirkan putra pertamanya, sehingga impian itu hanya tinggal angan-angan saja. Dan ia tidak berharap akan memiliki anak dengan Joana. Ia belum bisa menggeser Lucy di hatinya. Ia tidak akan membiarkan Joana masuk ke hatinya dan menggantikan posisi Lucy. Don melirik ke arah Joana dan Nath yang duduk di samping kursi kemudi. Sejak tadi mereka terus saja mengoceh. Segala hal ia bahas sampai Don yang hanya mendengarnya malah ikut merasa lelah. Dan hebatnya, Joana bisa menjawab semua pertanyaan random Nathan yang Don sendiri kadang kesulitan menyusun jawaban yang tepat. "Kenapa Mama Jo pakai merah-merah di bibirnya?" Nath bertanya sambil meno
Joana membuka mata terlebih dulu sebelum Don membuka matanya. Ia tersenyum menatap wajah damai pria yang sekarang sudah resmi menjadi suaminya itu. Tangannya terulur untuk mengusap rahang tegas suaminya. Matanya meneliti wajah tampan Don yang mungkin akan menjadi kesukaannya. Joana tersenyum. Setelah semalam melalui perdebatan panjang dengan Don, ia akhirnya bisa tidur nyenyak di samping pria itu. Awalnya, Don ingin tidur di sofa. Tapi tentu saja Joana tidak mengizinkannya sebab tidak mau punggung suaminya pegal-pegal. Akhirnya, Don memberikan solusi yang menurut Joana sebetulnya tidak berguna sama sekali. Pria itu menaruh guling di tengah-tengah ranjang, dan Joana dilarang untuk menggeser atau melewati batas yang Don buat itu.Namun, setelah Don tertidur, Joana membuang guling itu ke lantai dan mendekatkan badannya ke tubuh Don. Bahkan sewaktu tidur, Joana bisa merasakan tangan Don bergerak melingkar di perutnya. Yah, meskipun Don tidak sadar, tapi itu sudah cukup membuat Joana sena
Joana merasakan hatinya sedikit lega saat selesai pemberkatan. Kini, ia dan Don sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Joana tampak cantik dengan balutan gaun pengantin yang mengembang di bagian bawah dan mengekspos bahu mulusnya. Sementara Don juga tampak gagah dengan tuxedo yang melekat pas di tubuh kekarnya."Kamu deg-degan, ya?" Tanya Joana iseng pada Don yang sedari tadi hanya diam."Nggak. Kenapa saya harus deg-degan?" Don menjawab dengan santai."Mikirin malam pertama nanti mungkin," ucap Joana sambil mengerlingkan matanya nakal. Don sontak melotot. Tidak menyangka Joana akan berbicara dengan sangat frotal seperti itu."Jangan bicara ngawur. Saya nggak akan menyentuh kamu."Joana terkekeh pelan. "Tapi aku yang akan menyentuhmu," ujarnya membuat Don menatapnya horor. Tangannya bergerak menggelendot ke lengan Don saat beberapa tamu penting menatap mereka. Joana tersenyum manis ke arah tamu-tamu, begitupun dengan Don. Bedanya, Don terlihat tampak terpaksa dan tidak nyaman."Aku