Joana memilih untuk membuat sarapan, mumpung Nathan masih belum ada tanda-tanda untuk bangun. Sepertinya dia terbiasa bangun siang. Dan itu adalah kebiasaan yang buruk. Mulai besok, Joana berencana akan mengajak Nathan untuk bangun pagi, agar tidak menjadi kebiasaan. Apalagi, sebentar lagi, mungkin sekitar 2 atau 3 tahun lagi, Nathan pasti sudah harus masuk di bangku sekolah.
Joana membuka lemari pendingin di dapur. Bibirnya menipis saat melihat isi lemari pendingin itu. Sepertinya Don bukan tipe laki-laki yang suka memasak. Joana juga sangsi apakah laki-laki itu bisa memasak. Lihatlah, hanya ada beberapa butir telur dan beberapa potong ayam yang entah sudah berapa bulan di sana. Baunya sungguh membuat Joana ingin muntah. Joana mendesah, berhubung ia belum tahu daerah tempat tinggalnya sekarang, dan tidak mungkin juga ia hanya menggoreng telur untuk sarapan Nathan, jadi ia memilih meminta tolong Pak Mamat untuk membeli bahan masakan. Untung saja laki-laki paruh baya itu mau. Sambil menunggu, Joana memilig untuk membangunkan Nathan. Bocah itu tampak ogah-ogahan awalnya. Dengan bujukan-bujukan Joana, akhirnya Nathan terbangun juga. "Ayo bangun dulu. Mau main sama mama, nggak?" Nathan mengangguk dengan lemas. Bocah itu masih berusaha keras untuk membuka matanya yang seakan lengket. "Ayo, buka matanya. Kita ke depan dulu, yuk. Jalan sendiri, ayo mama tuntun." Nathan menurut, menggenggam tangan Joana dan berusaha mengikuti langkah Joana dengan sempoyongan. "Nathan kalau di rumah sarapan apa biasanya?" tanya Joana. Ia menyuruh Nathan di kursi yang sudah ia siapkan, di posisi yang terkena sinar matahari langsung. "Dimasakin Bibi." "Papa nggak pernah masak?" Nathan menggeleng pelan. Matanya sedikit menyipit saat terkena sinar matahari pagi. "Hm sudah kuduga," gumamnya pelan. Ia kemudian berdiri di samping Nathan, ikut menikmati sinar matahari pagi. Tangannya bergerak mengelus rambut Nathan pelan. "Nanti mama masakin ayam kecap, mau?" Nathan langsung terlihat sumringah, membuat Joana mau tak mau ikut tersenyum. Sepertinya dirinya akan menikmati waktunya menjadi ibu rumah tangga. **** Sebelum pak Mamat sampai dengan belanjaannya, para ART lebih dulu sampai dan membawa banyak belanjaan. Joana meringis. Sepertinya ia terlalu terburu-buru meminta bantuan pak Mamat untuk berbelanja. Ia lupa jika akan ada ART yang datang pagi hari. Tapi tak apa, itu bisa jadi stok di kulkas untuk ia masak beberapa hari ke depan. "Saya Darmi, Non. Panggil aja Bik Darmi." Wanita paruh baya itu tersenyum sopan pada Joana setelah sebelumnya Joana yang memperkenalkan diri. Joana mengangguk. "Bibi mau masak?" Mendapat anggukan dari Bi Darmi, Joana buru-buru menggeleng. "Biar saya aja yang masak, Bi. Mulai hari ini, saya yang akan masak, Bibi kerjain pekerjaan lain aja." "Tapi, Non. Nanti Pak Don marah," jawabnya sedikit ketakutan. Joana kembali menggeleng. "Tenang aja, Bi. Kalau dia marah, saya yang akan marahin dia balik." Darmi akhirnya mengangguk setuju. Ia menyerahkan urusan dapur pada Joana setelah sebelumnya tawaran bantuannya memasak ditolak mentah-mentah. Sedangkan Joana memilih untuk langsung memasak setelah sebelumnya memandikan Nathan. Bocah itu sudah bermain di ruang bermainnya sendirian. Tadi, Joana berpesan agar Bi Darmi mengecek Nathan sesekali saat ia sibuk memasak. Joana memang suka memasak. Dari dulu. Salah satu keahlian yang ia bisa banggakan kepada banyak orang adalah memasak. Tak diragukan lagi, masakannya selalu mendapat banyak pujian dari orang yang pernah mencicipi. Tak butuh waktu lama, sebab Joana hanya memasak ayam kecap dan capcay saja. Lagipula, Don sudah berangkat bekerja, jadi Joana tidak terlalu bisa pamer. Namun, tentu saja ada Pak Rudi dan Pak Mamat, juga Bi Darmi yang siap menjadi bala bantuannya untuk unjuk keahlian pada Don. Joana dengan senang hati mengajak mereka untuk sarapan bersama. Awalnya memang mereka menolak, tapi dengan sedikit paksaan—dan ancaman, mereka kini sudah menyantap dengan lahap hasil masakan Joana. "Enak banget, Non. Beruntung banget pak Don dapatin Non Joana." Rudi yang pertama kali memuji masakan Joana. Disusul Bi Darmi dan Pak Mamat. "Mau lagi?" Joana bertanya pada Nath yang tampak lahap memakan ayam kecap. Anak itu tidak mau sayur, meskipun Joana sedikit memaksa. Alhasil ini akan jadi PR untuk Joana. Setelah semua selesai makan, Joana memilih berkeliling rumah. Ia belum hafal betul setiap sudut rumah ini. Ia mengajak Nathan untuk menjadi guidenya. Pandangan Joana berhenti di sebuah foto besar terpajang di dinding ruangan belakang. Foto pernikahan Don bersama mantan istrinya, Lucy. Dan Joana baru sadar, belum ada foto pernikahannya dengan Don di sini. "Itu mama Lucy," ucap Nathan tiba-tiba. Joana tersenyum. "Iya. Mama cantik, ya?" Nathan hanya mengangguk. Ingin rasanya Joana bertanya pada anak itu, apakah lebih cantik dirinya atau mendiang Lucy? Namun, Joana urungkan. Rasanya tidak pantas membandingkan dirinya dengan ibu kandung Nathan. Mereka berdua orang yang berbeda. Joana kemudian mengajak Nathan kembali berkeliling. Mereka berhenti di ruangan paling belakang. Joana berniat membukanya, namun ternyata ruangan itu terkunci. "Ini ruangan apa?" tanya Joana. Nathan menggeleng. "Kata papa nggak boleh masuk," jawabnya. Joana mengangguk paham. Ia akan menanyakan ini nanti pada Don. Sepertinya ada sesuatu di ruangan ini. Juga, ia perlu mencari tau tentang Lucy dan kehidupan Don. Mungkin ada banyak rahasia yang disembunyikan pria itu darinya."Joana!" Suara teriakan Don menggema di seluruh kamarnya. Pria itu sudah berdiri di samping ranjang dengan napas ngos-ngosan. Matanya menatap tajam Joana yang masih tertidur di ranjang kamarnya. "Bangun Joana!" geramnya setengah berteriak. Ia dengan kasar menarik selimut yang Joana pakai, hingga membuat Joana terbangun dengan sebuah pekikan yang cukup keras. "Aduh. Sakit tau, Mas," keluh Joana. Ia lalu ikut berdiri dan menatap Don yang terlihat marah. Dalam hati Joana sedikit takut. Tapi lagi-lagi ia mencoba menguatkan dan memberanikan diri. Jika ia takut, ia tidak akan mendapatkan hari Don. "Kenapa kamu tidur di kamar saya?" tanya Don. Kedua alisnya menukik tajam dengan rahang yang mengetat. Ia masih menatap Joana dengan tajam, menuntut penjelasan. "Nggak tau. Mas kali yang gendong aku ke sini," Joana berujar santai, tidak mengaku. Ia memutar bola matanya jengah saat melihat tatapan tajam Don yang mengar
Joana memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang ada di kamar itu. Ia bertanya pada Rudi, Mamat, dan Darmi, tetapi mereka semua mengatakan mereka tidak tahu. Tak kehabisan akal, Joana berniat masuk ke kamar Don mumpung pria itu masih berada di kantor. Mungkin kunci kamar misterius di belakang itu Don simpan di kamarnya. Tapi usahanya lagi-lagi gagal sebab ternyata Don mengunci kamarnya. Mau tak mau, Joana harus masuk kamar Don di malam hari, saat pria itu sudah tertidur. Joana harus menyusun rencana. Namun, sebelum itu ia perlu tetap terus berusaha mengambil hati Nathan. Bocah itu menang sudah cukup dekat dengannya, namun belum sepenuhnya. Kalau kata orang, kan, ambil dulu hati anaknya, baru bapaknya. Setidaknya ia punya pegangan ketika Nathan sudah terikat padanya. "Mau main apa kita hari ini?" tanya Joana antusias. Nathan sudah selesai mandi baru saja. Ia juga sudah sarapan. Sepertinya energinya sudah full dan siap memporak-porandakan seisi rum
Joana kembali sibuk di dapur pagi harinya. Don semalam mengatakan jika ia tidak perlu memasak makan malam untuknya. Artinya, ia tentu masih bisa memasak untuk sarapan. Begitu, kan? "Saya bantu, Non," tawar Bi Darmi. Joana menggeleng sopan. "Terima kasih, Bi. Tapi nggak papa, Bibi ngerjain yang lain aja. Saya pengen masakan untuk Mas Don full dari hasil tangan saya," Joana tersenyum manis. Darmi ikut tersenyum. Menatap nyonya barunya dengan tatapan kagum. "Pak Don beruntung banget pasti punya istri kayak Non Joana," ucapnya tulus. Joana hanya tersenyum tipis. Ia membatin, semoga saja Don memang merasa beruntung telah memilikinya. Hari ini Joana memilih untuk memasak rawon, menu yang sangat ia rindukan saat dulu ia tinggal di luar negeri. Berdasarkan obrolannya dengan Bi Darmi kemarin, Joana juga tahu bahwa rawon adalah makanan favorit Don, juga makanan nusantara yang berkuah lainnya. Asik memasa
Don pulang cukup larut. Pria itu melenggang begitu saja tanpa sepatah katapun saat Joana berusaha untuk menyambutnya pulang. Joana hanya bisa mengusap dada mencoba untuk berpikir positif. Mungkin Don sedang kelelahan dan banyak pikiran. "Kamu udah makan?" tanya Joana. Ia mengikuti langkah kaki panjang Don menuju kamarnya. Baru saja tangan Don memegang pegangan pintu, pria itu berhenti dan beralih menatap Joana. "Berhenti di sini. Jangan masuk kamar saya," ucap Don datar sambil menatap Joana dengan mata lelahnya. Don kemudian beranjak membuka pintu dan melangkahkan kakinya ke dalam. Sebelum menutup pintu kamarnya, pria itu kembali menatap Joana dengan malas. "Saya sudah makan. Kamu nggak perlu buatkan saya makan malam." Usai mengatakan itu, Don langsung membanting pintu dihadapan mata Joana. Joana hanya bisa mengelus dada. "Oke," ucapnya pelan di depan pintu kamar Don. Ia memilih untu
Joana memilih untuk membuat sarapan, mumpung Nathan masih belum ada tanda-tanda untuk bangun. Sepertinya dia terbiasa bangun siang. Dan itu adalah kebiasaan yang buruk. Mulai besok, Joana berencana akan mengajak Nathan untuk bangun pagi, agar tidak menjadi kebiasaan. Apalagi, sebentar lagi, mungkin sekitar 2 atau 3 tahun lagi, Nathan pasti sudah harus masuk di bangku sekolah. Joana membuka lemari pendingin di dapur. Bibirnya menipis saat melihat isi lemari pendingin itu. Sepertinya Don bukan tipe laki-laki yang suka memasak. Joana juga sangsi apakah laki-laki itu bisa memasak. Lihatlah, hanya ada beberapa butir telur dan beberapa potong ayam yang entah sudah berapa bulan di sana. Baunya sungguh membuat Joana ingin muntah. Joana mendesah, berhubung ia belum tahu daerah tempat tinggalnya sekarang, dan tidak mungkin juga ia hanya menggoreng telur untuk sarapan Nathan, jadi ia memilih meminta tolong Pak Mamat untuk membeli bahan masakan. Untun
Malamnya, Don akhirnya mengajak Joana pulang ke rumahnya. Don memang sudah memiliki rumah sendiri yang cukup luas untuk ia tinggali sendiri bersama Nath saja. Dulu, ia sengaja membangun rumah yang luas karena berharap ia dan Lucy, mantan istrinya, bisa memiliki banyak anak dan hidup bahagia. Namun, sayangnya Lucy telah berpulang lebih dulu setelah melahirkan putra pertamanya, sehingga impian itu hanya tinggal angan-angan saja. Dan ia tidak berharap akan memiliki anak dengan Joana. Ia belum bisa menggeser Lucy di hatinya. Ia tidak akan membiarkan Joana masuk ke hatinya dan menggantikan posisi Lucy. Don melirik ke arah Joana dan Nath yang duduk di samping kursi kemudi. Sejak tadi mereka terus saja mengoceh. Segala hal ia bahas sampai Don yang hanya mendengarnya malah ikut merasa lelah. Dan hebatnya, Joana bisa menjawab semua pertanyaan random Nathan yang Don sendiri kadang kesulitan menyusun jawaban yang tepat. "Kenapa Mama Jo pakai merah-merah di bibirnya?" Nath bertanya sambil meno