Malamnya, Don akhirnya mengajak Joana pulang ke rumahnya. Don memang sudah memiliki rumah sendiri yang cukup luas untuk ia tinggali sendiri bersama Nath saja. Dulu, ia sengaja membangun rumah yang luas karena berharap ia dan Lucy, mantan istrinya, bisa memiliki banyak anak dan hidup bahagia. Namun, sayangnya Lucy telah berpulang lebih dulu setelah melahirkan putra pertamanya, sehingga impian itu hanya tinggal angan-angan saja.
Dan ia tidak berharap akan memiliki anak dengan Joana. Ia belum bisa menggeser Lucy di hatinya. Ia tidak akan membiarkan Joana masuk ke hatinya dan menggantikan posisi Lucy. Don melirik ke arah Joana dan Nath yang duduk di samping kursi kemudi. Sejak tadi mereka terus saja mengoceh. Segala hal ia bahas sampai Don yang hanya mendengarnya malah ikut merasa lelah. Dan hebatnya, Joana bisa menjawab semua pertanyaan random Nathan yang Don sendiri kadang kesulitan menyusun jawaban yang tepat. "Kenapa Mama Jo pakai merah-merah di bibirnya?" Nath bertanya sambil menoleh ke belakang, ke arah wajah Joana yang memang kali ini memakai lipstik dengan warna merah menyala. "Ini namanya lipstik. Make up. Mama pakai biar cantik." Joana tersenyum lebar ke arah Nath. "Mama cantik, nggak?" tanyanya pada Nathan. "Enggak." Bukan Nathan yang menjawab, tetapi Don yang masih fokus menatap jalanan di depannya. Joana berdecak sebal. "Aku nggak tanya kamu," sewot Joana. "Saya hanya menyampaikan pendapat." Joana memutar bola matanya jengah. "Jangan dengerin Papamu yang sok asik itu. Menurut Nath, mama cantik, kan?" tanya Joana sekali lagi pada Nath. Nathan mengangguk setuju, membuat Joana senang. Namun, kesenangannya tak berlangsung lama sebab ucapan Don lagi-lagi merusak momennya bersama Nath. "Dia jawab begitu karena kamu mengintimidasi. Pertanyaanmu menggiring pendapatnya supaya dia jawab iya." "Ck ... ikut-ikutan aja. Mending kamu fokus nyetir aja sana." Joana mengerucutkan bibirnya kesal. Di sisi lain, Don berusaha mati-matian untuk tidak menampilkan senyumannya. Sebenarnya ia ingin tertawa. Namun, ia menahannya karena tak ingin Joana berpikir macam-macam. Ia hanya merasa senang karena berhasil membuat Joana kesal, seperti Joana yang sering membuatnya kesal. Butuh waktu sekitar 1 jam untuk bisa sampai ke rumah Don. Joana menatap takjub ke arah rumah itu sebab selain megah, rumah itu juga sangat bersih. Dalam hati Joana bertanya-tanya, berapa banyak ART yang bertugas membersihkan rumah itu dalam sehari? "Kita tinggal sendirian di sini?" Joana mengikuti langkah Don yang berjalan duluan sambil menggendong Nath yang sudah tertidur. "Bertiga." Joana berdecak sebal. "Iya, maksudku selain kita bertiga, ART misalnya?" "Ada 1 satpam dan 1 supir yang tidur di pondok depan. ART akan datang setiap hari Senin sampai Jumat dari pagi dan pulang saat sudah sore. Selain itu, ada banyak makhluk tak kasat mata yang entah ada berapa." Mendengar ucapan akhir Don membuat bahu Joana berdesir. Ia berdecak sebal, bisa-bisanya Don menakut-nakutinya. Joana mengikuti Don yang masuk ke sebuah kamar. Dari desain ranjang yang berbentuk mobil ditambah banyaknya robot-robotan di sana, Joana yakin jika kamar itu milik Nathan. Don mengambil alih Nathan dari Joana. Ia kemudian merebahkan Nath di ranjangnya. Nathan sempat menggeliat, tapi Don segera mengelus dan menepuk pelan bokong bocah itu agar kembali tertidur. Setelah memastikan Nath sudah terlelap, Don segera berjalan keluar. Diikuti Joana di belakangnya. Saat Don hampir masuk ke kamarnya, Don menghentikan Joana di depan pintu. "Kamarmu di sana," ucapnya. Ia menunjuk satu kamar di ujung. Joana menoleh, mengikuti arah tunjuk Don. "Kenapa kita nggak tidur bareng?" "Karena kamu punya kamar sendiri. Kamar saya hanya untuk istri saya." "Tapi aku istrimu," sewot Joana. Don menghela napas. "No. Saya sudah peringatkan kamu. Istri saya hanya Lucy. Dan kamar ini adalah milik saya dan Lucy. Saya tidak akan memberikan kamu izin untuk tidur di kamar ini." Joana menipiskan bibirnya. Ia menarik napas dalam lalu tersenyum. "Oke." Setelah itu, Joana langsung pergi menuju kamarnya sendiri. Hatinya terasa tak nyaman mendengar nama Lucy. Hanya saja, entahlah. Joana sedang malas berdebat. Joana sudah tahu siapa Lucy dan bagaimana Don sangat mencintai wanita itu, dari mama mertuanya. Betapa beruntungnya Lucy. Tapi ... tidak juga, Lucy justru tidak beruntung karena harus meninggalkan anak dan suaminya yang mencintainya. Di sisi lain, Don merasa aneh. Tidak biasanya Joana langsung setuju begitu saja. Apalagi soal keberlangsungan rumah tangga mereka. Tapi, biarlah. Don lelah. Ia hanya ingin istirahat. Ia juga cukup puas. Harusnya Joana sudah paham posisinya. Salahnya dia menerima perjodohan ini. Ia harus paham risikonya. Meskipun ia istrinya yang sah di mata hukum dan agama, tapi ia tetap tidak bisa mendapatkan posisi di hatinya. *** Pagi harinya, Joana tampak terlihat segar. Dengan daster rumahan motif bunga-bunga, Joana menggerakkan badannya ke kanan dan ke kiri sambil menghirup udara pagi. Tadi, ia sudah mengecek kamar Nath dan melihat bahwa Nath masih tertidur pulas. Padahal ia ingin mengajak Nath untuk menemaninya berkeliling. "Pagi, Pak." Joana tersenyum dan mengangguk menyapa sopir dan satpam Don yang sedang ngopi di pos. Kedua pria paruh baya itu ikut tersenyum dan mengangguk hormat. "Eh, Non. Sudah bangun?" "Iya, nih, Pak. Pengen nyari udara segar." Joana tersenyum. "Oh, ya, Pak, kenalin saya Joana." "Saya Rudi, Non. Kalau ini Mamat." Satpam bernama Rudi itu menggeplak lengan supir bernama Mamat. "Salam kenal Pak Rudi, Pak Mamat. Sudah lama kerja sama mas Don?" "Sudah lama banget, Non. Sejak awal pak Don menikah sama Non Lucy dulu—" Mamat langsung menggeplak bokong Rudi. "Eh maaf, Non. Enggak maksud gitu, em.... " Joana tertawa pelan. "Santai aja, Pak. Aman, kok. Wah, berarti udah lumayan lama ya." Rudi dan Mamat kompak mengangguk. Joana berbincang panjang dengan Rudi dan Mamat. Tanpa sadar, ia sudah terlalu lama di sana. Saat ia kembali ke rumah, ia melihat Don yang menatapnya tajam. Pria itu sudah mengenakan setelan kerja rapi. "Kenapa, Mas? Kok udah bangun?" tanyanya. "Kenapa nggak bangunin saya. Saya ada meeting penting hari ini, Jo. Saya udah telat banget ini," keluhnya kesal. Tanpa menunggu respons Joana, Don langsung berjalan menuju mobilnya dan pergi begitu saja. Joana menghembuskan napasnya pasrah. Sepertinya ia juga harus bersiap dengan sikap dingin Don yang tak setiap saat bisa ia goda. Kali ini, entah kenapa hatinya sedikit tak nyaman mendengar nada keras yang diucapkan Don. Namun, Joana mencoba tersenyum. Ia tidak boleh menyerah begitu saja. Ia kemudian mengambil ponselnya di kamar. Lalu mengetikkan sesuatu dan mengirimkannya kepada Don.>>Semangat kerjanya, Sayangku. Maaf nggak bangunin kamu. Kamu nggak ngomong, sih. Makanya punya mulut tuh dipakai. Aku kan bukan cenayang yang bisa tebak isi hati dan pikiran kamu>> send. Joana tersenyum. Ia tidak boleh terlihat lemah. Jika ia lemah, akan semakin sulit mendapatkan hati Don.Sore harinya, setelah Joana baru terbangun setelah tak sengaja ketiduran di kamarnya, ia mendengar suara tawa dari arah ruang keluarga. Joan melangkah ke sana dan melihat Don dan Nathan yang asik bersenda gurau. "Wah, seru banget kayaknya. Nggak ajak-ajak aku," ucapnya dengan muka cemberut. Joana langsung duduk mepet di samping Don. Lalu dengan tiba-tiba tangannya melingkar di lengan Don. Joana mendongak dan tersenyum manis menatap Don. Suara decakan dengan sedikit dorongan membuat Joana menghentakkan kakinya kesal. Tak mau berlarut, kini ia berpindah ke samping Nathan. Bocah itu langsung menyodorkan tangannya, meminta Joana memangkunya. Tentu saja Joana senang. Ia dengan antusias meraih Nathan dan meletakkannya di pangkuannya. Tak sampai di situ, Joana memepetkan badannya lagi ke arah Don, namun kini ada Nathan yang menjadi pelindungnya. Dengan begitu, tentu saja Don tidak akan mendorongnya. "Nath mau nonton kartun," ucap Nathan. Jo
Joana mulai melancarkan aksinya. Setelah Don berangkat bekerja, ia segera pergi ke kamar belakang untuk membuka kuncinya. Joana sedikit bersemangat. Dengan segala harapan, semoga saja salah satu kuncinya benar. Tangannya bergerak mengambil satu persatu kunci yang ia bawa. Ia mencobanya. Kunci pertama Gagal. Kunci kedua juga gagal. Kunci ketiga apalagi. Joana mendesah. Hanya tersisa satu kunci dan semoga saja memang itu kuncinya. Mata Joana membulat saat bunyi klik terdengar di telinganya. Ia mengerjapkan mata dan mulai memutar knop pintu kamar itu. Terbuka. Joana tersenyum senang. Ia melompat-lompat pelan, mencoba menahan teriakan senangnya. Joana menahan napasnya. Perlahan tangannya mendorong pintu itu agar terbuka. Bibirnya mulai tertarik ke atas. Dadanya berdebar-debar. Dan... "What? Apa ini?" Senyum Joana langsung luntur. Alisnya menukik sambil matanya menatap ke sekeliling ruangan. Ia menghela napas kasar. Joana melangkahkan kakinya ke da
"Joana!" Suara teriakan Don menggema di seluruh kamarnya. Pria itu sudah berdiri di samping ranjang dengan napas ngos-ngosan. Matanya menatap tajam Joana yang masih tertidur di ranjang kamarnya. "Bangun Joana!" geramnya setengah berteriak. Ia dengan kasar menarik selimut yang Joana pakai, hingga membuat Joana terbangun dengan sebuah pekikan yang cukup keras. "Aduh. Sakit tau, Mas," keluh Joana. Ia lalu ikut berdiri dan menatap Don yang terlihat marah. Dalam hati Joana sedikit takut. Tapi lagi-lagi ia mencoba menguatkan dan memberanikan diri. Jika ia takut, ia tidak akan mendapatkan hari Don. "Kenapa kamu tidur di kamar saya?" tanya Don. Kedua alisnya menukik tajam dengan rahang yang mengetat. Ia masih menatap Joana dengan tajam, menuntut penjelasan. "Nggak tau. Mas kali yang gendong aku ke sini," Joana berujar santai, tidak mengaku. Ia memutar bola matanya jengah saat melihat tatapan tajam Don yang mengar
Joana memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang ada di kamar itu. Ia bertanya pada Rudi, Mamat, dan Darmi, tetapi mereka semua mengatakan mereka tidak tahu. Tak kehabisan akal, Joana berniat masuk ke kamar Don mumpung pria itu masih berada di kantor. Mungkin kunci kamar misterius di belakang itu Don simpan di kamarnya. Tapi usahanya lagi-lagi gagal sebab ternyata Don mengunci kamarnya. Mau tak mau, Joana harus masuk kamar Don di malam hari, saat pria itu sudah tertidur. Joana harus menyusun rencana. Namun, sebelum itu ia perlu tetap terus berusaha mengambil hati Nathan. Bocah itu menang sudah cukup dekat dengannya, namun belum sepenuhnya. Kalau kata orang, kan, ambil dulu hati anaknya, baru bapaknya. Setidaknya ia punya pegangan ketika Nathan sudah terikat padanya. "Mau main apa kita hari ini?" tanya Joana antusias. Nathan sudah selesai mandi baru saja. Ia juga sudah sarapan. Sepertinya energinya sudah full dan siap memporak-porandakan seisi rum
Joana kembali sibuk di dapur pagi harinya. Don semalam mengatakan jika ia tidak perlu memasak makan malam untuknya. Artinya, ia tentu masih bisa memasak untuk sarapan. Begitu, kan? "Saya bantu, Non," tawar Bi Darmi. Joana menggeleng sopan. "Terima kasih, Bi. Tapi nggak papa, Bibi ngerjain yang lain aja. Saya pengen masakan untuk Mas Don full dari hasil tangan saya," Joana tersenyum manis. Darmi ikut tersenyum. Menatap nyonya barunya dengan tatapan kagum. "Pak Don beruntung banget pasti punya istri kayak Non Joana," ucapnya tulus. Joana hanya tersenyum tipis. Ia membatin, semoga saja Don memang merasa beruntung telah memilikinya. Hari ini Joana memilih untuk memasak rawon, menu yang sangat ia rindukan saat dulu ia tinggal di luar negeri. Berdasarkan obrolannya dengan Bi Darmi kemarin, Joana juga tahu bahwa rawon adalah makanan favorit Don, juga makanan nusantara yang berkuah lainnya. Asik memasa
Don pulang cukup larut. Pria itu melenggang begitu saja tanpa sepatah katapun saat Joana berusaha untuk menyambutnya pulang. Joana hanya bisa mengusap dada mencoba untuk berpikir positif. Mungkin Don sedang kelelahan dan banyak pikiran. "Kamu udah makan?" tanya Joana. Ia mengikuti langkah kaki panjang Don menuju kamarnya. Baru saja tangan Don memegang pegangan pintu, pria itu berhenti dan beralih menatap Joana. "Berhenti di sini. Jangan masuk kamar saya," ucap Don datar sambil menatap Joana dengan mata lelahnya. Don kemudian beranjak membuka pintu dan melangkahkan kakinya ke dalam. Sebelum menutup pintu kamarnya, pria itu kembali menatap Joana dengan malas. "Saya sudah makan. Kamu nggak perlu buatkan saya makan malam." Usai mengatakan itu, Don langsung membanting pintu dihadapan mata Joana. Joana hanya bisa mengelus dada. "Oke," ucapnya pelan di depan pintu kamar Don. Ia memilih untu