Bayu tancap gas menuju kerumahnya. Pikirannya begitu kacau setelah meninggalkan istrinya yang merajuk dan turun dari mobilnya.
Namun tak ingin peduli, Bayu tak berniat untuk berputar arah dan kembali menjemput istrinya. Ia merasa tak perlu membujuk wanita yang sedang merajuk, sebab kedepannya nanti Diana mungkin akan selalu bersikap seperti ini terus jika dimanjakan. 'Dia rumput liar, dimana pun dia berada, pasti tahu cara untuk bertahan hidup. Dia gak akan kenapa-napa cuma karena gue tinggalin di restoran.' Bayu berusaha mencari pembenaran di dalam hati, atas sikapnya sendiri. Ia pun mengendurkan dasinya dan melepaskan benda itu yang telah mengikat lehernya seharian selama bekerja itu. Melemparnya ke sembarang arah dan membuka dua kancing teratas kemejanya. Ia merasa sesak, dan memang selalu perasaan itu yang disadarinya sejak menikahi Diana. Wanita yang ia nikahi karena 'value' yang ada padanya. Ditambah perusahaan keluarga yang harus ia selamatkan, membuatnya tak punya pilihan selain menikahi seseorang yang seolah sedang mengulurkan tangan dan 'melemparkan pelampung' pada keluarganya yang hampir tenggelam di lautan. Diana yang masih polos dan lugu pada saat bertemu dengannya, jatuh cinta dengan mudah meski tak banyak yang ia lakukan untuk mendekatinya. Wanita itu bahkan memutuskan untuk tak menyelesaikan kuliahnya dan menerima ajakan Bayu untuk menikah begitu saja, seolah tanpa pertimbangan apapun. Menikah muda menjadi pilihan, meski keluarganya keberatan. Diana tetap memilih jalan itu berharap kebahagiaan yang ia pikir akan didapatkannya setelah menikahi Bayu. Si anak bungsu, perempuan satu-satunya yang tentu akan mendapatkan apapun yang ia inginkan. Orangtuanya akhirnya menyetujui niatnya sebab ia lihat Bayu juga sosok yang berwibawa dan terlihat dewasa. Jadilah ia seperti sekarang, berada di posisi puncak yang dipercayakan oleh keluarga Diana. Kini ia mempercepat laju mobilnya, sebab sudah begitu lelah dan ingin segera beristirahat. Sementara di bawah Halte yang berada tak jauh dari restoran tadi, Diana duduk sendiri seperti menanti sesuatu yang ia tahu tak akan terjadi. Suaminya tak mungkin kembali hanya untuk menjemput dirinya. Diana tersenyum getir. Meratapi nasib sendiri juga tak akan mengubah apapun, pikirnya. Ingin menangis namun bukan kesedihan melainkan kekesalan yang lebih mendominasi di dalam dadanya. Ia pun bangkit dari posisinya. Menghentikan taksi segera, yang sebenarnya sejak tadipun banyak berlalu lalang di hadapannya. Tapi bodohnya ia malah membuang waktu dan duduk disana, masih berharap Bayu menjemputnya. "Ke PI ya pak." Ucap Diana, menyebutkan kawasan tempat dimana ia tinggal. Supir taksi yang ditumpanginya pun langsung melajukan mobil itu, hendak mengantar Diana ke alamat tujuan. Berusaha duduk dengan tenang, Diana mengeratkan kepalan tangannya sendiri, setelah menerima perlakuan seperti ini dari Bayu. Sejak dulu Bayu memang selalu bersikap dingin, Diana menyadari hal itu. Tak pernah ia membujuk Diana yang sedang marah. Bahkan ujung-ujungnya selalu wanita itu yang seolah dipaksa untuk kembali luluh karena suaminya harus tetap ia layani kebutuhannya. Ingin sekali rasanya tidak kembali ke rumah malam ini. Namun ia tak tahu harus kemana. Terlalu takut untuk tidur sendiri di kamar hotel, apalagi jika harus pulang kerumah orang tuanya. Keluarganya pasti akan bertanya mengapa ia pulang selarut ini dan tak bersama suaminya. Ia sudah bisa menebak bagaimana akhirnya. Keluarganya mungkin akan menyalahkannya yang dulu memutuskan untuk menikah buru-buru dan menganggapnya tak dewasa jika pulang kerumah mereka tiap kali bertengkar. Tanpa terasa air mata kini menetes di pipinya. Ia sendirian. Ia tak punya tempat untuk bersandar dan mengadukan apa yang sudah dilakukan suaminya, sebab sejak menikah ddengan Bayu ia bahkan tak pernah lagi punya waktu untuk bertemu dengan teman-temannya. Ia menghirup nafas dalam-dalam, sambil memejamkan mata berusaha meredam tangisannya. Hingga tak sampai tiga puluh menit, ia pun sampai di depan rumahnya. "Terima kasih, Pak." Ucap Diana, sambil ia bayarkan argo taksi yang ia tumpangi. Kemudian turun dari sana dan ia lihat mobil suaminya sudah terparkir di garasi. Diana menegaskan langkah dan masuk ke dalam rumah, setelah membuka pintu dengan keras hingga suaranya menggebrak begitu keras menghantam dinding. Sialnya ia melihat Bayu sedang berbaring santai sambil menonton tv di dalam kamar, seolah tak peduli apalagi memikirkannya yang pulang sendirian. Bahkan melihat Diana di ambang pintu kamarnya pun Bayu hanya melirik sekilas tanpa berkata apapun padanya, seolah ia sedang berbalik merajuk pada Diana. Tak tahan lagi, Diana merasa benar-benar tak dihargai keberadaannya. Ia tak bisa lagi tinggal dengan Bayu apalagi harus menghirup udara yang sama dalam satu ruangan yang sama pula dengannya. Ia pun menurunkan kopernya dari dalam lemari, dan membukanya lebar-lebar. Ia masukkan baju-bajunya ke dalam sana dan bergegas mengunci kopernya. Melihat itu barulah Bayu bereaksi. Pria itu terlihat bangkit dari posisinya, lalu menghampiri Diana. "Mau kemana kamu?" Tanyanya. "Bukan urusan kamu! Terserah aku mau kemana. Peduli apa? Hah? Minggir!" Diana mendorongya agar tak menghalangi jalan, kemudian ia tarik kopernya. "Di, kamu tuh kenapa sih? Aku gak ngerti kenapa kamu begini dari tadi." Bayu kembali berdiri di hadapan Diana untuk menghalangi jalannya. "Kamu yang dateng telat waktu dinner tadi, aku mau ajak kamu jalan kamu gak mau malah marah gak jelas, mau kamu apa? Kenapa jadi kamu yang kesel gini sih?" "Iya kamu gak akan ngerti. Karena kamu gak pernah bener-bener peduli sama aku. Kalo tadi aku kenapa-napa diluar paling kamu juga gak akan peduli kan?" "Kamu sendiri yang turun dari mobil." "HARUS AKU AJARIN GIMANA CARANYA MEMPERLAKUKAN ISTRI??!" Diana meninggikan suaranya. Untuk pertama kalinya ia bicara dengan nada sekeras itu dihadapan Bayu. Membuat pria itu terdiam, menatap sorot matanya yang sangat berbeda dari biasanya. Diana dikuasai kemarahan, Bayu menyimpulkan itu diotaknya. "Kamu tahu aku udah kesel dari awal, masih kamu egois, gak berusaha ngerti malah ninggalin aku sendiri. Cuma itu yang bisa kamu lakuin buat ngadepin aku? Iya?" Sambung Diana. Bayu masih tak menjawab, berusaha membiarkan dulu istrinya meluapkan amarah. "Kenapa? Aku nyebelin? Sesak kamu tinggal sama aku? Pergi sana. Pergi aja. CERAIKAN AKU SEKALIAN!" Teriak Diana diujung kalimatnya. Dadanya naik turun sebab nafasnya yang memburu. Sekian lama ia mengabdikan diri berusaha untuk menjadi istri yang baik bagi Bayu, namun yang ia dapat malah perlakuan yang sama sekali tak adil. Yakni keegoisan dan sikap Bayu yang selalu menunjukan seolah Diana lah yang paling membutuhkan dirinya di dalam rumah tangga mereka. Sudah sampai begitupun masih saja Bayu mengeluh dan merasa sesak tinggal bersama dengannya. Kini ia tak bisa lagi menahannya, ia hapus air matanya, tak ingin terlihat lemah dihadapan Bayu. Ia pun kembali melanjutkan langkah, namun Bayu masih berusaha menghalanginya. "Minggir!" Diana mendorongnya. Namun Bayu tak selemah itu, ia menguatkan kakinya dan tak mau menyingkir dari sana. "Minggir! Aku bilang minggir! Minggir!!" Diana kembali membentaknya, memukul-mukul dada Bayu sambil berusaha mendorongnya. "Di, Jangan begini!" Bayu berusaha menahan tangannya, namun kemarahan Diana membuat tenaganya begitu kuat. Bayu pun membalik tubuh wanita itu dan memeluknya seerat mungkin dari belakang hingga Diana sulit beergerak. "Lepas! Minggir aku mau pergi! Lepasin aku!" Diana terus meronta, membuat Bayu terpaksa melangkah hingga menyudutkan istrinya menghadap dinding hingga Diana benar-benar tak bisa bergerak. Kedua tangan Diana pun ia tahan di depan perut wanita itu dengan kuat. Diana terkunci, sampai beberapa menit kemudian tenaganya mulai habis dan tak bisa lagi meronta seperti tadi. Bayu perlahan mundur, agar kepala Diana tak menumpu pada dinding. Ia tak lagi bersuara, hanya nafasnya yang menderu yang masih terdengar disana. Bayu kembali melangkah mundur, duduk di tepi ranjang dan melebarkan kakinya. Berniat untuk membawa Meidina duduk diantara kedua kakinya. "Enggak!" Wanita itu menolak dan berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Bayu. Namun dengan cepat Bayu kembali menariknya. Memaksanya duduk dan ia peluk tubuh istrinya yang mungil dari belakang dengan erat. "Kamu beneran marah ya?"Enam bulan kemudian Bayu tersenyum sambil tangannya meremat gemas melihat putranya mengoceh sambil tersenyum padanya. "Pake baju dulu ya, yuk yang cepet yuk, nanti Mama marah." Bisik Bayu, lalu mulai meraih tangan Bima hendak membantunya berpakaian setelah Diana yang memandikannya. Namun baru saja sebelah tangan terangkat, Bima malah membalik tubuhnya sendiri hingga telungkup. "Ya ampun, sayang. Diem dulu, pake baju dulu ya." Ucap Bayu dengan lembut, kemudian berusaha kembali menelentangkan tubuh putranya. Namun lagi-lagi Bima telungkup sambil mengoceh. Sesekali tertawa seolah ia sedang sengaja menyulitkan ayahnya. Bayu pun tertawa gemas, namun tetap tangannya bergerak berusaha memakaikan pakaian yang sudah disiapkan Diana, sebelum istrinya mengoceh sebab terlalu lama geraknya untuk membuat putranya berpakaian. "Udah belum Pa? Gantian nih, Mas Megan udah selesai Mandi." Ucap Diana setelah keluar dari kamar mandi dengan Megan berada dalam gendongannya. "Belum sayang, gi
Beberapa bulan kemudian Bayu duduk di samping pembaringan Diana yang tengah berjuang di ruang persalinan. Nafasnya tercekat, tangan mereka erat tergenggam, menyongsong kelahiran buah cinta mereka. Mata Diana berkaca-kaca, berusaha memenuhi hatinya dengan kekuatan dan ketegaran yang luar biasa, sementara Bayu mencoba memberikan semangat. "Kamu kuat, Sayang. Maafin aku ya kamu jadi kesakitan begini. Aku disini temenin kamu. Aku sayang kamu Di, sayang banget." Berkata di setiap kontraksi yang Diana rasakan seakan membawa mereka ke dalam petualangan baru yang penuh harapan. Emosi bercampur, dari cemas hingga takjub, menunggu detik di mana mereka akan bertemu dengan malaikat kecil yang akan mengubah dunia mereka selamanya. "Mas.." suara Diana bergetar penuh kesakitan, bibirnya pucat pasi saat ia menggenggam tangan suaminya, mencari dukungan dalam setiap nafasnya. Perihnya begitu nyata, seolah tiap detik membawanya lebih dekat pada batas kemampuannya. Dalam deru nafas yang tertahan,
"Jadi? Kita pisah disini ya?" Ucap Luna, saat mereka hendak berpisah untuk pulang kerumah masing-masing setelah liburan singkat ini. Turun dari pesawat, ia menyempatkan diri untuk menyapa mereka kembali untuk sekedar berpamitan sekaligus mengucap salam perpisahan. "Hm, Terima kasih buat liburannya, menyenangkan." Jawab Abi. "Aku yang terima kasih, dan maaf juga. Kalian tahu orang tuaku gimana. Terima kasih udah pengertian." Ucap Luna sambil memegang sebelah lengan Anya di akhir kalimatnya. Ia merasa tak enak hati sebab tahu Anya sempat salah paham padanya. Juga permintaan maaf atas niat awal orang tuanya yang berpikir ingin merebut Abi untuk menikah dengannya. "Gak masalah. Sampe ketemu lagi kalo gitu." Jawab Anya. Ia pun tersenyum, berusaha memahami semata-mata hanya untuk kebahagiaan suaminya yang begitu menginginkan proyek ini. Tapi baginya saat ini memang tak ada hal yang harus dicemburui sebab tahu bagaimana latar belakang Luna seperti apa yang diceritakan Abi padanya. "Ja
"Ini loh yang aku takutin. Kamu tuh ceroboh. Kenapa gak cari tahu dulu latar belakangnya sih?" Bara mengusak wajahnya dengan kedua telapak tangannya dengan kasar, mendengar sang istri mengomelinya sejak mereka masuk kedalam kamar. Fakta bahwa Abi adalah mantan pacar Luna, tentu saja membuat mereka mati langkah. Ia yakin Abi sudah mengetahui sebab mengapa mereka mati-matian mencarikan jodoh untuk putrinya. "Ya aku gak kepikiran dunia sesempit ini Ma. Gimana bisa sih mereka ketemu lagian?" Jawab Bara. Istrinya pun menatapnya dengan tatapan tak mengerti. "Kamu nanya aku? Terus aku harus tanya siapa Pa?! Gak ada yang gak mungkin lagian, kita hidup di kota yang sama kan. Kamu pikir kota yang kita tinggalin seluas apa?" Setengah membentak, ia tak habis pikir dengan pertanyaan suaminya. "Lagian ini semua gara-gara kamu tahu gak! Kamu yang manjain dia. Kamu malah ngizinin dia ngelakuin hal ekstrem kayak gini. Dia aja gak bisa tanggung jawab sama hidupnya sendiri. Kalo udah begini gi
Abi menggenggam tangan istrinya dibalik meja. Mendengar ocehan yang keluar dari mulut Bara dan istrinya, yang terus memuji putrinya yang belum hadir ditengah-tengah mereka. Ia membulatkan tekad untuk memenuhi panggilan Bara berharap bisa mendapatkan keinginannya, namun sepertinya apa yang dikatakan Bayu memang benar adanya. Tak ada pembicaraan mengenai pekerjaan. Ia sampai tak enak hati pada Anya, meskipun sudah ia beritahukan kemungkinan ini pada istrinya sejak awal. Namun wanita itu nampak berusaha tenang. Hanya memberi senyum tipis pada mereka, meski dalam hati tak tahan sebab mereka terus menyamakan apa-apa yang dikatakan Abi dengan apa yang ada pada putri mereka. Mulai dari hobi, hingga makanan favoritnya. Bahkan tak jarang mereka membuat Anya sibuk dengan dalih pekerjaan, agar bisa memiliki lebih banyak waktu yang leluasa untuk bicara pada Abi. "Kalo gak nyaman, kita pulang aja." Bisik Abi kemudian. Anya hanya tersenyum, berusaha terlihat baik-baik saja sebab ia tahu bagaim
"Biar mampus lah mereka. Lagian punya mulut gak dijaga. Gue juga udah pernah jadi korban. Cuma gak kedengeran aja. Tapi lagian gue juga bukan siapa-siapanya Pak Bayu sih. Kalo lo kan keluarganya. Pantes lah kalo Pak Bayu belain." "Masih untung yang denger bukan Pak Abi. Kita semua juga tahu dia gimana. Bisa-bisa langsung dilempar keluar jendela kali mereka semua." Riska mengungkapkan kekesalannya, kini duduk berhadapan dengan Anya di kafetaria yang ada di lantai bawah. Masih soal para penggunjing yang membuatnya mendendam itu, Riska nampak puas dengan apa yang mereka dapatkan. "Gue gak enak, pasti habis ini gue tambah di omongin gak sih?" Jawab Anya. "Apa sempet menurut lo? Sebentar lagi Pak Abi tahu, menurut lo berapa lama mereka bisa bertahan disini?" Sahut Riska. "Lagian kita gak ada salah, mulut mereka yang liar. Jadi ngapain ngerasa risih? Gak banget." Sambung Riska. Anya pun menghela nafas. Justru itu yang ia takutkan. Abi mungkin tak bisa menahan diri, makanya ia