Masuk
Trup! Trup! Kotak bekal sudah tertutup rapat, Diana bergegas untuk berganti pakaian berniat untuk mengantarkan makan siang untuk Bayu, suaminya.
Ikan kuah kuning, dengan nasi hangat, Diana tersenyum puas memandangi hasil kerjanya. Kini ia membayangkan bagaimana suaminya akan makan dengan lahap masakan yang membuatnya menghabiskan waktu di dapur selama berjam-jam itu. Di tahun pertama hari jadi pernikahan mereka, Diana ingin membuat hari ini spesial. Tak hanya makan malam mereka yang sudah direncanakan, makan siang pun ia ingin memberi kejutan kecil dengan memasak makanan favorit suaminya. Merapikan make up di depan cermin selesai, Diana merasa penampilannya sudah cukup baik untuk menemui suaminya di kantor. Melirik ke arah jam dinding dari pantulan cermin meja riasnya, waktu sudah menunjukan pukul sebelas siang. "Waktunya pas nih, sampe sana paling jam setengah dua belas, kalo gak macet." Gumamnya dengan nada riang, ia bermonolog dengan dirinya sendiri. Ia lantas meraih tas tangannya yang sudah ia isi dengan dompet dan ponsel, tak lupa ia bawa lipstik merah menyala, warna yang disukai suaminya. Berjaga jika ada kesempatan, ia mungkin akan sedikit menggoda suaminya dan mengajaknya sedikit 'bermain-main'. Sebab yang ia tahu, Pria itu memang bisa tak tahan mencium bibirnya dengan ganas jika melihat Diana menggunakan lipstik merah menyala seperti itu. Sehangat itu hubungan mereka di atas ranjang, hingga kadang tak mengenal tempat, Bayu kerap kali memanfaatkan waktu untuk mencumbui istrinya. Selesai semua persiapan, tak lupa kotak bekal yang ia bawa di tangan kirinya. Diana dijemput oleh salah satu supir yang bekerja di rumah ayahnya, yang sudah ia mintai bantuan untuk menjemputnya sejak dua puluh menit yang lalu. Masuk ke dalam mobil sedan hitam itu, ia pun langsung mencoba mencari tahu dimana keberadaan suaminya, sebab takut kejutan ini akan gagal jika ternyata Bayu sedang tak berada di tempatnya. [Di kantor bu, hari ini gak ada jadwal bapak keluar kantor.] Pesan masuk diterima, balasan dari Riska, sekretaris Bayu. Alih-alih bertanya pada suaminya langsung, Diana memilih menguhubungi sekretarisnya agar kejutan ini benar-benar membuat suaminya terkejut. Tak sampai tiga puluh menit, lebih cepat daripada perkiraannya. Diana sampai di gedung tinggi, tempat suaminya memimpin perusahaan, meneruskan kedudukan ayah Diana yang berada disana sebelumnya. Bayu memang memiliki perusahaan keluarga sendiri pada awalnya, namun tak kunjung stabil kondisinya sebab kurangnya modal juga beberapa masalah lain yang hanya dimengerti olehnya. Sedangkan DIana si anak manja kesayangan ayahnya, tentu saja tak memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengurus urusan perusahaan seperti ini. Hingga setelah mereka menikah perusahaan kecil milik keluarga Bayu pun di akuisi oleh keluarga Diana, dan menjadikan Bayu pemimpinnya karena Ayah Diana sudah harus pensiun di usianya yang sudah menginjak enam puluh tahun. Bukan tanpa alasan, hanya saja Sudoyo, Ayah Diana mengaggap menantunya pantas mendapatkan posisinya karena kemampuan dan pengalamannya mengelola perusahaan sebelum ini. Diana melangkah cepat masuk kedalam sana. Jantungnya berdebar tak sabar ingin bertemu dengan suaminya. Meski mereka selalu bertemu setiap hari, namun debaran itu tak berubah sejak pertemuan pertama mereka, setidaknya bagi Diana. Selalu, setiap hari, ada saja pesona Bayu yang terlihat yang membuat DIana jatuh cinta pada suaminya setiap hari. Suaminya yang bertubuh tinggi, berwajah tampan juga berwibawa. Belum lagi aura yang terpancar dalam dirinya membuatnya semakin mengagumi sang suami yang dikenal dengan sifat dinginnya. Ada kebanggaan tersendiri bagi Diana ketika ia bisa menikahi suaminya, sosok pria yang menjadi magnet bagi wanita-wanita di sekitarnya. Ia merasa tengah memenangkan lotre, karena menikahi seorang lelaki yang banyak diimpikan oleh para wanita. Keluar dari elevator, Diana mengayunkan langkah menuju ruangan suaminya. Pandangannya langsung tertuju pada Riska, sekretaris Bayu yang duduk di depan ruang kerja suaminya. Wanita muda itu pun nampak langsung tersenyum ramah begitu bertemu mata dengan Diana. "Siang bu--" "Ssst!!" Diana spontan meletakkan telunjuknya di depan bibir, begitu Riska berdiri dan menyambutnya. Ia tak ingin suara Riska membuat suaminya keluar ruangan dan kejutannya menjadi gagal. "Bapak di dalem kan?" Diana bertanya dengan suara bisikan pada Riska. "Iya, bu. tapi lagi ada pak Abi." Jawab Riska. "Mas Abi? Kakakku?" Tanya Diana, nampak heran dengan keberadan kakaknya di hari kerja yang sibuk seperti ini. "Iya bu." Jawab Riska. "Oh yaudah, makasih. Aku langsung masuk aja." Jawab Diana. Ia pun kembali melangkah berniat masuk kedalam. Namun ia urungkan niatnya sebab sepertinya ia mendengar percakapan serius diantara mereka. "Jangan gitu, sadis banget lo. Biar begitu dia tetep adik gue loh." Terdengar suara Abi yang ia pikir sudah pasti sedang membicarakan dirinya, karena tak ada lagi adik yang dimaksud kecuali Diana, karena mereka hanya dua bersaudara. "Tuh, kesannya jadi gue yang jahat kan. Padahal gue cuma jawab pertanyaan lo tadi. Lo kan nanya gimana rasanya nikah sama adik lo, ya gue jawab jujur kan. Nyebelin, sesak, itu rasanya." Deg! Nafas Diana terasa tercekat mendengar apa yang dikatakan suaminya. Namun masih ingin mendengar apa yang akan dikatakan suaminya lagi, Diana tak ingin beranjak dari sana, memilih menguatkan hati sebab masih ingin megetahui lebih banyak lagi. "Terus kenapa lo nikahin? Seinget gue.. bukannya waktu itu lo sama keluarga lo juga yang minta pernikahan kalian dipercepat?" Tanya Abi lagi pada sahabatnya itu. "Ya lo tahu waktu itu gue lagi butuh menikah." Jawab Bayu. "Karena apa? Perusahaan?" Terdengar Abi kembali bertanya. Tak kuat lagi, Diana merasa begitu lemas, tangannya yang semula memegang knob pintu terkulai begitu saja hingga menimbulkan suara karena knob pintu yang kembali ke posisi semula. "Siapa? masuk." Terdengar suara Bayu dari dalam sana, mungkin ia mengira itu adalah Riska yang hendak masuk ke dalam ruangannya, pikir Diana. Namun ia sendiri sudah tak sanggup melanjutkan langkahnya, apalagi harus menghadapi suami juga kakaknya yang baru saja membicarakan dirinya. Tentu bukan hal baik yang ia dengar, hanya perkataan menyakitkan yang bagi mereka mungkin hanya sebuah lelucon atau gurauan. Diana berbalik, berniat untuk kembali kerumahnya. Hatinya serasa diremas, mendengar suami yang ia pikir menikahinya karena jatuh cinta padanya, ternyata punya maksud lain dan memanfaatkan pernikahan mereka, dan sudah pasti juga memanfaatkan dirinya. Terlebih respon kakak kandungnya yang seolah terima-terima saja, padahal bukankah seharusnya ia yang paling marah jika ada seseorang yang memperlakukan adiknya dengan perlakuan yang tidak adil? Diana bertanya-tanya dalam hati. Diana meletakkan kotak bekal makanan itu di atas meja kerja Riska. Tatapannya kosong, namun tetap menoleh untuk menatap Riska. "Buat kamu, Jangan bilang bapak saya kesini." Ucap Diana pada Riska, kemudian ia berlalu begitu saja. melangkah cepat meninggalkan tempat itu hendak kembali kerumah dengan taksi online saja, sebab tak ingin siapapun yang mengenalnya melihat raut wajahnya yang seperti ini, termasuk supir pribadi sang ayah. Membuang pandangan keluar jendela sepanjang perjalanan, Diana tersenyum getir mengingat apa yang dikatakan suaminya. 'Karena butuh? Apa maksudnya? Butuh aku gitu? Gak mungkin kan? Jelas-jelas kamu bilang nyebelin dan sesak rasanya menikah sama aku.' Gumamnya di dalam hati. Ia lantas menggelengkan kepala, lalu menunduk berusaha menahan air matanya. Tak menyangka suami yang dibanggakannya malah merasa sesak dengan pernikahan mereka. Kepalanya terus berusaha memikirkan apa yang sekiranya membuat suaminya merasa seperti itu. Pasalnya dari yang ia ingat, selalu ia yang lebih banyak mengalah selama ini. Ia lebih sering mendahulukan kepentingan pria itu daripada kepentingannya sendiri, selayaknya seseorang yang mencintai pasangannya. Namun setelah beberapa saat berpikir, ia pun menyadari sesuatu. Seperti menemukan jawaban dari pertanyaan yang sejak awal pernikahan mereka selalu ia pertanyakan dalam benaknya. Yakni alasan mengapa Bayu selalu bersikap dingin jika bukan di atas ranjang. Suaminya, yang ia pikir sikap dinginnya itu memang karena pembawaannya, ternyata karena merasa sesak berada di dekatnya. Sebab senyumnya yang hampir tak pernah terlihat, yang ia pikir juga lantaran sifatnya yang tak mudah dekat dengan orang lain, ternyata karena ia merasa pernikahan mereka begitu menyebalkan baginya. Lantas dengan siapa ia menikah sebenarnya? Tanya Meidina di dalam hati, kini ia ragu ia sudah benar-benar mengenal suaminya, Jika Bayu yang ia pikir juga menginginkannya ternyata malah merasa tak bahagia hidup bersama dengannya.Enam bulan kemudian Bayu tersenyum sambil tangannya meremat gemas melihat putranya mengoceh sambil tersenyum padanya. "Pake baju dulu ya, yuk yang cepet yuk, nanti Mama marah." Bisik Bayu, lalu mulai meraih tangan Bima hendak membantunya berpakaian setelah Diana yang memandikannya. Namun baru saja sebelah tangan terangkat, Bima malah membalik tubuhnya sendiri hingga telungkup. "Ya ampun, sayang. Diem dulu, pake baju dulu ya." Ucap Bayu dengan lembut, kemudian berusaha kembali menelentangkan tubuh putranya. Namun lagi-lagi Bima telungkup sambil mengoceh. Sesekali tertawa seolah ia sedang sengaja menyulitkan ayahnya. Bayu pun tertawa gemas, namun tetap tangannya bergerak berusaha memakaikan pakaian yang sudah disiapkan Diana, sebelum istrinya mengoceh sebab terlalu lama geraknya untuk membuat putranya berpakaian. "Udah belum Pa? Gantian nih, Mas Megan udah selesai Mandi." Ucap Diana setelah keluar dari kamar mandi dengan Megan berada dalam gendongannya. "Belum sayang, gi
Beberapa bulan kemudian Bayu duduk di samping pembaringan Diana yang tengah berjuang di ruang persalinan. Nafasnya tercekat, tangan mereka erat tergenggam, menyongsong kelahiran buah cinta mereka. Mata Diana berkaca-kaca, berusaha memenuhi hatinya dengan kekuatan dan ketegaran yang luar biasa, sementara Bayu mencoba memberikan semangat. "Kamu kuat, Sayang. Maafin aku ya kamu jadi kesakitan begini. Aku disini temenin kamu. Aku sayang kamu Di, sayang banget." Berkata di setiap kontraksi yang Diana rasakan seakan membawa mereka ke dalam petualangan baru yang penuh harapan. Emosi bercampur, dari cemas hingga takjub, menunggu detik di mana mereka akan bertemu dengan malaikat kecil yang akan mengubah dunia mereka selamanya. "Mas.." suara Diana bergetar penuh kesakitan, bibirnya pucat pasi saat ia menggenggam tangan suaminya, mencari dukungan dalam setiap nafasnya. Perihnya begitu nyata, seolah tiap detik membawanya lebih dekat pada batas kemampuannya. Dalam deru nafas yang tertahan,
"Jadi? Kita pisah disini ya?" Ucap Luna, saat mereka hendak berpisah untuk pulang kerumah masing-masing setelah liburan singkat ini. Turun dari pesawat, ia menyempatkan diri untuk menyapa mereka kembali untuk sekedar berpamitan sekaligus mengucap salam perpisahan. "Hm, Terima kasih buat liburannya, menyenangkan." Jawab Abi. "Aku yang terima kasih, dan maaf juga. Kalian tahu orang tuaku gimana. Terima kasih udah pengertian." Ucap Luna sambil memegang sebelah lengan Anya di akhir kalimatnya. Ia merasa tak enak hati sebab tahu Anya sempat salah paham padanya. Juga permintaan maaf atas niat awal orang tuanya yang berpikir ingin merebut Abi untuk menikah dengannya. "Gak masalah. Sampe ketemu lagi kalo gitu." Jawab Anya. Ia pun tersenyum, berusaha memahami semata-mata hanya untuk kebahagiaan suaminya yang begitu menginginkan proyek ini. Tapi baginya saat ini memang tak ada hal yang harus dicemburui sebab tahu bagaimana latar belakang Luna seperti apa yang diceritakan Abi padanya. "Ja
"Ini loh yang aku takutin. Kamu tuh ceroboh. Kenapa gak cari tahu dulu latar belakangnya sih?" Bara mengusak wajahnya dengan kedua telapak tangannya dengan kasar, mendengar sang istri mengomelinya sejak mereka masuk kedalam kamar. Fakta bahwa Abi adalah mantan pacar Luna, tentu saja membuat mereka mati langkah. Ia yakin Abi sudah mengetahui sebab mengapa mereka mati-matian mencarikan jodoh untuk putrinya. "Ya aku gak kepikiran dunia sesempit ini Ma. Gimana bisa sih mereka ketemu lagian?" Jawab Bara. Istrinya pun menatapnya dengan tatapan tak mengerti. "Kamu nanya aku? Terus aku harus tanya siapa Pa?! Gak ada yang gak mungkin lagian, kita hidup di kota yang sama kan. Kamu pikir kota yang kita tinggalin seluas apa?" Setengah membentak, ia tak habis pikir dengan pertanyaan suaminya. "Lagian ini semua gara-gara kamu tahu gak! Kamu yang manjain dia. Kamu malah ngizinin dia ngelakuin hal ekstrem kayak gini. Dia aja gak bisa tanggung jawab sama hidupnya sendiri. Kalo udah begini gi
Abi menggenggam tangan istrinya dibalik meja. Mendengar ocehan yang keluar dari mulut Bara dan istrinya, yang terus memuji putrinya yang belum hadir ditengah-tengah mereka. Ia membulatkan tekad untuk memenuhi panggilan Bara berharap bisa mendapatkan keinginannya, namun sepertinya apa yang dikatakan Bayu memang benar adanya. Tak ada pembicaraan mengenai pekerjaan. Ia sampai tak enak hati pada Anya, meskipun sudah ia beritahukan kemungkinan ini pada istrinya sejak awal. Namun wanita itu nampak berusaha tenang. Hanya memberi senyum tipis pada mereka, meski dalam hati tak tahan sebab mereka terus menyamakan apa-apa yang dikatakan Abi dengan apa yang ada pada putri mereka. Mulai dari hobi, hingga makanan favoritnya. Bahkan tak jarang mereka membuat Anya sibuk dengan dalih pekerjaan, agar bisa memiliki lebih banyak waktu yang leluasa untuk bicara pada Abi. "Kalo gak nyaman, kita pulang aja." Bisik Abi kemudian. Anya hanya tersenyum, berusaha terlihat baik-baik saja sebab ia tahu bagaim
"Biar mampus lah mereka. Lagian punya mulut gak dijaga. Gue juga udah pernah jadi korban. Cuma gak kedengeran aja. Tapi lagian gue juga bukan siapa-siapanya Pak Bayu sih. Kalo lo kan keluarganya. Pantes lah kalo Pak Bayu belain." "Masih untung yang denger bukan Pak Abi. Kita semua juga tahu dia gimana. Bisa-bisa langsung dilempar keluar jendela kali mereka semua." Riska mengungkapkan kekesalannya, kini duduk berhadapan dengan Anya di kafetaria yang ada di lantai bawah. Masih soal para penggunjing yang membuatnya mendendam itu, Riska nampak puas dengan apa yang mereka dapatkan. "Gue gak enak, pasti habis ini gue tambah di omongin gak sih?" Jawab Anya. "Apa sempet menurut lo? Sebentar lagi Pak Abi tahu, menurut lo berapa lama mereka bisa bertahan disini?" Sahut Riska. "Lagian kita gak ada salah, mulut mereka yang liar. Jadi ngapain ngerasa risih? Gak banget." Sambung Riska. Anya pun menghela nafas. Justru itu yang ia takutkan. Abi mungkin tak bisa menahan diri, makanya ia







