“Jenguklah Sierra! Dia sudah lama kerja sama kamu,” dia teringat ucapan sang mama.
Bian tidak ada pengalaman untuk menjenguk orang yang melahiran. Tapi benar yang dikatakan oleh sang mama. Bagaimana pun juga Sierra sudah lama sekali bekerja padanya. Tidak mungkin dia tidak menengok wanita itu.
Dia bertanya pada Jasmine tentang apa saja yang perlu dibawakan untuk Sierra. Wanita itu memberitahunya bahwa dia harus mencari barang yang berguna untuk ibu dan anak.
Kemudian dia memerintahkan kepada Edo untuk mencarinya. “Kamu mau ikut, Jasmine?” tanya Bian saat wanita itu sedang fokus dengan pekerjaannya.
“Sepertinya tidak. Saya ada kesibukan lain. Mungkin nanti saya akan menjenguknya belakangan.”
“Oke.”
Jasmine memasukkan barangnya ke dalam tas. “Pak, saya izin sebentar. Nanti akan kembali lagi ke kantor.”
“Tunggu Edo balik dulu. Jangan biarkan ruangan ini sepi.”
“Baiklah!”
Dia keluar dari ruangannya Jasmine. Sekarang dia duduk di tempat kerjanya. Saat sedang membalas email. Dia melihat Jasmine sedang berdandan. Dia mengamati wanita itu dari tempat duduknya.
“Dia masih cantik seperti dulu. Tapi sekarang terlihat jauh lebih dewasa,” dia memuji kecantikan Jasmine begitu saja.
Edo masuk ke dalam ruangannya. “Sudah?”
“Semuanya sudah, Pak.”
Dia bangun dari tempat duduknya dan masuk lagi ke ruangannya Jasmine dan Edo. “Jasmine, kamu bilang mau izin. Apakah bakalan lama?”
“Tidak. Saya pergi dan bakalan balik lagi. Kira-kira setengah jam.”
“Kalau begitu, pergilah! Aku dan Edo akan pergi begitu kamu sudah kembali.”
Jasmine bangun dari tempat duduknya dan membawa tasnya. Dia kembali dan bergabung duduk bersama dengan Edo. “Apakah Jasmine ikut, Pak?”
“Ruangan ini tidak boleh kosong. Jasmine hanya pergi sebentar. Dia akan kembali.”
Bian mengeluarkan ponselnya saat dia membaca pesan dari Freya kalau wanita itu akan menginap di rumahnya nanti malam.
Dia mendesah dan membalasnya dengan segera. Tidak mau kalau nanti tidak dibalas, Freya justru berpikir yang tidak-tidak.
“Bapak dan Jasmine bisa saling cuek seperti itu. Padahal dulu pernah jalin hubungan suami istri.”
Bian menaruh ponselnya di dalam sakunya. “Aku bisa profesional selama wanitanya juga seperti itu. Lagi pula, Jasmine tidak ada kenangan buruk di dalam hidupku. Kurasa wajar kalau kami berdua bisa bersikap seperti biasa.”
“Ah, ya. Saya ingat dia begitu cantik dulu. Bapak menikahinya waktu dia baru saja menyelesaikan pendidikannya.”
Ya, Bian ingat. Jasmine waktu itu baru berusia 21 tahun dan terlihat sangat cantik. Dia sendiri berusia 29 tahun waktu itu. Dia menganggap Jasmine adalah penyelamatnya dulu.
“Apakah Bapak benci sama dia?”
“Tidak. Aku s dah bilang, dia tidak punya catatan buruk selama menjadi istriku. Dia sangat baik.”
“Dia juga lebih cantik dari ....”
“Apa maksudmu?” tanya Bian dengan segera saat Edo hendak membandingkan Jasmine dan juga Freya.
Pria itu menyengir dan salah tingkah. “Maafkan saya, Pak.”
“Dia memang lebih cantik dari Freya. Tanpa kamu minta maaf, itu memang benar. Dia wanita baik, hanya saja dia sial memiliki ibu tiri yang seperti sampah. Sama seperti mama tiriku yang ingin menguasai semuanya.”
Diakui atau tidak antara Jasmine dan Freya. Keduanya memiliki kebiasaan yang sangat jauh sekali.
Freya sedikit lebih manja. Meskipun wanita itu belum menjadi istrinya. Tetap saja, bagi Bian itu harus dikurangi bagaimana cara wanita itu meminta waktu kepada Bian.
Jasmine selama menjadi istrinya Bian, pagi hari dia tidak perlu kesulitan untuk menyiapkan kebutuhannya sendiri. Mulai dari setelan kerja, sampai sarapan. Pulang kerja, dia sudah melihat handuk tersedia di atas ranjang beserta baju gantinya. Semua itu disiapkan oleh Jasmine.
Tidak salah kalau dia menganggap Jasmine tidak punya celah sedikit pun selama menjadi istri.
Mereka berdua mengobrol sampai Jasmine kembali.
Wanita itu masuk ke dalam ruangannya Bian dan terlihat sedikit lelah. “Ayo, Edo!”
Mereka berdua mengobrol membahas barang bawaannya yang akan dibawa ke rumahnya Sierra.
Saat mereka menuruni tangga menuju basement, mereka berdua belari saat menuruninya.
Braaaak.
Seorang anak kecil ditabrak oleh Bian sampai terjatuh di tangga.
“Pak.”
Bian panik setengah mati melihat anak kecil itu terjatuh, dia menabraknya begitu kencang sampai terjatuh seperti itu. Dan melihat banyak sekali darah. Tanpa berpikir panjang dia langsung membawa anak itu masuk ke dalam mobilnya.
Mencoba untuk menutupi luka itu dengan tangannya. Darah tidak berhenti keluar dari kepala anak itu bahkan anak kecil tersebut tidak sadarkan diri.
“Buruan, Edo!”
Mobil melaju semakin kencang. Mereka sampai di rumah sakit dan anak itu segera ditangani. Lihat sekarang setelannya penuh dengan darah. Tangannya juga sampai gemetar. Bagaimana mungkin seorang anak kecil main di sana tanpa ada pengawasan orang tua? Lagi pula anak-anak punya tempat tersendiri dan tidak dibiarkan keluar masuk seperti ini.
“Hubungi orang kantor, Edo! Tanyakan itu anaknya siapa!”
Sembari menunggu anak itu selesai ditangani. Bian membersihkan dirinya dari darah anak itu. Kemejanya, tangannya dan juga celananya penuh dengan darah. Sampai dia merasa gemetar saat menabrak anak itu sampai terjatuh.
Bian keluar dari kamar mandi dan mengganti pakaian yang diambilkan oleh Edo di mobil. “Pak, itu Noah. Anaknya Jasmine.”
Bian memijit pelipisnya mendengar itu. Bagaimana mungkin orang tua begitu ceroboh membiarkan anak kecil main di sana? Dia juga buru-buru. Kalau orang dewasa sudah pasti terlihat saat mereka turun tadi. Tapi saat Bian berbelok, dia langsung menabrak anak itu.
“Jasmine ke sini?”
“Ya, dia sedang di perjalanan. Saya sudah menanyakan di grup. Jasmine yang respons.”
“Pergilah ke Sierra, Edo! Aku akan mengurus Jasmine di sini. Kita sudah janji akan mengunjungi Sierra. Jadi, kamu wakili aku untuk hari ini. Sampaikan maafku juga untuknya.”
Jasmine datang. “Di mana Noah?”
“Dokter masih di dalam.”
Lihat saja wanita itu menangis. Bagaimana dengan Bian tadi yang menabrak anak itu dan langsung terpental begitu saja dan kepalanya langsung berdarah.
Saat sudah selesai. Pintu ruangannya dibuka. Bian masuk dan melihat anak itu sedang tidak sadarkan diri.
“Siapa namanya dan umurnya berapa?”
Jasmine menoleh ke arahnya. “Namanya Noah, umurnya kamu tidak perlu tahu. Dia bukan anakmu.”
Bian hanya ingin tahu nama dan umur anak yang dia tabrak tadi. Karena ini akan jadi persyaratan administrasi.
Dia keluar untuk mengurus administrasi anaknya Jasmine. Bian sampai lupa untuk melakukan itu karena panik.
Bian masuk lagi ke dalam ruangan itu dan melihat Noah masih tertidur.
“Bagaimana kronologinya?”
“Aku dan Edo lari di tangga menuju basement, aku nggak tahu kalau ada anak kecil.”
“Dia pasti mencari saya.”
Bian tidak menanggapi, dia hanya merasa bersalah ketika tidak sengaja membuat anaknya Jasmine sampai terluka parah seperti itu. Lukanya juga tidak di satu bagian.
Kalau sampai terjadi apa-apa, mungkin dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri. “Dokter bilang nanti setelah dia sadar, bakalan diperiksa lagi. Semoga saja dia tidak luka parah.”
“Hmmm, tentang ucapan saya tadi. Lupakan!”
Bian tidak ingin mengambil keputusan yang fatal lagi seperti kemarin-kemarin. Dia tidak mau kalau dia dan istrinya bercerai lantaran dirinya yang tidak bisa menjadi suami yang baik. Dia menganggap perasaan istrinya terlalu lebay. Dia menganggap perasaan istrinya berlebihan ketika wanita itu cemburu. Padahal, yang terjadi sebenarnya adalah dirinya tidak pernah lagi mengerti bagaimana rasanya dicemburui. Tidak pernah merasakan itu sebelumnya pada wanita lain. Freya tidak pernah cemburu padanya, Adelia tidak pernah peduli terhadapnya. Berbeda dengan Jasmine yang bahkan menangis karena ulahnya. Sepele, tapi menyakiti istrinya. Bian tidak mau lagi melakukan itu dan menyakiti Jasmine lebih dalam lagi. Sekarang, dia ingin hidup dengan akur dan baik-baik saja bersama dengan istrinya. Dia menuduh Jasmine berubah ketika pulang dari rumahnya Ulfa. Tanpa dia sendiri sadari kalau selama ini yang membuat istrinya berubah adalah ulahnya sendiri. Bian terlalu jauh membuat istrinya menderita. Dia
“Dari sekian banyak pilihan, kenapa kamu memutuskan untuk bercerai sama aku, Mas?” Padahal Bian sendiri tahu, semenjak mereka bertengkar. Jasmine selalu menangis tengah malam. Bian menyadarinya, tidak ingin mengganggu istrinya malam itu. Pelariannya ke alkohol juga tidak mempan. Rasanya masih terlalu sakit kalau dia ingat betapa bodohnya dia. Secara naluri, dia masih menyayangi istrinya. Dia juga tidak ingin berpisah dengan istrinya. Jasmine adalah orang yang dia cintai. Dunia ini seolah-olah akan berhenti begitu Bian mengatakan ingin bercerai dari istrinya. Padahal dia sendiri sangat tahu kalau dirinya sangat mencintai istrinya. Dia meninggalkan semua wanita demi bisa bertahan dengan istrinya. Dia tidak meminta pendapat dari orang lain. Dia hanya berharap kalau ini akan segera selesai. Yaitu dengan cara melepaskan wanita yang begitu dicintainya. Memang dari awal Bian sudah merasa kalau dirinya itu tidak bisa menjaga rumah tangganya lagi. Bian juga sudah berusaha bertahan, namun
Bian menganggap remeh rasa cemburunya Jasmine yang selama ini dia rasakan. Tidak menyangka kalau kalimat itu keluar dari mulut suaminya sendiri. Dia tidak pernah menduga kalau suaminya akan menganggap perasaannya tidak penting seperti itu. Setelah pertengkaran beberapa malam yang lalu. Bian pun tidak ada kata permintaan maaf sampai detik ini. Jasmine yang merasa kalau suaminya memang sangat sulit untuk mengerti perasaannya. Menikah dengan Bian dua kali, tidak serta merta membuatnya merasa baik-baik saja. Menikah hanya karena alasan demi anak. Tapi juga tidak baik untuk kesehatan mentalnya. Memang Bian baik terhadap anak-anak, ternyata pria itu abaikan semua yang dikatakan oleh Jasmine. Memang benar, dia harusnya diam saja tanpa banyak protes terhadap rumah tangganya. Tidak layak juga protes kalau tidak pernah didengarkan. Jasmine mulai menyesali ketika dia memberontak malam itu. Mulai menyesal telah mengeluarkan semua yang ada di dalam hatinya. Mulai merasa kalau dirinya tidak a
“Pa, Papa nggak berantem sama mama, kan?” Bian sedang berenang berdua dengan Noah, anaknya bertanya tentang kondisi rumah tangga mereka. Bian memang tidak pernah bertengkar dengan istrinya. Bian sedang di tepi kolam renang justru tersenyum dengan pertanyaan anaknya. Tidak ada pertengkaran apa pun yang terjadi di dalam rumah tangga mereka. Hanya saja, beberapa hari yang lalu Jasmine mengatakan dirinya sedang lelah saja. “Mama cuman capek aja, Noah. Setiap ibu pasti akan merasakan itu.” “Tapi, Pa. Papa kenapa ketemu lagi sama Nina dan mamanya?” Bian yang tadinya mengabaikan soal itu, tiba-tiba saja dia menoleh kepada anaknya. “Dari mana kamu tahu?” “Pak Egi bilang sama aku tadi waktu jemput ke tempat les. Katanya, Pak Egi sama mama ke taman belakang kantor waktu antar makan siang. Terus Papa di sana sama Nina dan mamanya.” Bian bertemu dengan Adelia tidak ada maksud apa-apa, dia hanya menemui wanita itu lantaran Nina ingin bertemu dengannya. Tidak ada maksud lain yang Bian laku
Seminggu dia pergi bersama dengan Celia. Bian tidak menghubunginya apalagi bertanya apakah dia sudah sampai atau tidak. Justru dia dibiarkan begitu saja. Tidak seperti biasanya, memang pria itu sudah berubah. Jasmine tadinya memang ingin liburan bersama dengan Celia berdua. Setelah dikabari oleh kakak sepupunya kalau Ulfa ada di rumah kakaknya. Jasmine pun akhirnya ke sana dan jaraknya lebih dekat. Dia juga cerita keluh kesahnya dan menceritakan bagaimana Bian dulu juga pernah main wanita di masa lalu. Jasmine yang baru mengenal cinta justru terjebak dalam pernikahan waktu itu. Dia cemburu, tidak bisa mengungkapkannya. Sekarang, dia cemburu. Masih bisa diam juga tanpa berani berkata apa-apa. “Terus, mau sampai kapan kamu sama Celia di sini?” tanya Halim, kakak sepupunya. Jasmine duduk di sebelah kakak sepupunya di sebuah taman yang ada di rumah itu. “Mungkin lusa akan pulang. Kasihan Noah juga di sana.” Dulu, dia menerima Bian kembali karena dia kasihan kepada Noah. Lalu kemudia
“Ada yang ingin kamu omongin sama aku nggak, Mas?” Jasmine ingin tahu apakah suaminya ingin mengatakan sesuatu seperti pertemuan atau apa pun itu. Dia akan mendengarkan semuanya. Terutama dia tidak akan berpikir berlebihan setelah mengetahui suaminya masih bertemu dengan mantan istrinya. Kalau itu adalah Freya, mungkin tidak akan sesakit ini.Merasa dikhianati oleh suaminya lantaran Bian tidak mengatakan apa pun dengan jujur. Pertemuan yang dilakukan di belakang Jasmine termasuk kejahatan dalam rumah tangga. Hilangnya kejujuran dan juga tidak ada yang tahu apa yang terjadi setelahnya. Bian meletakkan ponselnya di atas meja. Menatap Jasmine kemudian tersenyum. “Nggak ada, Sayang.” Jasmine menganggukkan kepalanya dengan perlahan, dia tahu kalau ternyata suaminya hanya pura-pura. Bahkan dari kemarin, Bian tidak meminta jatahnya. Ada apa? Kenapa pria itu berubah sekarang? Jasmine merasa seorang istri yang hanya menerima kesalahan Bian beberapa kali. Tahu kalau watak main wanita itu t