Share

Mengejar Cinta Mas Bian
Mengejar Cinta Mas Bian
Author: Beaudeauxamat

Bab 1 Perjodohan

Menikahi pria 10 tahun lebih tua? Alisya mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat sambil menatap ibu tirinya yang dengan liciknya merayu ayahnya agar mau menikahkan Alisya dengan seorang pria tua. Padahal ia baru saja kembali dari Korea atas paksaan ayahnya yang murka karena ia nekat menjadi trainee KPop di salah satu agensi besar Korea. Ia ketahuan karena Tasya, saudari tirinya, yang entah mendapatkan informasi dari mana dan langsung memberitahu ayahnya.

"Alisya gak mau!" pekik Alisya, nyaris terisak.

"Alisya sayang, " kata ibu tirinya dengan nada sok lembut yang nyaris membuat Alisya muntah. "Kamu harusnya bersyukur bisa nikah sama orang yang udah punya usaha sendiri. Ayah kamu mikirin kebaikan kamu, loh."

"Gue bisa nyari calon sendiri, ya! Gak perlu dijodoh-jodohin!" bentak Alisya, kelewat kesal.

"Alisya! Yang sopan sama Mama!" sela sang ayah.

"Dia bukan Mama Alisya!" balas Alisya, tak kalah keras.

Ibu tiri Alisya mengusap-usap bahu suaminya. "Sudah, Mas. Gakpapa. Alisya masih butuh waktu untuk terima aku."

Inilah yang membuat Alisya kesal setengah mati. Kelakuan ibu tirinya itu selalu sok manis dan sok paling menderita di depan ayahnya. Padahal di belakang, ibu tirinya itu sering memojokkannya bersama anak perempuannya yang menyebalkan itu. Ibu dan anak sama-sama munafik.

"Pokoknya kamu akan menikah bulan depan, biar gak terulang lagi kamu bohong ke Papa masalah kursus di luar negeri tapi nyatanya jadi idol-idol apaan itu," putus sang ayah, tak mau diganggu gugat.

Brak!

Alisya menggebrak meja sebelum berlari ke tangga menuju kamarnya. Ia kesal sekali, juga sangat frustasi karena ayahnya tak pernah lagi membela atau memahaminya semenjak adanya wanita licik itu. Makanya Alisya sampai nekat pergi ke luar negeri saat ia dinyatakan lolos audisi untuk menjadi idol. Alisya hanya ingin melarikan diri dari rumahnya yang tak terasa lagi seperti rumah. Di kamar Alisya menangis sejadi-jadinya sambil memeluk foto ibunya, hal yang menjadi kebiasaan saat ia merasa tertekan dan tak tahu harus mengadu ke mana.

Rupanya ayahnya sangat serius dengan ucapannya. Meski Alisya sempat mogok makan selama seharian penuh, tapi keesokannya sang ayah memaksanya agar mau pergi bersama ibu dan saudari tirinya untuk mengukur gaun pengantin. Alisya sungguh tak habis pikir, ayah bisa Setega itu padanya. Saat pergi ke ruang tamu, Alisya terkejut melihat seorang wanita paruh baya yang nampak begitu berwibawa dengan dandanan yang anggun dan berkelas. Katanya itu calon mertuanya!

"Alisya sudah siap?" tanya wanita itu, tersenyum hangat.

Alisya menatapnya kikuk, tapi keramahan wanita itu membuatnya meleleh. Senyumnya mengingatkan Alisya pada sang ibu.

"Hari ini saya bawa Alisya ya, Sinta," kata wanita itu lagi sembari menoleh pada ibu tiri Alisya.

Sinta, ibu tiri Alisya, terlihat kurang senang tapi tetap menganggukkan kepalanya dengan senyuman terpaksa. Alisya menebak ibu tirinya ini juga ingin ikut. Ini membuat Alisya merasa lebih puas karena bisa melihat ekspresi masamnya. Tapi kemudian ia merasa agak menyesal karena teringat bahwa yang membawanya tetaplah orang asing, apalagi dengan embel-embel calon mertua. Bagaimana ini?

"Alisya sudah sarapan?" tanya sang calon mertua, yang duduk di sebelahnya saat di mobil menuju butik.

Alisya menatapnya gugup. "S-sudah, Nyonya."

Wanita itu tertawa anggun sambil menutup mulutnya dengan tangan. "Jangan panggil Nyonya, Sayang. Panggil Mama ya?"

"Mama?" ulang Alisya, belum bisa mengenyahkan rasa gugupnya.

Wanita itu mengusap wajah Alisya lembut. "Kan nanti kamu jadi keluarga saya. Oh ya, hari ini temenin Mama makan dulu ya. Mama belum sarapan."

"Iya, Ma," jawab Alisya dengan suara lirih. Sejujurnya ia juga belum makan sejak kemarin, dan ia merasa sangat lapar gara-gara mogok makannya itu.

Setelahnya mereka pergi ke toko roti yang juga menyediakan kafe di dalamnya. Baru Alisya ketahui bahwa nama calon mertuanya adalah Jihan, jadi ia disuruh memanggilnya dengan sebutan Mama Jihan. Mama Jihan membelikan banyak sekali roti untuk mereka, tapi beliau makan cukup sedikit. Sebagai gantinya ia dengan sabar menunggu Alisya makan sambil mengajaknya mengobrol tentang hal-hal kecil. Suasana mulai terasa cair karena Mama Jihan benar-benar memperlakukannya dengan hangat.

"Ayo, Nak," kata Mama Jihan, setelah Alisya nyaris tak sanggup lagi memakan rotinya.

Alisya cukup lega karena Mama Jihan adalah orang yang peka dengan situasi. Jika dilihat-lihat beliau memang sosok yang sangat keibuan dan mengayomi. Usianya terlihat lebih tua dari ibu tirinya, tapi wajahnya masih terlihat rupawan dengan guratan-guratan halus yang tak terlalu kentara. Meski begitu, Alisya masih berhati-hati karena belum terlalu mengenalnya. Masalahnya, sikapnya agak mirip dengan sikap sang ibu tiri yang waktu itu terlihat peduli padanya. Ujung-ujungnya wanita itu berubah drastis setelah dinikahi oleh sang ayah.

Mama Jihan juga meminta gaun pengantin yang tak terlalu ketat untuk Alisya. Karena Alisya juga tidak terlalu paham, jadi ia manut saja dengan apapun yang dikatakan oleh sang calon ibu mertua. Lagipula Alisya memang tak terlalu menginginkan pernikahan ini dan masih memikirkan cara untuk menggagalkannya. Atau ia kabur saja? Tapi ke mana? Alisya menggigit bibir, ia belum bisa hidup mandiri. Bagaimana kalau ia terlunta-lunta di jalan?

"Nak, kamu pengen jalan-jalan di mall?" tegur Mama Jihan.

"Alisya pengen pulang aja, Ma," cicit Alisya, menatap Mama Jihan dengan raut tak enak.

"Oh, gak apa. Kita bisa jalan-jalan nanti aja. Ayo sayang, Mama antar pulang."

Akhirnya mereka pulang ke rumah, tapi setelah Mama Jihan memaksanya untuk makan siang lebih dulu. Untungnya di rumah, tak ada tanda-tanda kehadiran mama dan saudari tiri Alisya. Alisya langsung masuk ke kamar dan merasa lebih tenang di sana. Sebenarnya masih ada waktu jika Alisya ingin kabur, tapi Alisya tidak tahu di luar sana kehidupannya akan lebih baik atau tidak. Masalahnya saat ini Alisya masih berusia 18 tahun, dan ia tidak tahu cara mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Kira-kira di ibukota, pekerjaan macam apa yang bisa didapatkan anak lulusan SMA? Tapi kalau tidak nekat, maka ia akan benar-benar menikah. Alisya mengeraskan wajah. Persetan! Itu akan ia urus nanti. Lalu ia buru-buru mengemasi pakainnya untuk dimasukkan ke ransel sekolahnya. Tak lupa perhiasan-perhiasan hadiah dari sang ibu yang mungkin bisa ia jual nanti. Saat sedang sibuk mencari barang-barang yang bisa ia bawa, tiba-tiba ada yang membuka pintu kamarnya.

"Wah, lo mau kabur, ya?"

Alisya menoleh, itu suara saudari tirinya. "Bukan urusan lo!"

"Gue laporin ke bokap," sahut Tasya, merogoh kantong jeansnya untuk mengambil ponsel..

Alisya langsung menghampiri Tasya untuk menyambar ponsel itu. "Apa-apaan sih lo!"

"Diem lo! Balikin ponsel gue!" pekik Tasya.

"Lo yang diem ya! Pake cepu segala ke bokap gue!"

Lalu suara sang ibu tiri menghentikan pertengkaran mereka. "Eh, eh, kenapa ini?"

"Ma, ponsel Tasya diambil sama dia. Oh ya, dia mau kabur, Ma!" adu Tasya pada ibunya.

"Mau kabur?!" pekik sang ibu tiri, memelototi Alisya.

"Iya! Kenapa?!" tantang Alisya, balas melotot pada ibu tirinya.

Sinta mendengus. "Memangnya kamu bisa hidup? Kamu keluar negeri aja masih minta duit sama papamu. Mau jadi gembel? Iya?"

"Bukan urusan lo ya, Tante," geram Alisya, merasa tertohok.

"Kamu bener-bener gak ada sopan santunnya sama orangtua."

"Kalo orangtuanya macam Tante, ngapain pake sopan santun segala?!"

Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Alisya, membuatnya terdiam. Wajahnya memerah dan tubuhnya bergetar oleh syok dan amarah.

"Saya udah sabar ya menghadapi kamu!" bentak Sinta. "Kamu itu persis banget kayak ibumu yang benalu!"

"Mama bukan benalu! Jangan bawa-bawa Mama!"

Sinta tertawa kencang, lalu menatap Alisya tajam. "Kamu itu gak tau apa-apa, gak usah sok."

"Keluar gak lo?" desis Alisya, mengepalkan tangan. Ia masih berusaha menahan diri untuk tidak mencakar wajah ibu tirinya itu.

"Baik. Yang jelas saya akan laporkan ke Papa kamu perbuatan kamu..."

"Keluar!"

Sinta menatap dongkol pada Alisya, tapi ia lalu membuang muka. Lalu ia melenggang pergi dengan raut angkuh yang menyebalkan. Tasya juga menyambar ponselnya lagi dari tangan Alisya, tapi ia belum ikut pergi dan malah tertawa mengejek sambil menatap wajah Alisya. Ia berkata, "Tau gak? Papa lo itu lebih sayang sama gue daripada lo."

"Ngomong apa sih?"

"Buktinya, dia lebih rela ngejual elo demi bisnisnya daripada gue," balas Tasya, menyeringai lebar. "Lo tau gak kenapa?"

Alisya hanya diam sambil menyipitkan mata, menimbang-nimbang mana yang lebih baik antara mencakar wajahnya atau menarik rambutnya sampai rontok.

"Karena gue adalah satu-satunya anak kandungnya."

Entah Tasya berbohong atau tidak, tapi ucapan Tasya berhasil membuat Alisya terdiam sesaat demi mencernanya. Sebelum sempat Alisya merespon, Tasya sudah membanting pintu kamarnya tepat di depan hidungnya. Alisya terdiam kaku dan mulai memikirkan semuanya. Selama ini yang ia tahu Tasya adalah bawaan dari ibu tirinya dan mereka seumuran. Bagaimana bisa Tasya adalah anak kandung ayahnya?

Lalu apa maksud Tasya mengatakan bahwa ia adalah satu-satunya anak kandung?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status