Share

Ancaman Rasya

Aku sudah bersiap sejak selepas Asar dan menunggu kedatangan Narendra. Sebenarnya, tidak ingin terlalu berharap jika laki-laki itu akan datang. Namun, hati ini seolah tidak mengindahkan. Harapan saat ini hanyalah Narendra tidak mengingkari janjinya.

Akan tetapi, hingga jarum pendek dan panjang jam kompak menunjuk angka lima, orang yang kutunggu tidak kunjung datang. Mungkin aku saja yang terlalu berharap. Mana mungkin seorang laki-laki muda, tampan, kaya, dan memiliki segalanya, mau pergi berdua denganku.

Kutenggelamkan wajah pada kedua tangan yang terlipat di meja rias dengan mata terpejam.

Jangan terlalu lugu, Rania. Ayolah, buang jauh-jauh rasa untuk laki-laki seperti sebelumnya!

Tanpa terasa, ada sesuatu yang hangat mengalir dari kedua mata ini. Sebaiknya memang aku tidak membawa perasaan untuk laki-laki.

"Mbak, pangeranmu datang, tuh!" Suara derit pintu disusul panggilan Rendy membuatku membuka mata.

"Naren?" sahutku antusias sambil mengangkat kepala.

Rendy memiringkan kepala dan menatapku aneh. Sedetik kemudia, dia tertawa terbahak-bahak. "Mbak habis dandan atau habis perang?" ucapnya sambil menunjuk wajahku.

Sontak aku menoleh pada cermin. Astaga! Wajahku terlihat kacau. Eyeliner sudah luntur dan menghitamkan sebagian pipi. Buru-buru kudorong tubuh Rendy ke luar, lalu menutup pintu. Setelahnya, memperbaiki riasan wajah agar tidak membuat Narendra illfeel.

"Buruan, Mbak. Entar digaet Ibu, loh."

Sial! Rendy malah menggodaku. Awas saja, akan kubalas nanti.

Aku sedera keluar dari kamar setelah tampilan kembali rapi. Di ruang tamu, sudah ada Narendra yang sedang bercengkerama dengan Ibu dan Rendy.

Ah, tampan sekali laki-laki itu.

"Sudah siap, Ran?" tegur Ibu. "Anak Ibu, tumben dandan?"

Aduh, kenapa Ibu mengungkit masalah dandan? Itu membuatku malu setengah mati dengan Narendra. Jelas terlihat laki-laki itu mengulum senyum.

"Ibu, ih!" sahutku malu-malu.

"Berangkat sekarang, Ran?" sela Narendra. Dia sudah berdiri sekarang.

"Ayo!" jawabku seraya mendekat pada Ibu, kemudian mencium tangannya. "Rania pergi dulu, Bu."

"Hati-hati." Ibu mengusap lenganku dengan lembut. "Ibu titip Rania, ya, Nak." Pandangan Ibu beralih ke laki-laki bermata cokelat itu.

Dalam perjalanan, aku hanya diam, bingung untuk memulai percakapan. Narendra pun sama, padahal sebelumnya dia tidak berhenti mengoceh meskipun sedang menyetir.

"Oh, ya, Ran, aku mau kasih tahu kalau tadi aku sudah melunasi semua utangmu di bank. Nggak akan ada lagi yang akan mengusik keluargamu lagi masalah uang. Dan mulai besok, kamu sudah bisa bekerja sebagai asisten pribadiku."

"Hah?!" Aku sangat terkejut dengan jabatan yang diberikan Narendra. Itu artinya, aku akan selalu berdekatan dengannya dalam waktu yang cukup lama.

"Nggak usah kaget seperti itu. Apa kamu keberatan menjadi asisten pribadiku?" sahutnya.

"Bu--bukan begitu, ta--tapi ...."

"Narendra nggak menerima penolakan!" ucapnya lugas.

Dan aku ... hanya bisa menyetujuinya.

Tanpa terasa, kami sudah sampai di sebuah mal. Sebuah restoran yang cukup terkenal menjadi tujuan pertama kami.

Hm, entah ini hanya perasaanku atau memang kenyataan? Hampir setiap pasang mata perempuan yang kami lewati pasti menatap takjub kepada Narendra. Mungkin, mereka kagum dengan wajah laki-laki yang lebih cocok menjadi aktor Korea atau personil boyband K-Pop.

"Cemburu, ya?" tanya Narendra begitu kami sudah duduk di salah satu bangku meja yang kosong.

"Cemburu? Cemburu kenapa dan sama siapa?" Aku balik bertanya dengan kening mengerut. Bingung saja dengan pertanyaan Narendra yang aneh.

"Cemburu sama aku, dong. Emang, sama siapa lagi?" ucapnya percaya diri.

Aku menjadi salah tingkah. Hati ini sebenarnya juga tidak tahu dengan apa yang membuatnya kebat-kebit. Namun, untuk mengatakan jika aku cemburu kepada Narendra, sepertinya belum pantas. Cinta untuknya masih belum ada dan apa yang kulakukan saat ini adalah salah satu jalan untuk mencoba membuka hati kepada laki-laki.

Aku menghela napas pelan, lalu berkata, "Aku ke toilet sebentar, ya."

Untuk menetralkan rasa gugup, memang sebaiknya aku menyendiri beberapa saat. Sikap Narendra sangat jauh dengan perkiraan. Kupikir, dia tidak benar-benar dengan ucapannya semalam. Namun, dia membuktikannya sekarang jika ingin menjalin hubungan serius denganku.

Baru akan masuk ke toilet, tangan ini ditarik dengan keras dan membawaku menjauh dari area restoran. Yang membuatku makin panik adalah orang yang masih mencengkeram erat tangan ini adalah orang yang paling kubenci.

"Kamu mau apa? Lepaskan," ucapku pelan. Aku tidak ingin menjadi fokus oleh orang-orang.

Orang bertubuh besar itu tidak menjawab dan justru membawaku ke pintu masuk tangga darurat. Seketika, hati ini diselimuti rasa takut.

"Kamu mau apa? Lepaskan!"

Sial! Ucapanku hanya seperti angin lalu baginya.

Laki-laki berkulit sawo matang itu melepas cekalannya, tapi seketika itu juga dia berbalik dan mendorong bahuku hingga punggung ini membentur dinding. Kemudian, kedua tangannya mengunci lenganku dan mengungkung tubuh kecil ini. Apalagi, suasana di dalam ruangan tangga darurat ini begitu sepi hingga dia leluasa melakukannya.

"Apa maumu? Ini tempat umum, aku bisa saja berteriak," ucapku masih dengan nada pelan.

"Aku mau kamu."

Entah apa yang terjadi, tangan kirinya sudah berpindah ke tengkuk leherku dan dia kembali merampas haknya dengan paksa. Memang dia masih sah sebagai suamiku secara agama, tapi perlakuannya ini membuatku makin membencinya.

"Aku yakin kalau kamu akan melahirkan anakku, Rania. Jadi, sampai kapan pun, kamu tidak akan bisa pergi dari hidupku," ucapnya setelah melepas bibirku.

"Kamu gila, Rasya! Aku juga akan memastikan jika tidak akan ada benihmu yang tumbuh di rahimku." Kudorong tubuh besar di hadapan dengan kasar. Kemudian, segera berlari keluar dari ruang tangga darurat.

Aku mencoba menahan rasa sakit di hati ini agar air mata tidak luruh sebelum beranjak dari depan pintu ruang tangga darurat yang tertutup. Namun, saat mengingat perbuatan Rasya dan ucapannya tentang anak, itu semua membuatku tidak bisa menahan sesak di dada.

Aku memejam sembari kedua tangan ini menekan perut dengan kencang. Semoga yang kutakutkan tidak terjadi. Aku tidak ingin berurusan lagi dengan keluarga yang sudah membuat Ayah meninggal.

"Ran, kenapa kamu di sini? Aku mencarimu dari--"

Saat mendengar suara Narendra aku langsung membuka mata. Kemudian, tanpa meminta, aku menghambur, memeluk tubuh tinggi yang kini ada di hadapan. Aku terisak di pelukannya.

"Ada apa, Ran?" tanyanya. Tangannya mengusap lembut kepalaku.

"Dia, Ren ... dia ...." Aku tidak sanggup menyebut namanya.

"Rasya?" Narendra menebak tepat sasaran.

Tanpa kujawab iya, Narendra sudah paham. Dia memaki nama itu dengan geram.

"Aku yang akan menyelesaikan masalahmu dengannya. Dia belum tahu sedang berhadapan dengan siapa."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status