Share

Ancaman Rasya

Penulis: Okta Novita
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-27 23:35:57

Aku sudah bersiap sejak selepas Asar dan menunggu kedatangan Narendra. Sebenarnya, tidak ingin terlalu berharap jika laki-laki itu akan datang. Namun, hati ini seolah tidak mengindahkan. Harapan saat ini hanyalah Narendra tidak mengingkari janjinya.

Akan tetapi, hingga jarum pendek dan panjang jam kompak menunjuk angka lima, orang yang kutunggu tidak kunjung datang. Mungkin aku saja yang terlalu berharap. Mana mungkin seorang laki-laki muda, tampan, kaya, dan memiliki segalanya, mau pergi berdua denganku.

Kutenggelamkan wajah pada kedua tangan yang terlipat di meja rias dengan mata terpejam.

Jangan terlalu lugu, Rania. Ayolah, buang jauh-jauh rasa untuk laki-laki seperti sebelumnya!

Tanpa terasa, ada sesuatu yang hangat mengalir dari kedua mata ini. Sebaiknya memang aku tidak membawa perasaan untuk laki-laki.

"Mbak, pangeranmu datang, tuh!" Suara derit pintu disusul panggilan Rendy membuatku membuka mata.

"Naren?" sahutku antusias sambil mengangkat kepala.

Rendy memiringkan kepala dan menatapku aneh. Sedetik kemudia, dia tertawa terbahak-bahak. "Mbak habis dandan atau habis perang?" ucapnya sambil menunjuk wajahku.

Sontak aku menoleh pada cermin. Astaga! Wajahku terlihat kacau. Eyeliner sudah luntur dan menghitamkan sebagian pipi. Buru-buru kudorong tubuh Rendy ke luar, lalu menutup pintu. Setelahnya, memperbaiki riasan wajah agar tidak membuat Narendra illfeel.

"Buruan, Mbak. Entar digaet Ibu, loh."

Sial! Rendy malah menggodaku. Awas saja, akan kubalas nanti.

Aku sedera keluar dari kamar setelah tampilan kembali rapi. Di ruang tamu, sudah ada Narendra yang sedang bercengkerama dengan Ibu dan Rendy.

Ah, tampan sekali laki-laki itu.

"Sudah siap, Ran?" tegur Ibu. "Anak Ibu, tumben dandan?"

Aduh, kenapa Ibu mengungkit masalah dandan? Itu membuatku malu setengah mati dengan Narendra. Jelas terlihat laki-laki itu mengulum senyum.

"Ibu, ih!" sahutku malu-malu.

"Berangkat sekarang, Ran?" sela Narendra. Dia sudah berdiri sekarang.

"Ayo!" jawabku seraya mendekat pada Ibu, kemudian mencium tangannya. "Rania pergi dulu, Bu."

"Hati-hati." Ibu mengusap lenganku dengan lembut. "Ibu titip Rania, ya, Nak." Pandangan Ibu beralih ke laki-laki bermata cokelat itu.

Dalam perjalanan, aku hanya diam, bingung untuk memulai percakapan. Narendra pun sama, padahal sebelumnya dia tidak berhenti mengoceh meskipun sedang menyetir.

"Oh, ya, Ran, aku mau kasih tahu kalau tadi aku sudah melunasi semua utangmu di bank. Nggak akan ada lagi yang akan mengusik keluargamu lagi masalah uang. Dan mulai besok, kamu sudah bisa bekerja sebagai asisten pribadiku."

"Hah?!" Aku sangat terkejut dengan jabatan yang diberikan Narendra. Itu artinya, aku akan selalu berdekatan dengannya dalam waktu yang cukup lama.

"Nggak usah kaget seperti itu. Apa kamu keberatan menjadi asisten pribadiku?" sahutnya.

"Bu--bukan begitu, ta--tapi ...."

"Narendra nggak menerima penolakan!" ucapnya lugas.

Dan aku ... hanya bisa menyetujuinya.

Tanpa terasa, kami sudah sampai di sebuah mal. Sebuah restoran yang cukup terkenal menjadi tujuan pertama kami.

Hm, entah ini hanya perasaanku atau memang kenyataan? Hampir setiap pasang mata perempuan yang kami lewati pasti menatap takjub kepada Narendra. Mungkin, mereka kagum dengan wajah laki-laki yang lebih cocok menjadi aktor Korea atau personil boyband K-Pop.

"Cemburu, ya?" tanya Narendra begitu kami sudah duduk di salah satu bangku meja yang kosong.

"Cemburu? Cemburu kenapa dan sama siapa?" Aku balik bertanya dengan kening mengerut. Bingung saja dengan pertanyaan Narendra yang aneh.

"Cemburu sama aku, dong. Emang, sama siapa lagi?" ucapnya percaya diri.

Aku menjadi salah tingkah. Hati ini sebenarnya juga tidak tahu dengan apa yang membuatnya kebat-kebit. Namun, untuk mengatakan jika aku cemburu kepada Narendra, sepertinya belum pantas. Cinta untuknya masih belum ada dan apa yang kulakukan saat ini adalah salah satu jalan untuk mencoba membuka hati kepada laki-laki.

Aku menghela napas pelan, lalu berkata, "Aku ke toilet sebentar, ya."

Untuk menetralkan rasa gugup, memang sebaiknya aku menyendiri beberapa saat. Sikap Narendra sangat jauh dengan perkiraan. Kupikir, dia tidak benar-benar dengan ucapannya semalam. Namun, dia membuktikannya sekarang jika ingin menjalin hubungan serius denganku.

Baru akan masuk ke toilet, tangan ini ditarik dengan keras dan membawaku menjauh dari area restoran. Yang membuatku makin panik adalah orang yang masih mencengkeram erat tangan ini adalah orang yang paling kubenci.

"Kamu mau apa? Lepaskan," ucapku pelan. Aku tidak ingin menjadi fokus oleh orang-orang.

Orang bertubuh besar itu tidak menjawab dan justru membawaku ke pintu masuk tangga darurat. Seketika, hati ini diselimuti rasa takut.

"Kamu mau apa? Lepaskan!"

Sial! Ucapanku hanya seperti angin lalu baginya.

Laki-laki berkulit sawo matang itu melepas cekalannya, tapi seketika itu juga dia berbalik dan mendorong bahuku hingga punggung ini membentur dinding. Kemudian, kedua tangannya mengunci lenganku dan mengungkung tubuh kecil ini. Apalagi, suasana di dalam ruangan tangga darurat ini begitu sepi hingga dia leluasa melakukannya.

"Apa maumu? Ini tempat umum, aku bisa saja berteriak," ucapku masih dengan nada pelan.

"Aku mau kamu."

Entah apa yang terjadi, tangan kirinya sudah berpindah ke tengkuk leherku dan dia kembali merampas haknya dengan paksa. Memang dia masih sah sebagai suamiku secara agama, tapi perlakuannya ini membuatku makin membencinya.

"Aku yakin kalau kamu akan melahirkan anakku, Rania. Jadi, sampai kapan pun, kamu tidak akan bisa pergi dari hidupku," ucapnya setelah melepas bibirku.

"Kamu gila, Rasya! Aku juga akan memastikan jika tidak akan ada benihmu yang tumbuh di rahimku." Kudorong tubuh besar di hadapan dengan kasar. Kemudian, segera berlari keluar dari ruang tangga darurat.

Aku mencoba menahan rasa sakit di hati ini agar air mata tidak luruh sebelum beranjak dari depan pintu ruang tangga darurat yang tertutup. Namun, saat mengingat perbuatan Rasya dan ucapannya tentang anak, itu semua membuatku tidak bisa menahan sesak di dada.

Aku memejam sembari kedua tangan ini menekan perut dengan kencang. Semoga yang kutakutkan tidak terjadi. Aku tidak ingin berurusan lagi dengan keluarga yang sudah membuat Ayah meninggal.

"Ran, kenapa kamu di sini? Aku mencarimu dari--"

Saat mendengar suara Narendra aku langsung membuka mata. Kemudian, tanpa meminta, aku menghambur, memeluk tubuh tinggi yang kini ada di hadapan. Aku terisak di pelukannya.

"Ada apa, Ran?" tanyanya. Tangannya mengusap lembut kepalaku.

"Dia, Ren ... dia ...." Aku tidak sanggup menyebut namanya.

"Rasya?" Narendra menebak tepat sasaran.

Tanpa kujawab iya, Narendra sudah paham. Dia memaki nama itu dengan geram.

"Aku yang akan menyelesaikan masalahmu dengannya. Dia belum tahu sedang berhadapan dengan siapa."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mengejar Cinta Rania   Rasa Sakit yang Terbayar

    Jalan hidup harus dipilih meskipun tidak bisa ditebak apa yang akan terjadi. Namun, saat hati yakin menjalani, Allah pasti akan menuntun pada yang lebih baik. ***Rasa sakit ini adalah awal untuk kebahagiaan baru. Aku hanya tinggal bertahan dan berjuang sekuat tenaga agar hidup diliputi teriakan haru yang menderu. Rasa sakit ini sejenak hilang, lalu datang lagi dan memaksaku mengerahkan sisa tenaga. Aku ingin sekali memegang tangan Mas Narendra di saat seperti ini, memintanya untuk menyalurkan kekuatan, tapi apa daya, laki-laki itu terduduk lemas di sudut ruang bersalin ini. Kesal tentu saja, tapi aku harus tetap kuat demi nyawa yang sebentar lagi akan melihat dunia. Mas Narendra yang begitu gagah, ternyata dia rapuh sekarang. Entah apa penyebabnya. Aku memilih mengikuti instruksi dokter agar kedua tangan ini menggapai bagian belakang paha bawah, lalu menariknya kuat sambil mengejan saat sakitnya kontraksi kembali datang. Namun, bayi yang kutunggu belum juga mau meringankan beban

  • Mengejar Cinta Rania   Kepanikan Tengah Malam

    "Ambilkan telur, Ra!" "Berapa butir, Mbak?""Tiga."Membuat kue bersama adik ipar itu ternyata menyenangkan. Aku dan Hera memang sangat cocok saat sedang bersama. Kata Ibu, kami justru seperti kakak dan adik kandung. Wajah yang cukup mirip mungkin bisa membuat orang lain menebak hal yang sama. Bahkan, kami pun sudah punya julukan khusus pemberian Ibu, Mas Narendra, dan Rendy. Duo Bumil Doyan Ngemil. Hm, nama yang aneh, bukan? Ada-ada saja memang. Dan ngemil adalah salah satu kebiasaan baru kami sekarang. Ya, aku dan Hera memang mulai sering membuat kue sejak kepergian Febi. Kami sama-sama jenuh di apartemen karena suami masing-masing pergi bekerja. Hingga awal iseng itu pun berbuah manis saat Hera mengunggah kue buatan kami pada story Whatsapp. Boom! Kue buatan kami ada yang memesan. Awalnya, hanya teman-teman Hera sewaktu kerja dulu, tapi lambat laun makin banyak pemesan hingga aku pun ikut mencoba memasarkannya. Hasilnya sungguh tidak terduga. Kami mulai kewalahan menerima pesa

  • Mengejar Cinta Rania   Bertemu Rasya Lagi

    Aku terus memandang wajah gadis kecil yang baru saja selesai mandi. Ya, tugas memandikan Febi kali ini sudah kuambil alih. Semalam, aku sudah memberhentikan Mbak Deva karena memang Febi bukan lagi tanggung jawabku dan Mas Narendra mulai hari ini. Dengan lembut, kusisir rambut bergelombang panjang milik Febi, lalu memnguncirnya bagian kanan dan kiri. Cantik. Aku tidak menyangka jika ini moment terakhir bersama bocah berpipi tembam itu. Aku pasti akan sangat merindukannya nanti. Namun, segera kupupus semua itu dan menghibur diri jika akan ada pengganti Febi yang sebentar lagi akan lahir ke dunia. Pagi ini, Febi tidak banyak bicara. Dia seperti tahu jika akan berpisah denganku, juga papanya. Sedari bangun tidur, dia memperhatikan terus koper berwarna pink yang dulu dibawa saat pertama kali pindah ke sini. Koper itu sudah penuh dengan baju dan barang-barang milik Febi. Ada juga beberapa mainan dan boneka yang Mas Narendra belikan selama bersama kami. "Wah, Febi sudah cantik." Mas Nare

  • Mengejar Cinta Rania   Bercanda yang Keterlaluan

    Moment seru yang masih ingin kunikmati harus berhenti karena telepon dari Bi Harni. Katanya ada tamu yang menunggu. Suami-istri yang mengaku sebagai kakek dan nenek dari Febi. Aku dan Mas Narendra memutuskan untuk pulang karena dia juga mengenal siapa tamu yang dimaksud. Mereka mantan mertuanya, atau lebih tepatnya, orang tua Farah. Aku bisa menebaknya dari arah pembicaraan Bi Harni tadi karena memang dinyalakan loudspeaker saat panggilan berlangsung. "Mereka mau apa, ya, Mas? Kok, tiba-tiba aja datang nggak kasih pemberitahuan. Padahal, Febi sudah sama kita tiga bulanan." Pikiran yang tadi terus berputar di kepala, akhirnya kuungkapkan. "Aku juga nggak tahu, Ran. Semoga aja cuma kengen sama cucu," jawabnya. Aku bisa menafsirkan kalau ada keraguan dari nada suaranya.Sepasang suami-istri yang kutaksir usianya sekitar lima puluh tahunan itu saling pandang saat Mas Narendra menanyakan perihal kedatangan mereka. Keduanya seperti berdebat, tapi pelan. Mungkin agar percakapan mereka tid

  • Mengejar Cinta Rania   Nyaman Bersamanya

    Setelah dua pekan Mas Narendra dirawat, akhirnya dia diperbolehkan pulang. Dari pemeriksaan terakhir, dikatakan kalau tumornya sudah hilang. Meskipun begitu, akan tetap dilakukan MRI saat kontrol selanjutnya untuk memastikan lagi. Dan sekarang--satu pekan setelah dia menjalani rawat jalan--kami sedang berjalan-jalan di taman area apartemen. Memang kawasan apartemen ini tergolong mewah dengan penghuninya kebanyakan orang berpunya. Itu sebabnya ada fasilitas umum yang dibuat untuk warga, seperti taman yang cukup luas ini. Mas Narendra memang dianjurkan untuk melakukan olahraga ringan setiap harinya untuk menjaga kesehatan. Dan aku memulai dengan mengajaknya jalan kaki setiap pagi mulai hari ini. Dengan kaus, celana training, dan topi yang dipakai terbalik ke belakang, Mas Narendra terlihat begitu tampan. Meskipun masih ada rasa malu karena takut orang melihat kepalanya masih belum ditumbuhi rambut, dia tidak menolak ajakanku. "Sayang, apa kamu nggak capek?" tanyanya sambil menghentik

  • Mengejar Cinta Rania   Memohon Kesembuhan

    Aku berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi sejak satu jam yang lalu. Di dalam sana, ada Mas Narendra yang sedang dalam penanganan. Opsi operasi harus diambil karena tumor di otaknya makin membesar. Apalagi, sempat dua hari dia tidak minum obat.Sepulang dari mengurus hotel yang terbakar, keesokan harinya Mas Narendra masih menolak untuk kontrol dengan alasan buru-buru bertemu klien dari Jepang. Katanya, klien itu hanya satu hari di Indonesia dan minta bertemu dengannya. Aku tidak bisa memaksa karena laki-laki itu bersikeras dan berdalih jika pertemuannya hanya di dalam kota. Namun, hal itu berakibat fatal. Sakit kepala Mas Narendra kambuh hingga dia pingsan. Bahkan, dia mengalami koma setelahnya. Setelah dua hari tidak ada perkembangan, dokter memberi opsi operasi. Aku tidak bisa berkata lagi selain mengiakan karena keselamatannya lebih penting. "Duduk, Mbak. Operasinya pasti berjalan lancar." Rendy memegang lenganku, menghentikan kaki ini yang tidak berhenti bergerak. "Ken

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status