Share

Tidak Mungkin Positif

Perempuan paruh baya yang tubuhnya hampir mirip dengan tulang berbungkus kulit saja itu tergopoh-gopoh mrnghampiriku yang baru saja turun dari mobil Narendra. Padahal, waktu masih menunjukkan pukul dua dini hari.

Perempuan berjilbab hitam itu langsung memelukku dengan tubuhnya yang terasa bergetar. Bahkan, napasnya yang sedikit berat pun, aku bisa merasakannya dari gerakan dada dan suaranya.

"Kamu ke mana saja, Rania? Ibu cemas mikirin kamu." Ibu mengusap-usap punggungku.

"Nia ceritakan di dalam, ya, Bu. Di luar dingin, nggak bagus buat kesehatan Ibu." Kulepas pelukan Ibu, lalu menggamit lengannya. Kami berjalan masuk ke rumah diikuti Narendra.

Entah kenapa, Ibu bisa sehisteris itu, padahal aku sudah berpamitan jika akan pergi selama dua hari untuk mencari uang. Sore ini adalah hari jatuh tempo utang Ayah yang jumlahnya masih mencapai lima puluh juta rupiah, sedangkan tabungan pun kami tidak ada. Gaji bulananku dari bekerja sebagai kurir online dan penyanyi kafe setiap malam habis untuk kebutuhan sehari-hari dan juga mencicil sebagian utang Ayah. Namun, itu masih jauh dari kata cukup.

"Aku, kan, cari uang buat lunasin utang Ayah. Tapi--"

"Uangnya sudah ada, Bu. Rania berhasil mendapatkannya." Narendra menyela ucapanku.

"Tapi, Nak. Itu jumlah yang tidak sedikit. Dari mana Rania bisa mendapatkannya cuma dalam dua hari?" bantah Ibu. Beliau pasti tidak percaya.

Menanggapi ekspresi Ibu, Narendra yang mengambil alih pembicaraan. Dia menjelaskan hal yang tidak terpikirkan olehku. Laki-laki berkulit putih itu menjelaskan jika aku meminjam uang dari perusahaannya dan akan mengembalikan semua uang itu dengan cara potong gaji setiap bulan karena mulai besok, aku sudah bekerja di tempatnya.

Aku baru tahu jika Narendra adalah pemilik hotel tempatku menginap bersama Hana dan suaminya yang enggan kusebut namanya itu. Sungguh di luar dugaan. Memang aku tidak mengenal jauh siapa Narendra dan keluarganya dulu. Ternyata, dia lahir di keluarga kaya raya pemilik beberapa hotel bintang lima yang sudah berdiri di beberapa kota besar. Tanpa kecuali kota tempatku tinggal kali ini.

"Lusa, kamu bisa mulai bekerja, Ran. Aku tahu kemampuanmu meskipun kuliahmu tidak sampai tamat. Hari ini, istirahatlah dulu," ucap Narendra sebelum dia berpamitan.

Aku terus menyunggingkan senyum jika mengingat Narendra. Dia sangat sempurna sebagai laki-laki menurutku.

Ibu pun beberapa kali mengatakan jika aku dan Narendra akan cocok menjadi pasangan. Tak terkecuali Rendy yang ternyata menguping percakapan kami dini hari tadi.

"Kak Naren itu ganteng, Mbak. Baik juga, jadi pas buat Mbak yang pekerja keras. Aku akan sangat lega kalau Mbak yang menikah lebih dulu."

Adik kesayanganku itu memang sangat pengertian. Namun, apa iya seorang Rania yang biasa saja pantas bersanding dengan Narendra?

Aku menggeleng kasar. Tidak, Rania! Berhenti berhalusinasi.

Di tengah pikiran yang melayang karena Narendra, ponselku berdering. Telepon dari Hana. Ah, menyebalkan! Tidak bisakah dia membiarkanku bebas?

"Ada apa, Mbak?" tanyaku tanpa basa-basi begitu mengangkat telepon dari Hana.

"Aku sudah bersusah payah merelakan suamiku untuk berhubungan denganmu, Ran. Apa kamu tidak berpikir perasaanku saat itu? Aku terluka, Ran, tapi aku berusaha tegar. Membayangkan suami yang aku cintai melakukan hal itu dengan perempuan lain, itu sangat menyakitkan, Ran."

Suara Hana disertai tangisan membuatku terenyuh. Namun, itu tak ubahnya membuatku iba.

"Itu bukan mauku, Mbak. Lagi pula, Mbak Hana nggak perlu sakit hati karena suamimu tidak memperlakukanku dengan kelembutan. Bahkan, aku dianggapnya hanya seperti binatang. Padahal, Mbak tahu sendiri bukan apa yang dirasakan perempuan yang baru melakukan itu pertama kali? Hanya sakit, Mbak. Dan itu yang aku rasakan. Bahkan, di sini aku yang dirugikan. Aku kehilangan apa yang sudah kujaga bertahun-tahun hanya untuk suami orang."

Akhirnya, apa yang mengganjal sejak kemarin bisa kukeluarkan.

Akan tetapi, kekisruhan semalam ternyata direkam oleh seseorang. Dan rahasia pernikahan kedua suami Hana denganku terkuak meskipun media belum mengetahui sosok istri kedua itu. Seketika nyaliku menciut. Apa mungkin namaku akan tersebar dengan image pelakor?

Ah, sial! Aku benar-benar terjebak.

Satu kenyataan yang kutahu sekarang. Hana dan suaminya menikah bukan karena cinta, tapi karena perjodohan yang berawal dari hubungan bisnis dua keluarga. Dan pernikahan itu digelar tepat di hari Ayah menutup usia.

Aku mencebik. Ternyata, itu alasan kenapa keluarga lali-laki itu dengan mati-matian memisahkanku dengan anak mereka dulu. Lantas, harus menghancurkan usaha Ayah hanya untuk memuluskan rencana mereka.

Pernikahan Hana saat itu memang tidak terduga karena laki-laki bertubuh besar itu masih berusia dua puluh tahun, sedangkan Hana lima tahun di atasnya.

Entah alasan apa yang membuat perjodohan itu harus dilakukan meskipun laki-laki itu masih berstatus mahasiswa semester empat. Namun, nyatanya aku bisa melihat cinta yang begitu besar di mata Hana untuk suaminya.

"Aku tidak akan mengganggumu lagi, Ran. Namun, ada satu permintaanku," ucap Hana setelah cukup lama kami saling diam.

"Katakan." Aku menjawab cepat.

"Pekan depan, aku akan memeriksamu. Jika hasilnya negatif, anggap kita tidak pernah saling kenal. Namun, jika hasilnya positif, perjanjian kita kembali berlaku. Lagi pula, Mas Rasya belum menceraikanmu, bukan?"

Lagi-lagi sial! Hana mengancamku!

"Aku pastikan kalau tidak ada benih suamimu di rahimku, Dokter Hana!" Aku menjawab penuh penekanan, lalu segera mengakhiri panggilan.

Setelahnya, kubanting ponsel di kasur. Suami-istri itu benar-benar menjebakku dalam permainan mereka.

Tak lama, ponsel kembali berdering, tapi tak kuacuhkan. Malas saja jika harus kembali mendengar suara perempuan lembut, tapi licik itu.

Akan tetapi, beberapa kali dering itu berhenti dan berbunyi lagi, membuatku sedikit penasaran. Dengan malas, kuraih lagi ponsel itu dan ternyata, panggilan dari Narendra.

Oh, rasa kesalku seketika menguap.

"Hai, Naren! Ada apa?" sapaku setelah menggeser icon berlogo telepon warna hijau di ponsel.

"Ternyata, kamu itu membawa dampak buruk untukku, Rania."

"Hah?" Aku terkejut dengan apa yang tertangkap pendengaran. Apa maksud Narendra berkata seperti itu?

"Iya, kamu membawa dampak buruk untuk seorang Narendra. Biasanya, aku bisa menuntaskan minimal lima file dalam setengah hari, tapi sekarang, satu pun belum kelar."

"Terus, apa hubungannya denganku?" Aku makin mengerutkan kening saking tidak paham dengan ucapannya.

"Gara-gara kamu, otak aku serasa habis dicuci dan diberi pewangi baru. Semua tentang bisnis yang sudah lama kupelajari, hilang dan berganti namamu saja." Terdengar helaan napas dari seberang telepon. "Ini semua gara-gara kamu, Rania."

Aku terkesiap. Mendengar ucapan Narendra membuat hati yang tidak pernah mendapat pujian dari lawan jenis ini berdesir. Entah bagaimana penampakan wajahku saat ini. Yang pasti, kedua pipi ini sudah terasa panas dengan ujung bibir yang terus tertarik ke samping.

Setelah hampir sepuluh tahun trauma akan cinta menenggelamkan hati dalam luka, baru kali ini aku bisa lepas dari masalah lalu. Meskipun baru saja luka baru mendekat dari Hana dan suaminya, tapi Narendra datang sebagai obatnya.

Akan tetapi, aku juga tidak bisa melangkah lebih jauh dan membuka hati untuk Narendra. Aku harus memastikan dulu jika tidak ada yang tumbuh dalam rahim ini.

"Kamu masih di situ, kan, Ran? Kok, aku malah dicukein?" Suara kesal dari Narendra kembali memenuhi telinga.

"Ma--masih, Naren. Aku dengerin kamu, kok," ucapku gugup.

"Dandan yang cantik. Nanti sore aku jemput."

"Apa?" pekikku. Masih bingung dengan penuturan Narendra.

"Nggak usah pura-pura nggak denger. Sudah, ya, kerjaanku masih banyak. Aku cuma pengen denger suara kamu biar otak nggak ngebul. Bye, Rania! Sampai ketemu nanti sore."

Aku masih melongo, tidak percaya dengan apa yang baru saja terdengar.

"Siang-siang melamun, ntar kesambet, loh, Mbak!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status