Home / Rumah Tangga / Mengejar Cinta Rania / Tidak Mungkin Positif

Share

Tidak Mungkin Positif

Author: Okta Novita
last update Last Updated: 2022-12-07 15:32:13

Perempuan paruh baya yang tubuhnya hampir mirip dengan tulang berbungkus kulit saja itu tergopoh-gopoh mrnghampiriku yang baru saja turun dari mobil Narendra. Padahal, waktu masih menunjukkan pukul dua dini hari.

Perempuan berjilbab hitam itu langsung memelukku dengan tubuhnya yang terasa bergetar. Bahkan, napasnya yang sedikit berat pun, aku bisa merasakannya dari gerakan dada dan suaranya.

"Kamu ke mana saja, Rania? Ibu cemas mikirin kamu." Ibu mengusap-usap punggungku.

"Nia ceritakan di dalam, ya, Bu. Di luar dingin, nggak bagus buat kesehatan Ibu." Kulepas pelukan Ibu, lalu menggamit lengannya. Kami berjalan masuk ke rumah diikuti Narendra.

Entah kenapa, Ibu bisa sehisteris itu, padahal aku sudah berpamitan jika akan pergi selama dua hari untuk mencari uang. Sore ini adalah hari jatuh tempo utang Ayah yang jumlahnya masih mencapai lima puluh juta rupiah, sedangkan tabungan pun kami tidak ada. Gaji bulananku dari bekerja sebagai kurir online dan penyanyi kafe setiap malam habis untuk kebutuhan sehari-hari dan juga mencicil sebagian utang Ayah. Namun, itu masih jauh dari kata cukup.

"Aku, kan, cari uang buat lunasin utang Ayah. Tapi--"

"Uangnya sudah ada, Bu. Rania berhasil mendapatkannya." Narendra menyela ucapanku.

"Tapi, Nak. Itu jumlah yang tidak sedikit. Dari mana Rania bisa mendapatkannya cuma dalam dua hari?" bantah Ibu. Beliau pasti tidak percaya.

Menanggapi ekspresi Ibu, Narendra yang mengambil alih pembicaraan. Dia menjelaskan hal yang tidak terpikirkan olehku. Laki-laki berkulit putih itu menjelaskan jika aku meminjam uang dari perusahaannya dan akan mengembalikan semua uang itu dengan cara potong gaji setiap bulan karena mulai besok, aku sudah bekerja di tempatnya.

Aku baru tahu jika Narendra adalah pemilik hotel tempatku menginap bersama Hana dan suaminya yang enggan kusebut namanya itu. Sungguh di luar dugaan. Memang aku tidak mengenal jauh siapa Narendra dan keluarganya dulu. Ternyata, dia lahir di keluarga kaya raya pemilik beberapa hotel bintang lima yang sudah berdiri di beberapa kota besar. Tanpa kecuali kota tempatku tinggal kali ini.

"Lusa, kamu bisa mulai bekerja, Ran. Aku tahu kemampuanmu meskipun kuliahmu tidak sampai tamat. Hari ini, istirahatlah dulu," ucap Narendra sebelum dia berpamitan.

Aku terus menyunggingkan senyum jika mengingat Narendra. Dia sangat sempurna sebagai laki-laki menurutku.

Ibu pun beberapa kali mengatakan jika aku dan Narendra akan cocok menjadi pasangan. Tak terkecuali Rendy yang ternyata menguping percakapan kami dini hari tadi.

"Kak Naren itu ganteng, Mbak. Baik juga, jadi pas buat Mbak yang pekerja keras. Aku akan sangat lega kalau Mbak yang menikah lebih dulu."

Adik kesayanganku itu memang sangat pengertian. Namun, apa iya seorang Rania yang biasa saja pantas bersanding dengan Narendra?

Aku menggeleng kasar. Tidak, Rania! Berhenti berhalusinasi.

Di tengah pikiran yang melayang karena Narendra, ponselku berdering. Telepon dari Hana. Ah, menyebalkan! Tidak bisakah dia membiarkanku bebas?

"Ada apa, Mbak?" tanyaku tanpa basa-basi begitu mengangkat telepon dari Hana.

"Aku sudah bersusah payah merelakan suamiku untuk berhubungan denganmu, Ran. Apa kamu tidak berpikir perasaanku saat itu? Aku terluka, Ran, tapi aku berusaha tegar. Membayangkan suami yang aku cintai melakukan hal itu dengan perempuan lain, itu sangat menyakitkan, Ran."

Suara Hana disertai tangisan membuatku terenyuh. Namun, itu tak ubahnya membuatku iba.

"Itu bukan mauku, Mbak. Lagi pula, Mbak Hana nggak perlu sakit hati karena suamimu tidak memperlakukanku dengan kelembutan. Bahkan, aku dianggapnya hanya seperti binatang. Padahal, Mbak tahu sendiri bukan apa yang dirasakan perempuan yang baru melakukan itu pertama kali? Hanya sakit, Mbak. Dan itu yang aku rasakan. Bahkan, di sini aku yang dirugikan. Aku kehilangan apa yang sudah kujaga bertahun-tahun hanya untuk suami orang."

Akhirnya, apa yang mengganjal sejak kemarin bisa kukeluarkan.

Akan tetapi, kekisruhan semalam ternyata direkam oleh seseorang. Dan rahasia pernikahan kedua suami Hana denganku terkuak meskipun media belum mengetahui sosok istri kedua itu. Seketika nyaliku menciut. Apa mungkin namaku akan tersebar dengan image pelakor?

Ah, sial! Aku benar-benar terjebak.

Satu kenyataan yang kutahu sekarang. Hana dan suaminya menikah bukan karena cinta, tapi karena perjodohan yang berawal dari hubungan bisnis dua keluarga. Dan pernikahan itu digelar tepat di hari Ayah menutup usia.

Aku mencebik. Ternyata, itu alasan kenapa keluarga lali-laki itu dengan mati-matian memisahkanku dengan anak mereka dulu. Lantas, harus menghancurkan usaha Ayah hanya untuk memuluskan rencana mereka.

Pernikahan Hana saat itu memang tidak terduga karena laki-laki bertubuh besar itu masih berusia dua puluh tahun, sedangkan Hana lima tahun di atasnya.

Entah alasan apa yang membuat perjodohan itu harus dilakukan meskipun laki-laki itu masih berstatus mahasiswa semester empat. Namun, nyatanya aku bisa melihat cinta yang begitu besar di mata Hana untuk suaminya.

"Aku tidak akan mengganggumu lagi, Ran. Namun, ada satu permintaanku," ucap Hana setelah cukup lama kami saling diam.

"Katakan." Aku menjawab cepat.

"Pekan depan, aku akan memeriksamu. Jika hasilnya negatif, anggap kita tidak pernah saling kenal. Namun, jika hasilnya positif, perjanjian kita kembali berlaku. Lagi pula, Mas Rasya belum menceraikanmu, bukan?"

Lagi-lagi sial! Hana mengancamku!

"Aku pastikan kalau tidak ada benih suamimu di rahimku, Dokter Hana!" Aku menjawab penuh penekanan, lalu segera mengakhiri panggilan.

Setelahnya, kubanting ponsel di kasur. Suami-istri itu benar-benar menjebakku dalam permainan mereka.

Tak lama, ponsel kembali berdering, tapi tak kuacuhkan. Malas saja jika harus kembali mendengar suara perempuan lembut, tapi licik itu.

Akan tetapi, beberapa kali dering itu berhenti dan berbunyi lagi, membuatku sedikit penasaran. Dengan malas, kuraih lagi ponsel itu dan ternyata, panggilan dari Narendra.

Oh, rasa kesalku seketika menguap.

"Hai, Naren! Ada apa?" sapaku setelah menggeser icon berlogo telepon warna hijau di ponsel.

"Ternyata, kamu itu membawa dampak buruk untukku, Rania."

"Hah?" Aku terkejut dengan apa yang tertangkap pendengaran. Apa maksud Narendra berkata seperti itu?

"Iya, kamu membawa dampak buruk untuk seorang Narendra. Biasanya, aku bisa menuntaskan minimal lima file dalam setengah hari, tapi sekarang, satu pun belum kelar."

"Terus, apa hubungannya denganku?" Aku makin mengerutkan kening saking tidak paham dengan ucapannya.

"Gara-gara kamu, otak aku serasa habis dicuci dan diberi pewangi baru. Semua tentang bisnis yang sudah lama kupelajari, hilang dan berganti namamu saja." Terdengar helaan napas dari seberang telepon. "Ini semua gara-gara kamu, Rania."

Aku terkesiap. Mendengar ucapan Narendra membuat hati yang tidak pernah mendapat pujian dari lawan jenis ini berdesir. Entah bagaimana penampakan wajahku saat ini. Yang pasti, kedua pipi ini sudah terasa panas dengan ujung bibir yang terus tertarik ke samping.

Setelah hampir sepuluh tahun trauma akan cinta menenggelamkan hati dalam luka, baru kali ini aku bisa lepas dari masalah lalu. Meskipun baru saja luka baru mendekat dari Hana dan suaminya, tapi Narendra datang sebagai obatnya.

Akan tetapi, aku juga tidak bisa melangkah lebih jauh dan membuka hati untuk Narendra. Aku harus memastikan dulu jika tidak ada yang tumbuh dalam rahim ini.

"Kamu masih di situ, kan, Ran? Kok, aku malah dicukein?" Suara kesal dari Narendra kembali memenuhi telinga.

"Ma--masih, Naren. Aku dengerin kamu, kok," ucapku gugup.

"Dandan yang cantik. Nanti sore aku jemput."

"Apa?" pekikku. Masih bingung dengan penuturan Narendra.

"Nggak usah pura-pura nggak denger. Sudah, ya, kerjaanku masih banyak. Aku cuma pengen denger suara kamu biar otak nggak ngebul. Bye, Rania! Sampai ketemu nanti sore."

Aku masih melongo, tidak percaya dengan apa yang baru saja terdengar.

"Siang-siang melamun, ntar kesambet, loh, Mbak!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mengejar Cinta Rania   Rasa Sakit yang Terbayar

    Jalan hidup harus dipilih meskipun tidak bisa ditebak apa yang akan terjadi. Namun, saat hati yakin menjalani, Allah pasti akan menuntun pada yang lebih baik. ***Rasa sakit ini adalah awal untuk kebahagiaan baru. Aku hanya tinggal bertahan dan berjuang sekuat tenaga agar hidup diliputi teriakan haru yang menderu. Rasa sakit ini sejenak hilang, lalu datang lagi dan memaksaku mengerahkan sisa tenaga. Aku ingin sekali memegang tangan Mas Narendra di saat seperti ini, memintanya untuk menyalurkan kekuatan, tapi apa daya, laki-laki itu terduduk lemas di sudut ruang bersalin ini. Kesal tentu saja, tapi aku harus tetap kuat demi nyawa yang sebentar lagi akan melihat dunia. Mas Narendra yang begitu gagah, ternyata dia rapuh sekarang. Entah apa penyebabnya. Aku memilih mengikuti instruksi dokter agar kedua tangan ini menggapai bagian belakang paha bawah, lalu menariknya kuat sambil mengejan saat sakitnya kontraksi kembali datang. Namun, bayi yang kutunggu belum juga mau meringankan beban

  • Mengejar Cinta Rania   Kepanikan Tengah Malam

    "Ambilkan telur, Ra!" "Berapa butir, Mbak?""Tiga."Membuat kue bersama adik ipar itu ternyata menyenangkan. Aku dan Hera memang sangat cocok saat sedang bersama. Kata Ibu, kami justru seperti kakak dan adik kandung. Wajah yang cukup mirip mungkin bisa membuat orang lain menebak hal yang sama. Bahkan, kami pun sudah punya julukan khusus pemberian Ibu, Mas Narendra, dan Rendy. Duo Bumil Doyan Ngemil. Hm, nama yang aneh, bukan? Ada-ada saja memang. Dan ngemil adalah salah satu kebiasaan baru kami sekarang. Ya, aku dan Hera memang mulai sering membuat kue sejak kepergian Febi. Kami sama-sama jenuh di apartemen karena suami masing-masing pergi bekerja. Hingga awal iseng itu pun berbuah manis saat Hera mengunggah kue buatan kami pada story Whatsapp. Boom! Kue buatan kami ada yang memesan. Awalnya, hanya teman-teman Hera sewaktu kerja dulu, tapi lambat laun makin banyak pemesan hingga aku pun ikut mencoba memasarkannya. Hasilnya sungguh tidak terduga. Kami mulai kewalahan menerima pesa

  • Mengejar Cinta Rania   Bertemu Rasya Lagi

    Aku terus memandang wajah gadis kecil yang baru saja selesai mandi. Ya, tugas memandikan Febi kali ini sudah kuambil alih. Semalam, aku sudah memberhentikan Mbak Deva karena memang Febi bukan lagi tanggung jawabku dan Mas Narendra mulai hari ini. Dengan lembut, kusisir rambut bergelombang panjang milik Febi, lalu memnguncirnya bagian kanan dan kiri. Cantik. Aku tidak menyangka jika ini moment terakhir bersama bocah berpipi tembam itu. Aku pasti akan sangat merindukannya nanti. Namun, segera kupupus semua itu dan menghibur diri jika akan ada pengganti Febi yang sebentar lagi akan lahir ke dunia. Pagi ini, Febi tidak banyak bicara. Dia seperti tahu jika akan berpisah denganku, juga papanya. Sedari bangun tidur, dia memperhatikan terus koper berwarna pink yang dulu dibawa saat pertama kali pindah ke sini. Koper itu sudah penuh dengan baju dan barang-barang milik Febi. Ada juga beberapa mainan dan boneka yang Mas Narendra belikan selama bersama kami. "Wah, Febi sudah cantik." Mas Nare

  • Mengejar Cinta Rania   Bercanda yang Keterlaluan

    Moment seru yang masih ingin kunikmati harus berhenti karena telepon dari Bi Harni. Katanya ada tamu yang menunggu. Suami-istri yang mengaku sebagai kakek dan nenek dari Febi. Aku dan Mas Narendra memutuskan untuk pulang karena dia juga mengenal siapa tamu yang dimaksud. Mereka mantan mertuanya, atau lebih tepatnya, orang tua Farah. Aku bisa menebaknya dari arah pembicaraan Bi Harni tadi karena memang dinyalakan loudspeaker saat panggilan berlangsung. "Mereka mau apa, ya, Mas? Kok, tiba-tiba aja datang nggak kasih pemberitahuan. Padahal, Febi sudah sama kita tiga bulanan." Pikiran yang tadi terus berputar di kepala, akhirnya kuungkapkan. "Aku juga nggak tahu, Ran. Semoga aja cuma kengen sama cucu," jawabnya. Aku bisa menafsirkan kalau ada keraguan dari nada suaranya.Sepasang suami-istri yang kutaksir usianya sekitar lima puluh tahunan itu saling pandang saat Mas Narendra menanyakan perihal kedatangan mereka. Keduanya seperti berdebat, tapi pelan. Mungkin agar percakapan mereka tid

  • Mengejar Cinta Rania   Nyaman Bersamanya

    Setelah dua pekan Mas Narendra dirawat, akhirnya dia diperbolehkan pulang. Dari pemeriksaan terakhir, dikatakan kalau tumornya sudah hilang. Meskipun begitu, akan tetap dilakukan MRI saat kontrol selanjutnya untuk memastikan lagi. Dan sekarang--satu pekan setelah dia menjalani rawat jalan--kami sedang berjalan-jalan di taman area apartemen. Memang kawasan apartemen ini tergolong mewah dengan penghuninya kebanyakan orang berpunya. Itu sebabnya ada fasilitas umum yang dibuat untuk warga, seperti taman yang cukup luas ini. Mas Narendra memang dianjurkan untuk melakukan olahraga ringan setiap harinya untuk menjaga kesehatan. Dan aku memulai dengan mengajaknya jalan kaki setiap pagi mulai hari ini. Dengan kaus, celana training, dan topi yang dipakai terbalik ke belakang, Mas Narendra terlihat begitu tampan. Meskipun masih ada rasa malu karena takut orang melihat kepalanya masih belum ditumbuhi rambut, dia tidak menolak ajakanku. "Sayang, apa kamu nggak capek?" tanyanya sambil menghentik

  • Mengejar Cinta Rania   Memohon Kesembuhan

    Aku berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi sejak satu jam yang lalu. Di dalam sana, ada Mas Narendra yang sedang dalam penanganan. Opsi operasi harus diambil karena tumor di otaknya makin membesar. Apalagi, sempat dua hari dia tidak minum obat.Sepulang dari mengurus hotel yang terbakar, keesokan harinya Mas Narendra masih menolak untuk kontrol dengan alasan buru-buru bertemu klien dari Jepang. Katanya, klien itu hanya satu hari di Indonesia dan minta bertemu dengannya. Aku tidak bisa memaksa karena laki-laki itu bersikeras dan berdalih jika pertemuannya hanya di dalam kota. Namun, hal itu berakibat fatal. Sakit kepala Mas Narendra kambuh hingga dia pingsan. Bahkan, dia mengalami koma setelahnya. Setelah dua hari tidak ada perkembangan, dokter memberi opsi operasi. Aku tidak bisa berkata lagi selain mengiakan karena keselamatannya lebih penting. "Duduk, Mbak. Operasinya pasti berjalan lancar." Rendy memegang lenganku, menghentikan kaki ini yang tidak berhenti bergerak. "Ken

  • Mengejar Cinta Rania   Malu Dilihat Orang

    "Hari ini jadwal kontrol kamu, Mas. Aku nggak akan izinin Mas pergi ke luar kota. Obat Mas juga sudah habis kemarin."Ini kali kelima aku melarang sejak tadi pagi Mas Narendra menerima telepon dari Gagah. Dia harus berangkat ke luar kota karena salah satu cabang hotelnya mengalami kebakaran di beberapa bagian semalam. Meskipun hanya sepuluh persen yang hangus, tetap kerugian yang dialami cukup banyak. Apalagi ada beberapa korban yang mengalami luka bakar. "Sayang, hari ini saja, kok. Kontrol bisa besok, Lagi pula, Mas harus tanggung jawab dengan korban terluka." Dia masih bersikeras. "Aku ikut!" ucapku spontan. "Di sana sedang kena musibah, Sayang. Mas juga nggak mau kamu kecapekan karena perjalanan jauh. Kamu di sini saja sama Febi, ya. Kali ini, jangan membantah suami.""Kalau Mas sehat-sehat saja, aku juga nggak akan masalah, tapi kondisi Mas berbeda." Entah kenapa, air mataku mulai luruh. Kesal bercampur sedih. "Aku sehat, Ran. Aku baik-baik saja. Jangan pernah menganggap kala

  • Mengejar Cinta Rania   Akhirnya Terungkap

    Berharap pada kejujuran yang akan mengungkap jati dirinya memang sulit. Apalagi jika menunggu dalam kurun waktu cukup lama pun, terkadang hal itu tidak juga terjadi. Sekuat apa pun kepercayaanku kepada Mas Narendra tidak bisa membuang bukti yang begitu nyata di hadapan. Selepas mengantar Febi sekolah, Mas Narendra mengajakku pergi untuk memeriksakan kandungan. Ya, memang hari ini sudah dijadwalkan oleh dokter sejak terakhir kontrol. Itu sebabnya dia langsung pulang pagi ini. Sepanjang perjalanan, aku hanya diam dan memilih memandang ke kiri. Mas Narendra pun tidak berusaha membuka obrolan sejak tadi hingga senyap menjadi pengiring suasana dalam mobil. "Sudah sampai, Ran. Ayo, turun!" ajaknya.Aku bergeming. Selagi ini di rumah sakit, aku ingin menyampaikan apa yang mengganjal di hati. Mungkin, melakukan tes DNA akan bisa melegakan rasa penasaranku dan hubungan kami bisa segera membaik tanpa ada lagi prasangka. "Lakukan tes DNA, Mas," jawabku pelan setelah beberapa saat terdiam. T

  • Mengejar Cinta Rania   Hati yang Masih Tersayat

    Fakta memang harus diungkap meskipun menyakitkan. Namun, hal itu akan membawa ketenangan setelahnya karena tidak ada lagi yang membuat hati bertanya-tanya. Kebenaran tentang Farah dan Febi akhirnya bisa membuatku lega. Bahkan, kepercayaan kepada Mas Narendra sudah kembali. Tanpa perlu bukti lebih, aku sudah percaya sepenuhnya dengan laki-laki dua puluh delapan tahun itu. Warna matanya memang sama dengan Febi, tapi itu adalah keturunan dari almarhum Papa yang memiliki warna cokelat terang. Berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia yang mempunyai bola mata berwarna hitam. "Aku percaya sama Mas. Aku percaya ...." Setelah berucap, tubuhku melemas, tapi kesadaran ini masih terjaga. Mas Narendra pun menahanku yang hampir roboh. Kemudian, aku sudah berpindah dalam gedongannya. "Aku percaya, Mas," ucapku lagi sembari menyandarkan kepala di dadanya. Bisa kudengar detak jantung yang cukup cepat sambil menghidu aroma tubuh suami tercinta. Aku tidak peduli lagi dengan sekitar. Pastinya, adeg

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status