Agni dan Tian sudah berada di mobil pria itu. Kata Tian, ia mau mengajak Agni pergi nonton bioskop.
Sampai depan Om Damar, Tian terus memperlakukan Agni dengan baik. Ia bahkan membukakan pintu untuk gadis itu. Namun, setelah mobil melaju cukup jauh. Ia mulai memperlihatkan wujud aslinya pada Agni"Mas Tian, kok kita berhenti?" Agni memindai jalanan luar. Jalanan ini sangat sepi. Tidak ada kemacetan, jadi mengapa Tian menepi.Tian tertawa remeh "Aduh, jangan manggil gue, Mas dong. Kata lo gue emas 24 karat," Agni tercenang. Sebagai orang pribumi, Tian sama sekali tidak menunjukkan gelagat sesuai adat istiadat. Agni memanggilnya Mas. Karena ia menghormati Tian. Agni berusaha tersenyum, tangannya mengepal tali seatbelt"Kalau gitu aku panggil, Kakak saja,ya?" lirih AgniTian sama sekali tidak berniat menjawab. Ia malah melepas tali seatbelt yang melingkar di tubuhnya. Tatapannya ke Agni mengundang banyak tanya di hati Agni. Ia menciutkan tubuhnya otomatis, Agni mengerti.., itu adalah tatapan seekor predator kala menatap mangsanya. Begitu liar dan menakutkan. Agni masih berpakaian lengkap, tapi tatapan tidak senonoh yang Tian lontarkan seolah mampu menelanjanginya diwaktu yang bersamaan. Agni jadi membuang pandangan. Tapi tangan Tian mencekal dagunya.Pemuda itu semakin mendekat, deru nafasnya sangat terasa di pipi Agni. Lantas Agni berusaha mendorong Tian supaya menyingkir dari hadapannya, sayangnya Tian segera mencengkram kepala belakang Agni dan berusaha mencecap birai berlip gloss itu. Usaha Agni sia-sia. Tian terus berusaha menyatukan bibirnya ke bibir Agni. Ia bahkan melumuri pipi Agni dengan salivanya. Agni merasa begitu jijik, pria itu bermain kotor. Tidak ada satu pun alasan untuknya menerima perlakuan tidak bermoral itu. Agni marah, sangat marah... Ia merasa dilecehkan. Pukulan demi pukulan ia lontarkan ke bahu Tian, tapi Tian semakin murka. Ia mengetatkan pipi Agni diantara kedua jarinya. Membuat bibir Agni mengerucut seolah menantangnya"Nah, kayak gini dong," seringai Tian merasa menang. Saat itu Agni sangat membenci Bastian. Dengan segenap kekuatan tersisa, Agni memakai keningnya untuk memukul Tian. Ia menyatukan dahinya kuat ke tulang hidung Tian. Tian berteriak kesakitan, mengadu layaknya anak kecil.Segera Agni membuka pintu mobil. Tidak, ia harus cepat, ia harus pergi dari lelaki gila itu. Agni tidak akan sudi mencium pria tengik macam Tian.Sayangnya pintu itu terkunci otomatis dan tombolnya ada pada bagian Tian. Agni melirik, ia ingin menekan, tapi Tian yang marah mendorong Agni keras"Apa yang lo lakuin barusan sama gue!" jerit Tian. Ia melempar tubuh Agni sampai menekan ke jendala. Punggung Agni sakit, tapi ia tidak bisa bergerak. Tian mencengkram pongkol tangannya keras"Lo udah buat hidung gue sakit!" ucap, Tian lagi. Agni tidak mau membuka matanya melihat tatapan Tian. Ia terlalu takut untuk itu. Seandainya saja saat ini ada Axel, pastinya pria itu akan langsung menghajar Tian habis-habisan.Agni kembali mengingat saat dirinya digoda preman pinggir jalan, saat itu Axel datang menolongnya persis seperti kisah para heroik yang sedang menyelamatkan pujaan hatinya.Flashback OnSaat itu hujan turun secara tiba-tiba. Agni baru saja keluar dari mini market, sayangnya ia tidak membawa payung. Bahkan ia hanya memakai kaos tipis yang bisa mencetak bentuk tubuhnya dengan sempurna apabila rintik hujan menampar dirinya. Tapi karena Agni merasa jarak rumahnya dan mini market tidak begitu jauh. Akhirnya ia memutuskan pulang dengan menerjang derasnya hujan.Sungguh, ia tidak memiliki fikiran apapun. Apalagi sampai memperdiksi kalau hari itu jadi hari paling tidak akan ia lupakan dalam hidupnya seandainya saja Axel tidak datang tepat waktu.Karena takut jatuh, ia berlari kecil. Bibirnya bergetar sangking kedinginan. Dan tanpa ia sadari, seorang pria menarik pergelangannya kuat. Membawa Agni ke gang kecil."Si.., siapa, tolong!" Agni panik. Pria itu memandangnya dengan tatapan lapar. Tatapan sama yang Tian berikan padanya hari ini. Sumpah demi apapun ia membenci pria-pria dengan mata seperti itu.Pria itu sepertinya sedang mabuk. Mulutnya mengeluarkan bau alkohol yang membuat Agni ingin muntah. Ia berusaha melerai pegangan pria pemabuk itu sebelum suaranya yang menjijikkan menggoda Agni."Cantik, sepertinya lo kesepian. Ngapain hujan-hujan malah lari sendirian. Mending olahraga sama Abang. Sekalian bisa menghangatkan badan. Mau yuk!" Pria itu dengan kurang ajarnya menjawil bibir bawah Agni. Tapi Agni malah menggigit telunjuknya keras-keras. Membuat pria itu mengadu kesakitan. Secara refleks ia juga menampar pipi Agni,Agni mengadu. Ia berteriak lantang dan dengan senang hati pria itu membekap mulutnya. Tangan satunya mulai menarik baju Agni.Agni hanya bisa terpejam disertai rontaan tanpa henti. Dalam hatinya terus berharap ada satu keajaiban yang bisa membuatnya terbebas dari kungkungan pria pemabuk itu. Ia tidak bisa membayangkan jika pria yang tidak ia kenal berhasil menggagahinya. Tidak, Agni tidak siapAgni menendang sekencang-kencangnya. Ia tidak peduli mengenai apa. Yang pasti ia harus keluar dari terkaman pria itu"Tolong..," Agni baru berlari tiga langkah. Dan pria itu langsung menjambak rambutnya keras,Nyatanya suara rintihan Agni terdengar di telinga Axel. Entah mengapa ia merasa ada yang mengganjal di hatinya. Axel bahkan tidak mengerti mengapa kakinya. memintanya untuk melangkah ke arah itu. Tanpa Axel tahu, kalau semua ini takdir yang digariskan untuknya. Axel menyeritkan alis, berusaha mengindentifikasi asal suara. Dan saat ia melihat Agni masih dijambak paksa. Axel tidak bisa lagi mentolerir tindakan pria itu.Ia segera berlari, menendang dengan kekuatan penuh, hingga Agni dan pria itu tersungkur bersamaan."Agni, lo gak papa?" saat itu tatapan Agni terlihat sangat takut. Pupilnya bergetar menahan tangis. Axel menyempatkan untuk membelai pipi Agni."Gakpapa, lo sekarang merem karena setelah lo membuka mata. Semuanya akan baik-baik saja," janji Axel padanya. Agni menurut ia memejamkan netranya. Agni hanya mendengar suara gaduh bertengkaran antara Axel dan pria gila itu.Agni terus berdo'a agar Axel bisa menang dalam perkelahian. Dan sepertinya do'a-nya terwujud. Tidak terdengar lagi suara ribut-ribut. Pelan ia menaiki kelopak matanya."Axel, mana pria itu?" Agni celingukkan mencari. Ia takut kalau sampai pria itu datang lagi."Lo tenang saja. Dia gak akan pernah lagi menyakiti lo. Karena gue sudah meyakinkannya untuk itu,"Agni terlonggo. Apa yang kira-kira Axel katakan sampai pria itu pergi. Tapi satu sisi Agni sangat bahagia. Sehingga ia memeluk Axel kencang."Terima kasih, Xel," desis Agni. Axel cuma tersenyum diantara curug leher Agni. Ah, untung wanita ini Agni. Sahabatnya sejak lama. Kalau saja ia bukan Agni, mungkin Axel juga tidak bisa mengontrol hasratnya. Bagaimanapun ia pria dewasa yang akan berreaksi melihat lekuk tubuh wanita.Flashback Off"Xel!" Agni menatap Axel berkaca-kaca. Tidak menyangka Axel tidak menyerah demi mendapatkanya. Padahal, Agni sempat ingin berpaling.Axel mengangguk maksum dan mencium kepala Agni. Tidak perlu berkata apapun. Karena Axel tau cinta Agni cuma untuknya."Tapi aku harus bilang sama papa dan mamanya Tian. Gimanapun mereka sangat baik ke aku!" Axel mengangguk maksum. Ia mengantarkan Agni ke rumah orangtua Tian. Di sana Agni disambut tapi mama Tian bingung siapa pria yang bersama Agni. Keduanya masuk dan menjelaskan kepada orangtua Tian.Mama Tian sangat kaget saat tau perbuatan Tian yang suka mengurung Agni."Astaga!" Dia tidak bisa menyalahkan Agni. "Lalu bagaimana, kamu ingin bercerai dari Tian, Agni?" Papa Tian menengahi. Dia dapat kabar dari orang kantornya kalau Tian punya hubungan gelap dengan sekretarisnya. Sepintar-pintarnya Tian menutupi, perselingkuhannya tercium juga dan papa Tian tidak bisa mengelak lagi. Selingkuh dan melakukan kekerasan fisik. Pantas anak mantunya tidak
Siang itu Axel menemui Agni di rumahnya. Dia ingin mengingatkan wanita itu perihal perlakuan Tian selama ini yang benar-benar salah, yaitu penuh kelicikan dan memfitnah habis-habisan. Sebenarnya dia tahu jika Agni pasti peduli, tetapi nampaknya selama ini Axel merasa tidak ada pergerakan apa-apa dari wanita itu. Jika dikata harus sabar, nampaknya Axel tidak bisa. Dia harus segera melanggar permasalahan ini dan bertindak lebih cepat dari Agni, yaitu dengan memberikan hukuman kepada Tian yang sudah berani berbuat. Jika tidak seperti ini, maka sampai selamanya Tian pasti akan terus-menerus seperti itu. Dia tidak bisa menyadari kesalahannya sendiri dan bahkan hanya bisa menjadikan orang sebagai kambing hitam atau semua yang telah terjadi, tentang permasalahan yang ada. Mendengar dan melihat yang seperti itu, siapa yang tidak marah? Ya, tentu. Axel sudah bukan lagi ingin marah, tetapi dia memiliki rencana untuk membunuh Tian jika laki-laki itu masih terus-menerus keterlaluan dan semena-men
Di satu sisi, diam-diam Axel masih memikirkan tentang kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu. Tiba-tiba saja pemikirannya mengingat tentang kebohongan Agni yang selama ini disembunyikan. Axel kecewa mengapa wanita itu tega kepadanya, padahal selama ini Axel hanya berharap jika Agni mau jujur kepada dia.“Walaupun ini udah terjadi, tapi aku masih ingat jelas. Aku lupa cara melupakan ini semua. Sudah seharusnya aku nggak perlu lagi ingat-ingat soal itu.”Wanita paruh baya yang kerap disapa dengan nama bu Ningsih tiba-tiba saja menghampiri Axel. Pasalnya, sejak tadi dia melihat jika putranya itu seperti memperlihatkan raut wajah tidak tenang dan kepikiran terhadap sesuatu hal. Sebenarnya sejauh ini belum ada yang bisa diartikan oleh Bu Ningsih. Beliau sendiri bingung, apakah Axel sedang sakit atau tidak. Akan tetapi, dia tidak menemukan bukti dan tanda bahwa putranya itu mengalami hal yang dia pikirkan. Semua itu seperti terjadi begitu cepat dan Bu Ningsih harus segera menangani apa y
Tian begitu bersemangat menuju rumah Desi. Dia sangat yakin akan mendapat restu dari ayah dan ibunya Desi. Terlebih apa yang sudah dia lakukan selama ini. Itu pasti akan menjadi pertimbangan yang cukup membuatnya percaya diri. Mobilnya sudah masuk ke halaman rumah Desi yang hanya bisa memuat satu mobil dan satu motor saja. Tian langsung turun dan ternyata pintu rumah itu sudah terbuka seperti memang ingin menyambutnya. “Pak Tian, udah sampai,” sapa Desi yang kebetulan ke luar. “Ayo silakan masuk.” Desi berjalan di samping Tian malu-malu.Tian begitu bahagia melihat senyum di wajah Desi. Dia makin yakin kalau dia akan diterima dengan baik di rumah itu sebagai anggota keluarga baru. Tian benar-benar tidak ingat akan keberadaan Agni yang masih sah menjadi istrinya. Dia tidak sadar sedang mempermainkan dua hati wanita yang pasti nanti akan melukai salah satu dari mereka atau bahkan keduanya. Yang ada di pikirannya saat ini sudah pasti hanya bagaimana caranya mendapatkan Desi yang selalu
“Kalau begitu ibu tidak bisa melarang seperti yang ibu katakan tadi. Asalkan kamu harus selesai dulu dengan istri kamu.”Tian lantas tertegun. Meski dia begitu kesal dan marah pada Agni, tidak terlintas sedikit pun dalam hatinya untuk bercerai dengan istrinya itu. Di mata Tian, Agni adalah gadis yang baik dan santun. Terlebih kedua orang tuanya sangat menyayangi Agni. Jadi dia tidak berniat berpisah dari Agni. Tian terlihat begitu gugup. Dia hanya bisa mengangguk dan tersenyum canggung. Tidak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan ibu Desi.“Bu. Kita makan dulu ya? Jangan bahas yang lain,” ucap Desi menengahi antara ibunya dan Tian. Dia tidak peduli bagaimana reaksi Tian selanjutnya, dia sudah cukup bahagia mendengar pengakuan Tian tentang perasaannya. Dan itu sudah lebih dari cukup.“Pak Tian. Maaf kalau pertanyaan ibu saya tadi ....”“Tidak apa-apa, Desi. Itu hal yang wajar sebagai seorang ibu.”Mereka sudah berada di luar rumah karena Tian akan pulang. “Tapi ....” Desi tidak mela
“Kamu beneran nggak apa-apa, Agni?” mama Tian begitu khawatir dengan menantunya yang terlihat sering murung. “Nggak, Ma. Agni baik-baik aja, kok. Mama jangan khawatir ya?”Wanita itu mengangguk mencoba percaya kalau sang menantu baik-baik saja.*“Pak Tian. Hari ini saya izin pulang lebih cepat, boleh?”Dessy sedang meminta izin pada Tian.“Mau ke mana?”“Tidak ke mana-mana, Pak. Ayah saya hari ini sudah diperbolehkan pulang.”Tian bangkit dari kursi dan memakai jas. Lalu mengambil kunci mobil di atas meja.“Ayo saya antar.” Tian melenggang begitu saja melewati Desi yang tidak tahu maksud bosnya itu.“P-pak ....” Desi mempercepat langkah kaki untuk bisa sejajar dengan Tian.“Saya akan antar kamu ke rumah sakit dan kamu tidak bisa menolak. Lagi pula kita tidak ada pekerjaan lagi, kan?”Desi hanya bisa mengangguk karena tidak mungkin dia bisa menolak Tian.Ternyata semua urusan di rumah sakit sudah selesai. Jadi ayah Desi langsung bisa dibawa pulang. Dua orang tua itu duduk di bangku p