Bunyi gaduh dalam mobil memancing atensi para warga. Beberapa yang tengah berada di sana jadi menghampiri mobil seraya menekuk lutut dan ingin melihat apa yang terjadi di dalam mobil itu. Apa lagi mereka yakin ada suara teriakan minta tolong.
"Yuk.., yuk.., kita lihat!" Meski jendela mobil Tian gelap tertutupi kaca film tetap saja. Tian terganggu dengan keingin tahuan orang-orang itu. Ia jadi melerai pegangannya. Dan saat itu, Agni gunakan untuk memencet tombol buka pintu segera. Dengan cepat ia berlari kencang seraya menutup matanya rapat.Setiap jalan adalah takdir yang sudah tertulis. Sebagai manusia, detail insan hanya harus menyiapkan hati untuk menghadapi semuanya.Agni menangis di tengah gerimis yang makin lebat. Sengaja dia menengadahkan wajah ke langit. Berharap semua masalah yang sedang di hadapinya sirna, luruh bersama air hujan yang mengaliri tubuh.“Aaaaa!”Agni mengeluarkan seluruh keluh kesah dalam hati. Setidaknya dia harus punya pelampiasan agar tidak menjadi gebu dendam dalam hati.Gadis cantik dengan kulit putih itu terus menangis tergugu. Kilatan petir yang sesekali bagai membelah langit tak dipedulikan sama sekali.“Aku harus apa? Kenapa semua jadi begini? Aku mencintai Axel, tapi harus menikahi Bastian. Sebenarnya takdir apa yang sedang kujalani?”Agni berteriak sekencang yang dia bisa. Selain Axel yang sudah berada jauh, tidak ada lagi yang peduli dengan perasaannya. Hanya Axel yang selalu ada dan membuatnya nyaman.Sekarang, dia tidak bisa lagi berharap pada siapa pun kecuali diri sendiri. Om Damar sudah menjodohkannya dengan Bastian, anak seorang pejabat di daerah tempat tinggalnya. Mana mungkin Agni menolak begitu saja. Andaipun ia bisa, pasti hidupnya akan dikelilingi cemoohan dari keluarganya. Apa memang ia harus pasrah, menjeruskan dirinya dalam pernikahan percobaan itu. Meski sejatinya hidup bukan untuk coba-coba.***Dengan tubuh bergetar, Agni berjalan pulang ke rumah om Damar. Bibirnya pucat membiru. Entah berapa lama dia berada di bawah lebatnya hujan yang terus mengguyur seolah-olah tak mau berhenti. Persis seperti suasana hati Agni saat ini.“Agni, dari mana kamu?” tanya Damar saat melihat keponakannya pulang dalam keadaan basah kuyup. Padahal tadi dia pergi dengan Bastian.Agni tidak menjawab. Dia hanya menggelengkan kepala dengan lemah.Damar celingukan melihat ke arah belakang Agni. Mungkin sedang mencari sosok Bastian.“Mana Tian?”“P-pulang,” jawab Agni lirih.“Kenapa kamu tidak pulang bareng Tian saja? Atau jangan-jangan kamu buat ulah, ya, sampai membuat dia marah?”Agni memejamkan mata mendengar tuduhan yang sangat tidak berdasar itu.“Kamu jangan pernah berpikir untuk menolak pernikahan ini, Ni. Tian itu lulusan S2, ayahnya pejabat tajir yang terkenal. Kamu akan hidup bahagia jika menikah dengan dia. Jadi jangan kamu sia-siakan kesempatan ini.”Agni mengerjakan mata beberapa kali. Hatinya masih diliputi gundah gulana.“Maaf, Om.”“Ya sudah kalau begitu. Cepat kamu keringkan badan dan ganti baju. Jangan sampai kamu sakit sebelum hari pernikahan.”Rasanya Agni enggan masuk ke rumah Damar. Tapi dia tidak punya pilihan lain karena Damar adalah satu-satunya keluarga yang dia punya.Dalam hati Agni berkata, “Om Damar benar-benar tidak peduli padaku. Apa aku salah karena telah ikut kata-katanya untuk pulang kampung ke sini ... dan jauh dari Axel.”Setetes air mata kembali rebas begitu saja. Berulang kali Agni mengusap kasar mulutnya dengan telapak tangan. Berharap jejak bibir Tian yang kurang ajar bisa bilang.***Keesokan harinya, Tian datang lagi ke rumah Damar. Anehnya, Damar sama sekali tidak bertanya pada Tian mengenai kenapa tadi malam Agni pulang ke rumah sendirian dengan keadaan basah kuyup. Padahal dia pergi bersama Agni.“Tian, ada hal penting?” tanya Damar. Dia tidak suka berbasa-basi.“Enggak, Om. Saya cuma ingin menyampaikan pesan ayah saya. Dia ingin pernikahanku dan Agni dipercepat. Mungkin ayah sudah nggak sabar menggelar pesta meriah,” ujarnya terselip kesombongan.Damar tersenyum semringah. Hatinya benar-benar silau oleh kilatan harta. Belum-belum, Tian sudah menyiapkan pesta meriah untuk Agni. Apalagi kalau sudah menikah nanti?!“Agni, ada nak Tian!” teriak Damar. Dia menyunggingkan senyum manis pada Tian.Pemuda itu tahu apa isi hati Damar. Pria gila harta yang selalu menuruti hawa nafsunya akan uang. Untung saja Agni itu cantik dan seksi, tentu tidak akan rugi menikahinya.Agni yang sedang bermalas-malasan di dalam kamar tentu saja mendengar teriakan sang om. Dalam hati dia menggerutu.'Kenapa si pria amoral itu datang lagi, sih? Apa lagi maunya kali ini?’“Agni?” ulang Damar saat tak mendapat jawaban.“Iya, Om. Sebentar,” sahut Agni tak kalah kencang.Damar tersenyum senang. “Nah, sebentar, ya? Mungkin Agni sedang mandi.”“Santai aja, Om. Aku nggak buru-buru, kok. Aku cuma mau bilang supaya dia bersiap-siap.”Cukup lama Agni baru keluar. Dia hanya menggunakan baju tidur, wajahnya juga polos tanpa riasan. Itu sengaja Agni lakukan agar Tian marah dan membatalkan niatnya untuk menikahi Agni. Tetapi ternyata dia salah.Tian malah makin terpesona dengan Agni yang polos dan apa adanya seperti ini. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Otaknya tengah merancang hal tak senonoh“Agni, apa-apaan kamu?” tanya Damar kesal. Dia tidak suka dengan tingkah Agni yang membuatnya malu. Seharusnya Agni berdandan dan mengenakan baju yang pantas saat ingin bertemu Tian seperti ini. “Kamu jangan bikin malu Om, ya?”.“Nggak apa-apa, Om. Saya malah suka Agni yang seperti ini. Lebih alami,” ucap Tian menengahi.Agni melotot mendengar hal itu. Ternyata rencananya gagal total. Dia tidak bisa memengaruhi hati Tian dengan begitu mudah. Jika dia ingin pernikahan tersebut batal, maka butuh usaha keras untuk mencapainya.“Oooh, baguslah. Maafkan Agni, ya, Tian?”“Iya, Om.”“Ya sudah kalau begitu Om tinggal dulu, Ya? Om ada sedikit pekerjaan yang harus dilakukan.”Setelah mendapat anggukan dari Tian, Damar melenggang keluar rumah. Meninggalkan Agni berdua saja dengan Tian. Dia tidak tahu saja hal itu akan sangat berbahaya bagi seorang gadis.Sesaat mereka saling diam. Agni terus mengalihkan pandangan ke Sembarang arah. Asal tidak ke arah Tian. Pria itu justru menatap Agni dengan intens. Dia suka semua hal tentang gadis di hadapannya ini. Matanya yang sendu, hidung mancung, pipi tirus, rahang kecil, bibir pink tebal dan dagu lancip. Sungguh sebuah pahatan yang begitu sempurna di matanya.“Jadi bagaimana, Agni? Apakah kamu sudah siap menikah denganku?” tanya Tian memecah kesunyian.Agni enggan menjawab. Dia tidak menganggap Tian ada.“Astaga. Menggemaskan sekali calon istriku ini. Kalau begitu pernikahan kita dipercepat,” tegas Tian dengan senyum penuh misteri.Seketika Agni menatap Tian dengan malas.“Apa, kamu keberatan?” tanya Tian lagi saat mendapat tatapan tajam dari calon istrinya.“Kalau aku bilang nggak mau menikah denganmu. Apa itu pengaruh?”Bukannya marah, Tian malah tertawa terbahak-bahak.“Ha ha ha. Agni, semua sudah diatur ayahku dan om kamu. Kita tinggal menerima saja. Apa susahnya, sih?” Tian sedikit kesal d
Bu Ningsih menatap iba pada Axel. ‘Apa sebenarnya mereka sudah saling jatuh cinta, tapi tidak ada yang menyadari? Axel seperti kehilangan pegangan hidup kalau terus seperti ini.’“Xel, mau nggak, nanti malam antar mama ke rumah teman mama?” Bu Ningsih punya sebuah rencana agar anaknya tidak terus larut dalam kesedihan karena ditinggal Agni.“Ke mana?” selama ini Axel tidak pernah menolak jika Bu Ningsih memintanya mengantar pergi. Meski hanya sekadar antar jemput tanpa menemani, tapi Axel selalu patuh.“Ke rumah Bu Ambar. Ada pengajian di sana. Tapi kali ini kamu juga harus ikut masuk, jangan cuma antar jemput.”Axel terlihat malas, tapi dia juga kasihan pada Bu Ningsih jika dia menolak. “Baiklah, nanti malam Axel antar Mama,” ucap Axel akhirnya.Bu Ningsih tersenyum bahagia. Dia berharap kesedihan di hati Axel segera berlalu. Dia tahu Axel tidak mungkin melupakan Agni begitu saja, tetapi kalau terus dibiarkan larut dalam kesedihan, dia khawatir pada kondisi kedekatan Axel yang bisa s
Dentang jarum jam terasa begitu berisik di telinga Axel. Sejak pagi di merasa perasaannya tidak enak. Seakan-akan ada hal besar yang akan terjadi, tapi dia tidak tahu apa itu.Sudah berulang kali dia mengubah posisi tidur, berharap matanya segera terpejam.“Aaakh!” Axel menggusar rambut dengan kasar. Dia kesal karena rasa kantuk yang sangat tetap tidak bisa membuatnya tidur pulas. Matanya sudah pegal karena terus terjaga. Sedangkan jam di nakas sudah menunjukkan pukul 01.00.“Astaga, udah lewat tengah malam. Ada apa, sih, ini?”Axel beranjak turun dari ranjang dan menuju kamar mandi. Mungkin saja setelah membasuh wajah dia bisa tidur. Saat keluar dari kamar mandi, Axel merasa ada yang nyeri di ulu hati."Agni!”Entah kenapa tiba-tiba dia teringat dengan Agni yang entah ada di mana. Lamunannya kini mencoba mengingat setiap momen indah yang pernah mereka lewati bersama selama delapan belas tahun bersahabat.Agni yang bawel, manja, tapi kadang pemarah. Gadis itu pengertian, lucu, tapi ka
Soraya dan Mia tersenyum puas melihat hasil karya tangan mereka di wajah Agni.“Waaau, baru kali ini aku puas sama kerjaanku sendiri,” ucap Mia membuat Agni mendecih. Meski dia akui riasan tersebut sangat membuatnya terlihat cantik, tapi hatinya tidak sejalan dengan apa yang orang lain lihat. Tidak ada kebahagiaan sama sekali yang terpancar di wajahnya. “Iya, Nona Agni cantik banget,” puji Soraya menimpali.“Sudah selesai?” tanya Damar yang langsung masuk ke kamar Agni tanpa mengetuk pintu.Dia langsung tersenyum saat melihat Agni sudah selesai dirias.“Ayo kita berangkat, atau keluarga Tian akan marah.”Soraya sekali lagi merapikan penampilan Agni, sedangkan Mia membereskan semua peralatan mereka yang berantakan di ranjang dan meja rias.Dengan langkah gontai Agni mengikuti Damar yang sudah membuka pintu mobil.Sekali lagi Agni memutar bola mata. ‘Bahkan mobil pun kiriman dari Tian.’Damar sama sekali tidak punya andil apa pun dalam pernikahan keponakannya tersebut. Dia hanya terima
Dalam satu sentakan Tian menarik kasar tangan Agni hingga gadis itu bangkit mengikuti Tian. Langkah kakinya beberapa kali terseok-seok saat Tian menggeret paksa tangannya. Kini dia tahu kalau Tian sedang kesal. Meski begitu tidak ada sedikit pun niat dalam hatinya untuk meminta maaf.Tian melepas tangan Agni saat sudah berada di depan gedung tempat resepsi.“Tolong jangan buat malu aku. Terserah kalau kamu belum menyukaiku, tapi sebagai istri kamu harus menjaga kehormatan suami, kan?” tegas Tian. Dia meraih lagi tangan Agni yang tadi dilepaskan. Tetapi kali ini dengan pegangan yang lembut penuh cinta. Agni bungkam. Dalam hati dia membenarkan ucapan Tian yang mengatakan seorang istri harus menjaga kehormatan suami.Mau tidak mau akhirnya Agni mengikuti langkah Tian menuju panggung pelaminan yang begitu megah. Lagi-lagi tatapan para tamu begitu takjub pada pasangan pengantin baru tersebut."Wah, mereka sangat serasi.” Pujian berasal dari beberapa wanita sosialita.“Istri Tian cantik se
Tanpa sepengetahuan Tian yang masih betah berada di bawah selimut, Agni meneteskan air mata. Ternyata berada jauh dari Axel sangat menyakiti hatinya. Pun ia tidak kuat jika terus bersitentangan dengan Tian.Niat hati menjauh untuk melupakan, menyimpan sendiri rasa cintanya yang begitu besar di dasar hati. Tetapi pada kenyataannya sungguh sangat menyakitkan. Rasa rindunya makin hari makin meluap. Entah sampai kapan dia bisa menanggung semua ini sendiri. Napasnya sesak setiap kali bayangan Axel dan dirinya dulu melambai seolah ingin diingat. Karena sudah tidak tahan lagi akhirnya Agni kembali masuk ke kamar mandi untuk melampiaskan tangisnya. Tian yang menyadari gerak Agni menjauh pun keluar dari selimut yang tadi menutup seluruh tubuh. Dia melihat Agni masuk ke kamar mandi."Seharusnya aku yang marah, kan? Tapi kenapa dia yang marah sama aku?" gumam Tian.Karena penasaran, Tian menyusul Agni ke kamar mandi. Kunci yang rusak akibat didobrak Tian tadi membuat pria itu bisa masuk dengan
Cukup lama mereka mengobrol bersama. Hingga lahirnya waktu makan malam. Agni merasa tidak nyaman di rumah mertuanya. Apalagi Tian sejak tadi sama sekali tidak acuh padanya. Jadi dia merasa serba salah harus bersikap bagaimana.“Ajak Agni istirahat di kamar, Tian. Mungkin dia lelah,” tawar mama Tian yang langsung diangguki oleh sang putra.Tian melenggang begitu saja, Agni yang tahu diri pun bangkit dari duduk dan mengikuti Tian dari belakang setelah menundukkan tubuh kepada kedua mertuanya tanda pamit.Agni terkesima pada kamar Tian yang tapi, bersih dan wangi. Padahal sepertinya Tian orang tidak terlalu memperhatikan penampilan, tapi tidak menyangka kamarnya seperti itu.Tian masih tidak mengatakan apa pun pada Agni. Dia langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Meninggalkan Agni yang tidak tahu harus berbuat apa di kamar suaminya yang masih begitu asing. Alhasil dia hanya duduk di sofa panjang yang ada di salah satu sudut. Berhadapan dengan televisi layar datar di hadap
Rumah Tian tidak terlalu jauh dari rumahnya. Hanya berjarak sekitar setengah jam dengan mengendarai mobil. Papa dan mama Tian tidak ikut mengantar karena ada hal penting terkait pekerjaan papanya. Jadi hanya mereka berdua saja.Pagar besi yang menjulang dibuka oleh seorang petugas keamanan membuat mobil Tian langsung masuk tanpa menunggu lama. Kendaraan roda empat itu langsung masuk ke garasi. Agni mengikuti Tian turun dari mobil dan menuju pintu utama yang sudah terbuka.“Silakan masuk, Tuan, Nyonya.” Seorang wanita perih baya mempersilakan mereka masuk.“Makasih, Bik. Ini Agni, istri saya.”Agni langsung mengangguk dan tersenyum ramah. Ternyata di rumah ini sudah ada pembantu. Pasti Tian sudah mempersiapkan semua ini sejak lama. Hati Agni menjadi gamang karena dia tahu sama sekali tidak bisa memberi kebahagiaan seperti yang diinginkan Tian dan para suami lainnya.Dia menatap punggung Tian yang menjauh. Ada rasa bersalah yang menyelinap di hatinya. “Ayo, Nyonya. Masuk.”“I-iya, Bik.