Share

Bab 2 Rekayasa

"Bu, hari ini berapa bungkus keripik yang mau dibuat?" tanyaku pada ibu.

Wanita itu terlihat gusar hingga memancingku untuk bertanya. Tak disangka wajahnya tiba-tiba merah padam.

"Kamu kenapa bikin kaget?! Ibu bisa jantungan tahu, nggak!" Aku tersentak saat ibuku justru terkesan membentak. Ibu masih sibuk mengupas ketela yang ada di lantai. Lalu ketela yang kulitnya sudah dibuang di rendam dalam bak berisi air.

"Ibu dari tadi melamun. Ning khawatir pisaunya mengenai tangan ibu," ucapku beralasan yang masuk akal.

Akhir pekan seperti biasa, aku menyibukkan diri membantu menyiapkan keripik singkong. Bapak menggalinya dari kebun sepetak yang ada di sebelah rumah. Ibuku menyiapkan bumbu, sedangkan aku menyiapkan api untuk penggorengan.

"Di mana Mbakmu, Ning?" Ibu tidak memberi penjelasan justru menanyakan anak sulungnya.

"Di kamar. Ning sudah minta Mbak Titin bantuin bikin keripik. Tapi dari tadi nggak muncul juga."

Aku sengaja sedikit mendecis kesal agar ibu mau membujuk Mbak Titin untuk membantu kami. Namun, realita sungguh menampar jiwaku. Ibu justru membelanya.

"Nggak usah, nanti tangannya lecet malah rugi. Pacarnya bisa marah kalau tangan mulus mbakmu tergores. Mbakmu kan mau melamar jadi model."

Mataku seketika membola. Bisa-bisanya ibu membenarkan sikap kakakku. Jadi model dari Hongkong. Seketika aku menampik. Barangkali mimpinya terlalu ketinggian.

"Tapi, Bu. Ini masih banyak yang harus dikerjakan. Bapak masih di kebun, Amar juga belum pulang seolah. Kalaupun pulang pasti sudah capek."

"Alah, jangan banyak alasan. Kamu sendiri bisa kan menyelesaikan ini daripada menganggur. Biasanya juga kamu yang membereskan."

Menganggur, huh. Ibu bilang aku menganggur. Selama ini siapa yang membereskan pekerjaan ini. Aku memang banyak menganggur kareja tinggal menunggu kelulusan SMA. Sementara itu, Mbak Titin justru dua tahun lebih dulu lulus. Jelas-jelas dia yang banyak menyia-nyiakan waktu dan uang dengan bermimpi menjadi seorang model. 

Ibu berlalu ke kamar Mbak Titin. Hatiku tiba-tiba mencelos. Melihat kerjaan yang terbengkalai membuat kepalaku mendadak pening. Ketela masih banyak yang belum dikupas, belum lagi di ember ketelanya harus dipasah menjadi tipis-tipis. Terakhir barulah potongan ketela yang tipis digoreng dan dibumbui. Setelah dingin, keripik singkong berbumbu siap dikemas.

Aku berdecak kesal. Namun apa boleh buat, kalau aku ikutan mogok kasian bapak. Beliau sudah capek menggali tanah mengambil ketela. Selain itu, bapak juga harus berkeliling memasarkan dagangan. Sebab, aku yang baru selesai ujian kelulusan SMA harus memeras keringat di rumah Haji Ali. Demi menggantikan ibuku menjadi pembantu di sana.

"Mbak Titin memang keterlaluan," umpatku lirih. Aku tidak mau memantik api pertengkaran dengannya.

Sejak punya pacar, ah mungkin lebih baik disebut calon suami. Keduanya sudah seperti perangko, nempel erat sekali. Sampai-sampai Mbak Titin lupa dengan pekerjaan ini. Dia mementingkan berdandan dan berdandan.

Terkadang aku lupa, kaki sudah di kepala dan kepala sudah di kaki. Pagi bersih-bersih di rumah Haji Ali. Siangnya menyiapkan keripik singkong dan sorenya mengepak keripik sampai malam supaya pagi tinggal siap dipasarkan.

"Ning, mbak pinjam uang ada, nggak? Mbak butuh beli bedak dan lipstik, nih."

"Astaga, uang?! Mbak tahu sendiri kan, aku dari tadi ngapain?" Aku sengaja melempar pisau dan ketela ke dalam ember berisi air. Dia berjengkit kaget. Menatapku keheranan, Mbak Titin melengos. Dia tidak tahu kalau kucing yang penurut ini mampu berubah menjadi harimau yang mengaum.

"Hei, Mbak cuma pinjam lho, bukan minta. Lagian nanti kalau Mbak sudah jadi model kaya raya juga nggak butuh pinjam uangmu!" hardiknya padaku dengan wajah merah padam.

"Nggak ada," ketusku sambil lanjut mengupas ketela.

Boro-boro bantuin, bisanya cuma minta uang. Aku menghembuskan napas kasar.

"Bu! Ning nggak mau minjamin uang!" teriaknya mencari bala bantuan.

Sudah kuduga, Mbak Titin pasti memakai aji mumpungnya. Ia mengadu pada ibu, supaya aku luluh. Bagaimana bisa aku menolak permintaan ibu.

Tak lama kemudian ibu datang bersama kakakku yang mengekor di belakang. Senyumnya menyeringai puas, membuatku meradang. Pasti Mbak Titin sudah mengompori ibuku.

"Ning, berikan uangnya pada Mbakmu!" titah ibu dengan tatapan tajam mengarah padaku.

"Uang apa, Bu? Ning nggak punya uang."

"Pinjami dulu atau ibu terpaksa ambil sendiri. Mbakmu sudah memintanya baik-baik. Kalau dia sudah tercapai keinginannya jadi seorang model kamu juga yang ikut menikmati hasilnya."

"Iya, nanti kalau Mbak sudah kaya raya bakalan kasih apa yang kamu mau, Ning." Kali ini ucapan Mbak Titin semerdu seruling. 

Hufh, apa dia mencoba merayuku.

"Cih, jangan membual Mbak. Bisa saja Mbak Titin kacang yang lupa akan kulitnya, kalau sudah kaya raya hidup di kota nggak ingat lagi sama si miskin ini."

"Ning!" Baik ibu dan Mbak Titin meneriaki aku.

"Nih." Pada akhirnya perdebatan panjangku sia-sia. Aku memberiakn beberapa lembar uang yang kusimpan. Uang itu hasil penjualan keripik singkong. Sejatinya, uang itu harusnya berputar untuk menambah modal. Namun, tidak jarang uang itu terlepas dari genggaman hanya karena permintaan ibu. Beliau selalu mengabulkan apa yang diinginkan Mbak Titin.

Kadang aku berpikir apa salahku sampai ibu lebih menyayangi Mbak Titin. Seringkali aku melakukan hal yang tidak berkenan di hati wanita paruh baya itu. Apa-apa sering terlihat salah. Sebaliknya, Mbak Titin jarang bahkan tidak pernah sekalipun aku mendengar ibu memarahinya. Ibu selalu bertutur kata lembut padanya. Dengan Adikku---Amir, ibu juga biasa saja tidak pernah memarahinya.

Ah sudahlah, memikirkannya hanya akan menambah sakit hatiku. Apapun sikap ibu, aku tetap menyayanginya. Aku pasti akan menemukan cinta dalam dirinya untukku. Setidaknya itulah pesan yang selalu disematkan bapak kala aku dirundung kesedihan oleh sikap ibu.

"Bu, uangnya kenapa sedikit? Ini pasti kurang."

Masih bisa kudengar dari jarak beberapa meter, Mbak Titin gusar di depan ibuku. Keduanya mengabaikanku yang sedang berkutat dengan pisau. Aku harus segera mengupas ketela supaya keripik singkong bisa kelar malam ini.

"Kamu tenang saja, ibu akan carikan tambahannya. Nanti malam ibu berangkat arisan. Kamu bantu ibu nyiapkan ya!"

"Nyiapin apa, Bu?"

Aku pura-pura menutup telinga obrolan mereka. Meminta Mbak Titin membantu membereskan pekerjaan di depan mata hanyalah sia-sia. Dia pasti minta pembelaan lagi pada ibu. Aku pun setengah hati melakukan pekerjaanku sambil memukul-mukul air di bak supaya rasa dongkol di hatiku berkurang.

Beberapa menit berlalu, keduanya masuk ke kamar lagi. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Setidaknya, Mbak Titin sudah tidak mengganggu lagi. Aku merasa lega ibu tidak menanyakan uang lagi. Aku memang menyimpan terpisah uang yang sedikit demi sedikit kutabung dari hasil bekerja di rumah Haji Ali. Aku menyimpan uang itu untuk keadaan darurat. Saat harus periksa karena sakit, juga kebutuhan sekolah. Sebab ibu tidak memikirkan hal itu sejak Mbak Titin punya impian menjadi model kaya raya.

Malam hari, aku mengemasi keripik singkong di lantai bertikar dibantu Amir. Bapak istirahat jam segini. Beliau dari pagi hingga sore berkeliling menjajakan keripik. Sepulangnya, beliau langsung ke kebun menggali ketela. Melihat kerja keras bapak, aku tidak tega jika membiarkan belia membantu mengemasi keripik. 

"Mbak Ning, kenapa Mbak Titin nggak pernah bantuin kita, sih?"

"Sudah Mbak minta, Mir. Katanya jam segini dia harus tidur awal biar wajahnya nggak jelek saat mendaftar seleksi menjadi model."

Aku memasukkan keripik ke plastik lalu tepi bungkusnya kulipat dan kurekatkan dengan api dari lilin. Akhirnya jadi sebungkus keripik dalam plastik kemasan kecil. Aku meletakkannya dengan hati-hati di kardus supaya bentuknya tidak remuk, bisa-bisa keripiknya nggak laku. Kegiatan itu berulang sampai keripik dalam baskom besar habis. 

"Mir, kamu tidur saja sana! Biar Mbak yang selesaikan. Kasian kamu besok ada ujian, kan?"

"Iya, Mbak. Tapi lebih kasian Mbak Ning dari pagi bersih-bersih di rumah Pak Haji sampai malam ini belum istirahat, kan?"

Hatiku seketika terasa mak nyes. Amir kelas enam SD bisa perhatian padaku. Berbeda dengan Mbak Titin yang sama sekali tidak peduli.

"Nggak papa, Mir. Mbak tidak ingin nilai ujianmu jelek gara-gara membantu nyiapin keripik."

"Amir tiap hari sudah belajar kok. Mbak Ning tenang saja, Amir pasti sukses ujiannya. Amir nggak mau ngecewain pokoknya."

"Bagus itu, Mir."

Entah kenapa hatiku tersentuh hanya mendengar ucapan anak seumuran Amir. Apa jadinya kalau dia ikut-ikutan bersikap seperti Mbak Titin. Yang ada hidupku semakin suram.

Setelah selesai memberesi perkakas, aku menyimpan dus berisi keripik kemasan kecil di tempat aman. Esok pagi, bapak tinggal memasarkannya. Melewati kamar Mbak Titin kudengar samar-samar obrolan, sepertinya suara ibu.

"Makasih banyak, Bu. Aku bisa mendaftar seleksi model besok."

"Apa uangnya sudah cukup sekarang?"

"Lebih dari cukup, Bu."

"Ya sudah, bawa saja semua untuk uang saku sekalian."

"Untung ibu dapat arisan lagi. Jadi kita dapat uangnya."

"Ide kamu memang bagus, Tin. Besok bisa ibu coba lagi, soalnya ibu ikut tiga nama."

Aku memasang telingaku lekat-lekat. Apa ibu melakukan kesalahan? Ah, kenapa aku selalu berprasangka buruk pada wanita itu.

"Tenang saja, Bu. Mau dikocok berulang juga yang keluar nama ibu. Kan aku sudah mengganti gulungan kertasnya dengan nama ibu semua." Suara Mbak Titin begitu terang tertangkap oleh telingaku.

Deg, aku mengelus dada.

Jadi, arisan yang ibu dapat adalah hasil rekayasa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status