Pagi-pagi subuh, aku sudah bangun membantu menyiapkan sarapan. Aku biasa membantu ibu yang sudah terlebih dulu berkutat di dapur. Meski sikap ibu kurang baik padaku, aku tetap salut pada beliau. Pagi-pagi ibu menyiapkan sarapan dan bekal makan siang untuk bapak dan Amir.
"Ning, buruan yang ini dimasak juga!" Aku kaget melihat daging berbalur bumbu bawang siap digoreng. "Ini sudah ada tempe buat lauk, Bu. Dagingnya juga digoreng?" tanyaku ragu. Pasalnya menu makan ayam amat jarang terlihat di meja makan. Tempe dan tahu gorenglah yang mendominasi. Namun, aku tetap menikmati setiap masakan ibu."Sudah nggak usah banyak omong. Lagian ayam gorengnya bukan buat kamu sama Amir, tapi buat makan mbakmu."Oh, jadi lauk spesial ini untuk Mbak Titin. Aku sudah terlanjur bahagia, ibu memberi harapan pada Amir yang pernah menanyakan kenapa kami jarang menyediakan lauk ayam goreng.Beberapa menit kemudian."Wah, lauknya enak sekali, Mbak." Suara Amir menyeru dari belakang punggungku. Aku yang sedang menggoreng sisa beberapa potong ayam hanya menyunggingkan senyum."Biasanya juga makan tempe kamu nggak seheboh itu, Mir," ucapku masih dengan memunggunginya."Iya kan tiap hari tempe terus. Ini ayam enak sekali.""Astaghfirullah, ayam goreng.""Mir, jangan dimakan!"Aku merampas potongan ayam yang masih dipegang Amir dan juga digigitnya."Mbak Ning!" pekiknya."Kenapa Mbak Ning ambil?" Raut wajahnya tiba-tiba kecewa."Ini. Ini ayam goreng...""Ada apa, Ning?""Astaga. Kenapa ayamnya, Ning?"Ibu mendatangiku dengan napas memburu."Kenapa kamu makan, Ning?! Sudah ibu bilang ayam ini untuk mbakmu.""Amir, Bu," sanggahku. Namun lagi-lagi ibu tidak terima penjelasanku."Nggak usah nyalahin Amir. Kamu yang harusnya menyimpan untuk mbakmu. Kenapa malah ditaruh di meja makan."Ibu membentakku hanya gara-gara ayam goreng. Aku memilih diam. Apa yang dicecarnya biarlah masuk ke telinga hingga menjadi cambuk untukku."Maaf, Bu. Tadi Amir yang pengin ayam goreng." Amir berucap lirih membelaku."Sudah diam kamu masih anak kecil. Mbakmu yang salah, sudah ibu pesan kalau ayam goreng untuk bekal Mbak Titin.""Bau apa, ini?" Mbak Titin yang melenggang dengan penampilan rapi mengendus-endus."Aku memekik hebat saat turut mengikutinya merasakan aroma tak sedap."Ya Allah, Ning. Kamu kenapa selalu bikin susah ibu. Gara-gara kamu tinggal, ayamnya jadi gosong. Sudah tahu lagi goreng ayam malah ditinggal. Gimana bekal makan siang mbakmu?""Gimana sih, Ning. Goreng ayam aja nggak becus," cibir Mbak Titin membuat hatiku meradang. Kepalan kedua tangan sudah kusembunyikan di balik rok panjangku. Rahangku mulai kaku, pun gigi gemeratak saling beradu."Mbak Ning nggak salah, Mbak. Harusnya Mbak Titin bisa goreng sendiri ayamnya," celetuk Amir memaksaku menghela napas panjang."Ini anak kecil sudah dibilang jangan ikut-ikutan. Biar Ning yang menyentuh dapur, kalau Titin tidak ibu izinkan. Nanti kalau kulitnya kena minyak, bisa-bisa nggak lolos seleksi jadi model. Gagal jadi orang kaya."Ibuku masih saja membela Mbak Titin. Benar saja, perempuan yang sudah berpenampilan cantik itu mengibaskan rambut panjangnya yang tidak tertutup hijab. Blouse yang dipakai saja tanpa lengan dan press body. Ditambah lagi roknya diatas lutut. Kulihat Amir hanya memandanginya sambil menggelengkan kepala. Aku juga heran, pacar Mbak Titin nggak punya sepak terjang di dunia modeling kenapa tiba-tiba menawarinya jadi model. Entah kenapa mendadak aku samar dengan laki-laki itu. Bisa saja dia menipu Mbak Titin. "Mbak Ning, Mbak Titin melamar model di mana, sih?""Nggak jelas. Katanya sama Mas Jono tetangga desa yang rumahnya pojok sendiri.""Hah? Mas Jones?""Jono, Mir. Kamu seenak jidat panggil nama orang sih?" Reflek Mbak Titin ingin menarik telinga Amir karena tidak terima. Beruntung aku sempat berlari menghalaunya."Jangan begitu, Mbak. Itu kekerasan fisik namanya.""Kamu sama aja, Ning. Malah ngajarin Amir yang buruk.""Buruk gimana?" sergahku."Lha itu, nggak percaya sama Jono. Laki-laki baik yang mau membantu keluarga kita bangkit dari kemiskinan," terangnya sambil mengangkat kepala. Menyombongkan pacarnya yang, ah sudahlah aku tidak bisa berkata-kata. Laki-laki itu, dari raut mukanya saja terlihat playboy. Sepertinya Mbak Titin sudah dibutakan oleh cinta."Sudah-sudah kalian meributkan apa. Adik-adikmu nggak ngerti, Tin. Biarkan saja, nanti kalau kamu sudah jadi orang kaya mereka juga paham." Ibu tiba-tiba datang melerai, membuat aku membuang napas kasar."Ada apa ta, Bu?"Bapak terlihat berjalan dari kamar sambil mengancingkan bajunya."Nggak ada apa-apa, Pak. Biasa anak-anak bikin rusuh. Ning itu nggak mau mengalah sama Titin."Ucapan ibu sontak menampar wajahku. Untuk kesekian kalinya aku jadi kambing hitam. Bahkan Amir ingin bersuara pun segera ditatap tajam oleh Mbak Titin."Maafkan Ning, Pak!""Ya, sudah. Lanjutkan sarapannya. Bapak mau sarapan langsung berangkat. Kemarin ada info rapat di balai desa. Bapak mau menawarkan dagangan ke sana."Terlihat binar di wajah bapak membuat hatiku mengembang. Beginikah rasanya melihat senyum bapak yang mengharap dapat rejeki banyak hari ini. Air mata sudah mengumpul di pelupuk. Andai kaki dan tanganku banyak, aku tidak akan membiarkan beliau bepergian jauh menawarkan dagangan. Cukup memberikannya sebuah warung untuk jualan. Namun realita tak seindah bayangan. Jualan keripik singkong di kampung kurang begitu laku. Bapak akan mendapatkan untung banyak jika bisa menjualnya di acara pertemuan. Peserta yang hadir biasanya orang-orang kota seperti pejabat pemerintahan atau guru-guru."Ning, jangan lupa pulang dari rumah Haji Ali mampir warung. Bumbu sudah hampir habis," titah ibuku tanpa senyum."Nggih, Bu." (Baik, Bu.)"Uangnya ada belum, Ning?" tanya bapak sambil mengunyah makanan yang baru disuapkan dengan tangannya.Nyes, hatiku. Setiap ditanya perihal uang, entah kenapa ada nyeri di dalam dada. Ingin meneriakkan uangnya diminta Mbak Titin, tetapi aku tidak tega dengan bapak. Beliau sudah percaya aku bisa memegang uang dengan benar."Tasih kok, Pak." (Masih kok, Pak.)"Hati-hati di jalan, Pak!""Ya, kalian juga." Bapak menyahut sambil melempar senyum yang menguatkan hatiku. Beliau mulai mengayuh sepeda tua sambil membawa keranjang di boncengan belakang berisi keripik singkong. Di bagian depan ada dua tas belanja juga sama isinya dagangan keripik. Melihatnya saja, pandanganku mulai kabur. Andai, Ning bisa dapat kerja dengan gaji besar, Bapak tidak perlu susah payah mengayuh sepeda menawarkan dagangan. Andai aku mampu membuatkan warung untuk jualan, beliau hanya perlu duduk manis menanti pelanggan. Ah, andai saja semua itu bukan hanya mimpi. Aku mengusap cairan yang membasahi pipi."Mbak Ning, nangis?""Nggak, Mir. Ayo Mbak antar sekarang. Kamu kan ujian, takutnya telat. Nanti bu guru marah."Gegas aku mengayuh sepeda menuju sekolah Amir. Baru setelah mengantar sekolah, aku menuju rumah Pak Haji untuk bersih-bersih.Sampai di sekolah, Amir melangkah ragu masuk. Aku mengerutkan dahi melihat tingkahnya. Ditambah dia berbalik jalan menuju tempatku."Ada apa, Mir?""Nggak, Mbak. Amir cuma mau pamit."Entah kenapa hatiku menyangkal jawabannya. Ia mencium tanganku lalu bergegas menuju ruang kelas. Aku memandangnya haru. Anak sekecil itu seharusnya fokus dengan ujian kelulusannya. Namun, di rumah ia justru harus mendengar pertengkaranku dengan Mbak Titin atau debatku dengan ibu.Tidak lama kemudian, seorang ibu guru mendatangiku."Maaf, Mbak kakaknya Amir?""Iya betul, Bu." Aku melirik sekilas Amir berdiri di ambang pintu kelas."Begini, Mbak. Apa Amir tidak menyampaikan surat dari sekolah?" tanya guru itu dengan wajah serius. Aku merasa jantungku berdebar. Apa sekarang Amir menjadi anak pembohong. Padahal setahuku adikku anak penurut. Tidak, tidak mungkin Amir menjadi pembohong."Surat apa ya, Bu?""Surat...." Belum selesai bu guru mengucap, Amir berlari menghambur memelukku dari samping."Maafkan Amir, Mbak. Amir sudah berbohong." Aku terlonjak kaget mendengar pengakuan adikku. Amir sudah meraung-raung di depanku juga gurunya."Maaf, Mbak," ucapnya terbata disela isak tangis."Amir tidak bisa mengikuti ujian kalau biaya sekolah belum dilunasi." Ucapan bu guru menghantam pertahananku. Seketika pelupuk mataku jebol. Aku sesenggukan memeluk adikku disaksikan bu guru."Amir, kenapa kamu nggak bilang sama Mbak?"Setelah selesai meredam isak tangis, aku mengikuti langkah bu guru. Sejatinya aku malu, wajahku pasti sudah kuyu. Aku meminta izin membasuh muka terlebih dulu sebelum ke ruang yang bertuliskan ruang kepala sekolah."Pak, ini kakaknya Amir," ujar bu guru mengenalkanku pada sosok tegas yang duduk di kursi kerjanya. Laki-laki paruh baya itu menelisikku dari ujung kepala hingga ujung kaki."Kamu kakaknya Amir?""Iya, Pak. Saya Haningtyas, bisa dipanggil Ning." Aku mengulurkan tangan memperkenalkan diri. Kepala sekolah hanya tersenyum singkat."Sepertinya kamu masih sekolah?""Saya kelas tiga SMA, Pak. Sudah selesai ujian, tinggal menunggu kelulusan.""Mohon disampaikan pada orang tua Amir kalau syarat mengikuti ujian kelulusan harus lunas seluruh biaya sekolah," ucap kepala sekolah tegas.Aku tertunduk malu. Kenyataan keluargaku memang belum punya cukup uang untuk persiapan kelulusan. Tahun ini aku dan Amir lulus berbarengan sehingga kebutuhan uang membengkak. Namun, bapak masih berjanji
Tiga tahun berlalu.....Aku hidup dalam tekanan batin hebat. Sakit kepala sebelah semakin sering menyerangku. Apalagi ditambah bapak yang murka saat mendengarku berbuat mes*m dengan Zen. Hari-hari kulalui tanpa senyum dari beliau. Sungguh menyakitkan dianggap asing oleh laki-laki yang biasanya menatapku penuh kasih sayang."Ampuni Ning, Pak. Ning benar-benar tidak melakukannya." Aku bersimpuh di kaki bapak yang duduk di kursi roda. Sakit gejala struk bapak semakin parah saat mendengar berita buruk yang menimpaku."Pergi dari rumah ini, Ning. Bapak tidak mau melihatmu di sini. Kamu bikin malu bapak dan ibu."Meski ucapan bapak lirih tetapi tetap saja bagaikan sembilu yang menyayat hati. Aku tidak habis pikir dengan tindakan ibu yang menjadikanku korban."Baik, Pak. Ning akan merantau ke Yogya. Ning mau cari uang untuk bapak berobat. Bapak harus sembuh.""Tidak perlu. Bapak tidak butuh uang darimu. Anak tidak tahu diri. Sudah dibesarkan dengan kasih sayang malah melempari bapak ibumu de
"Oh, maaf, Bu. Anak ibu dosen berarti," ungkapku sambil menelungkupkan kedua tangan."Iya dosen muda, tapi sudah sangat sibuk sekali. Sampai-sampai saya suruh menikah belum mau. Padahal sudah disiapkan perjodohan dengan anak sahabat saya. Ya sudah biar mereka saling mengenal dulu. Hanya saja saya kurang setuju kalau kesana kemari berdua, nggak enak dilihatnya kalau belum halal."Aku terkekeh pelan mendengar perjodohan di abad sekarang."Iya, Bu. Mungkin nanti kalau sudah menemukan jodohnya anak ibu cepat- cepat menikah.""Semoga, ya. Eh, ini kamar anak saya yang pertama, yang ini yang kedua." Trus paling ujung kamar putri saya, sekarang dia lagi studi di luar negeri.""Wah kampus yang bagus pastinya, Bu.""Alhamdulillah. Yang penting anak-anak saya mau melanjutkan pendidikan sampai jenjang tinggi. Seperti Mbak Ning juga, semoga ada kesempatan." Aku mengulum senyum sambil mengamini doanya. Melihat-lihat kamar yang berseberangan, aku menghafalkan satu persatu. Ada inisial ZM dan SM di p
Bab 7 TerjebakZen berlalu tanpa kata setelah aku mengembalikan buku miliknya ke almari. Sikapnya benar-benar tak acuh padaku. Bahkan senyum sedikit saja tidak terlihat di wajahnya. Benar-benar dingin, wajahnya kayak kulkas 2 pintu.Ya Rabb kuatkan aku. Kenapa begitu cepat Engkau pertemukan aku dengan orang itu. "Bu Tya, mana yang bisa dibantu?" tanyaku saat menghampiri pemilik rumah besar ini di dapur."Oh ini, Mbak. Sayurannya dipotong kecil-kecil ya. Kita bikin sup ayam lauknya udang crispy dan tempe goreng. Menu itu kesukaan anak-anak sejak kecil hingga dewasa masih lahap."Wah senangnya jadi anak-anak, ibu pandai memasak," pujiku pada Bu Tya."Makasih ya Mbak Ning. Simbok yang biasa membantu anaknya lagi demam jadi nggak bisa kemari.""Saya malah senang bisa membantu, Bu.""Ngomong-ngomong, kenapa kamu nhgak melanjutkan kuliah saja? Kenapa mau kerja di kantin kampus?"Sejenak aku terlempar di masa lalu yang menyedihkan bagiku."Mbak, rapot dan ijazahku bisa diambil, nggak?" lirih
Bab 8 Motor atau Mobil"Katakan?! Siapa yang menyuruhmu kemari?!""Zen. Aku....""Jangan sebut nama itu!""Ma... maaf, Mas Alan. Sa... saya. Ough! Sakit."Entah kenapa sakit kepala sebelahku tiba-tiba menyerang kembali. Akhir-akhir ini aku sering merasakannya. Apa mungkin efek kelelahan dan banyak pikiran, entahlah.Aku berharap Zen tidak menduga kalau aku berbohong."Kamu terlalu pintar untuk menipuku lagi. Tidak usah berpura-pura sakit di depanku. Aku tidak akan kena tipu untuk kedua kalinya."Nyes,Ucapan Zen seperti sembilu yang menyayat hati. Aku berusaha menahan luka yang tak kasat mata. Biarlah sakit hatiku mengalahkan peningnya kepala yang teramat sangat. Berusaha menegakkan kepala agar air mata yidak tumpah, aku memberanikan diri menatapnya. Meskipun tatapan Zen masih sedingin es, aku tidak peduli. Aku tidak ingin menangis di depannya.Beberapa kali aku meringis menahan sakit kepala. "Saya tidak sengaja sampai di rumah ini. Bu Tya yang menolong saya waktu kena copet di termi
Bab 9 Siapa yang Penipu (Pov Author)"Dia nggak protes, kok," sanggah Syam pada kakaknya."Mana berani dia protes!" seru Zen."Kita tanya Ning saja. Ning kamu mau naik motor atau mobil?"Dilema merajai hati, Ning merasa takut melirik wajah dua-duanya."Sudahlah, ayo masuk mobil! Saya nggak terima penolakan."Melihat Zen tak acuh masuk mobil duluan, Ning tidak enak hati. Ia tidak mau membuat laki-laki berambut cepak dengan tinggi sekitar 170cm itu murka."Maaf, Syam. Saya ikut mobil Mas Alan ya."Syam berdecak kesal, sia-sia dia mau bersaing dengan kakaknya. Niat hati sampai kampus pamer dengan teman-temannya kalau ada cewek yang bisa dia boncengin. Ujung-ujungnya detngah jalan ditebas niatnya oleh Zen."Mas Zen menyebalkan."Syam menyantolkan helm yang dipakai Ning ke motor. Gegas ia menghidupkan mesinnya lagi dan melajukan motor sportnya menuju kampus. Sempat menyalip mobil kakaknya dengan membunyikan gas kencang. Rasa kesalnya hilang, Syam mendahului mobil itu.Sepanjang perjalanan h
Bab 10 Bercanda"Iya, kamu kira aku baik secara cuma-cuma. Kamu juga harus balas dengan kebaikan dong.""Maksudnya?""Misalnya jadi pacarku gitu.""Apa?!"Syam tiba-tiba terbahak membuat wajah kaku Ning memudar."Bercanda, Ning. Serius amat, sih.""Ishh, nyebelin kamu Syam."Keduanya berjalan menuju kantin FEB, Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Motor Syam sudah dipindahkannya ke parkiran khusus mahasiswa. Kampus yang menjadi impian Ning untuk belajar materi itu merupakan kampus dengan mayoritas mahasiswa menaiki mobil. Entah impiannya akan terwujud atau tidak. Setidaknya Ning sudah pernah mengambah kampus impiannya."Mahasiswa yang kuliah di sini kaya-kaya ya, Syam?" celetuk Ning. Ia masih mengamati mobil yang berjajar di depan gedung. Tahu arah pembicaraan Ning, Syam mengukir senyuman lebar."Ya, nggak semuanya, Ning. Orang biasa pun bisa kuliah di sini. Mobil yang kamu lihat itu mobilnya dosen kali. Tuh, banyak mahasiswa yang ngontel. Bahkan mahasiswa yang jalan kaki pun ada.Ning menangg
Bab 11 Kerja KerasZen mencoba tidak menanggapi ucapan Andre. Ia fokus dengan makanan dan minuman yang baru saja datang."Rupanya gadis itu bukan mahasiswa. Nggak mungkin juga kamu tertarik padanya kan, Al?""Jelas lah, mau ditaruh mana mukaku kalau sampai tertarik penjaga kasir. Kamu becanda, Ndre.""Tapi ya, Al. Sekali melihat wajahnya, pesona alami kecantikannya itu terpancar dari dalam gitu. Coba saja kalau wajahnya dipoles seperti Vina, bakalan nggak kalah cantik.""Jangan membandingkannya dengan Vina. Jelas bagai langit dan bumi."Andre mendecak kesal."Iya-iya, Vina kan calon jodoh kamu. Makanya buruan dihalalin nanti pindah ke lain hati baru tahu rasa.""Jangan ngomong sembarangan, aku dan Vina dari dulu cuma berteman."Zen memang dijodohkan oleh orang tuanya dengan Vina. Orang tua Vina merupakan sahabat orang tua Zen. Namun, Zen hanya menganggap Vina sebagai teman baik. Sebaliknya Vina sudah berusaha mebdekati Zen, tetapi tidak berbalas. Tiga tahun terakhir Zen justru bersika