Zayn terdiam. Sorot mata Diandra yang bergetar menyiratkan banyak hal—terluka, kecewa, dan marah. Tapi lebih dari itu, Zayn melihat bayangan masa lalunya yang dulu sempat begitu lekat… dan kini harus benar-benar dilepas.Ia menarik napas panjang, mengusap wajahnya sejenak sebelum menatap Diandra kembali, lebih tenang.“Diandra, aku gak pernah niat buat permainkan kamu,” ucapnya pelan, tulus. “Kalau kemarin-kemarin aku terlihat perhatian, hangat, mungkin karena aku juga lagi goyah. Waktu itu, aku ngerasa rumah tangga aku gak akan ke mana-mana. Aku ngerasa gagal, dan saat kamu hadir lagi, merasa nyaman.”Diandra menahan napas. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.Zayn melanjutkan. “Tapi itu salah. Semua itu salah, dan aku sadar. Terlambat, iya. Tapi tetap harus dihentikan sebelum jadi makin salah.”“Tapi kamu bilang kamu cinta padaku,” suara Diandra lirih, hampir seperti bisikan. “Kamu tatap aku dengan cara yang sama kayak dulu, Zayn. Aku yakin itu.”Zayn menggigit bibir bawahnya, menah
Siang itu, di salah satu sudut rooftop kantor yang biasa mereka jadikan tempat pelarian dari rutinitas kerja, dua cangkir kopi mengepul pelan di atas meja kecil berlapis aluminium. Angin membawa aroma kafein dan suara-suara samar dari lantai bawah. Zayn duduk menyandar santai, mengenakan kemeja putih yang bagian lengan digulung, sementara Gilang duduk di depannya, mengaduk kopinya dengan sendok kecil sambil sesekali menatap temannya itu dengan senyum menyelidik.“Kemarin, aku lihat kamu buru-buru pulang. Apa ada masalah?" tanya Gilang membuka obrolan, matanya menyipit curiga.Zayn mengangkat alis. “Qiana sakit. Jadi aku pulang cepat.”Gilang mengangkat satu alis, ekspresinya berubah dari penasaran jadi setengah terkejut. “Sakit? Sakit apa?”“Demam tinggi, nyeri perut. Kayaknya efek PMS, tapi lumayan buat panik soalnya di telfon dia kayak kesakitan banget."Gilang menyender ke kursi, lalu menyeruput kopi panasnya pelan. “Dia telfon kamu? Bukannya dia masih marah ya?"Zayn mendengkus. "
“Hyaaa! Kak Zayn, apa yang kamu—?!” Zayn sudah lebih dulu mengangkat tubuh Qiana ke dalam gendongannya. Membawa gadis itu bak tuan putri dengan mudah seolah tubuh gadis itu tak lebih berat dari tas kerjanya. Qiana sontak memukul-mukul punggung Zayn sambil memberontak. “Turunin! Turunin aku sekarang juga! Kamu gila ya?!” “Tenang, jangan banyak bergerak!” seru Zayn setengah kesal. “Kamu masih lemes. Kalau kamu pingsan atau jatuh, siapa yang susah?” “Gak usah sok peduli!” seru Qiana, meski cengkeramannya di bahu Zayn perlahan melemah karena tubuhnya memang masih tidak stabil. Zayn menghela napas berat, tapi ia tetap berjalan perlahan menuju kamar mandi yang jaraknya bahkan tak sampai tiga meter dari ranjang mereka. “Ini efisien,” gumamnya. “Kalau kamu jalan sendiri, bisa sejam cuma buat ke toilet. Ini paling lima menit, kamu udah bisa balik istirahat.” Qiana mendecak. Wajahnya memerah, entah karena marah atau malu. “Kamu tuh— seenaknya banget, Kak!” "Yah. Kamu tau itu kan?" Qian
"Engghhh... Shhh..." Zayn membalikkan kepala pelan ke arah Qiana begitu mendengar desah pelan dari bibir perempuan itu. Tangannya yang semula menyeka tubuh Qiana dengan handuk dingin langsung berhenti. Mata Zayn menatap lekat wajah istrinya yang mulai memucat dan berkeringat dingin. Helaian rambut Qiana menempel di dahi, dan napasnya terdengar berat—terputus-putus seolah tubuhnya sedang melawan rasa sakit yang tak terlihat. Perempuan itu menggeliat pelan, tubuhnya sedikit bergetar. Tiba-tiba saja dari sela bibirnya terdengar suara gumaman lirih, nyaris seperti bisikan... “Mama…” Zayn terpaku. Suara itu terdengar sangat rapuh. Lalu lirihnya makin jelas. “Mama... Papa… Qiana kangen… Jangan tinggalin Qia..." Zayn tercekat. Ia menaruh handuk basah itu ke sisi ranjang, duduk sedikit lebih dekat, tubuhnya condong ke arah Qiana yang masih menggeliat lemah dalam tidurnya. Tangan perempuan itu terangkat sedikit, meraba ke udara kosong seperti mencari sesuatu—atau seseorang. “Mama… aku k
Pagi itu, sinar matahari belum benar-benar menembus tirai kamar ketika Zayn membuka mata. Ia mengerjapkan pandangan sejenak, lalu menoleh ke sisi ranjang. Qiana masih tidur. Selimut menutupi tubuhnya, hanya menyisakan sebagian rambut yang menyembul di atas bantal. Zayn menatapnya beberapa detik, lalu bangkit pelan. Tanpa suara, ia melangkah ke kamar mandi, mencuci muka dan mengganti kausnya. Lalu, dengan langkah mantap namun hati-hati, ia menuju dapur. Dapur itu terasa sunyi. Tak ada aroma masakan khas Qiana, tak ada suara celetukan gadis itu yang biasanya ramai di pagi hari. Tapi Zayn tahu apa yang ingin ia lakukan. Ia membuka kulkas, mengambil beberapa bahan seadanya: telur, nasi sisa semalam, daun bawang, sedikit ayam suwir. Tangannya mulai bergerak otomatis, seolah ototnya masih mengingat betul bagaimana caranya menyenangkan Qiana lewat cara paling sederhana—memasak untuknya. Sambil menumis, pikirannya melayang ke satu momen yang kini seperti harta karun dalam ingatannya. ["
Zayn kembali ke ruangannya dengan langkah lemas. Pintu ruangan dokter itu ditutupnya pelan, dan dia langsung menjatuhkan tubuh ke kursi. Napasnya berat, seolah bukan tubuhnya yang capek, tapi pikirannya. Matanya tanpa sadar melirik ke meja. Hape-nya tergelak begitu saja di sana. Diam. Tak ada notifikasi, tak ada getar, tak ada suara khas dari satu nama yang beberapa waktu lalu selalu muncul setiap hari. Zayn meraih hape itu, membukanya dengan satu gesekan malas. Jarinya otomatis membuka aplikasi chat. Mencari satu nama yang entah kenapa selalu muncul di benaknya. "Si Berisik" Ia meringis kecil saat memberikan nama itu di kontak Qiana. Tangkup pesan terbuka. Dan dia langsung disambut oleh keheningan digital yang lebih menyayat dari ruangan sepi ini. Pesan terakhir dari Qiana dikirim beberapa minggu lalu adalah saat gadis itu bertanya dia di mana. Setelahnya, tak ada pesan lain yang masuk ke ponselnya. Hingga detik ini. Zayn menggulir ke atas. Chat lama mereka masih ada. Chat ya