“Kak Zayn…”Zayn menoleh sedikit, hanya setengah badan. “Aku tidur duluan.”Kemudian terdengar klik kecil tanda pintu kamar sudah tertutup.Qiana masih berdiri di tempat yang sama. Tatapannya kosong. Hatinya perih. Plester di pergelangan tangannya seperti berdenyut kembali.“…iya, tidur aja sendiri. Peluk aja guling sampai hamil,” gumamnya pelan. Rafa frustasi.Perlahan ia berjalan ke sudut ruang makan, lalu duduk di lantai sambil memeluk lutut.“Gak apa-apa Qia… ini emang udah takdir kamu,” bisiknya ke diri sendiri dengan suara gemetar. “Dikelilingi cowok-cowok absurd. Yang satu obsesif psikopat, yang satu… es batu.”Dia menarik napas panjang dan mulai menghitung di jari, “Vero: toxic. Kak Zayn: dingin. Dosen pembimbing skripsi: ghosting. Cowok yang nge-chat dari DM Instagram: ternyata MLM.”Ia mendongak ke langit-langit apartemen, ekspresinya kocak tapi nelangsa. “Astaga Tuhaaan, aku sadar sekarang. Aku kayaknya bukan ditakdirin buat dicintai cowok nyata. Udah paling bener jadi Wifu
“Selamat datang, Kak Zayn!” sapanya riang. Ia bersiap menerjang Zayn dengan pelukan selamat datang. Tapi—Zayn malah menyodorkan tas kecil berisi bekas wadah makanan yang tadi Qiana bawakan. “Ini, makasih ya,” ucapnya datar, lalu bergegas menuju kamar tanpa menunggu respon.Qiana yang masih memasang pose ingin memeluk sempat dibuat loading beberapa detik. Sebelum akhirnya ia sadar dan menerima tas itu dengan agak linglung."Aku mau mandi." Tanpa melihat ke arah Qiana, Zayn bergegas melangkah masuk ke kamarnya. Dan langsung menutup pintunya tanpa sempat memberikan Qiana waktu untuk bicara.Qiana masih berdiri di ruang tengah, memandangi pintu yang tertutup rapat. Senyumnya perlahan-lahan memudar. Kotak bekal itu masih ia genggam, dan dalam diam, ia menatapnya sambil bergumam lirih:“Kamu suka makanannya gak sih…?” Suaranya nyaris seperti bisikan.Ia tahu Zayn bilang ‘terima kasih’. Tapi tak ada kalimat lain. Tak ada pujian. Tak ada komentar soal rasa masakannya. Tak ada… sapaan hangat
“Sakit, Vero! Lepasin!!” Qiana mencoba menarik tangannya dengan sekuat tenaga, tapi cengkeraman Vero justru makin erat. Matanya liar, nafasnya tak beraturan. Wajahnya penuh obsesi yang menakutkan.“Kamu milikku, Qiana! Hubungan kita gak pernah selesai! Aku gak pernah nyetujuin kita putus, dan aku GAK AKAN BIARIN kamu bahagia sama laki-laki lain!”Qiana menatap pria itu dengan sorot tak percaya. “Kamu gila!”Vero mendengus. “Gak. Aku cuma... gak bisa hidup tanpa kamu.”“Dengar ya!” suara Qiana bergetar, tapi sorot matanya tajam dan penuh amarah. “Hubungan kita udah mati sejak kamu tidur sama Maya! Sejak kamu ngerusak semua yang pernah aku percaya!”“Qiana—”“Kalau kamu pikir aku masih punya perasaan buat kamu, kamu salah besar. Aku muak! MUAK BANGET SAMA KAMU!" bentaknya, mencoba melepaskan tangannya sekali lagi.Tapi Vero justru mendekat. Terlalu dekat. Napasnya hampir menyentuh wajah Qiana. “Kalau kamu gak bisa sama aku, kamu juga gak bisa sama pria lain!"Qiana membelalak. “Vero—”“
“Kalau ternyata kamu yang duluan leleh sebelum Qiana nyerah, terus kamu sendiri yang jatuh cinta duluan, gimana?”Zayn terdiam.“Gimana kalau Qiana udah keburu capek, udah nyerah... eh kamu malah baru sadar kamu butuh dia?”Zayn menatap kosong ke arah meja. Rahangnya mengeras, dan jemarinya menggenggam pulpen yang sedari tadi belum digunakan.Gilang melanjutkan, suaranya pelan namun menohok. “Orang kayak Qiana itu gak sering muncul dalam hidup. Dan kadang... ketika mereka pergi, mereka gak pernah mau balik lagi.”Zayn memejamkan mata. Hening menguasai ruangan selama beberapa detik. "Aku yakin sebelum itu terjadi Qiana yang akan lebih dulu menyerah."Gilang berdiri pelan. Ia menepuk bahu sahabatnya, lalu berkata, “Tapi kamu bukan cenayang yang bisa menebak apa yang akan terjadi ke depannya. Dan kamu juga gak bisa melawan Tuhan, yang paling bisa membolak-balikkan hati manusia."Tanpa menunggu jawaban, Gilang berbalik dan keluar dari ruangan, meninggalkan Zayn dengan pikirannya sendiri.
Langkah Zayn terlihat begitu tegap saat ia menyusuri koridor rumah sakit pagi itu. Banyak hal yang sudah ia rencana hari ini, termasuk mengisi jurnal tugas. Beberapa rencana sudah tersusun rapi di otaknya dan siap untuk ia catat, hingga tiba-tiba suara akrab menyapanya.“Eh, Zayn! Selamat pagi!” seru Gilang sambil menepuk pelan bahu sahabatnya itu.Zayn mengerjap, seolah baru tersadar dari lamunannya. Ia melihat ke arah rekannya. “Hm."“Baru dateng? Yuk, ke kantin! Aku laper banget. Tadi pagi buru-buru berangkat sampe lupa sarapan.”Zayn berhenti melangkah. Matanya menatap Gilang beberapa detik tanpa berkata apa-apa. Lalu tanpa banyak pikir, ia meraih kotak bekal yang disiapkan Qiana dari dalam tas kerjanya.“Nih,” katanya datar, menyodorkan kotak bekal itu ke Gilang.Gilang mengerutkan kening. “Apaan nih?”“Makan aja!" Suara Zayn terdengar hambar, seperti tak ingin membahas lebih jauh.Gilang memandang Zayn, jelas bingung. “Ini bekal buatan Qiana? Kenapa malah kamu kasih ke orang lai
"Unghhh..."Qiana tidak ingat sudah berapa lama ia tertidur. Tapi ketika ia bangun, dia sudah pindah ke sofa dan ada jas Zayn yang menutupi bagian depan tubuhnya.Ia bangkit dengan ekspresi bingung yang menggemaskan. Matanya mengedar ke sekitar guna mencari tau di mana Zayn berada.Tapi nihil. Ruangan itu sepi."Kak Zayn mana? Dia masih kerja ya?" gumam Qiana sambil mencari-cari ponselnya. Ia penasaran jam berapa sekarang."Hah? Jam 8 malam?!" Dia makin syok. "Ternyata aku tidur selama itu." Perempuan berkuncir satu itu bangun dari sofa dan berjalan ke arah meja kerja sang suami. Ia merapikan tugas-tugasnya sebelum teringat akan sesuatu.Makanan yang dia beli tadi."Donatnya gak ada? Apa udah di makan kak Zayn ya?" Ia tampak mencari-cari, hanya ada satu cup cake di dalam kotak. "Bagus deh kalau kak Zayn suka. Aku beli kan emang buat dia.""Tapi agak syok dikit karena Kak Zayn makan donatnya banyak juga."Ia merapikan rambutnya dan berniat untuk keluar mencari suaminya. Dia mau pamit