Ruangan rawat itu hening. Hanya suara detak mesin monitor yang mengiringi tarikan napas Qiana yang masih lemah.
Zayn duduk di sisi ranjang, wajahnya keras, nyaris tak berkedip menatap Qiana. Rahangnya mengeras, sorot matanya gelap—seakan marah, tapi bukan pada Qiana. Marah pada dirinya sendiri.Tiba-tiba jemari Qiana bergerak pelan. Kelopak matanya bergetar, membuka perlahan meski pandangannya masih kabur. Yang pertama kali ia lihat adalah Zayn… dengan ekspresi penuh tekanan, seperti menahan badai di dalam dadanya.“K-Kak Zayn…” suaranya parau.Sekejap, Zayn menegakkan tubuh. “Qia?” Suaranya dalam, penuh kecemasan. Tangannya langsung menggenggam erat jemari istrinya.Qiana menelan ludah susah payah. Tatapan matanya berusaha mencari wajah Zayn lebih jelas. Begitu ia lihat ekspresi keras yang terukir di sana, hatinya langsung tercekat.Ia merasa bersalah. Sangat bersalah.Kalau saja ia lebih hati-hati, kalau saja ia nggak“Kak?” bisiknya, nada suaranya penuh cemas. "Apa ada masalah di RS? Kamu... baik-baik saja kan?"“Plis Qia! Biarin aku peluk kamu sebentar aja!” lirih Zayn, suaranya berat."Tapi kamu bikin aku khawatir.""Aku cuma mau peluk kamu aja. Gak lebih."Qiana mengatupkan bibirnya. Tak lagi bertanya apa-apa. Ia hanya mengangkat tangan, mengusap pelan punggung suaminya. Meski hatinya diliputi tanda tanya.Pelukan itu bertahan lama. Qiana bisa merasakan betapa tegangnya otot-otot Zayn, seolah pria itu sedang memeluknya bukan hanya karena rindu, melainkan karena takut kehilangan sesuatu.“Kak Zayn…” panggil Qiana lagi, kali ini lebih lembut. Namun yang didapatinya hanya keheningan.Zayn menutup mata rapat-rapat, keningnya bertumpu di bahu istrinya. Rahang kokohnya mengeras, seakan sedang menahan kata-kata yang ingin pecah dari mulutnya. Tapi yang keluar hanya satu tarikan napas berat yang membuat dada Qiana ikut bergetar.Qiana mengusap rambut suaminya dengan pelan, gerakannya penuh kesabaran. I
Malam itu, selepas dinas, Zayn tidak langsung pulang. Mobilnya justru melaju tanpa arah jelas, hingga akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan mewah di tengah kota. Papan nama kayu dengan cat biru kusam menggantung di pintu gerbang—kos yang disebut-sebut sebagai tempat tinggal Diandra.Zayn duduk beberapa saat di dalam mobil, menatap bangunan itu dengan napas berat. Ada dorongan kuat untuk pergi saja, tapi rasa ingin tahu menahannya. Ia butuh jawaban, sekecil apa pun petunjuk yang bisa menguak kebohongan yang menjeratnya.Dengan langkah berat, ia berjalan masuk ke halaman kos. Suasana tempat itu cukup sepi malam ini.“Lho? Kamu kan temennya Diandra.” Suara serak seorang pria tua membuat Zayn menoleh. Seorang wanita berusia sekitar dua puluhan, yang baru saja turun dari lantai dua, menyapanya dengan wajah bingung bercampur kaget.Zayn sempat terdiam. “Kamu... penghuni kos ini?"Gadis itu mengangguk mantap. “Masa kamu lupa sih? Kita kan pernah papasan beberapa bulan lalu, pas kamu ke
Di meja kerjanya, Zayn menatap layar monitor berisi data medis pasien. Namun, pandangannya kosong. Ia sudah lebih dari setengah jam menatap hal yang sama, tapi tidak ada satu pun data yang benar-benar masuk ke kepalanya. Tangannya menggenggam mouse, tapi tidak bergerak. Pikiran Zayn melayang jauh ke tempat lain.Bayangan foto yang ditunjukkan Diandra muncul lagi. Saat ia topless sambil memeluk Diandra.Suara Diandra yang lantang, terus berputar seperti kaset rusak di kepalanya."Aku tidak mungkin melakukan itu semua." Zayn berbisik lagi, entah sudah berapa kali sejak tadi pagi. Kepalanya pusing, pikirannya kalut.Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu.Zayn tersentak. “Masuk.”Pintu terbuka, dan Gilang melangkah masuk dengan wajah serius. Dokter muda itu menghampiri Zayn tanpa banyak basa-basi.“Bro,” sapa Gilang, menaruh berkas di meja. “Kamu kenapa di sini? IGD lagi banyak pasien."Zayn terkesiap. Ia lalu memijat ujung hidungnya dan berkata, "Maaf. Ayo kita ke sana sekarang!"Gi
“Kenapa kamu gak percaya sama aku, Zayn… kenapa?”Saat pertanyaan itu muncul dari bibir Diandra, Zayn otomatis berhenti berjalan. Ia menoleh ke arah mantan kekasihnya tersebut sembari berkata, "Percaya? Kenapa aku harus percaya sama kamu? Sedangkan aku yakin 100 persen kalau di antara kita memang tidak ada apa-apa hari itu?"Dengan tangan gemetae Diandra mengeluarkan ponselnya. Ia membuka galeri dan menunjukkan satu gambar. "Lalu ini apa?" tanya Diandra sambil menunjukkan satu foto di depan muka Zayn.Foto saat Zayn tidur dalam posisi topless sambil memeluk Diandra yang dibalut selimut tebal.Zayn membeku. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Ia sama sekali tak ingat bagaimana foto itu bisa diambil."Kamu gak inget ama kejadian ini kan? Kejadian pas kamu mabuk karena frustasi sama pernikahan kamu dan Qiana. Saat akhirnya kamu gak sadar sudah melakukan itu sama aku sambil bilang berapa cintanya kamu sama aku. Kamu lupa itu, Zayn!" bentak Diandra balik. Ia kembali menemukan nyalinya yang n
Sementara itu, di RS Bakti Nusa.Diandra berjalan cepat menuju ruang perawat, wajahnya pucat pasi. Sejak pagi tadi ia merasa mual berkali-kali, perutnya melilit, bahkan baru saja ia sempat muntah di kamar mandi. Rambutnya berantakan, bibirnya nyaris tanpa warna.Salah satu suster yang bertugas dengan Diandra tampak khawatir pada perempuan 27 tahun tersebut.. “Mba Diandra? Muka kamu pucat banget. Kamu sakit?"Diandra mengusap bibirnya dengan tisu, suaranya serak. “Aku gak apa. Cuman agak mual aja. Kepala juga pusing.”Suster itu menatapnya khawatir. “Kamu masuk angin?"Rahang Diandra menegang seketika, tangannya refleks menekan perutnya yang masih datar. Senyumnya kaku. “Iya. Kayaknya aku masuk angin."Suster itu menatap Diandra lama, lalu menghela napas kecil. “Kalau gitu, Mba Diandra istirahat aja dulu! Jangan maksain diri! Nanti malah makin drop."Diandra mengangguk cepat, tersenyum tipis untuk menutupi rasa gelisahnya. “Iya. Makasih.”Begitu suster itu kembali sibuk, Diandra melang
Pagi itu, cahaya matahari masuk lewat celah gorden tidur. Qiana bergeliat pelan, kelopak matanya membuka sedikit demi sedikit. Yang pertama ia rasakan adalah tubuhnya terasa lebih ringan, meski masih ada sedikit pegal di beberapa bagian. Senyum tipis terukir di bibirnya saat ingat kejadian semalam bersama Zayn.Ia menoleh ke sisi ranjang, tapi Zayn sudah tidak ada di sampingnya. Qiana mengerjapkan mata, lalu duduk perlahan sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.“Kak Zayn mana?”Tiba-tiba, aroma gurih dan harum yang familiar menyusup ke hidungnya. Seperti wangi tumisan bawang putih dan roti panggang. Qiana mengernyit bingung.“Hmm? Baunya enak. Apa Kak Zayn yang masak?”Rasa penasaran membuatnya turun dari ranjang. Dengan langkah perlahan, ia membuka pintu kamar. Begitu pintu terbuka, pemandangan yang ia lihat membuat bibirnya otomatis tersenyum.Zayn berdiri di pantry. Ia menggulung lengan kemejanya sampai siku, wajahnya serius tapi tetap tenang. Di depannya ada wajan kec