“Ka—Kak Zayn…” Qiana nyaris kehilangan suara. Tubuhnya terasa ringan, tapi sekaligus hangat terbakar.Ketika akhirnya bibir mereka bertemu lagi, kali ini bukan sekadar ciuman. Itu adalah pertemuan yang dalam, penuh luapan emosi, cinta, dan hasrat yang tak terbendung. Lidah mereka saling menemukan, saling mengeja nama cinta yang tak terucapkan.Zayn merapatkan tubuhnya lebih dekat, hingga tak ada lagi jarak di antara mereka. Dekapan itu mengikat, membuat Qiana tak punya pilihan selain menyerahkan seluruh dirinya.Pelukan itu makin erat, seolah tak memberi ruang bagi keduanya untuk bernapas selain dalam kehangatan satu sama lain. Zayn mencumbu Qiana penuh kelembutan, tapi juga dengan rasa yang dalam, seakan ingin menegaskan betapa ia tak akan pernah melepaskannya.Qiana terbuai, tubuhnya bergetar setiap kali bibir Zayn menelusuri kulitnya. Ia membalas dengan pelukan yang tak kalah erat, menyerahkan dirinya sepenuhnya pada rasa aman yang hanya bisa ia temukan dalam dekapan suaminya.Mala
"Unghh?" Malam makin larut. Tapi Qiana justru terbangun karena merasa jika sisi ranjang di sebelahnya lebih ringan daripada saat ia akan tidur tadi.Dan benar saja. Ketika ia benar-benar membuka mata, perempuan dengan gaun tidur warna maroon itu tidak mendapati kehadiran sang suami di sebelahnya. "Kak Zayn?"Ia mengendarkan pandangann ke sekitar. Mencari keberadaan sang suami. Sampai akhirnya pandangan matanya tertuju ke satu tempat. BALKON."Kak Zayn?" Dengan suara yang terdengar serak, ia mendekati pria itu dan ikut berdiri di sampingnya.Zayn lumayan kaget saat melihat perempuan itu tiba-tiba ada di dekatnya. "Kamu kenapa bangun?""Aku yang harusnya nanya gitu ke kamu, Kak? Kenapa kamu malah ngelamun di sini?" tanya Qiana sambil menyandarkan kepalanya di lengan kokoh sang suami."Aku gak bisa tidur," balas Zayn. Ia menyingkirkan poni yang menutupi kening istrinya."Kepikiran Diandra ya?" tanya Qiana. Pandangannya terangkat sedikit ke arah Zayn.Dokter tampan itu mengangguk. "Hm.""
ntu kayu berwarna cokelat tua itu terasa begitu berat ketika Diandra mendorongnya perlahan. Degup jantungnya seperti palu godam, berdentum kencang di telinganya. Tangannya yang masih lemas bergetar hebat, namun ia berusaha tenang.Toh ini bukan kali pertama ia menghadapi Pak Atmaja. Beberapa bulan lalu ia juga pernah bertemu dengan pria paruh baya tersebut sebelum Zayn menikah dengan Qiana. Tepat saat Pak Atmaja memintanya menjauhi Zayn.Begitu pintu terbuka penuh, aroma khas ruangan kerja bercampur dengan wangi kopi hitam menyambutnya. Di dalam, duduklah Pak Atmaja di balik meja besar dari kayu jati. Bahunya tegap, wajahnya serius, dan sorot matanya dingin.“Masuk!” titah Pak Atmaja datar, tanpa senyum, bahkan tanpa menoleh terlalu lama. Ia benar-benar mirip Zayn saat mode begini."Permisi Pak.""Duduk!"Diandra menelan ludah. Ia melangkah pelan, lalu duduk di kursi yang sudah disiapkan di depan meja. Tubuhnya kaku, kedua tangannya saling meremas di pangkuan.Keheningan mencengkeram
“Bagaimana Papa bisa percaya begitu saja? Jelas-jelas ini ada buktinya."Qiana buru-buru maju, berlutut di sisi kursi mertuanya. “Pa...” suaranya lirih, penuh ketulusan. “Aku tahu semua ini terdengar buruk, tapi aku percaya pada Kak Zayn. Kami sudah memikirkan jalan keluarnya.”Pak Atmaja menoleh, sorotnya tetap keras. “Jalan keluar? Apa maksud kamu?”“Kami akan lakukan tes DNA, Pa.” Qiana menatap mata mertuanya dengan berani meski jantungnya berdebar kencang. “Kalau memang bayi yang dikandung Diandra bukan anak Kak Zayn, kebenarannya akan terbukti. Semua ini akan jelas.”Pak Atmaja terdiam sejenak. Tangannya perlahan terlepas dari kepalan, meski wajahnya tetap kaku. Ia menoleh lagi pada Zayn. “Kamu sungguh-sungguh dengan keputusan itu?”Zayn mengangguk mantap, meski ada bayangan lelah di wajahnya. “Tentu saja, Pa. Karena aku tahu, aku tidak pernah melakukan hal yang dituduhkan. Tes DNA adalah cara satu-satunya untuk membungkam semua fitnah ini.”Hening menyelimuti ruangan. Jam dindin
Lorong rumah sakit hari itu masih ramai dengan langkah cepat para perawat dan beberapa pengunjung. Diandra berjalan sempoyongan dengan langkah kacau. Seragam suster yang ia kenakan terlihat kusut, matanya sembab, pipinya masih basah karena air mata yang tak henti mengalir.Dadanya naik-turun cepat. Setiap helaan napas terdengar berat, seakan beban yang ia pikul terlalu besar.‘Gimana kalau Zayn gak mau tanggung jawab? Apa dia akan buang aku dan anak ini gitu aja? Lalu, gimana nasib aku dan anak ini nantinya?' Suara di kepalanya semakin riuh. ‘Dia punya kuasa, punya uang, semua orang pasti lebih percaya sama dia daripada aku? Kalau aku beneran ditinggalin, aku bisa hancur.’Tangannya meraih dinding, mencoba menopang tubuhnya. Tapi pandangannya berkunang-kunang. Rasa mual naik ke tenggorokan, kepalanya terasa berputar.“A-aku…” bibirnya bergetar.Beberapa detik kemudian, tubuhnya ambruk begitu saja ke lantai.“Mbakk! Ya ampun!” teriak salah seorang pengunjung yang melihatnya.Spontan be
Diandra menyeka air matanya kasar, lalu menatap Qiana penuh tantangan. “Tapi mau gimana kamu belain dia, kamu gak bisa nyangkal ini.” Ia mengangkat foto berisi hasil USG, menggoyangkannya tepat di depan wajah Qiana. “Ini bukti kalau apa yang aku katakan itu benar."Qiana menahan napas, jantungnya berdetak lebih cepat. Jemarinya gemetar tapi ia mencoba tetap berdiri tegak.“Bukti?” Qiana mengulang lirih, lalu menatap lurus ke arah Diandra. “Itu hanya kertas, Diandra. Tapi kamu gak bisa tunjukkin bukti siapa ayah anak itu.”Senyum miring muncul di bibir Diandra. “Kamu gak usah sok kuat. Dalam hati kamu pasti ketakutan kan? Takut suami kamu ternyata beneran jadi ayah dari anakku.”Ucapan itu menusuk Qiana. Untuk sepersekian detik, hatinya seperti dihantam ribuan belati. Ia memang takut. Sangat takut. Namun, ia mendongak dan menatap balik, tak ingin Diandra melihat kelemahannya.“Aku lebih percaya sama suamiku daripada sama tuduhan kamu,” jawab Qiana lirih, namun tegas.“Percaya?” Diandra