Mag-log inDiandra terdiam sepersekian detik, tak menyangka Qiana berani membalikkan keadaan. Namun tak lama kemudian, wajahnya memerah oleh amarah.
Cengkeraman Diandra semakin keras, jarum infus bergeser makin dalam hingga darah merembes keluar, membasahi perban tipis dan menetes ke sprei putih.“Aku bakal buktiin sama kamu, Qiana,” desis Diandra penuh kebencian, suaranya bergetar menahan emosi. “Kalau aku benar-benar mengandung, Zayn. Anak ini bakal jadi bukti kalau aku dan dia punya ikatan seumur hidup. Dan kamu? Kamu gak akan bisa melawan itu!”Qiana menahan sakit, wajahnya semakin pucat, keringat dingin bercucuran. Tapi mata itu—mata yang biasanya teduh—kali ini dipenuhi keberanian. Ia menatap lurus ke arah Diandra, meski bibirnya bergetar menahan perih.“Silakan buktikan!” balas Qiana lirih tapi tegas. “Aku gak takut. Justru aku pengen lihat sendiri apa bener anak itu darah daging Kak Zayn, atau cuma kebohongan yang kamu karang demi bikin aku down.”Karena sinyal di dalam ruangan buruk jadi Diandra harus keluar untuk mengangkat telepon itu. Rupanya itu hanyalah telepon dari salah satu keluarganya yang meminta tolong untuk membawakan obat karena persediaan obatnya sudah habis. Diandra kira itu telepon dari siapa rupanya hanyalah satu keluarganya saja. Diandra mengakhiri telepon itu dengan cepat dengan mengiyakan permintaan keluarganya itu. Diandra pun kembali untuk membawa obat itu ke ruang rawat Qiana. Tak lupa ia mengenakan masker supaya tidak dikenali oleh Rheana. "Saatnya beraksi!" ucapnya mantap. Setelah beberapa menit berjalan, kini iandra sudah ada diruangan Qiana. Dengan tenang Diandra terus berjalan masuk ke ruangan Qiana. "Selamat malam Bu Qiana! Bagaimana keadaan anda?" sapa Diandra basa-basi. Qiana menjawab dengan ramah, "Syukurlah keadaan saya semakin membaik, Suster!" "Baguslah, saya ikut senang! Waktunya ganti infus dan minum obat ya, Bu!" jawab Diandra berusaha ramah. Qiana mengangguk menuruti perkata
Diandra ingin mencari tahu mengenai riwayat penyakit Qiana jadi dia pergi ke ruang rekam medis. Namun tidak semudah itu pergi ke ruang rekam medis seorang diri. Jadi Diandra meminta bantuan rekan kerjanya. Kebetulan rekan kerja Diandra ada di ruang rekam medis jadi itu sangat membantu dirinya. Diandra menghampiri rekannya yang tengah membereskan beberapa dokumen itu. Lalu Diandra menepuk pundak rekan kerjanya yang membelakangi dirinya. "Sis! Aku mau minta tolong boleh nggak?" Rekan kerjanya balik badan sehingga kini mereka saling berhadapan. "Eh, Diandra? Mau minta tolong apa?" Diandra menjelaskan jika ia ingin tahu riwayat penyakit Qiana. Tentu saja rekan kerjanya itu bertanya apa alasan Diandra melakukan itu. Dengan mudah Diandra mengelabui rekan kerjanya itu. Diandra berdalih jika ia mendapatkan jadwal kontrol di ruangan Qiana untuk menggantikan salah satu perawat yang di tengah dipindahtugaskan ke rumah sakit lain sebagai bala bantuan. Tentu saja alasan Diandra sangat
Qiana setuju dengan menganggukkan kepalanya. Akhirnya mereka berdua berpelukan. Karena Qiana sudah bisa berpikir jernih, jadi Rheana rasa sudah waktunya untuk mereka kembali. "Kita balik, yuk, Kak! Takutnya nanti ada jadwal pemeriksaan Kak Qiana yang terlewat," ajak Rheana. "Iya, aku juga mau istirahat, kok! Terima kasih ya sudah mengajak aku keluar!" jawab Qiana yang senang. Rheana mendorong kursi roda Qiana hingga tak terasa sudah sampai di koridor Rumah Sakit. Di sepanjang perjalanan, Rheana bercanda dan tertawa bersama dengan Qiana. Sialnya di tengah koridor, mereka malah bertemu Diandra yang rupanya sedang tugas di Rumah Sakit itu. Rheana sebenarnya malas tapi ia berhenti dan tetap menyapa Diandra. "Halo!" Rheana menyapa dengan ketus. Diandra menaikkan bibir kanan atasnya lalu menjawab, "Kalau males ya enggak usah nyapa daripada masang muka enggak enak dilihat kaya begitu!" Rheana menyesal karena sudah menyapa Diandra. Memang paling benar pura-pura tidak melihat saja p
Rheana mengeluarkan ponselnya lalu berpura-pura untuk menghubungi seseorang. Ternyata ia pura-pura menghubungi Zayn untuk mengelabui dokter itu. "Halo! Kak Zayn! Aku ingin melaporkan seorang Dokter ke kamu!" Rheana sengaja mengeraskan volume suaranya. Rheana yang melirik ke arah dokter itu melihat sang dokter tersentak seperti terkejut. Benar saja, setelah mendengar nama Zayn disebut, dokter itu langsung memanggil Rheana. "Nona, bisa kita bicara sebentar?" tanya dokter itu yang kelihatan gugup. Rheana tersenyum lalu pura-pura mematikan ponselnya. Dokter itu seketika langsung memberi izin dirinya untuk membawa Qiana keluar dari ruangannya. "Bukannya tadi kata Dokter tidak boleh, ya?" Rheana sengaja menggoda dokter itu. Terlihat dokter itu sedikit gelagapan menjawab pertanyaan Rheana. "Saya baru ingat kalau rekan saya mengatakan jika Nyonya Qiana ingin jalan-jalan sudah diberikan izin! Maaf
Rheana terlihat bersemangat menanyakan hasil pemeriksaannya Qiana. Tapi Qiana sendiri belum tahu bagaimana hasil pemeriksaannya. Jadi dia berbicara apa adanya pada Rheana. "Entahlah, aku juga tidak tahu karena Zayn yang membawa hasil pemeriksaannya." Qiana menggelengkan kepalanya. Rheana berkacak pinggang dan wajahnya sedikit ditekuk karena kesal pada Zayn. "Bagaimana bisa Kak Zayn merahasiakan hal seperti itu dari Kak Qiana?!" Benar, harusnya Zayn jujur pada Qiana apapun hasilnya, pikir Qiana. Hal itu tiba-tiba membuat Qiana menjadi overthinking. "Bagaimana jika hasilnya jelek? Bagaimana jika penyakitku parah? Bagaimana jika aku tidak bisa disembuhkan? Bagaimana jika aku akan hidup menjadi orang cacat dan terus menyusahkan Zayn dan kalian? Bagaimana jika Zayn merahasiakan hasil pemeriksaannya karena aku memang sebentar lagi akan mati?" Qiana malah jadi ngelantur sampai ke mana-mana. Bahkan sampai berpikir jika ia tidak akan hidup
Rupanya itu adalah telepon dari rumah sakit tempat Zayn bekerja. Zayn langsung merasa malas dan tidak enak karena dugaannya pasti benar jika ia mengangkat panggilan telepon itu. Zayn memutuskan untuk tidak mengangkat telepon itu dan memutuskan untuk memasukkan ponselnya ke dalam celananya lagi. Qiana yang tadi bertanya namun tak mendapat jawaban kembali mempertanyakan hal yang sama. Zayn pun menjawab jika itu adalah panggilan dari rumah sakit. Qiana marah karena Zayn malah mengabaikan telepon dari rumah sakit. Tentu saja Qiana langsung memberikan ceramah. "Bagaimana bisa kamu mengabaikan telepon dari rumah sakit? Bagaimana jika itu telepon yang penting?" omelnya. "Aku juga sudah menduga jika aku pasti dipanggil ke sana. Tapi aku tidak mau meninggalkanmu di saat seperti ini! Dokter lain kan ada juga!" jawab Zayn yang membantah layaknya anak kecil. Qiana merasa gemas karena ada juga saat-saat di mana Zayn bertingkah seperti itu. Qiana langsung mencubit kedua pipi Zayn. Qia







