Di kamar Rumah Sakit Medika, Annisa duduk termangu. Keputusannya sudah bulat: pergi sejauh mungkin. Saat ia sedang memikirkan langkah selanjutnya, pintu kamarnya diketuk dengan kasar lalu terbuka. Bibi Nuri masuk dengan wajah sembap dan mata merah, napasnya terengah-engah.
"NON!" Bi Nuri langsung menghambur ke sisi tempat tidur, menggenggam tangan Annisa sambil terisak. "Kenapa bisa sampai di rumah sakit? Non sakit apa? Jangan bikin Bibi takut..."
Melihat pengasuhnya yang tulus khawatir, Annisa menepuk punggungnya dengan lembut. "Bibi, tenang. Aku nggak apa-apa."
Setelah berhasil menenangkan Bibi Nuri, Annisa menatap lurus ke mata pengasuhnya itu. Tidak ada waktu untuk basa-basi.
"Bi, aku dan Baskara cerai," ucapnya lugas.
Wajah Nuri langsung pucat pasi. "APA?! Cerai?!"
Sebelum Nuri sempat panik lebih jauh, Annisa menambahkan, "Dan aku hamil."
Mata Nuri membelalak. Mulutnya membuka dan menutup tanpa suara, rasa kaget, bahagia, dan bingung bercampur aduk. "H-hamil? Kalau begitu kenapa cerai, Non? Harusnya kan..."
"Dia menghamili perempuan lain, Bi," potong Annisa, suaranya dingin menahan sakit.
Amarah seketika menyala di mata Nuri. "Beraninya dia! Pria macam apa itu?!"
"Makanya, ini satu-satunya jalan," kata Annisa, suaranya kini mantap. "Aku mau besarin anak ini sendiri, jauh dari dia. Aku cuma butuh bantuan Bibi."
"Tentu saja Bibi bantu!" sahut Nuri cepat. "Ke mana pun Non pergi, Bibi ikut."
Annisa merasa lega luar biasa. "Makasih, Bi. Aku mau kita pergi dari negara ini. Kita ke Swedia."
Beberapa jam kemudian, dengan rencana yang matang dan sekutu di sisinya, Annisa meninggalkan rumah sakit. Tujuannya kini jelas: rumah megah yang pernah menjadi sangkar emasnya, untuk sebuah ronde terakhir.
Di depan pintu, Bibi Nuri yang sudah tiba lebih dulu menyambutnya dengan wajah cemas. "Non, ada beliau di dalam," bisik Nuri.
"Si Ratu Ular?" tebak Annisa santai. Nuri hanya mengangguk pasrah. "Bibi beresin saja barang-barang ke mobil. Aku yang urus ini."
Setelah Nuri pergi, Annisa menarik napas dalam-dalam. Wajahnya yang tadi ramah kini berubah dingin. Ia melangkah mantap ke ruang tamu, tempat Jessica Aditama, ibu mertuanya, duduk angkuh seperti biasa.
Annisa melangkah mantap ke ruang tamu, tempat Jessica Aditama, ibu mertuanya, duduk angkuh seperti biasa, seolah sedang menunggunya.
"Ma," sapa Annisa, memasang senyum tipis.
Jessica menatapnya dari atas ke bawah dengan pandangan menghina. "Ngapain kamu masih di sini?" desisnya tajam. "Kupikir kamu sudah punya malu untuk angkat kaki dari rumah ini."
Annisa membalasnya dengan senyum santai, lalu duduk di seberangnya seolah tak terpengaruh. "Oh, jadi Mama udah tahu?"
"Tentu saja aku tahu," jawab Jessica dengan senyum miring yang membuat Annisa muak. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan. "Aku yang suruh Baskara ceraikan kamu."
Pengakuan itu, meski mengejutkan, terasa seperti potongan puzzle terakhir yang melengkapi gambaran besar. Annisa bersandar di sofa, merasa lebih rileks karena tidak perlu lagi berpura-pura.
"Sudah kuduga," jawab Annisa enteng.
Melihat ketenangan Annisa, Jessica justru menjadi kesal. Ia pikir Annisa akan menangis atau membuat keributan. "Kamu kelihatan puas sekali dengan uang kompensasi dari Baskara," cibir Jessica. "Asal kamu ingat perjanjiannya. Kalau sampai kamu buka mulut ke media soal pernikahan ini, perusahaan keluargamu yang akan menanggung akibatnya."
"Tenang saja," kata Annisa, "Saya juga tidak pernah ingin ada yang tahu tentang pernikahan ini." Ia menatap Jessica lurus-lurus. "Ada lagi? Saya tidak punya banyak waktu."
Sikap Annisa yang tak terduga membuat Jessica semakin geram. "Kalau begitu cepat pergi dari sini! Kamu bukan lagi menantuku, tidak pantas tinggal di rumah ini!"
"Soal itu," Annisa tersenyum penuh kemenangan. "Sayangnya Mama tidak bisa mengusir saya. Baskara sudah memberikan rumah ini untuk saya."
Wajah Jessica langsung pucat pasi. Ia membuka mulutnya, tapi tak ada suara yang keluar.
Annisa berdiri, senyumnya semakin lebar melihat ekspresi ibu mertuanya yang seperti akan meledak. "Tapi tenang saja, Ma. Saya juga tidak sudi tinggal di sini lama-lama. Udaranya terlalu pengap."
Ia berbalik dan berjalan menuju pintu. "Saya permisi dulu. Mama kan sudah tahu jalan keluarnya sendiri," katanya tanpa menoleh lagi, meninggalkan Jessica yang gemetar menahan amarah.
Alan mengikuti Baskara dari belakang dengan senyum lega. Setidaknya tuannya tidak membatalkan makan malam kali ini.Saat Baskara memasuki ruang tamu, Jessica adalah yang pertama kali menyadarinya. Ia langsung berdiri dan menghampirinya dengan senyum lebar."Anakku, akhirnya kamu datang juga. Ya ampun, kamu makin tampan saja... sini, sini... peluk Mama. Mama kangen sekali, Baskara.""Ma," sapa Baskara, menerima pelukan ibunya dengan kaku.Jessica melepaskan pelukannya. "Kenapa nggak langsung temui kami? Kamu kan sudah tahu kami pulang liburan?""Aku sibuk di kantor, Ma. Nggak ada waktu luang.""Sayang, tolonglah... luangkan sedikit waktu buat dirimu sendiri. Nanti kamu stres dan kecapekanó""Cukup, Jessica!" suara berat dan berwibawa dari belakang membuat Jessica berhenti bicara. William Aditama, suaminya, menatap mereka. Ia tersenyum pada putranya. "Baskara, sini duduk.""Ayahó"Sebelum Baskara sempat bergabung dengan ayah dan kakeknya, ibunya menahan lengannya. "Nak, Mama perlu bicar
Baskara, dengan ekspresi datar, menjawab, "Baiklah. Tapi tolong janji kamu akan menghubungiku saat tiba di rumah...""Hmm... Kalau kamu memaksa, aku akan—" Annisa melambaikan tangannya saat ia menekan pedal gas, meninggalkan restoran .Di kaca spion, Annisa melihat Baskara masih berdiri di sana, tatapan khawatirnya terpaku pada mobilnya yang menjauh.Hemff..!"Andai saja kamu memperlakukanku sebaik ini saat kita menikah, Baskara Aditama... Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Tapi, kamu sudah terlambat sekarang..."Ia hanya bisa tersenyum kecut pada kata-katanya sendiri.–Hidden Paradise PalaceSaat Annisa memarkir mobilnya, ia terkejut melihat Dax dan Bibi Nuri sudah menunggunya di depan pintu. Terpesona oleh kelucuan putranya, ia langsung lupa untuk mengirim pesan pada pria yang kini hanya bisa menatap ponselnya dengan cemas.Merasa kecewa karena Annisa tidak menelepon atau mengirim pesan, Baskara naik ke lantai dua dengan ekspresi muram, berniat istirahat sebelum makan malam.Baru
Ucapan Annisa terpotong oleh tawa Baskara yang tiba-tiba menggema di ruangan."Hahaha, aku tahu..."'Kenapa dia tertawa!?' Annisa bingung. 'Apa aku baru saja mengatakan sesuatu yang bisa dia pelintir... lagi!?'"Aku tahu... kamu cemburu sama dia! Oh, Nisa... kan sudah kubilang aku nggak punya hubungan apa-apa sama perempuan itu. Harusnya kamu percaya sama aku."Annisa terdiam, tak bisa berkata-kata."Baskara, selamat tinggal untuk imajinasi liarmu!" katanya kesal. Melihat Baskara hendak bicara, ia langsung menyela, "—Aku nggak ngomongin soal itu. Aku cuma mau kasih tahu, aku berencana menuntut dia!"Annisa akan memberi pelajaran pada Laura Kiels sebelum ia menjadi selebriti papan atas. Beraninya dia main-main dengan Quantum Capital!?"Kamu mau menuntut Laura Kiels?" Meskipun Baskara tidak punya hubungan dengan Laura, sebagai seorang pebisnis, ia terkejut mendengar ucapan Annisa.Bagi agensi hiburan yang bahkan tidak masuk lima besar di negara ini, kehilangan Laura Kiels bisa menjamin
Baskara, dengan ekspresi datar, menjawab, "Baiklah. Tapi tolong janji kamu akan menghubungiku saat tiba di rumah...""Hmm... Kalau kamu memaksa, aku akan—" Annisa melambaikan tangannya saat ia menekan pedal gas, meninggalkan rumah Baskara.Di kaca spion, Annisa melihat Baskara masih berdiri di sana, tatapan khawatirnya terpaku pada mobilnya yang menjauh.Hemff..!"Andai saja kamu memperlakukanku sebaik ini saat kita menikah, Baskara Aditama... Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Tapi, kamu sudah terlambat sekarang..."Ia hanya bisa tersenyum kecut pada kata-katanya sendiri.Hidden Paradise PalaceSaat Annisa memarkir mobilnya, ia terkejut melihat Dax dan Bibi Nuri sudah menunggunya di depan pintu. Terpesona oleh kelucuan putranya, ia langsung lupa untuk mengirim pesan pada pria yang kini hanya bisa menatap ponselnya dengan cemas.Merasa kecewa karena Annisa tidak menelepon atau mengirim pesan, Baskara naik ke lantai dua dengan ekspresi muram, berniat istirahat sebelum makan malam.Bar
Wajah Baskara menegang mendengar pertanyaan Annisa.'Kenapa dia berasumsi aku menikah dengan Laura? Apa Ibu yang memberitahunya? Sengaja biar dia marah!?' batinnya.Setelah berpikir beberapa detik, semuanya menjadi jelas. Pantas saja sikap Annisa begitu sinis saat pertama kali bertemu di restoran sushi itu.'Dia pasti cemburu, kan?'Baskara menatap lekat mata Annisa, mencoba mencari jejak kecemburuan di sana. Annisa balas menatapnya, dahinya berkerut seolah sedang memikirkan sesuatu. Tak lama, senyum hangat yang menawan perlahan terukir di bibir Baskara."Nisa, aku tahu kamu cemburu. Tapi kamu nggak perlu khawatir soal perempuan itu. Aku nggak punya hubungan apa-apa sama dia, bahkan menyentuhnya pun nggak pernah."Annisa terdiam. Mulutnya sedikit terbuka, tak bisa berkata-kata.'Dia pikir apa? Siapa juga yang cemburu sama dia?' Ia menatap Baskara dengan tajam, tapi pria itu hanya tersenyum, senyum terbaik yang pernah Annisa lihat darinya.Annisa menggelengkan kepalanya pelan, mencoba
Senyum di wajah Baskara perlahan memudar. "Maaf soal ibuku, Nisa," katanya tulus. "Aku janji hal seperti itu nggak akan terjadi lagi. Ibuku nggak akan pernah muncul di hadapanmu lagi.""Ok, Baskara. Tapi yang kukhawatirkan sekarang bukan ibumu. Aku nggak mau dia sampai ketemu anakku—""Anak kita, Nisa," potong Baskara.Annisa menelan ludah, tapi tidak mengoreksinya. "Baskara, aku khawatir," tangannya terkepal. "Kalau ibumu sampai tahu soal Dax, aku nggak mau dia bertingkah memalukan seperti tadi. Kamu bisa janji?""Tentu saja, Nisa. Kamu istriku, dan Dax anakku. Aku akan melindungi kalian. Nggak akan ada yang bisa menyakiti kalian... bahkan ibuku sendiri."Annisa menghela napas. "Aku bukan istrimu. Bisa serius sedikit nggak, Baskara?""Aku serius. Kamu wanitaku, tentu saja akan kulindungi.""Astaga..." Annisa kehabisan kata-kata. Kenapa pria ini terus-menerus memanggilnya 'istri'? "Tuan Aditama, apa kepala Anda habis terbentur sampai lupa kalau kita sudah cerai?"Baskara terdiam."Ser