"Sebut saja berapa banyak yang kamu butuhkan, Annisa. Aku akan memberikan apa pun yang kamu minta."
Mendengar Baskara menghinanya dengan kata-kata itu, ia pasti akan menangis jika sendirian di ruangan ini. Annisa berusaha menahan air matanya sambil menenangkan emosinya.
"Bas-Baskara—" suara Annisa sedikit bergetar. "Aku ingin mendengar alasanmu. Kenapa kamu meminta cerai?"
Bukannya menjawab, Baskara malah bertanya, "Apa kamu ingat kenapa kita menikah?"
Annisa tidak menjawab. Tentu saja, ia ingat. Pernikahan mereka adalah perjodohan antara kakek mereka.
Kakeknya memaksa Annisa untuk menikah dengan keluarga Aditama. Pernikahan ini dimulai karena uang dan kekuasaan, tanpa ada cinta di antara keduanya.
Jika ia bisa melahirkan seorang putra untuk keluarga Aditama, mereka berjanji akan memberikan kemakmuran bagi keluarganya; bisnis keluarga mereka tidak akan lagi menjadi perusahaan kelas menengah. Keluarga Aditama berjanji untuk membantu Grup Larasati menjadi perusahaan papan atas di negeri ini.
Menikah demi keuntungan, sesuatu yang paling dibenci Annisa, tetapi ia tidak bisa menolak kakek dan ayahnya saat itu. Ia tidak berdaya; satu-satunya pilihan adalah menerima perjodohan dan menikahi pria yang belum pernah ia temui sebelumnya.
Namun, ia cukup bodoh untuk membuat kesalahan besar setelah menikahi Baskara Aditama; ia jatuh cinta begitu dalam padanya. Sekarang, ia menyesalinya.
"Annisa, mungkin kamu sudah lupa setelah empat tahun. Biar kuingatkan. Orang tua kita ingin kamu melanjutkan garis keturunan keluarga Aditama. Tapi kamu belum juga hamil."
Baskara melanjutkan, "Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak bisa menunggu satu tahun lagi. Kamu tahu itu, kan? Kenapa kamu—"
"Aku mengerti!" Annisa memotongnya. Hatinya benar-benar sakit mendengar alasannya. Ia tidak perlu kata-katanya untuk mengiris hatinya yang sudah terluka.
Selama empat tahun pernikahan mereka, ia telah mencoba berbagai cara untuk memberinya anak tetapi tidak kunjung hamil sampai sekarang. Ia tidak mungkin bisa hamil hanya karena ia menginginkannya, karena ia tidak bisa memaksa Tuhan untuk membiarkannya hamil.
Annisa merasa seperti hidup di neraka selama pernikahan mereka, stres karena tidak kunjung hamil. Ia harus menanggung penghinaan yang ia terima dari ibu mertuanya; ia hampir setiap hari menerima caci maki.
Bagian yang paling menyakitkan adalah orang tuanya sendiri juga meremehkannya karena selama empat tahun, ia tidak bisa memberikan keturunan dan tidak bisa memenangkan hati Baskara.
'Baiklah, Annisa, setidaknya sekarang kamu bebas dari semua rasa sakit itu...' Ia mencoba menghibur hatinya yang hancur. Namun, kata-kata Baskara berikutnya sekali lagi menghancurkan sisa kesabaran dan ketenangannya.
"Bagus kalau begitu. Sekarang, tanda tangani suratnya dan berhenti membuat drama, Annisa! Ah, kamu tidak perlu khawatir... Aku akan memberimu uang kompensasi, cukup untukmu habiskan seumur hidup. Kamu tidak akan menderita setelah bercerai dariku." Ucapnya dengan santai, tetapi Annisa merasa seluruh darahnya naik ke wajah.
Ia merasa sangat marah mendengar kata-katanya.
'Siapa yang butuh uangmu? Aku bisa menghasilkan uang tanpamu!' Annisa melampiaskan frustrasinya dalam hati.
Namun, tepat sebelum ia ingin menolak uangnya, ia mendengar sebuah suara di benaknya.
'Jangan tolak uangnya. Ambil saja!!'
Annisa tertegun. Ia menekan bibirnya untuk menghentikan kata-kata yang hendak ia ucapkan.
"Aku akan tanda tangan," kata Annisa tanpa ragu. "Tapi, jika suatu hari nanti kamu menyesali keputusan ini dan ingin aku kembali, kamu tidak akan mendapatkan kesempatan itu, Baskara. Jadi—"
"Itu tidak akan pernah terjadi!" Baskara mengakhiri panggilan tanpa memberinya kesempatan untuk mengatakan apa-apa.
Bip!
Annisa merasa matanya kabur begitu sambungan telepon tiba-tiba berakhir. Ia menahan air matanya sambil mencoba menyemangati dirinya sendiri.
'Annisa Larasati, jangan menangis. Baskara Aditama tidak pantas mendapatkan air matamu!' Ia menggertakkan giginya sambil mengembalikan ponsel milik Johan Setyawan. ...
Annisa tidak mengucapkan sepatah kata pun tetapi hanya mendengarkan Johan Setyawan menjelaskan isi surat cerai.
Pikirannya tenggelam dalam jurang gelap di lubuk hatinya. Ia merasa hancur. Pernikahan yang ia impikan telah berakhir begitu saja.
Perceraian ini tidak pernah terlintas dalam benaknya. Ia pikir Baskara tidak akan pernah menceraikannya, karena ia selalu bersikap lembut padanya dan tidak pernah memintanya melakukan apa pun.
Tetapi sekarang, ia sadar, empat tahun pernikahannya dengan Baskara hanyalah kepura-puraan; kelembutannya hanyalah fatamorgana. Ia membenci dirinya sendiri karena selalu percaya bahwa suatu hari nanti Baskara akan mencintainya.
'Apa yang harus aku lakukan sekarang?'
Dihadapkan dengan situasi mendadak ini, otak Annisa tidak bisa berpikir jernih sejenak.
'Haruskah aku kembali ke kampung halaman ke keluargaku atau tetap di sini dan memulai hidup baru?' Annisa merasa otaknya diselimuti kabut tebal, dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Annisa duduk di kursinya, menatap Johan Setyawan di hadapannya. Ia tidak bisa memahami satu kalimat pun yang keluar dari bibirnya. Ia merasa seperti sedang menonton film tanpa suara.
Tak lama kemudian, ia akhirnya mendengar suaranya.
"Ibu Annisa, Anda hanya perlu tanda tangan di sini," Johan mendorong kertas itu ke arahnya dan menunjuk bagian yang harus ia tandatangani.
Annisa mengambil pena, tetapi sebelum menuliskan namanya di atas kertas, tangannya berhenti ketika sesuatu melintas di benaknya.
Ketika Johan melihat Annisa tidak menandatangani, ia berkata, "Ibu Annisa, saya ingin mengklarifikasi tentang kompensasi; Bapak Baskara akan mentransfernya ke rekening Anda. Dan juga, rumah yang Anda tinggali sekarang akan diserahkan kepada Anda. Anda juga akan mendapatkan beberapa saham di perusahaan..."
"Tolong kirim semua uangnya ke rekening ini." Annisa menuliskan nomor rekening banknya, yang tidak pernah ia akses setelah menikah dengan Baskara.
"Rekening bank Swiss—" Johan Setyawan tampak terkejut wanita ini memiliki rekening di bank yang hanya dikenal di kalangan para taipan.
"Ya. Saya butuh bantuan Anda untuk menjual semua aset yang diberikan Baskara kepada saya. Semua uang dan saham yang ia berikan juga harus dikirim ke rekening ini," perintah Annisa.
Annisa tidak akan pernah tinggal di rumah perkawinan mereka sendirian karena ia akan selalu teringat padanya jika ia tetap di sana, dan rumah ibu mertuanya persis di sebelah rumah mereka.
Bagaimana ia bisa bertahan hidup di tempat itu?
"Ibu Annisa, rumah itu—" Johan terkejut wanita ini ingin menjual rumah itu.
Rumah itu terletak di salah satu kawasan paling elit di negara ini. Hanya orang-orang terkenal dan kaya yang bisa memiliki rumah di sana, dan tidak sembarang orang bisa membeli properti di sana.
"Ya. Kenapa Anda terlihat bingung?"
"Apakah Anda yakin ingin menjual rumah itu, Nyonya!?"
"Tentu saja. Jual setelah saya pindah," kata Annisa. Ia menandatangani surat perceraian itu tanpa ragu-ragu.
Setelah selesai menandatangani, ia menoleh untuk melihat Johan lagi.
"Pak Johan, Anda bisa pergi sekarang dan katakan padanya, jika suatu hari dia melihat saya, minta dia untuk mengabaikan saya karena saya juga akan melakukan hal yang sama."
Annisa mengalihkan pandangannya dari Johan Setyawan karena ia tidak ingin pria ini menyaksikan kesedihannya. Ia ingin Johan memberitahu Baskara bahwa ia baik-baik saja dengan perceraian ini.
Baru saja Annisa akan membalas hinaan mereka, tiba-tiba...BRAKK!!Pintu ruang rawat dibanting terbuka. Semua mata menoleh. Di ambang pintu, Hendra berdiri dengan senyum puas, di belakangnya muncul ayah dan ibu mereka. Jantung Annisa mencelos."Non, saya Ga bilang apa-apa," bisik Niko panik di sampingnya."Aku tahu, Niko," jawab Annisa pelan. Matanya tertuju pada Hendra. 'Tentu saja ini ulahmu,' batinnya getir."Bagus kamu datang, Prakoso!" seru Gunawan, paman mereka. "Lihat ini kelakuan anakmu! Pulang-pulang pas kakeknya sekarat! Bikin malu keluarga saja!"Prakoso Priambodo tidak menggubris kakaknya. Matanya yang tajam tertuju lurus pada Annisa.
Di dalam SUV hitam yang mengikuti mobil Annisa, suasana terasa tegang."Gila, itu beneran Bu Annisa? Auranya beda banget," celetuk Marcel sambil jarinya menari di atas laptop, mencoba meretas CCTV hotel.Dilan, yang menyetir, meliriknya. "Fokus! Cari tahu siapa cowok itu! Bos bisa ngamuk kalau kita salah info lagi." Ia melirik kaca spion dengan cemas. Wajah Baskara di kursi belakang sudah lebih dingin dari AC mobil.Melihat Annisa bersama pria lain dan seorang anak membuat Baskara merasakan sengatan cemburu yang aneh. Ia berusaha menahannya, tapi percakapan kedua anak buahnya membuatnya semakin kesal."Nggak usah dicari," kata Baskara tiba-tiba, suaranya datar.Dilan dan Marcel sontak menoleh. "Serius, Bos?" tanya Dilan. "Nggak mau tahu siapa cowok itu?"
"Mama, mau ke mana?" suara Dax yang menggemaskan terdengar dari belakang.Annisa berbalik dan tersenyum melihat putranya berdiri di ambang pintu dengan rambut berantakan."Sayang, akhirnya kamu bangun. Mama mau jenguk Kakek Buyut," katanya sambil berlutut di hadapan Dax. "Kamu di sini dulu ya sama Nenek Nuri."Melihat Dax cemberut, Annisa melanjutkan, "Mama janji pulangnya cepat."Selama ini, Dax tidak pernah bertanya soal ayahnya. Ia hanya tahu tentang kakek buyutnya, dan ia sangat bersemangat untuk bertemu."Aku mau ikut, Ma. Tolong... Aku janji nggak akan rewel," pintanya dengan mata memelas."Sayang, Kakek Buyut kan lagi sakit. Mama mau lihat kondisinya dulu, ya? Nanti kalau sudah baikan, Mama pasti ajak kamu," bujuk Annisa sabar."Tapi—" ucapan Dax terhenti saat matanya menangkap sosok Sean di belakang ibunya. Wajahnya langsung cerah. "Om Sean!" Ia berlari dan memeluk Sean.Annisa hanya bisa tersenyum melihatnya. Putranya ini hanya akan menunjukkan sisi manja dan senyum selebar i
"Mama, mau ke mana?" suara Dax yang menggemaskan terdengar dari belakang.Annisa berbalik dan tersenyum melihat putranya berdiri di ambang pintu dengan rambut berantakan."Sayang, akhirnya kamu bangun. Mama mau jenguk Kakek Buyut," katanya sambil berlutut di hadapan Dax. "Kamu di sini dulu ya sama Nenek Nuri."Melihat Dax cemberut, Annisa melanjutkan, "Mama janji pulangnya cepat."Selama ini, Dax tidak pernah bertanya soal ayahnya. Ia hanya tahu tentang kakek buyutnya, dan ia sangat bersemangat untuk bertemu."Aku mau ikut, Ma. Tolong... Aku janji nggak akan rewel," pintanya dengan mata memelas."Sayang, Kakek Buyut kan lagi sakit. Mama mau lihat kondisinya dulu, ya? Nanti kalau sudah baikan, Mama pasti ajak kamu," bujuk Annisa sabar."Tapi—" ucapan Dax terhenti saat matanya menangkap sosok Sean di belakang ibunya. Wajahnya langsung cerah. "Om Sean!" Ia berlari dan memeluk Sean.Annisa hanya bisa tersenyum melihatnya. Putranya ini hanya akan menunjukkan sisi manja dan senyum selebar i
Hari sudah hampir malam ketika Annisa tiba di rumahnya—rumah Baskara.Sebenarnya, Annisa tidak ingin kembali ke rumah ini lagi. Tetapi ia harus mengambil semua barang miliknya, dan yang terpenting, ia perlu menghapus semua jejaknya di rumah itu.Ia tidak ingin meninggalkan apa pun untuk diingat oleh Baskara. Ia ingin pria itu melupakannya karena ia akan melakukan hal yang sama. ...Ketika Annisa selesai memarkir mobil sewaannya di halaman depan, ia melihat Nuri muncul dari pintu utama. Hanya dengan melihat ekspresi khawatir Nuri, sudah cukup bagi Annisa untuk tahu bahwa ada sesuatu yang terjadi di dalam.Annisa diam-diam menghela napas dalam-dalam sebelum keluar dari mobil, "Bibi, kenapa Bibi terlihat begitu kesal?""Non, ada seseorang yang menunggu Non," kata Nuri dengan nada khawatir. Annisa bisa menebak orang yang ia maksud."Ratu Ular?" kata Annisa santai sambil berjalan menuju pint
Stockholm, Swedia.Setelah terbang selama beberapa jam dari negara mereka, mereka akhirnya mendarat di Bandara Internasional Arlanda.Ini bukan pertama kalinya Annisa datang ke negara ini. Ia sudah sering ke sini dan mengenal banyak tempat di negara ini dengan baik. Kali ini ia tidak menghubungi siapa pun untuk menjemputnya, tetapi ia sudah menyewa mobil.Annisa telah menyewa mobil yang akan ia gunakan selama beberapa minggu tinggal di Stockholm sebelum pindah ke pedesaan di Swedia Utara. Ia memutuskan untuk melarikan diri dari hiruk pikuk kota besar, ingin menghabiskan hari-harinya di pedesaan sambil menikmati alam dan menyembuhkan pikiran serta hatinya. ...Setelah mengambil barang bawaan mereka, Annisa dan Nuri berjalan keluar dari bandara; namun, ketika mereka meninggalkan terminal, Annisa menghentikan langkahnya. Ia melihat dua sosok yang dikenalnya di pintu keluar."Sial!! Kenapa