Mei 2018, Jakarta.
Di hari jadi pernikahan keempatnya, Annisa Larasati tersenyum membaca pesan dari suaminya, Baskara Aditama, yang mengajaknya bertemu di Restoran Kencana. Ini adalah kencan pertama mereka setelah sekian lama. Namun, setibanya di sana, bukan Baskara yang ia temui, melainkan seorang pengacara bernama Johan Setyawan.
Di atas meja, tergeletak sebuah map.
"Ibu Annisa, ini surat dari Bapak Baskara. Mohon ditandatangani," kata Johan dengan nada formal.
Jantung Annisa seakan berhenti berdetak saat membaca judul surat itu: GUGATAN CERAI. Dunianya runtuh.
"Di mana Baskara? Kenapa dia tidak datang sendiri?" tanya Annisa, suaranya bergetar menahan amarah dan sakit hati.
"Bapak Baskara sangat sibuk," jawab Johan singkat.
"Saya tidak akan tanda tangan sebelum bicara dengannya!" tegas Annisa. Setelah perdebatan singkat yang menegangkan, Johan akhirnya terpaksa menelepon Baskara.
"Langsung saja. Kamu butuh uang berapa sebagai kompensasi?" Suara dingin Baskara dari seberang telepon menusuk jantung Annisa lebih dalam dari belati mana pun.
"Jadi, pernikahan ini hanya soal uang bagimu?" desis Annisa.
"Pernikahan kita itu perjodohan, Annisa. Tujuannya agar kamu memberiku keturunan. Empat tahun berlalu, dan kamu belum juga hamil. Aku tidak bisa menunggu lagi," ujar Baskara tanpa emosi.
"Aku mengerti," potong Annisa, hatinya hancur berkeping-keping.
"Bagus. Cepat tanda tangani surat itu," kata Baskara, lalu menutup telepon tanpa menunggu jawaban.
Di hadapan Johan, Annisa menahan air matanya. Dengan tangan gemetar, ia menandatangani surat itu. "Katakan pada klien Anda," ucapnya dengan suara dingin yang mengejutkan, "jika suatu hari kami bertemu, anggap kami tidak saling kenal."
Ia juga memberikan instruksi tegas untuk menjual semua aset pemberian Baskara, termasuk rumah yang mereka tinggali, dan mentransfer semua hasilnya ke sebuah rekening bank di Swiss yang sudah lama tidak ia gunakan. Ia tidak ingin menyimpan kenangan apa pun.
Setelah meninggalkan restoran, Annisa tidak langsung pulang. Didorong oleh rasa sakit dan sisa harapan yang bodoh, ia memutuskan untuk menemui Baskara di penthouse pribadinya, tempat yang jarang ia datangi. Ia hanya ingin menatap mata pria itu untuk terakhir kalinya.
Sesampainya di sana, pintu tidak terkunci. Annisa melangkah masuk ke dalam apartemen yang remang-remang, hanya diterangi lampu kota dari jendela besar. Samar-samar ia mendengar suara tawa perempuan dari arah kamar tidur.
Langkahnya terhenti. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu kamar yang sedikit terbuka.
Pemandangan di hadapannya adalah pukulan terakhir yang menghancurkan sisa-sisa hatinya. Baskara, suaminya—mantan suaminya—sedang bercumbu mesra dengan seorang wanita yang ia kenali sebagai Laura Kiels, model yang sedang naik daun.
"Sayang, apa istrimu tidak akan marah kamu bersamaku di hari jadi kalian?" suara manja Laura terdengar.
"Aku sudah tidak punya istri," jawab Baskara sambil tertawa.
Dunia Annisa menjadi runtuh. Rasa sakit di dadanya begitu menyiksa hingga napasnya terasa sesak. Pandangannya mulai kabur, kepalanya pusing bukan main. Ia berbalik, mencoba lari keluar dari apartemen neraka itu. Namun, kakinya terasa seperti jeli. Ia terhuyung-huyung keluar dari unit penthouse, dan saat mencapai koridor lobi yang sepi, kesadarannya benar-benar hilang. Semuanya menjadi gelap.
Samar-samar, ia terbangun oleh bau antiseptik yang tajam. Matanya mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya lampu di sebuah ruangan bernuansa putih. Sebuah rumah sakit. Kepalanya masih terasa berat, namun ia berusaha untuk duduk. Di meja samping tempat tidurnya, ponselnya tergeletak. Ada satu pesan baru yang belum terbaca. Dengan tangan gemetar, ia membukanya.
Pengirim: Sean
Annisa, aku menemukanmu pingsan di lobi apartemen. Aku membawamu ke Rumah Sakit Medika. Jangan khawatir, semua biaya administrasi sudah kuurus. Fokus saja pada pemulihanmu. Kabari aku jika kau sudah lebih baik.
Sean. Nama itu terasa familier, namun otaknya terlalu kacau untuk mengingat dengan jernih. Untuk saat ini, rasa sakit akibat pengkhianatan Baskara mengalahkan segalanya. Ia meletakkan kembali ponselnya saat seorang dokter masuk ke ruangannya.
Dokter itu tersenyum tipis. "Sudah merasa lebih baik, Ibu Annisa?"
Annisa hanya mengangguk lemah. "Saya kenapa, Dok? Apa saya sakit parah karena stres?"
Dokter itu memeriksa catatannya. "Kami sudah melakukan beberapa tes dasar berdasarkan kondisi Anda saat dibawa kemari." Wajahnya terlihat bingung namun juga tersenyum. "Ibu Annisa, Anda tidak sakit karena stres," ujar dokter itu dengan tenang. "Hasil tes menunjukkan hal lain."
"Lalu saya kenapa, Dok?" tanya Annisa, suaranya nyaris berbisik.
Dokter itu menatapnya lekat. "Selamat, Bu. Anda tidak sakit. Anda hamil. Usia kandungan sekitar enam minggu."
Waktu seakan berhenti. Hamil? Di saat ia baru saja kehilangan segalanya, Tuhan memberinya keajaiban yang tidak pernah ia duga. Di tengah kehancuran hatinya, sebuah kehidupan baru sedang tumbuh di dalam dirinya. Ini bukan lagi tentang Baskara. Ini tentang anaknya. Air mata akhirnya jatuh di pipi Annisa, tetapi kali ini, bukan karena kesedihan, melainkan karena secercah harapan yang baru saja lahir.
Dari rumah sakit, Annisa langsung menghubungi satu orang yang paling ia percayai di dunia: Bibi Nuri, pengasuhnya sejak kecil.
"Bi, tolong kemasi semua barang-barang pentingku. Hanya yang kubeli sendiri. Jangan sentuh apa pun pemberian keluarga Aditama," kata Annisa dengan suara tegas, menyembunyikan getar emosinya.
"Non? Ada apa, Non?" tanya Bi Nuri panik.
"Aku cerai, Bi. Dan... aku hamil. Aku akan pergi dari negara ini. Aku akan jelaskan semuanya nanti. Tolong lakukan saja apa yang kuminta."
Setelah itu, ia menelepon satu nomor lagi—nomor Jaka, sahabat sekaligus mitra bisnisnya di masa lalu. "Jaka, ini aku, Annisa. Aku butuh bantuanmu."
Tanpa basa-basi, Annisa menjelaskan situasinya. "Aku mau kamu aktifkan rekening Swiss-ku dan hapus semua jejak digital perjalananku. Aku akan ke Swedia malam ini juga."
Hanya dalam beberapa jam, Annisa telah berubah. Wanita yang paginya masih merayakan ulang tahun pernikahan, kini menjadi seorang calon ibu yang berjuang untuk masa depan anaknya. Ia tidak lagi peduli pada Baskara atau keluarganya. Prioritas utamanya sekarang adalah melindungi keajaiban kecil di dalam rahimnya. Dengan tiket di tangan dan rencana yang matang, ia siap meninggalkan masa lalunya dan memulai hidup yang baru.
Alan mengikuti Baskara dari belakang dengan senyum lega. Setidaknya tuannya tidak membatalkan makan malam kali ini.Saat Baskara memasuki ruang tamu, Jessica adalah yang pertama kali menyadarinya. Ia langsung berdiri dan menghampirinya dengan senyum lebar."Anakku, akhirnya kamu datang juga. Ya ampun, kamu makin tampan saja... sini, sini... peluk Mama. Mama kangen sekali, Baskara.""Ma," sapa Baskara, menerima pelukan ibunya dengan kaku.Jessica melepaskan pelukannya. "Kenapa nggak langsung temui kami? Kamu kan sudah tahu kami pulang liburan?""Aku sibuk di kantor, Ma. Nggak ada waktu luang.""Sayang, tolonglah... luangkan sedikit waktu buat dirimu sendiri. Nanti kamu stres dan kecapekanó""Cukup, Jessica!" suara berat dan berwibawa dari belakang membuat Jessica berhenti bicara. William Aditama, suaminya, menatap mereka. Ia tersenyum pada putranya. "Baskara, sini duduk.""Ayahó"Sebelum Baskara sempat bergabung dengan ayah dan kakeknya, ibunya menahan lengannya. "Nak, Mama perlu bicar
Baskara, dengan ekspresi datar, menjawab, "Baiklah. Tapi tolong janji kamu akan menghubungiku saat tiba di rumah...""Hmm... Kalau kamu memaksa, aku akan—" Annisa melambaikan tangannya saat ia menekan pedal gas, meninggalkan restoran .Di kaca spion, Annisa melihat Baskara masih berdiri di sana, tatapan khawatirnya terpaku pada mobilnya yang menjauh.Hemff..!"Andai saja kamu memperlakukanku sebaik ini saat kita menikah, Baskara Aditama... Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Tapi, kamu sudah terlambat sekarang..."Ia hanya bisa tersenyum kecut pada kata-katanya sendiri.–Hidden Paradise PalaceSaat Annisa memarkir mobilnya, ia terkejut melihat Dax dan Bibi Nuri sudah menunggunya di depan pintu. Terpesona oleh kelucuan putranya, ia langsung lupa untuk mengirim pesan pada pria yang kini hanya bisa menatap ponselnya dengan cemas.Merasa kecewa karena Annisa tidak menelepon atau mengirim pesan, Baskara naik ke lantai dua dengan ekspresi muram, berniat istirahat sebelum makan malam.Baru
Ucapan Annisa terpotong oleh tawa Baskara yang tiba-tiba menggema di ruangan."Hahaha, aku tahu..."'Kenapa dia tertawa!?' Annisa bingung. 'Apa aku baru saja mengatakan sesuatu yang bisa dia pelintir... lagi!?'"Aku tahu... kamu cemburu sama dia! Oh, Nisa... kan sudah kubilang aku nggak punya hubungan apa-apa sama perempuan itu. Harusnya kamu percaya sama aku."Annisa terdiam, tak bisa berkata-kata."Baskara, selamat tinggal untuk imajinasi liarmu!" katanya kesal. Melihat Baskara hendak bicara, ia langsung menyela, "—Aku nggak ngomongin soal itu. Aku cuma mau kasih tahu, aku berencana menuntut dia!"Annisa akan memberi pelajaran pada Laura Kiels sebelum ia menjadi selebriti papan atas. Beraninya dia main-main dengan Quantum Capital!?"Kamu mau menuntut Laura Kiels?" Meskipun Baskara tidak punya hubungan dengan Laura, sebagai seorang pebisnis, ia terkejut mendengar ucapan Annisa.Bagi agensi hiburan yang bahkan tidak masuk lima besar di negara ini, kehilangan Laura Kiels bisa menjamin
Baskara, dengan ekspresi datar, menjawab, "Baiklah. Tapi tolong janji kamu akan menghubungiku saat tiba di rumah...""Hmm... Kalau kamu memaksa, aku akan—" Annisa melambaikan tangannya saat ia menekan pedal gas, meninggalkan rumah Baskara.Di kaca spion, Annisa melihat Baskara masih berdiri di sana, tatapan khawatirnya terpaku pada mobilnya yang menjauh.Hemff..!"Andai saja kamu memperlakukanku sebaik ini saat kita menikah, Baskara Aditama... Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Tapi, kamu sudah terlambat sekarang..."Ia hanya bisa tersenyum kecut pada kata-katanya sendiri.Hidden Paradise PalaceSaat Annisa memarkir mobilnya, ia terkejut melihat Dax dan Bibi Nuri sudah menunggunya di depan pintu. Terpesona oleh kelucuan putranya, ia langsung lupa untuk mengirim pesan pada pria yang kini hanya bisa menatap ponselnya dengan cemas.Merasa kecewa karena Annisa tidak menelepon atau mengirim pesan, Baskara naik ke lantai dua dengan ekspresi muram, berniat istirahat sebelum makan malam.Bar
Wajah Baskara menegang mendengar pertanyaan Annisa.'Kenapa dia berasumsi aku menikah dengan Laura? Apa Ibu yang memberitahunya? Sengaja biar dia marah!?' batinnya.Setelah berpikir beberapa detik, semuanya menjadi jelas. Pantas saja sikap Annisa begitu sinis saat pertama kali bertemu di restoran sushi itu.'Dia pasti cemburu, kan?'Baskara menatap lekat mata Annisa, mencoba mencari jejak kecemburuan di sana. Annisa balas menatapnya, dahinya berkerut seolah sedang memikirkan sesuatu. Tak lama, senyum hangat yang menawan perlahan terukir di bibir Baskara."Nisa, aku tahu kamu cemburu. Tapi kamu nggak perlu khawatir soal perempuan itu. Aku nggak punya hubungan apa-apa sama dia, bahkan menyentuhnya pun nggak pernah."Annisa terdiam. Mulutnya sedikit terbuka, tak bisa berkata-kata.'Dia pikir apa? Siapa juga yang cemburu sama dia?' Ia menatap Baskara dengan tajam, tapi pria itu hanya tersenyum, senyum terbaik yang pernah Annisa lihat darinya.Annisa menggelengkan kepalanya pelan, mencoba
Senyum di wajah Baskara perlahan memudar. "Maaf soal ibuku, Nisa," katanya tulus. "Aku janji hal seperti itu nggak akan terjadi lagi. Ibuku nggak akan pernah muncul di hadapanmu lagi.""Ok, Baskara. Tapi yang kukhawatirkan sekarang bukan ibumu. Aku nggak mau dia sampai ketemu anakku—""Anak kita, Nisa," potong Baskara.Annisa menelan ludah, tapi tidak mengoreksinya. "Baskara, aku khawatir," tangannya terkepal. "Kalau ibumu sampai tahu soal Dax, aku nggak mau dia bertingkah memalukan seperti tadi. Kamu bisa janji?""Tentu saja, Nisa. Kamu istriku, dan Dax anakku. Aku akan melindungi kalian. Nggak akan ada yang bisa menyakiti kalian... bahkan ibuku sendiri."Annisa menghela napas. "Aku bukan istrimu. Bisa serius sedikit nggak, Baskara?""Aku serius. Kamu wanitaku, tentu saja akan kulindungi.""Astaga..." Annisa kehabisan kata-kata. Kenapa pria ini terus-menerus memanggilnya 'istri'? "Tuan Aditama, apa kepala Anda habis terbentur sampai lupa kalau kita sudah cerai?"Baskara terdiam."Ser