Di tempat lain, Jakarta.
Begitu laporan dari Marcel masuk, Dilan berlari ke ruangan Baskara. Setelah bertahun-tahun, mereka akhirnya menemukan jejak Annisa Larasati.
"Masuk," sahut Baskara dari dalam ruangannya.
"Bos, dia kembali!" seru Dilan begitu membuka pintu.
"Siapa?" tanya Baskara, matanya masih terpaku pada dokumen.
"Istri Bapak—" Dilan ragu sejenak saat melihat Baskara mengerutkan kening. "Eh, maksud saya mantan istri Bapak, Annisa Larasati. Dia kembali, bawa anak laki-laki..."
Baskara menghela napas, merasakan sedikit sesak di dada. Setelah tujuh tahun, ternyata Annisa sudah bahagia dengan kehidupannya yang baru.
"Dia berhak bahagia dengan orang lain," gumam Baskara pelan.
"Bukan gitu, Bos. Anaknya itu kelihatannya seumuran enam tahun—"
Seketika Baskara mengangkat kepalanya, matanya menatap tajam. "Atur tes DNA untuk anak itu. Dan kasih tahu aku di mana alamatnya sekarang!"
Senyum mulai terbit di wajah Baskara, tetapi langsung hilang begitu mendengar ucapan Dilan selanjutnya.
"T-tapi, Bos... Bu Annisa nggak di Jakarta. Dia langsung terbang ke kota asalnya."
"Dia pulang ke Surabaya!?" kening Baskara berkerut. "Kamu yakin anaknya umur segitu!?"
Pikiran Baskara langsung berpacu. 'Kenapa dia tidak menghubungiku? Apa dia menikah lagi? Kenapa langsung ke sana?' Lalu ia teringat kabar kalau kakek Annisa sedang sakit keras. 'Pasti karena kakeknya!'
"Siapkan jet pribadi. Kita terbang ke Surabaya sekarang," perintah Baskara. "Dia menginap di mana? Di rumah orang tuanya?"
"Bukan, Bos. Laporannya, dia menginap di Hotel Bintang."
Baskara semakin bingung. Kenapa di hotel? Sambil menggelengkan kepala, ia menyuruh Dilan mengatur semuanya.
Hotel Bintang, Surabaya.
Annisa sengaja memilih kamar presidensial yang luas. Ia belum siap bertemu keluarganya dan mereka semua, termasuk kakeknya, belum tahu tentang Dax.
Ia tersenyum hangat melihat Sean menidurkan Dax di kamar. Kedekatan mereka selalu membuatnya senang. "Makasih ya, Sean..."
Setelah berganti pakaian, mereka berdua duduk di ruang tamu. Annisa sudah siap menjenguk kakeknya.
"Kamu mau ke rumah sakit sekarang?" tanya Sean.
"Iya. Sean, mobil sewaanku jangan dibatalin, ya? Aku butuh mobil selama di sini."
"Nggak usah sewa, Nisa. Nanti aku minta orang hotel siapkan mobil sama sopir buat kamu."
"Oke, kalau gitu aku nggak nolak. Makasih," jawab Annisa lega.
"Tapi hari ini, aku yang antar kamu," kata Sean.
"Oke. Tapi kerjaan kamu gimana?" Annisa merasa tidak enak.
"Gampang. Aku antar kamu, terus aku balik ke markas. Nanti sopir hotel yang jemput kamu."
Annisa mengangguk setuju dan langsung berdiri.
"Tunggu, kamu berangkat sekarang? Dax gimana?" tanya Sean bingung.
Annisa menoleh. "Aku nggak bawa dia sekarang. Keluargaku, termasuk Kakek, belum ada yang tahu soal Dax."
"Kamu masih belum percaya sama kakekmu?" Sean kaget.
"Aku percaya Kakek, tapi nggak sama orang-orang di sekitarnya. Aku mau lihat kondisinya dulu, baru nanti cari waktu yang pas buat kenalin Dax."
Sean mengangguk paham dan tidak bertanya lagi.
Baru saja mereka mau keluar kamar, suara Dax tiba-tiba menghentikan langkah mereka.
"Mama, mau ke mana?" suara Dax yang menggemaskan terdengar dari belakang.
Annisa berbalik dan tersenyum melihat putranya berdiri di ambang pintu dengan rambut berantakan.
"Sayang, akhirnya kamu bangun. Mama mau jenguk Kakek Buyut," katanya sambil berlutut di hadapan Dax. "Kamu di sini dulu ya sama Nenek Nuri."
Melihat Dax cemberut, Annisa melanjutkan, "Mama janji pulangnya cepat."
Selama ini, Dax tidak pernah bertanya soal ayahnya. Ia hanya tahu tentang kakek buyutnya, dan ia sangat bersemangat untuk bertemu.
"Aku mau ikut, Ma. Tolong... Aku janji nggak akan rewel," pintanya dengan mata memelas.
"Sayang, Kakek Buyut kan lagi sakit. Mama mau lihat kondisinya dulu, ya? Nanti kalau sudah baikan, Mama pasti ajak kamu," bujuk Annisa sabar.
"Tapi—" ucapan Dax terhenti saat matanya menangkap sosok Sean di belakang ibunya. Wajahnya langsung cerah. "Om Sean!" Ia berlari dan memeluk Sean.
Annisa hanya bisa tersenyum melihatnya. Putranya ini hanya akan menunjukkan sisi manja dan senyum selebar ini jika ada Sean.
"Kangen, jagoan," kata Sean sambil menggendong Dax.
"Aku lebih kangen! Kok Om nggak pernah main lagi?"
"Oke, sayang, Mama harus pergi sekarang," kata Annisa, mencoba mengambil Dax, tetapi putranya itu malah mengeratkan pelukannya di leher Sean.
"Nggak mau! Aku mau ikut sama Om Sean!"
Annisa menghela napas. "Nggak bisa, Dax. Om Sean juga harus kembali kerja."
"Tolong, Ma..." rengek Dax, matanya mulai berkaca-kaca.
Annisa menatap Sean, meminta bantuan.
"Sudah, biarkan saja dia ikut, Nisa," kata Sean, tidak tega. "Nanti setelah mengantarmu, aku bisa bawa dia kembali ke sini. Aku juga masih kangen main sama dia."
"Makasih, Om Sean! Om emang yang terbaik!" seru Dax riang.
Annisa akhirnya menyerah. "Baiklah, ganti baju dulu."
Saat di kamar, ekspresi Dax tiba-tiba berubah serius. Ia menatap ibunya dengan tatapan penasaran yang intens.
"Kenapa lihat Mama begitu?" tanya Annisa sambil mengambilkan baju untuknya.
Dax memakai bajunya dengan cepat, lalu menatap ibunya lagi. "Ma, jujur ya... Om Sean itu ayahku, kan?"
Annisa terkejut. Ini adalah pertanyaan yang paling ia takuti selama ini.
Annisa menatap mata biru putranya yang menatapnya penuh harap.
"Kenapa Dax pikir Om Sean itu ayah?" tanya Annisa lembut.
"Soalnya... Om Sean baik. Aku nyaman sama Om Sean," jawab Dax pelan. Ada nada kecewa dalam suaranya.
Hati Annisa mencelos. Pertanyaan yang paling ia takuti selama lima tahun akhirnya datang. Ia menarik napas, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Maaf ya, sayang. Tapi Om Sean bukan ayahmu," kata Annisa, suaranya nyaris berbisik.
Wajah Dax langsung murung. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Melihat itu, Annisa merasa hatinya seperti diremas.
"Udah, yuk," kata Annisa, berusaha mengalihkan suasana. "Kita jangan bikin Om Sean nunggu kelamaan."
Dax langsung mengangkat kepalanya dan mengangguk. "Ayo, Ma!"
Di ruang tamu, Sean sudah menunggu. "Siap?"
"Maaf ya, lama," kata Annisa.
"Santai," jawab Sean sambil tersenyum, lalu menggendong Dax dengan mudah. "Ayo, jagoan."
"Sean, jangan dimanjain terus. Dia bisa jalan sendiri," protes Annisa, meski tak bisa menahan senyum melihat putranya yang tampak begitu nyaman dalam gendongan Sean.
"Nggak apa-apa, kan capek habis perjalanan jauh," balas Sean.
Annisa hanya bisa menggelengkan kepala. Setelah pamit pada Bibi Nuri, mereka bertiga turun ke lobi.
Sementara Sean berbicara sebentar dengan manajer hotel, Annisa mengirim pesan singkat.
[Annisa:] Nick, aku di Surabaya. Bisa jenguk Kakek sekarang? Aku ke rumah sakit sekitar setengah jam lagi. Tolong jangan bilang siapa-siapa, ya.
[Nick:] Siap, Non. Tuan Besar pasti senang.
Pesan singkat itu membawa kembali kenangan pahit sekaligus manis. Annisa tersenyum tipis, menatap hiruk pikuk jalanan di luar lobi hotel.
"Nisa, ayo," suara Sean membuyarkan lamunannya.
Mereka bertiga masuk ke dalam Audi Q7 putih yang sudah menunggu. Mobil itu pun perlahan meninggalkan pelataran hotel.
Tak jauh di belakang, sebuah SUV Mercedes hitam mengikuti.
"Gila!" seru Dilan dari balik kemudi, matanya tak lepas dari mobil di depan. "Itu Bu Annisa, kan? Sama siapa itu? Udah nikah lagi dia?"
Marcel, yang duduk di sampingnya, juga tampak tegang. "Kenapa lo nggak bilang dia udah nikah? Payah banget investigasimu!"
"Gimana mau tahu, datanya disegel, bego!" balas Marcel kesal. Ia melirik ke kursi belakang melalui kaca spion dan langsung terdiam. Wajah bosnya, Baskara, tampak begitu dingin dan gelap.
"Cari tahu identitas pria itu—" perintah Baskara, suaranya datar namun membuat suhu di dalam mobil terasa turun beberapa derajat.
Alan mengikuti Baskara dari belakang dengan senyum lega. Setidaknya tuannya tidak membatalkan makan malam kali ini.Saat Baskara memasuki ruang tamu, Jessica adalah yang pertama kali menyadarinya. Ia langsung berdiri dan menghampirinya dengan senyum lebar."Anakku, akhirnya kamu datang juga. Ya ampun, kamu makin tampan saja... sini, sini... peluk Mama. Mama kangen sekali, Baskara.""Ma," sapa Baskara, menerima pelukan ibunya dengan kaku.Jessica melepaskan pelukannya. "Kenapa nggak langsung temui kami? Kamu kan sudah tahu kami pulang liburan?""Aku sibuk di kantor, Ma. Nggak ada waktu luang.""Sayang, tolonglah... luangkan sedikit waktu buat dirimu sendiri. Nanti kamu stres dan kecapekanó""Cukup, Jessica!" suara berat dan berwibawa dari belakang membuat Jessica berhenti bicara. William Aditama, suaminya, menatap mereka. Ia tersenyum pada putranya. "Baskara, sini duduk.""Ayahó"Sebelum Baskara sempat bergabung dengan ayah dan kakeknya, ibunya menahan lengannya. "Nak, Mama perlu bicar
Baskara, dengan ekspresi datar, menjawab, "Baiklah. Tapi tolong janji kamu akan menghubungiku saat tiba di rumah...""Hmm... Kalau kamu memaksa, aku akan—" Annisa melambaikan tangannya saat ia menekan pedal gas, meninggalkan restoran .Di kaca spion, Annisa melihat Baskara masih berdiri di sana, tatapan khawatirnya terpaku pada mobilnya yang menjauh.Hemff..!"Andai saja kamu memperlakukanku sebaik ini saat kita menikah, Baskara Aditama... Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Tapi, kamu sudah terlambat sekarang..."Ia hanya bisa tersenyum kecut pada kata-katanya sendiri.–Hidden Paradise PalaceSaat Annisa memarkir mobilnya, ia terkejut melihat Dax dan Bibi Nuri sudah menunggunya di depan pintu. Terpesona oleh kelucuan putranya, ia langsung lupa untuk mengirim pesan pada pria yang kini hanya bisa menatap ponselnya dengan cemas.Merasa kecewa karena Annisa tidak menelepon atau mengirim pesan, Baskara naik ke lantai dua dengan ekspresi muram, berniat istirahat sebelum makan malam.Baru
Ucapan Annisa terpotong oleh tawa Baskara yang tiba-tiba menggema di ruangan."Hahaha, aku tahu..."'Kenapa dia tertawa!?' Annisa bingung. 'Apa aku baru saja mengatakan sesuatu yang bisa dia pelintir... lagi!?'"Aku tahu... kamu cemburu sama dia! Oh, Nisa... kan sudah kubilang aku nggak punya hubungan apa-apa sama perempuan itu. Harusnya kamu percaya sama aku."Annisa terdiam, tak bisa berkata-kata."Baskara, selamat tinggal untuk imajinasi liarmu!" katanya kesal. Melihat Baskara hendak bicara, ia langsung menyela, "—Aku nggak ngomongin soal itu. Aku cuma mau kasih tahu, aku berencana menuntut dia!"Annisa akan memberi pelajaran pada Laura Kiels sebelum ia menjadi selebriti papan atas. Beraninya dia main-main dengan Quantum Capital!?"Kamu mau menuntut Laura Kiels?" Meskipun Baskara tidak punya hubungan dengan Laura, sebagai seorang pebisnis, ia terkejut mendengar ucapan Annisa.Bagi agensi hiburan yang bahkan tidak masuk lima besar di negara ini, kehilangan Laura Kiels bisa menjamin
Baskara, dengan ekspresi datar, menjawab, "Baiklah. Tapi tolong janji kamu akan menghubungiku saat tiba di rumah...""Hmm... Kalau kamu memaksa, aku akan—" Annisa melambaikan tangannya saat ia menekan pedal gas, meninggalkan rumah Baskara.Di kaca spion, Annisa melihat Baskara masih berdiri di sana, tatapan khawatirnya terpaku pada mobilnya yang menjauh.Hemff..!"Andai saja kamu memperlakukanku sebaik ini saat kita menikah, Baskara Aditama... Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Tapi, kamu sudah terlambat sekarang..."Ia hanya bisa tersenyum kecut pada kata-katanya sendiri.Hidden Paradise PalaceSaat Annisa memarkir mobilnya, ia terkejut melihat Dax dan Bibi Nuri sudah menunggunya di depan pintu. Terpesona oleh kelucuan putranya, ia langsung lupa untuk mengirim pesan pada pria yang kini hanya bisa menatap ponselnya dengan cemas.Merasa kecewa karena Annisa tidak menelepon atau mengirim pesan, Baskara naik ke lantai dua dengan ekspresi muram, berniat istirahat sebelum makan malam.Bar
Wajah Baskara menegang mendengar pertanyaan Annisa.'Kenapa dia berasumsi aku menikah dengan Laura? Apa Ibu yang memberitahunya? Sengaja biar dia marah!?' batinnya.Setelah berpikir beberapa detik, semuanya menjadi jelas. Pantas saja sikap Annisa begitu sinis saat pertama kali bertemu di restoran sushi itu.'Dia pasti cemburu, kan?'Baskara menatap lekat mata Annisa, mencoba mencari jejak kecemburuan di sana. Annisa balas menatapnya, dahinya berkerut seolah sedang memikirkan sesuatu. Tak lama, senyum hangat yang menawan perlahan terukir di bibir Baskara."Nisa, aku tahu kamu cemburu. Tapi kamu nggak perlu khawatir soal perempuan itu. Aku nggak punya hubungan apa-apa sama dia, bahkan menyentuhnya pun nggak pernah."Annisa terdiam. Mulutnya sedikit terbuka, tak bisa berkata-kata.'Dia pikir apa? Siapa juga yang cemburu sama dia?' Ia menatap Baskara dengan tajam, tapi pria itu hanya tersenyum, senyum terbaik yang pernah Annisa lihat darinya.Annisa menggelengkan kepalanya pelan, mencoba
Senyum di wajah Baskara perlahan memudar. "Maaf soal ibuku, Nisa," katanya tulus. "Aku janji hal seperti itu nggak akan terjadi lagi. Ibuku nggak akan pernah muncul di hadapanmu lagi.""Ok, Baskara. Tapi yang kukhawatirkan sekarang bukan ibumu. Aku nggak mau dia sampai ketemu anakku—""Anak kita, Nisa," potong Baskara.Annisa menelan ludah, tapi tidak mengoreksinya. "Baskara, aku khawatir," tangannya terkepal. "Kalau ibumu sampai tahu soal Dax, aku nggak mau dia bertingkah memalukan seperti tadi. Kamu bisa janji?""Tentu saja, Nisa. Kamu istriku, dan Dax anakku. Aku akan melindungi kalian. Nggak akan ada yang bisa menyakiti kalian... bahkan ibuku sendiri."Annisa menghela napas. "Aku bukan istrimu. Bisa serius sedikit nggak, Baskara?""Aku serius. Kamu wanitaku, tentu saja akan kulindungi.""Astaga..." Annisa kehabisan kata-kata. Kenapa pria ini terus-menerus memanggilnya 'istri'? "Tuan Aditama, apa kepala Anda habis terbentur sampai lupa kalau kita sudah cerai?"Baskara terdiam."Ser