"Itu benar anakku?"
Hening.Dunia Amanda seolah runtuh begitu kalimat itu menyapanya dengan sorot mata ragu. Wajah itu masih sama asingnya dengan yang dia lihat, dingin menyapa dan mencengkeram kuat hati Amanda dengan begitu luar biasa.Ia seperti dihantam dengan begitu keras. Tidak terlihat lagi sorot kebahagiaan sedikitpun di mata Amanda. Setitik kebahagiaan yang tadi hinggap di mata dan wajah Amanda, kini benar-benar lenyap!"Per-pertanyaan macam apa itu, Bang?" Amanda sedikit tergagap, air matanya mengambang. Tangisnya siap pecah, namun masih dia tahan sekuat tenaga.Aldo menghela napas, "Bagaimana bisa kamu hamil lima bulan? Katamu ki--""Papa, mama dan dua kakak kamu dokter, Bang! Tanyakan ke mereka kenapa bisa usia kandungan aku menyentuh angka lima sekarang." potong Amanda getir. Jadi Aldo meragukan janin dalam kandungan Amanda?"Tidak salah ka--""Aku berani bersumpah bahwa aku hanya tidur denganmu! Aku tidak pernah tidur dengan lelaki lain." Kembali Amanda memotong, dadanya terasa sesak.Aldo menengadahkan kepala, menghirup udara banyak-banyak lalu kembali menatap Amanda yang setengah main menahan tangisnya supaya tidak pecah."Ok, baik."Kembali Amanda tersentak dengan begitu luar biasa. Aldo bahkan sama sekali tidak meminta maaf sudah menyinggung dan menyakiti perasaannya dengan pertanyaan gila barusan? Ah! Jangankan memeluk Amanda dan menenangkan diri Amanda, meminta maaf saja tidak Aldo lakukan!"Istirahatlah, sudah malam."Aldo melewati Amanda berjalan menuju pintu, membuat Amanda sontak menoleh dan menatap sosok itu dari tempatnya berdiri."Kamu mau kemana, Bang?" sisa kesabaran Amanda hampir habis!"Tidur. Aku mau tidur di kamar tamu." Aldo membalikkan badan, menatap Amanda dengan tatapan datar lalu kembali melangkah tanpa sepatah kata.Sepeninggal sosok itu, tangis Amanda pecah. Ia menjatuhkan tubuh ke tepi ranjang. Rasanya ia sudah tidak sanggup lagi menopang semua rasa sakit yang menghujam hatinya secara bertubi-tubi hari ini."Nggak! Kamu nggak boleh nangis, Nda!" Ujar Amanda pada dirinya sendiri. "Suami kamu melakukan itu semua bukan karena dia udah nggak cinta! Tapi karena dia ... dia ...."Tangis Amanda kembali pecah. Ia bahkan tidak sanggup lagi menyelesaikan kalimat penyemangat untuk dirinya sendiri. Jujur dalam hatinya pun bertanya-tanya, setelah semua kejadian ini, apakah benar Aldo akan kembali mencintai Amanda seperti dulu lagi ketika ia sudah mendapatkan semua memorinya? Atau malah ...."Nggak, Nda ... jangan punya pikiran kayak gitu, kumohon, Nda!" Rintih Amanda pilu, dadanya terasa begitu sesak."Ini cuma badai, Nda ... dan kamu tentu percaya, setelah semua badai ini berlalu, dunia akan kembali baik-baik saja."Amanda menyeka jejak air mata di wajah. Pandangan Amanda beralih pada perut, ia tersenyum dengan air mata menitik, mengelus puncak perut itu sambil mengigit kuat-kuat bibirnya.Ia hampir berhasil menahan tangis, ketika mendadak pertanyaan itu muncul di dalam kepalanya. Isaknya kembali pecah, ia tergugu sambil menutup wajah dengan ke dua tangan."Tapi mau sampai kapan? Sampai kapan dia akan seperti itu dan apakah ... apakah harus anakku nantinya lahir dengan ayah yang sama sekali tidak mengenali bahkan tidak menganggapnya ada?"***"Kenapa aku tidak ingat satupun tentang perempuan itu?"Aldo menjatuhkan diri di atas sofa ruang tamu. Tubuhnya ia sandarkan di sana dengan kepala menengadah ke atas. Otaknya terus berusaha membuka lembaran-lembaran memori yang dia miliki. Berusaha mencari keberadaan wanita hamil itu dalam pikirannya. Namun sekali lagi, hasilnya nihil! Aldo sama sekali tidak menemukan seberkas kenangan kecil tentang wanita itu, tentang kisah cinta mereka."Nikah bulan April dan dia sudah hamil lima bulan?" Aldo kembali teringat obrolan mereka, "Bagaimana bisa?"Kini ia sibuk menghitung jarak antara pernikahan mereka (yang katanya terjadi di bulan April) dengan usia kandungan wanita itu. Rasanya tidak mungkin! Bagaimana bisa? Atau jangan-jangan, dulu benar Aldo menikahinya dan dia sudah dalam keadaan hamil?"Kuncinya ada di ingatan aku!" Aldo memejamkan mata, menghirup udara banyak-banyak guna menenangkan diri dan hatinya."Tapi bagaimana caranya mengembalikan ingatan aku yang hilang?"Foto-foto yang terpajang di kamar sama sekali belum bisa meyakinkan Aldo. Terlebih usia kandungan Amanda yang makin membuat Aldo ragu. Selain itu, Aldo sama sekali tidak merasakan getaran apapun ketika menatap mata wanita itu, berdekatan dengan wanita itu. Sama sekali tidak ada!"Seharusnya ... kalaupun benar aku menikahi dia atau benar-benar jatuh cinta padanya, aku bisa merasakan sedikit perasaan itu ada di hati aku. Tapi ini sama sekali tidak!"Tidak ada ikatan batin yang membuat Aldo yakin pada fakta bahwa wanita itu adalah istrinya. Bukan salah Aldo kalau dia jadi begitu ragu dengan kenyataan ini?Atau sebenarnya ada seuatu yang terjadi? Tapi sesuatu itu apa?Sementara Aldo tengah berusaha kuat mengingat kepingan memorinya yang hilang, di kamar yang tadi Aldo tinggalkan itu, Amanda tengah berusaha menguatkan hati dan dirinya kembali.Samar-samar kenangan itu kembali berkelebat dalam otaknya, kenangan ketika pertama kali lelaki gagah namun terkesan begitu cuek kepadanya akhirnya bersuara panjang lebar."Kenapa mau jadi perawat?"Amanda yang sudah melilitkan manset guna mengukur tekanan darah Aldo kontan mengangkat wajah dan menatap mata itu. Mata hitam legam yang selama ini tidak pernah terlihat ramah kepadanya."Almarhumah ibu pengen anaknya ada yang jadi perawat, Bang." Jawab Amanda apa adanya."Jadi bukan keinginan dari hati kamu sendiri?"Kening Amanda berkerut, kenapa tumben sekali lelaki satu ini banyak bicara? Amanda tersenyum, menyelesaikan tugasnya mengukur tekanan darah lelaki itu lalu melepaskan manset dari lengannya."Tidak juga!" Amanda melipat manset, menuliskan hasil pemeriksaan di selembar kertas yang ada di atas meja. "Aku juga ingin jadi perawat, Bang. Asyik aja bisa bantu dokter periksa pasien."Lelaki itu menurunkan satu lengan baju yang tadi dia singkap sampai atas siku, matanya tidak lepas menatap Amanda dengan tatapan lain dari biasanya.Sebuah tatapan yang membuat Amanda sedikit kikuk dan jadi salah tingkah."Jadi kamu enjoy sama pekerjaan kamu?" pertanyaan kembali terlontar dari bibir tipis di hadapannya, membuat Amanda makin bingung, kenapa tentara satu ini menanyainya sedemikian?"Ya enjoy sih, Bang. Namanya juga cita-cita dari kecil kan, rasanya ba--""Ada waktu nanti malam?"Amanda membulatkan matanya, ia menatap lelaki itu dengan tatapan tidak percaya. Tentara yang biasanya sedikit acuh ini kenapa sih? Kenapa mendadak jadi aneh begini?"Me-memang ada apa ya, Bang?""Kalau ada waktu, nanti malam aku tunggu di depan gapura. Kalian balik ke rumah sakit besok pagi, kan? Aku tunggu jam delapan tepat!"Belum sempat Amanda menjawab, lelaki itu bangkit dan meninggalkan meja pemeriksaan tanpa sepatah kata lagi. Suara pintu yang tertutup membuat Amanda sedikit melonjak terkejut.Amanda tersenyum, ia menyeka air matanya ketika mengingat saat itu. Saat di mana untuk pertama kalinya dia dan Aldo bertemu di luar kepentingan pekerjaan. Sebuah suasana canggung namun begitu manis untuk dikenang."Kenapa kamu bisa lupa sama malam itu, Bang? Kenapa semua ingatan itu bisa hilang tak berbekas?""Mas Aldo mau dibuatin minum?"Aldo yang tengah berusaha mengumpulkan kepingan memorinya yang hilang kontan terkejut. Ia menoleh dan mendapati Mbak Tik sudah berdiri tidak jauh darinya. "Boleh, Mbak. Makasih banyak."Wanita empat puluh tahunan itu mengangguk, segera undur diri dan menghilang dari pandangan Aldo. Aldo masih menatap arah di mana wanita itu menghilang. Ia menghela napas panjang, menghembuskan perlahan-lahan ke udara lalu kembali menyandarkan tubuh ke sofa. "Sama Mbak Tik aja aku inget loh! Masa sama yang katanya istri aku bisa sama sekali nggak inget sih?"Itu yang terus Aldo herankan sejak kepulangannya ke sini. Jangan lupa tentang bagaimana Aldo sama sekali tidak memiliki perasaan apa-apa, ikatan batin apapun dengan Amanda. Bagaimana bisa dulu mereka menikah kalau begini? "Apa aku mungkin dibodohin, ya? Papa kasihan gitu sama aku terus dicariin jodoh?" Aldo merubah posisi duduknya, masih sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi sebelum ia pergi dan kehi
"Astaga, Al! Tapi kamu masih inget sama Mama. Jadi yang dimaksud amnesia itu yang kayak gimana, Al?"Aldo menghela napas panjang, ia meraih cangkir teh miliknya. Meneguk cairan itu perlahan-lahan lalu meletakkan cangkir itu kembali ke atas meja. "Malah ingatan-ingatan baru Aldo yang hilang entah kemana, Ma. Begitu Aldo sadar kemarin ... Aldo bener-bener syok dan kaget. Bagaimana bisa Aldo ada di sana? Siapa orang-orang yang ada sama Aldo, Aldo sama sekali nggak kenal dan nggak tahu siapa mereka."Yuri mengangguk pelan, wajahnya nampak tegang. Dia nampak tengah memikirkan sesuatu. Sementara Aldo, ia sibuk kembali mencoba memunguti sisa-sisa kenangan yang bisa kembali dia satukan dalam otaknya. Kenangan tentang wanita yang disebut-sebut sebagai istri Aldo. "Kamu inget sama Arra?"Aldo terkejut, ia menoleh dan menatap mamanya yang nampak tengah mengawasinya dengan tatapan menyelidik. "Ya kenal dong, Ma! Masa lupa sana Arra sih? Orang dulu PAUD-nya sama-sama. Temenan juga dari kecil. M
"Astaga!"Amanda mendesis ketika kenangan itu kembali berkelebat dalam benaknya. Sebuah momen pahit yang akan selalu Amanda ingat sampai kapanpun. Itu baru permulaan, selanjutnya? Rasanya Amanda ingin amnesia saja agar tidak kembali mengingat bagaimana perlakuan Yuri, ibu kandung suaminya terhadap Amanda. "Nggak salah kalo aku lantas takut, bukan?" Amanda merasakan kepalanya pusing. "Mama benci banget sama aku dari dulu. Bisa saja dia nanti ...."Amanda menggelengkan kepalanya kuat-kuat, ia lantas bangkit melangkah ke kamar mandi. Mencuci muka, atau mandi sekalian guna mendinginkan hati dan kepalanya yang memanas. Sementara Amanda tengah berusaha menenangkan diri, Aldo masih bercengkrama dengan ibunya di lantai bawah. "Sejak kapan Mama jadi akrab sama mamanya Joselyn, Ma?"Aldo menangkap binar cerah terpancar di mata itu. Kembali raut wajah seseorang yang pernah menjadi sosok paling spesial dalam hati Aldo muncul dan bertahan diingatannya sampai beberapa saat. Membuat sebuah pertan
"Ngomong apa kamu sama Aldo?"Yuri yang baru saja melangkah keluar dari rumah itu kontan melonjak kaget. Di hadapannya sudah berdiri sosok yang dulu pernah menjadi sandaran Yuri, sosok yang paling Yuri kagumi. Adnan terlihat tidak menua. Ia masih nampak segar dan gagah meskipun usianya sudah lanjut usia. Bahkan Yuri bisa lihat, mata itu tidak perlu kacamata seperti dirinya. Ah ... bahkan pesona Adnan masih begitu kuat terpancar kalau Yuri mau jujur. "Apa urusanmu tahu apa-apa saja yang aku bicarakan sama Aldo, Ma? Kau lupa? Aku ibu kandungnya! Dan aku berhak bicara apapun pada anakku sendiri."Adnan nampak mendengus kasar, senyum sinis tergambar di wajah itu. Dua tangan dokter bedah yang sudah pensiun itu dilipat di depan dada, dengan mata yang menatap Yuri dengan tatapan tajam. "Dan kau lupa? Aku bapak kandungnya! Jadi aku perlu tahu apa-apa saja yang kamu bicarakan pada anakku dengan kondisinya yang demikian."Mata Yuri membulat, ia lantas tertawa setengah mengejek. Hanya sesaat,
"Al, kamu di dalam?"Aldo yang baru saja keluar dari kamar mandi kontan segera melangkah menuju pintu kamar. Dibukanya pintu dan sosok itu sudah berdiri di depan pintu. "Papa baru pulang?" tanya Aldo lalu membuka pintu lebar-lebar, kode bahwa dia mengizinkan dan mempersilahkan papanya itu masuk de dalam. "Iya, baru aja sampai. Papa boleh masuk?"Aldo tersenyum, kepalanya terangguk pelan. Sosok itu melangkah masuk ke dalam, disusul Aldo setelah ia menutup pintu kamar rapat-rapat. "Kenapa malah tidur di sini? Bukan di kamar kamu, Al?"Pertanyaan itu menampar Aldo seketika, membuat Aldo mendadak kikuk dan tidak tahu harus menjawab apa. Sementara Adnan, ia hanya tersenyum di tempatnya duduk. "Nggak kangen sama istri? Biasanya orang-orang balik dinas langsung ngelonin istri." senyum itu merekah di wajah, terlihat setengah mengejek Aldo yang hanya tersenyum simpul seraya melangkah ke ranjang. "Entah, Pa. Aldo sendiri nggak tahu. Semua masih sama hanya saja rasanya begitu asing jika har
"Abang udah mikir sampai sana?"Sebuah pertanyaan terlontar secara spontan dari mulut Amanda sebagai tanggapan pernyataan cinta Aldo yang begitu tiba-tiba. Amanda bahkan belum menjawab pernyataan Aldo mengenai perasaan lelaki itu dan Aldo susah begitu jauh membahas tentang pernikahan? Mendapat pertanyaan macam itu, Aldo malah tertawa dengan begitu renyah. Hanya sebentar, karena didetik selanjutnya Aldo kembali menatap Amanda dengan tatapan serius dan seulas senyum manis. "Memang kenapa? Kamu pikir Abang macarin kamu cuma buat main-main aja? Abang serius!" tegas Aldo kemudian. "Ya mungkin memang kita perlu masa pendekatan dan pengenalan satu sama lain, Dek. Tapi tujuan Abang ya ke sana, nggak cuma mau ngajakin anak orang jalan rontang-runtung berdua aja."Entah bagaimana raut wajah Amanda sekarang, dia sendiri tidak tahu. Yang jelas rasanya tubuh Amanda begitu ringan. Ia seperti melayang mendengar kalimat-kalimat yang terucap dari mulut itu. Sebuah kalimat paling manis yang sama seka
Tok ... Tok ... TokTerdengar suara ketukan di pintu, Aldo mengerjapkan mata. Berusaha membuka matanya lebar-lebar guna melirik jam dinding yang tergantung di tembok. "Ah sudah pagi rupanya!" Angka 6 yang ditunjuk jarum jam, pantas saja pintu kamarnya sudah ada yang mengetuk. Aldo dengan malas berusaha bangkit, menguap sejenak ketika ia berhasil duduk di tepi ranjang. Tok ... Tok ... TokKembali suara ketukan itu terdengar membuat Aldo kontan bangkit dan melangkah menuju pintu. Dengan cepat Aldo meraih gagang pintu, memutar kunci dan membuka pintu itu dengan segera. "Siapa si--"Aldo tercekat, nampak Amanda sudah berdiri di depan pintu dengan nampan berisi secangkir kopi dan setangkup roti isi. "Sarapan dulu yuk, Bang?" desisnya sambil menyunggingkan senyum. Aldo menghirup udara dalam-dalam, nampak mata Amanda sedikit bengkak. Tapi apa peduli Aldo? Dan menu di nampan itu ... kenapa dia bisa tahu kalau Aldo tidak terbiasa makan nasi untuk makan pagi? "Ok. Terimakasih!"Dengan se
"Kamu ngapain di sini?"Amanda tersentak, sosok itu sudah berdiri di belakangnya, membuat Amanda rasanya seperti hampir pingsan. Tidak ada hal paling menyeramkan baginya kecuali bertemu dengan wanita ini. "A-anu, Ma ... Amanda anter sarapan buat Bang Al." jawab Amanda yang langsung menundukkan wajah. "Nggak usah panggil Mama, kan saya udah bilang dari dulu!" tegas suara itu dengan nada tak suka. "Nggak kamu kasih macem-macem kan di makanannya? Atau kamu mau bikin Aldo mbangkang lagi sama mamanya?"Jleb! Spontan Amanda mengangkat wajah, menatap sosok itu dengan tatapan terkejut dan tidak percaya. Sebenarnya ini bukan kali pertama Amanda dituduh 'memberi sesuatu' pada Aldo, tapi Amanda benar-benar tidak menyangka kalau bahkan dalam kondisi Aldo yang menolak dan sama sekali tidak mengingat dirinya, sang mama mertua masih menuduhnya demikian. "Ya ampun, Ma ... demi Tuhan, Amanda ngga--""Sudah di bilang jangan panggil saya mama! Sejak ka--""Kamu datang pagi-pagi ke rumah orang cuma m