Share

Ch. 4 Lebih Sakit

"Itu benar anakku?"

Hening.

Dunia Amanda seolah runtuh begitu kalimat itu menyapanya dengan sorot mata ragu. Wajah itu masih sama asingnya dengan yang dia lihat, dingin menyapa dan mencengkeram kuat hati Amanda dengan begitu luar biasa.

Ia seperti dihantam dengan begitu keras. Tidak terlihat lagi sorot kebahagiaan sedikitpun di mata Amanda. Setitik kebahagiaan yang tadi hinggap di mata dan wajah Amanda, kini benar-benar lenyap!

"Per-pertanyaan macam apa itu, Bang?" Amanda sedikit tergagap, air matanya mengambang. Tangisnya siap pecah, namun masih dia tahan sekuat tenaga.

Aldo menghela napas, "Bagaimana bisa kamu hamil lima bulan? Katamu ki--"

"Papa, mama dan dua kakak kamu dokter, Bang! Tanyakan ke mereka kenapa bisa usia kandungan aku menyentuh angka lima sekarang." potong Amanda getir. Jadi Aldo meragukan janin dalam kandungan Amanda?

"Tidak salah ka--"

"Aku berani bersumpah bahwa aku hanya tidur denganmu! Aku tidak pernah tidur dengan lelaki lain." Kembali Amanda memotong, dadanya terasa sesak.

Aldo menengadahkan kepala, menghirup udara banyak-banyak lalu kembali menatap Amanda yang setengah main menahan tangisnya supaya tidak pecah.

"Ok, baik."

Kembali Amanda tersentak dengan begitu luar biasa. Aldo bahkan sama sekali tidak meminta maaf sudah menyinggung dan menyakiti perasaannya dengan pertanyaan gila barusan? Ah! Jangankan memeluk Amanda dan menenangkan diri Amanda, meminta maaf saja tidak Aldo lakukan!

"Istirahatlah, sudah malam."

Aldo melewati Amanda berjalan menuju pintu, membuat Amanda sontak menoleh dan menatap sosok itu dari tempatnya berdiri.

"Kamu mau kemana, Bang?" sisa kesabaran Amanda hampir habis!

"Tidur. Aku mau tidur di kamar tamu." Aldo membalikkan badan, menatap Amanda dengan tatapan datar lalu kembali melangkah tanpa sepatah kata.

Sepeninggal sosok itu, tangis Amanda pecah. Ia menjatuhkan tubuh ke tepi ranjang. Rasanya ia sudah tidak sanggup lagi menopang semua rasa sakit yang menghujam hatinya secara bertubi-tubi hari ini.

"Nggak! Kamu nggak boleh nangis, Nda!" Ujar Amanda pada dirinya sendiri. "Suami kamu melakukan itu semua bukan karena dia udah nggak cinta! Tapi karena dia ... dia ...."

Tangis Amanda kembali pecah. Ia bahkan tidak sanggup lagi menyelesaikan kalimat penyemangat untuk dirinya sendiri. Jujur dalam hatinya pun bertanya-tanya, setelah semua kejadian ini, apakah benar Aldo akan kembali mencintai Amanda seperti dulu lagi ketika ia sudah mendapatkan semua memorinya? Atau malah ....

"Nggak, Nda ... jangan punya pikiran kayak gitu, kumohon, Nda!" Rintih Amanda pilu, dadanya terasa begitu sesak.

"Ini cuma badai, Nda ... dan kamu tentu percaya, setelah semua badai ini berlalu, dunia akan kembali baik-baik saja."

Amanda menyeka jejak air mata di wajah. Pandangan Amanda beralih pada perut, ia tersenyum dengan air mata menitik, mengelus puncak perut itu sambil mengigit kuat-kuat bibirnya.

Ia hampir berhasil menahan tangis, ketika mendadak pertanyaan itu muncul di dalam kepalanya. Isaknya kembali pecah, ia tergugu sambil menutup wajah dengan ke dua tangan.

"Tapi mau sampai kapan? Sampai kapan dia akan seperti itu dan apakah ... apakah harus anakku nantinya lahir dengan ayah yang sama sekali tidak mengenali bahkan tidak menganggapnya ada?"

***

"Kenapa aku tidak ingat satupun tentang perempuan itu?"

Aldo menjatuhkan diri di atas sofa ruang tamu. Tubuhnya ia sandarkan di sana dengan kepala menengadah ke atas. Otaknya terus berusaha membuka lembaran-lembaran memori yang dia miliki. Berusaha mencari keberadaan wanita hamil itu dalam pikirannya. Namun sekali lagi, hasilnya nihil! Aldo sama sekali tidak menemukan seberkas kenangan kecil tentang wanita itu, tentang kisah cinta mereka.

"Nikah bulan April dan dia sudah hamil lima bulan?" Aldo kembali teringat obrolan mereka, "Bagaimana bisa?"

Kini ia sibuk menghitung jarak antara pernikahan mereka (yang katanya terjadi di bulan April) dengan usia kandungan wanita itu. Rasanya tidak mungkin! Bagaimana bisa? Atau jangan-jangan, dulu benar Aldo menikahinya dan dia sudah dalam keadaan hamil?

"Kuncinya ada di ingatan aku!" Aldo memejamkan mata, menghirup udara banyak-banyak guna menenangkan diri dan hatinya.

"Tapi bagaimana caranya mengembalikan ingatan aku yang hilang?"

Foto-foto yang terpajang di kamar sama sekali belum bisa meyakinkan Aldo. Terlebih usia kandungan Amanda yang makin membuat Aldo ragu. Selain itu, Aldo sama sekali tidak merasakan getaran apapun ketika menatap mata wanita itu, berdekatan dengan wanita itu. Sama sekali tidak ada!

"Seharusnya ... kalaupun benar aku menikahi dia atau benar-benar jatuh cinta padanya, aku bisa merasakan sedikit perasaan itu ada di hati aku. Tapi ini sama sekali tidak!"

Tidak ada ikatan batin yang membuat Aldo yakin pada fakta bahwa wanita itu adalah istrinya. Bukan salah Aldo kalau dia jadi begitu ragu dengan kenyataan ini?

Atau sebenarnya ada seuatu yang terjadi? Tapi sesuatu itu apa?

Sementara Aldo tengah berusaha kuat mengingat kepingan memorinya yang hilang, di kamar yang tadi Aldo tinggalkan itu, Amanda tengah berusaha menguatkan hati dan dirinya kembali.

Samar-samar kenangan itu kembali berkelebat dalam otaknya, kenangan ketika pertama kali lelaki gagah namun terkesan begitu cuek kepadanya akhirnya bersuara panjang lebar.

"Kenapa mau jadi perawat?"

Amanda yang sudah melilitkan manset guna mengukur tekanan darah Aldo kontan mengangkat wajah dan menatap mata itu. Mata hitam legam yang selama ini tidak pernah terlihat ramah kepadanya.

"Almarhumah ibu pengen anaknya ada yang jadi perawat, Bang." Jawab Amanda apa adanya.

"Jadi bukan keinginan dari hati kamu sendiri?"

Kening Amanda berkerut, kenapa tumben sekali lelaki satu ini banyak bicara? Amanda tersenyum, menyelesaikan tugasnya mengukur tekanan darah lelaki itu lalu melepaskan manset dari lengannya.

"Tidak juga!" Amanda melipat manset, menuliskan hasil pemeriksaan di selembar kertas yang ada di atas meja. "Aku juga ingin jadi perawat, Bang. Asyik aja bisa bantu dokter periksa pasien."

Lelaki itu menurunkan satu lengan baju yang tadi dia singkap sampai atas siku, matanya tidak lepas menatap Amanda dengan tatapan lain dari biasanya.

Sebuah tatapan yang membuat Amanda sedikit kikuk dan jadi salah tingkah.

"Jadi kamu enjoy sama pekerjaan kamu?" pertanyaan kembali terlontar dari bibir tipis di hadapannya, membuat Amanda makin bingung, kenapa tentara satu ini menanyainya sedemikian?

"Ya enjoy sih, Bang. Namanya juga cita-cita dari kecil kan, rasanya ba--"

"Ada waktu nanti malam?"

Amanda membulatkan matanya, ia menatap lelaki itu dengan tatapan tidak percaya. Tentara yang biasanya sedikit acuh ini kenapa sih? Kenapa mendadak jadi aneh begini?

"Me-memang ada apa ya, Bang?"

"Kalau ada waktu, nanti malam aku tunggu di depan gapura. Kalian balik ke rumah sakit besok pagi, kan? Aku tunggu jam delapan tepat!"

Belum sempat Amanda menjawab, lelaki itu bangkit dan meninggalkan meja pemeriksaan tanpa sepatah kata lagi. Suara pintu yang tertutup membuat Amanda sedikit melonjak terkejut.

Amanda tersenyum, ia menyeka air matanya ketika mengingat saat itu. Saat di mana untuk pertama kalinya dia dan Aldo bertemu di luar kepentingan pekerjaan. Sebuah suasana canggung namun begitu manis untuk dikenang.

"Kenapa kamu bisa lupa sama malam itu, Bang? Kenapa semua ingatan itu bisa hilang tak berbekas?"

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Lolita
sedih banget cerita nya .........
goodnovel comment avatar
Reni Asmiati
semoga gak ada pelakor saat kondisi aldo kayak gini thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status