Share

Part 5 Hati yang Rapuh

last update Last Updated: 2022-05-24 18:44:30

Zea merasa curiga ketika Alina belum juga bangkit dari tempat tidur. Selepas sholat shubuh wanita itu kembali bergulung dalam selimut. Ini bukanlah kebiasaan Alina. Wanita itu pekerja keras dan bersemangat dalam mencari nafkah.

“Mama kenapa?”

“Kepala mama pusing Zea,” keluh Alina sambil memijit kepalanya yang terasa berputar.

“Zea bikinkan teh ya, Ma.” Gadis itu segera ke dapur, memasak air di panci kecil kemudian menyeduh teh untuk Alina.

Zea meletakkan secangkir teh tak jauh dari Alina berbaring. Ia bergegas ke dapur, mengambil adonan roti yang telah mengembang lalu menggorengnya. Untung saja saat ini libur sekolah, jadi Zea punya waktu untuk mengambil alih pekerjaan Alina.

“Mama mana?” tanya Zyan yang baru saja pulang sholat subuh dari masjid.

“Nggak enak badan, Mas.”

Laki-laki itu bergegas menuju kamar Alina. Ia berjalan mendekat lalu duduk di kasur lusuh yang terhampar di lantai. Tangan Zyan bergerak menyentuh dahi sang ibu memastikan wanita itu baik-baik saja.

“Mama pusing, hanya butuh istirahat,” ucap Alina agar putranya tak khawatir akan kesehatannya.

“Mama jangan banyak pikiran, apalagi memikirkan tante Rosa dan Papa.”

Alina membuka matanya menatap sang putra, Zyan sudah terlalu dewasa untuk ia bohongi. Dulu, ia selalu bersembunyi dari rasa sakit setiap kali kedapatan meneteskan air mata oleh kedua anaknya.

“Zyan tau kode yang diberikan tubuh mama. Setiap kali mama memikirkan mereka, pasti besoknya kondisi tubuh mama menurun.”

Zyan masih ingat ketika orang suruhan Pandu mencari mereka. Alina langsung meminta kedua anak-anaknya bersiap dan pindah ke kontrakan lain untuk menghindar. Alina bukannya tak mau menghadapi Pandu tapi, ia takut jika laki-laki itu mengambil kedua buah hatinya. Sudah pasti Alina akan mati karena mereka ibarat udara bagi Alina dalam menjalani kehidupan.

“Mama ingin kita pindah kontrakan, Zyan.”

“Jika dengan pindah kontrakan bisa membuat mama senang dan tak sakit lagi. Zyan akan turuti.”

“Cari yang tak jauh dari sekolah Zea dan juga tempat kuliahmu.”

“Iya, Ma. Nanti Zyan akan cari tempat yang aman agar tante itu tak bisa menemukan mama lagi.”

Air mata Alina menetes, entah sampai kapan ia harus bersembunyi dari Pandu dan istrinya. Ia belum siap bertemu Pandu. Rasa sakit yang ditorehkan laki-laki itu terlalu dalam. Enam tahun telah berlalu tapi rasa sakit itu enggan pergi dari hatinya.

Zyan menggenggam tangan Alina, seperti menyalurkan energi melalui genggaman itu.

“Mama istirahat, jangan khawatir, Zea sudah menggoreng roti di dapur.”

Zyan meninggalkan wanita itu kemudian berjalan ke dapur. Ia mengambil roti yang telah matang kemudian memasukkannya ke dalam plastik pembungkus.

“Mama sudah baikan, Mas?” tanya Zea yang fokus pada penggorengan panas di depannya.

“Lagi istirahat, insyaallah sebentar lagi juga sembuh.”

***SPW***

Setiap akhir pekan Alina mengurangi membuat roti goreng, karena ia hanya menitipkan dagangan di warung tetangga. Sebelumnya Alina pernah meminta ijin pada kedua anaknya untuk berjualan di pasar, tapi Zyan menolak. Ia tak mau wanita itu begitu menguras tenaga, apalagi pasar terlalu keras untuk Alina dalam mencari rizki.

Zea memasukkan Roti yang telah ia bungkus ke dalam kantong. Sebelum mengantar ke warung tetangga, gadis itu berpamitan pada sang ibu.

“Hati-hati di jalan ya, Nak.”

Alina mencoba bangkit dari tidurnya tapi Zea mencegah pergerakan wanita itu. Ia meminta Alina tetap istriahat di kamar mereka.

“Mama harus kerja, kasihan Nyonya Regina. Ia pasti kerepotan.”

Zea menahan pergerakan mamanya. “Biar Zea yang gantiin mama,”

“Jangan Nak.”

“Nggak apa-apa, Ma. Nyonya Regina itu baik, pasti ia nggak akan keberatan kalau Zea gantiin mama sementara waktu.”

Mata Alina mengabut. Dadanya terasa sesak membayangkan putrinya harus bekerja menggantikannya menjadi pembantu rumah tangga.

“Boleh ya, Ma?”

Zea sudah pernah bertemu majikan mamanya itu sekali ketika Zea di minta datang ke rumah itu.

“Bilang sama nyonya Regina kalau mama sedang sakit.”

“Iya, Ma. Zea berangkat dulu.”

Gadis itu berlalu membawa kantong plastik berisi roti goreng, setelah menitipkan dagangannya ke warung, Zea berjalan menuju komplek perumahan mewah tempat sang ibu bekerja.

Zea masuk dari pintu samping, Ia berdiri di depan pintu yang terhubung dengan dapur seraya mengucapkan salam.

Regina terkejut mendapati putri Alina berdiri di depan pintu. Selama ini wanita itu selalu tepat waktu dan tak pernah ijin kecuali sangat mendesak, itupun ia akan memberitahu beberapa hari sebelumnya.

“Maaf nyonya, hari ini mama sedang nggak enak badan, jadi pekerjaan mama biar Zea yang handle.”

“Jangan panggil Nyonya, rasanya aneh, panggil Tante saja ya.”

Wanita itu tersenyum menatap Zea yang begitu sopan persis seperti Alina. Itulah yang membuat Regina menyukai Alina. Baik, sopan dan sangat menjaga diri. Alina cantik, tak sama seperti pembantu pada umumnya, tapi Regina tak pernah merasa khawatir, karena ia yakin Alina bukan tipe wanita perebut suami orang.

Regina mempersilakan Zea masuk. Gadis itu langsung menuju dapur, membereskan meja makan dan mencuci piring. Sedangkan Regina mulai membuat sarapan pagi untuk keluarganya.

“Sini Zea bantu Tante.” Dengan cekatan Zea mengambil pisau dan mulai mengupas bawang. Regina yang melihat gadis itu begitu terampil membuatnya kagum. Dulu, saat seumur Zea, Regina belum pernah menyentuh benda itu.

Setelah tamat kuliah, barulah Regina mengenal dapur karena sang suami ingin mempunyai istri yang fokus pada keluarga.

Selesai membantu Regina di dapur, Zea mulai membersihkan rumah. Menyapu dan mengepel lantai, tak lupa ia menyirami bunga serta menyapu halaman.

“Tante, cuciannya masih ada lagi?” tanya Zea yang melihat keranjang baju kotor hanya ada beberapa potong pakaian.

“Oh, iya, masih ada Zea. Pakaian anak tante belum di bawa. Zea ke kamar anak tante saja, sekalian bangunin dia untuk sarapan pagi,” titah Regina.

“Baik, Tante.”

Zea melangkah menaiki anak-anak tangga. Matanya mulai memindai kamar satu persatu mencari kamar anak bungsu majikannya. Ia mengetuk pintu kamar setelah memastikan bahwa itu adalah kamar anak majikannya.

Beberapa lama menunggu, pintu terbuka menampakkan sosok lelaki jangkung yang sangat di kenalnya. Mata Zea membulat, ia tak menyangka rumah tempat mamanya bekerja adalah rumah Bryan-teman sekelasnya.

“Elo?” Bryan kaget tak percaya menatap gadis yang berdiri di depannya. “Apa gue nggak mimpi di apelin Rayna Zea Dirgantara pagi-pagi?”

Zea yang tak kalah kaget berusaha bersikap cuek meski hati kecilnya merasa malu. “Gue ada di sini bukan mimpi tapi, ngapelin elo? Jangan mimpi!”

“Trus, ngapain lo ke sini kalau bukan kangen gue?”

“Kerja! Tuh, elo di panggil nyokap lo untuk sarapan pagi.”

“Lo kerja? Di rumah gue?” tanya Bryan tak percaya.

“Iya! Sekarang gue mau ambil pakaian kotor lo, di mana?”

Bryan tak menjawab, laki-laki itu masih tak percaya dengan perkataan Zea yang seperti bercanda.

“Hei!” teriak Zea memutus lamunan Bryan.

“Beneran lo kerja di sini?”

“Iya, gue gantiin mama sementara.”

“Oh … jadi elo anaknya Bu Alina.”

Gadis itu mengangguk.

“Kok, lo bertolak belakang dengan Bu Alina? Dia sopan dan lemah lembut tapi kenapa anaknya galak?”

Mata gadis itu membulat membuat Bryan tertawa lebar. Pagi hari hatinya begitu bahagia melihat gadis cantik di depannya.

“Dimana pakaian kotor lo?”

“Ya, di kamar mandi lah! Ambil sendiri! Kan lo kerja di sini?”

Zea mendengkus kesal, bibirnya mengerucut setiap kali Bryan menggodanya. “Lo keluar dulu, gue mau masuk!”

“Ini kamar gue, terserah gue mau keluar atau tetap di sini.”

“Awas aja kalau lo macam-macam!”

Zea memasuki kamar, memindai kamar pemuda itu dari sudut ke sudut kemudian mengambil pakaian yang tergeletak di lantai.

“Ini kotor?” tanya Zea pada kemeja yang ia temukan.

“Lo cium aja.”

Zea membawa pakaian itu mendekati hidung, tak lama tawa Bryan pecah karena Zea berhasil mencium bajunya. Zea yang menyadari bahwa ia sedang dikerjai melempar pakaian itu ke wajah Bryan.

“Lo ingat ya, itu bau badan calon suami lo.”

“Ogah!”

Zea berlalu memasuki kamar mandi. Ia mengambil satu persatu pakaian kotor yang tergantung kemudian meletakkannya di tangan. Ketika melangkah, salah satu pakaian dalam Bryan jatuh. Mata gadis itu membulat melihat benda yang sangat privasi itu.

“Argh!!” teriak Zea mengagetkan Bryan yang berdiri di depan pintu.

“Kenapa?”

“Tuh!” Zea menunjuk benda itu jijik. “Gue nggak mau mencucinya. Lo cuci sendiri!”

“Lo cuciin!”

“Ogah!”

Zea bergidik ngeri meninggalkan benda itu di lantai tanpa mau memungutnya. “Melihat cangkangnya aja udah ketakutan, gimana melihat isinya,” ujar Bryan sambil tertawa ngakak.

Zea tak menanggapi, ia pura-pura tak peduli dengan Bryan yang masih saja menggodanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Rahma Wati
jodohin mereka tor
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Dsr pervert
goodnovel comment avatar
SisiliaAshila Gmah
di tunggu up nya thor .........
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mengembalikan Senyum Bidadari    Part 119

    “Maaf, saya datang terlambat,” ucap Alina dengan seulas senyum di bibir. Tak ada makian, sumpah serapah atau tatapan sinis padanya.Rosa tak menjawab, ia beralih memandang Daniel yang berdiri dari duduknya kemudian menghampiri mereka. Melihat penampilan Alina yang mewah dan berkelas, Rosa menjadi minder. “Silakan masuk, Bu,” ucap Daniel seraya membuka pintu lebar. Melihat sikap Daniel, Rosa yakin jika lelaki inilah yang mengundang Alina. “Sama siapa?” tanya Daniel seraya melirik ke arah jalan. Belum sempat Alina menjawab, lelaki itu telah berlalu mendekati mobil yang terparkir, kemudian berbicara dengan si pengemudi. Tak lama, pintu mobil pun terbuka menampakkan sosok tampan dan tinggi mirip Pandu Dirgantara keluar dari mobil mewah itu. Rosa terpana dan sedikit kecewa. Padahal, ia merindukan mantan suaminya.Mereka duduk di lantai yang beralaskan karpet. Ruang tamu Rosa masih kosong karena saat prosesi pernikahan terjadi, kursi tamu dipindahkan ke carport agar ruangan menjadi luas

  • Mengembalikan Senyum Bidadari    Part 118

    Laki-laki tiga puluh tahunan itu mulai berperan menjadi seorang ayah. Ia tak bisa meninggalkan gadis itu bergitu lama. Bahkan, Daniel terus melakukan pendekatan dan mempelajari apa yang disukai putrinya. Apalagi sikap Shanum yang mulai terbuka dan menyanyangi Daniel, membuat mereka cepat akrab. “Nanti papa jemput Shanum, ya!” ucap gadis itu setelah turun dari mobil. Ia mencium tangan Daniel kemudan memeluk lelaki itu. Shanum sangat bangga ketika satu persatu teman-temannya melihat sosok Daniel. Walaupun tak berorasi, tapi sikap Shanum seolah-olah memberitahukan pada mereka bahwa ‘Ini adalah papanya.’Daniel mengusap kepala putrinya kemudian melayangkan ciuman sebelum gadis itu beranjak menuju kelas. Sesekali, kepala mungil itu menoleh dan melambaikan tangan pada Daniel yang menatapnya tanpa kedip. “Dada, papa!” teriaknya dari kejauhan. Daniel membalas. Dada lelaki itu bergetar dan terasa sesak. Setelah sekian lama hidup tak tentu arah, kini, Daniel merasa menjadi seorang yang sa

  • Mengembalikan Senyum Bidadari    Part 117

    “Rasanya seperti digigit semut.”Seketika ucapan Shanum kembali terngiang kala Pandu mengajaknya pergi. Gadis itu juga bercerita ia digigit semut di rumah sakit. Rosa tersenyum masam mengingat bagaimana usaha Pandu mencari kebenaran tanpa melibatkan dirinya.Hidup begitu cepat berubah, harta, kedudukan dan nama baik dalam sekejap lenyap. Rosa yang dulu begitu angkuh dan sombong, kini tak berdaya. Daniel berbeda dengan Pandua, ia bukanlah laki-laki yang paham agama, sekeras apapun Rosa menjelaskan nasab anak yang lahir di luar pernikahan, Daniel tetap pada pendiriannya bahwa, ia adalah seorang ayah meski dengan cara yang salah. Rosa mengusap kepala Shanum. Ia memejamkan mata seraya berdoa agar nasib baik berpihak kepadanya. Apapapun hasilnya nanti, ia akan lakukan segala cara untuk mempertahankan Shanum dalam hidupnya. ***SPW***Rosa mengusap wajahnya setelah bermunajat kepada Allah. Semenjak kedatangan Daniel, hati wanita itu tak tenang. Ingin rasanya ia lari, tapi tak tau kemana a

  • Mengembalikan Senyum Bidadari    Part 116

    Pandu terdiam sejenak, ia menatap sorot mata Daniel. “Kenapa kamu ingin mengetahuinya? Apa kamu ingin menghancurkannya melalui anak itu?” Tatapan Pandu berubah tak bersahabat. “Aku tau, kamulah yang menyebarkan video tak senonoh Rosa. Sudah cukup kamu menghancurkan hidupnya. Jangan lakukan perbuatan itu lagi. Apalagi melibatkan Shanum-anak yang tak berdosa itu.”Daniel menghela napas lemah. Ia tau, kesalahan yang telah ia lakukan begitu besar. “Saya minta maaf, saya akui, memang saya yang melakukannya. Tapi, setelah melihatnya hancur, bukan kepuasan yang saya dapatkan melainkan rasa bersalah yang menghantui setiap hari.”Pandangan Daniel menerawang mengingat bagaimana kejahatannya hingga membuat Rosa hancur. Bahkan, wanita itu hanya pasrah dan tak pernah menuntutnya meski Rosa tau bahwa Daniellah yang telah mengungkap aib itu ke publik. “Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan mereka. Melihat gadis kecil itu, entah kenapa saya seperti melihat diri saya dalam dirinya. Saya yakin

  • Mengembalikan Senyum Bidadari    Part 115

    Wanita itu menggeleng. Rosa yang kehilangan putrinya mendadak takut dan cemas. Beberapa karyawan dan petugas keamanan mall mulai mencari Shanum melalui pengeras suara dan menyusuri area mall. Rosa berlari menuju satu persatu tempat yang kemungkinan dikunjungi putrinya hingga berakhir di salah satu toko mainan.Shanum tampak tersenyum pada seorang pria yang berjongkok mensejajarkan tinggi dengannya seraya memegang sebuah boneka Panda. Hati Rosa menjadi lega karena telah menemukan Shanum meski ada rasa khawatir dengan sosok lelaki itu.“Shanum!” panggil Rosa hingga membuat keduanya menoleh dan berdiri menghadap pada Rosa. “Mama, om itu beliin aku boneka ini, lucu kan?” tanya Shanum sambil menyodorkan boneka panda ke wajah Rosa.Rosa mengangguk dan tersenyum paksa. “Sudah bilang terima kasih?” Gadis kecil itu menoleh pada sosok lelaki yang dari tadi menatap Rosa lekat.“Makasih, Om,” ujar Shanum polos.Daniel tersenyum seraya mengusap kepala Shanum. Rosa menarik tangan putrinya menj

  • Mengembalikan Senyum Bidadari    Part 114

    Suara jeritan dan rintih kesakitan terdengar di sebuah ruang bersalin rumah sakit swasta. Alina berjalan mondar mandir dan tak tenang membayangkan putrinya yang sedang berjuang di dalam sana. Sebagai ibu, ia bisa merasakan apa yang putrinya rasakan. Dua kali Alina bertarung melawan maut untuk menghadirkan dua buah cintanya melalui persalinan normal.Genggaman tangan Zea begitu kuat mencengkram jemari Bryan. Berkali-kali wanita itu mengikuti petunjuk dokter kandungan agar bisa melahirkan buah cintanya. Peluh Zea berjatuhan membasahi tubuhnya bersamaan titik air mata Bryan yang jatuh karena tak sanggup melihat sang istri kesakitan. “Ayo, Zee, kamu pasti bisa,” ucap dengan suara bergetar. Ia tak peduli dengan tangannya yang terasa sakit karena cengkraman Zea yang begitu kuat. Bryan mencium pucuk kepala Zea seraya melafazkan doa. Nafas Zea mulai memburu bersamaan dorongan bayi yang ikut berjuang menatap dunia. Seketika senyumnya tercipta mendengar suara tangis menggema di ruangan itu.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status