Share

Part 5 Hati yang Rapuh

Zea merasa curiga ketika Alina belum juga bangkit dari tempat tidur. Selepas sholat shubuh wanita itu kembali bergulung dalam selimut. Ini bukanlah kebiasaan Alina. Wanita itu pekerja keras dan bersemangat dalam mencari nafkah.

“Mama kenapa?”

“Kepala mama pusing Zea,” keluh Alina sambil memijit kepalanya yang terasa berputar.

“Zea bikinkan teh ya, Ma.” Gadis itu segera ke dapur, memasak air di panci kecil kemudian menyeduh teh untuk Alina.

Zea meletakkan secangkir teh tak jauh dari Alina berbaring. Ia bergegas ke dapur, mengambil adonan roti yang telah mengembang lalu menggorengnya. Untung saja saat ini libur sekolah, jadi Zea punya waktu untuk mengambil alih pekerjaan Alina.

“Mama mana?” tanya Zyan yang baru saja pulang sholat subuh dari masjid.

“Nggak enak badan, Mas.”

Laki-laki itu bergegas menuju kamar Alina. Ia berjalan mendekat lalu duduk di kasur lusuh yang terhampar di lantai. Tangan Zyan bergerak menyentuh dahi sang ibu memastikan wanita itu baik-baik saja.

“Mama pusing, hanya butuh istirahat,” ucap Alina agar putranya tak khawatir akan kesehatannya.

“Mama jangan banyak pikiran, apalagi memikirkan tante Rosa dan Papa.”

Alina membuka matanya menatap sang putra, Zyan sudah terlalu dewasa untuk ia bohongi. Dulu, ia selalu bersembunyi dari rasa sakit setiap kali kedapatan meneteskan air mata oleh kedua anaknya.

“Zyan tau kode yang diberikan tubuh mama. Setiap kali mama memikirkan mereka, pasti besoknya kondisi tubuh mama menurun.”

Zyan masih ingat ketika orang suruhan Pandu mencari mereka. Alina langsung meminta kedua anak-anaknya bersiap dan pindah ke kontrakan lain untuk menghindar. Alina bukannya tak mau menghadapi Pandu tapi, ia takut jika laki-laki itu mengambil kedua buah hatinya. Sudah pasti Alina akan mati karena mereka ibarat udara bagi Alina dalam menjalani kehidupan.

“Mama ingin kita pindah kontrakan, Zyan.”

“Jika dengan pindah kontrakan bisa membuat mama senang dan tak sakit lagi. Zyan akan turuti.”

“Cari yang tak jauh dari sekolah Zea dan juga tempat kuliahmu.”

“Iya, Ma. Nanti Zyan akan cari tempat yang aman agar tante itu tak bisa menemukan mama lagi.”

Air mata Alina menetes, entah sampai kapan ia harus bersembunyi dari Pandu dan istrinya. Ia belum siap bertemu Pandu. Rasa sakit yang ditorehkan laki-laki itu terlalu dalam. Enam tahun telah berlalu tapi rasa sakit itu enggan pergi dari hatinya.

Zyan menggenggam tangan Alina, seperti menyalurkan energi melalui genggaman itu.

“Mama istirahat, jangan khawatir, Zea sudah menggoreng roti di dapur.”

Zyan meninggalkan wanita itu kemudian berjalan ke dapur. Ia mengambil roti yang telah matang kemudian memasukkannya ke dalam plastik pembungkus.

“Mama sudah baikan, Mas?” tanya Zea yang fokus pada penggorengan panas di depannya.

“Lagi istirahat, insyaallah sebentar lagi juga sembuh.”

***SPW***

Setiap akhir pekan Alina mengurangi membuat roti goreng, karena ia hanya menitipkan dagangan di warung tetangga. Sebelumnya Alina pernah meminta ijin pada kedua anaknya untuk berjualan di pasar, tapi Zyan menolak. Ia tak mau wanita itu begitu menguras tenaga, apalagi pasar terlalu keras untuk Alina dalam mencari rizki.

Zea memasukkan Roti yang telah ia bungkus ke dalam kantong. Sebelum mengantar ke warung tetangga, gadis itu berpamitan pada sang ibu.

“Hati-hati di jalan ya, Nak.”

Alina mencoba bangkit dari tidurnya tapi Zea mencegah pergerakan wanita itu. Ia meminta Alina tetap istriahat di kamar mereka.

“Mama harus kerja, kasihan Nyonya Regina. Ia pasti kerepotan.”

Zea menahan pergerakan mamanya. “Biar Zea yang gantiin mama,”

“Jangan Nak.”

“Nggak apa-apa, Ma. Nyonya Regina itu baik, pasti ia nggak akan keberatan kalau Zea gantiin mama sementara waktu.”

Mata Alina mengabut. Dadanya terasa sesak membayangkan putrinya harus bekerja menggantikannya menjadi pembantu rumah tangga.

“Boleh ya, Ma?”

Zea sudah pernah bertemu majikan mamanya itu sekali ketika Zea di minta datang ke rumah itu.

“Bilang sama nyonya Regina kalau mama sedang sakit.”

“Iya, Ma. Zea berangkat dulu.”

Gadis itu berlalu membawa kantong plastik berisi roti goreng, setelah menitipkan dagangannya ke warung, Zea berjalan menuju komplek perumahan mewah tempat sang ibu bekerja.

Zea masuk dari pintu samping, Ia berdiri di depan pintu yang terhubung dengan dapur seraya mengucapkan salam.

Regina terkejut mendapati putri Alina berdiri di depan pintu. Selama ini wanita itu selalu tepat waktu dan tak pernah ijin kecuali sangat mendesak, itupun ia akan memberitahu beberapa hari sebelumnya.

“Maaf nyonya, hari ini mama sedang nggak enak badan, jadi pekerjaan mama biar Zea yang handle.”

“Jangan panggil Nyonya, rasanya aneh, panggil Tante saja ya.”

Wanita itu tersenyum menatap Zea yang begitu sopan persis seperti Alina. Itulah yang membuat Regina menyukai Alina. Baik, sopan dan sangat menjaga diri. Alina cantik, tak sama seperti pembantu pada umumnya, tapi Regina tak pernah merasa khawatir, karena ia yakin Alina bukan tipe wanita perebut suami orang.

Regina mempersilakan Zea masuk. Gadis itu langsung menuju dapur, membereskan meja makan dan mencuci piring. Sedangkan Regina mulai membuat sarapan pagi untuk keluarganya.

“Sini Zea bantu Tante.” Dengan cekatan Zea mengambil pisau dan mulai mengupas bawang. Regina yang melihat gadis itu begitu terampil membuatnya kagum. Dulu, saat seumur Zea, Regina belum pernah menyentuh benda itu.

Setelah tamat kuliah, barulah Regina mengenal dapur karena sang suami ingin mempunyai istri yang fokus pada keluarga.

Selesai membantu Regina di dapur, Zea mulai membersihkan rumah. Menyapu dan mengepel lantai, tak lupa ia menyirami bunga serta menyapu halaman.

“Tante, cuciannya masih ada lagi?” tanya Zea yang melihat keranjang baju kotor hanya ada beberapa potong pakaian.

“Oh, iya, masih ada Zea. Pakaian anak tante belum di bawa. Zea ke kamar anak tante saja, sekalian bangunin dia untuk sarapan pagi,” titah Regina.

“Baik, Tante.”

Zea melangkah menaiki anak-anak tangga. Matanya mulai memindai kamar satu persatu mencari kamar anak bungsu majikannya. Ia mengetuk pintu kamar setelah memastikan bahwa itu adalah kamar anak majikannya.

Beberapa lama menunggu, pintu terbuka menampakkan sosok lelaki jangkung yang sangat di kenalnya. Mata Zea membulat, ia tak menyangka rumah tempat mamanya bekerja adalah rumah Bryan-teman sekelasnya.

“Elo?” Bryan kaget tak percaya menatap gadis yang berdiri di depannya. “Apa gue nggak mimpi di apelin Rayna Zea Dirgantara pagi-pagi?”

Zea yang tak kalah kaget berusaha bersikap cuek meski hati kecilnya merasa malu. “Gue ada di sini bukan mimpi tapi, ngapelin elo? Jangan mimpi!”

“Trus, ngapain lo ke sini kalau bukan kangen gue?”

“Kerja! Tuh, elo di panggil nyokap lo untuk sarapan pagi.”

“Lo kerja? Di rumah gue?” tanya Bryan tak percaya.

“Iya! Sekarang gue mau ambil pakaian kotor lo, di mana?”

Bryan tak menjawab, laki-laki itu masih tak percaya dengan perkataan Zea yang seperti bercanda.

“Hei!” teriak Zea memutus lamunan Bryan.

“Beneran lo kerja di sini?”

“Iya, gue gantiin mama sementara.”

“Oh … jadi elo anaknya Bu Alina.”

Gadis itu mengangguk.

“Kok, lo bertolak belakang dengan Bu Alina? Dia sopan dan lemah lembut tapi kenapa anaknya galak?”

Mata gadis itu membulat membuat Bryan tertawa lebar. Pagi hari hatinya begitu bahagia melihat gadis cantik di depannya.

“Dimana pakaian kotor lo?”

“Ya, di kamar mandi lah! Ambil sendiri! Kan lo kerja di sini?”

Zea mendengkus kesal, bibirnya mengerucut setiap kali Bryan menggodanya. “Lo keluar dulu, gue mau masuk!”

“Ini kamar gue, terserah gue mau keluar atau tetap di sini.”

“Awas aja kalau lo macam-macam!”

Zea memasuki kamar, memindai kamar pemuda itu dari sudut ke sudut kemudian mengambil pakaian yang tergeletak di lantai.

“Ini kotor?” tanya Zea pada kemeja yang ia temukan.

“Lo cium aja.”

Zea membawa pakaian itu mendekati hidung, tak lama tawa Bryan pecah karena Zea berhasil mencium bajunya. Zea yang menyadari bahwa ia sedang dikerjai melempar pakaian itu ke wajah Bryan.

“Lo ingat ya, itu bau badan calon suami lo.”

“Ogah!”

Zea berlalu memasuki kamar mandi. Ia mengambil satu persatu pakaian kotor yang tergantung kemudian meletakkannya di tangan. Ketika melangkah, salah satu pakaian dalam Bryan jatuh. Mata gadis itu membulat melihat benda yang sangat privasi itu.

“Argh!!” teriak Zea mengagetkan Bryan yang berdiri di depan pintu.

“Kenapa?”

“Tuh!” Zea menunjuk benda itu jijik. “Gue nggak mau mencucinya. Lo cuci sendiri!”

“Lo cuciin!”

“Ogah!”

Zea bergidik ngeri meninggalkan benda itu di lantai tanpa mau memungutnya. “Melihat cangkangnya aja udah ketakutan, gimana melihat isinya,” ujar Bryan sambil tertawa ngakak.

Zea tak menanggapi, ia pura-pura tak peduli dengan Bryan yang masih saja menggodanya.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Rahma Wati
jodohin mereka tor
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Dsr pervert
goodnovel comment avatar
SisiliaAshila Gmah
di tunggu up nya thor .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status