Share

Part 6 Menantu Bodoh

Rosa tak bersemangat memeriksa hasil penjualan busana muslim yang ia kelola. Busana syar’i yang sedang ia produksi berkembang pesat. Ia telah memiliki banyak mitra dalam pembuatan sampai penjualan busana muslim yang diberi nama ‘Rose’. Namun sayang, kesuksesannya sebagai entrepreneur muda tak semulus kehidupan rumah tangganya. Orang melihat kehidupannya baik-baik saja, apalagi Pandu tak pernah terlibat main hati dengan wanita lain. Rosa terlalu pintar menutupi semua, bahkan banyak sahabatnya yang meminta tips pada Rosa bagaimana cara dicintai suami.

Namun di balik itu, ada saja orang yang tak pernah melepaskan pandangannya sebagai pelakor meskipun ia sudah hijrah. Terlebih, saudara-saudara Pandu yang membencinya karena menyebabkan Alina dan keponakan mereka harus menyingkir.

“Permisi. Ibu, ada yang ingin bertemu,” ucap Priska, asisten Rosa.

“Ya, baik.” Wanita itu bangkit, kemudian berjalan menuju butik. Pandangannya tertuju pada seorang wanita paruh baya yang duduk di sofa. “Ibu.” Rosa mendekat, kemudian mencium tangan Ambarwati, ibunya Pandu, takzim.

“Usahamu makin berkembang dan maju. Kamu memang seorang pekerja keras,” pujinya datar.

“Alhamdulillah, Bu.”

Ambarwati menatap sekeliling butik yang memajang berbagai gamis syar’i aneka warna. Tampak beberapa pelayan sedang melayani pembeli yang datang silih berganti. Rosa memang pintar berbisnis, mampu membaca peluang dengan mem-posting barang dagangan di media sosial sehingga mampu menggaet pembeli dalam waktu singkat.

“Ibu mau minum apa?”

“Enggak perlu. Terima kasih.” Ambarwati memandang Rosa sendu, sebelum angkat bicara. “Bagaimana kehidupanmu dengan Pandu?”

“Alhamdulillah, Bu. Kami baik-baik saja.”

“Apa kalian bahagia?”

Wanita itu mengangguk dengan senyum mengembang. Ia rasa tak perlu menceritakan aib keluarganya pada orang lain, termasuk Ambarwati, mertuanya.

“Apa Pandu memperlakukanmu dengan baik?”

“Alhamdulillah, Bu. Mas Pandu sangat baik, bahkan ia juga yang mengajari saya berbisnis dan memodali butik hingga maju sampai sekarang.”

Wanita itu mengangguk-angguk mendengar penuturan Rosa.

“Insyaallah, sebentar lagi kami akan launching produk terbaru. Doakan, ya, Bu. Semoga sukses.”

Wajah Ambarwati mendadak pias. Dadanya terasa sesak mendengar perkataan Rosa yang begitu bahagia dan bangga dengan kesuksesannya. Ditatapnya wajah menantunya itu lekat, tak lama mata wanita itu berkaca-kaca. “Kamu wanita yang pintar dan cerdas, Rosa. Enggak seperti Alina, menantuku.”

Perkataan Ambarwati mengagetkan Rosa. Ia terdiam, karena belum mengerti ke mana arah pembicaraan mertuanya itu.

“Kamu bisa mengelola modal yang diberikan Pandu hingga maju dan bisa hidup mewah dengan penghasilan yang kamu dapatkan.” Ambarwati menghela napas lemah, sebelum melanjutkan bicara. “Seandainya kamu butuh uang, kamu bisa meminta padaku tanpa harus menghancurkan rumah tangga anakku dengan Alina.”

Rosa terenyak. Perkataan Ambarwati menamparnya tanpa menyentuh.

“Alina itu bodoh, ia enggak sepintar kamu. Seandainya saja ia cerdas dan bisa merayu Pandu untuk menyerahkan hartanya, ia enggak perlu lari dan hidup kesusahan.” Suara Ambarwati terjeda, ia mengusap air mata yang jatuh di pipi. “Pandu dan Alina berjuang dari nol hingga mereka bisa sukses seperti sekarang. Namun setelah semua berhasil, ia malah dicampakkan. Putraku begitu jahat.” Tangis Ambarwati pecah.

Rosa menjadi tak nyaman, apalagi beberapa pelanggan mulai memperhatikan mereka.

“Entah ke mana dibawanya cucu-cucuku. Jika ia kembali, akan aku hukum ia.” Ambarwati menangis, kemudian bangkit dan pergi tanpa pamit sambil menyeka air mata. Sementara itu Rosa makin diliputi rasa bersalah. Ia seperti tak berharga di mata ibu mertuanya.

***

Bryan menghampiri Alina yang sedang memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci. Pria itu menjadi gugup berhadapan langsung dengan Alina. Dulu, ia biasa saja berhadapan dengan wanita itu, tetapi semenjak mengetahui bahwa Zea adalah putrinya, Bryan merasa canggung. “Ibu sudah sembuh?”

Pertanyaan Bryan mengagetkan Alina. Wanita itu tersenyum, menatap Bryan yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya. “Alhamdulillah, sudah.”

Bryan mengangguk. Ia ingin bertanya banyak hal tentang Zea, tetapi bingung harus memulai dari mana. “Hm … Zea itu putri Ibu?” Bryan mendadak linglung. Untuk apa ia bertanya hal yang sudah diketahui.

“Iya. Kamu mengenalnya?”

“Kami sekelas.”

Alina sudah mengetahui Bryan satu sekolah dengan Zea melalui logo seragam yang hampir tiap hari ia cuci. Ia tak menyangka, jika putrinya itu sekelas dengan anak majikannya.

“Saya permisi, Bu.” Bryan memegang dadanya yang tiba-tiba saja berdebar, setelah berhadapan dengan Alina. Ia menarik napas panjang, sebelum masuk ke dalam mobil.

Tiba di sekolah, Bryan langsung menuju kelas, mencari gadis yang telah mencuri perhatiannya. Zea tampak biasa saja dan tak terusik dengan kedatangannya. Selama pelajaran berlangsung, mata Bryan tak henti menatap Zea.

“Bryan, kamu enggak memperhatikan Ibu?” tanya Bu Hasna, Guru Matematika mereka.

“Memperhatikan, kok, Bu!”

“Kalau begitu, kamu kerjakan soal nomor satu ke depan.”

Bryan maju. Tak lama, pandangannya tertuju pada gadis yang duduk di depan. “Bantuin, Zee.”

Zea mencibir, kemudian mengalihkan pandangan dari tatapan memelas Bryan.

“Bisa enggak?” Bu Hasna bertanya sambil melipat tangan di depan dada.

Bryan kembali menatap Zea, kemudian beralih pada papan tulis untuk menyelesaikan soal yang diberikan Bu Hasna. “Gampang, Bu,” ucapnya, kemudian meninggalkan papan tulis. Walaupun terlihat cuek, tetapi Bryan cukup pintar dalam belajar.

***

Pulang sekolah, Bryan menghampiri Zea yang selalu pulang terakhir. Ia tak tahu mengapa Zea jarang pulang bersama teman-temannya atau pergi main setelah sekolah usai. Zea termasuk anak yang tertutup, ia tak punya banyak teman dan jarang bergaul.

“Mau ngapain?” tanya Zea yang melihat Bryan tak mengikuti ajakan temannya dan memilih mendekati Zea hingga di dalam kelas menyisakan mereka berdua.

“Kenapa tadi enggak membantu?”

“Ngapain bantu lo? Memangnya lo siapa?” jawab Zea ketus.

“Hei, Rayna Zea Dirgantara, lo enggak ingat kalau gue ini majikan lo?”

Zea memasang tasnya di pundak, kemudian berdiri hingga mereka berhadap-hadapan. “Lo ingat, ya. Mama gue kerja sama orang tua lo, mereka yang menggajinya, bukan lo. Jadi, prioritas utama yang dibantu adalah Tante Regina.”

Zea berjalan meninggalkan Bryan yang masih berdiri menatap gadis itu. Tak lama, ia menyejajarkan langkah pada Zea. “Gue antar pulang. Lo, kan anaknya Bu Alina. Jadi, enggak sopan kalau gue biarin lo pulang sendirian.”

“Enggak perlu. Gue bukan anak mami yang harus difasilitasi ke mana pun. Lo pulang duluan,” kata Zea menolak. Zea berlari, meninggalkan Bryan. Saat langkah gadis itu berbelok ke kantin, Bryan mengikuti dari belakang. Bryan dapat melihat dengan jelas ketika Bu Sarmi dan Zea berinteraksi seperti membahas sesuatu.

Bryan menjadi curiga, ketika Bu Sarmi memberikan sejumlah uang kepada Zea. Seketika Bryan teringat sesuatu. Setelah Zea pergi, ia mendatangi Bu Sarmi yang mulai menyusun barang dagangannya. “Bu, siswi yang menitipkan dagangannya ke kantin itu Zea?”

Bu Sarmi kaget ketika Bryan mengetahui hal itu. “Iya, benar. Jangan kasih tahu teman-teman yang lain, ya. Takutnya Zea jadi minder dan di-bully. Ia menitipkan dagangan untuk membantu biaya sekolah.”

“Iya, Bu.”

Sesaat, Bryan tersadar. Pantas saja Zea selalu muncul dari kantin sebelum masuk kelas, ternyata ia yang menitipkan roti goreng di kantin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status