Share

Part 6 Menantu Bodoh

last update Last Updated: 2022-07-14 12:01:22

Rosa tak bersemangat memeriksa hasil penjualan busana muslim yang ia kelola. Busana syar’i yang sedang ia produksi berkembang pesat. Ia telah memiliki banyak mitra dalam pembuatan sampai penjualan busana muslim yang diberi nama ‘Rose’. Namun sayang, kesuksesannya sebagai entrepreneur muda tak semulus kehidupan rumah tangganya. Orang melihat kehidupannya baik-baik saja, apalagi Pandu tak pernah terlibat main hati dengan wanita lain. Rosa terlalu pintar menutupi semua, bahkan banyak sahabatnya yang meminta tips pada Rosa bagaimana cara dicintai suami.

Namun di balik itu, ada saja orang yang tak pernah melepaskan pandangannya sebagai pelakor meskipun ia sudah hijrah. Terlebih, saudara-saudara Pandu yang membencinya karena menyebabkan Alina dan keponakan mereka harus menyingkir.

“Permisi. Ibu, ada yang ingin bertemu,” ucap Priska, asisten Rosa.

“Ya, baik.” Wanita itu bangkit, kemudian berjalan menuju butik. Pandangannya tertuju pada seorang wanita paruh baya yang duduk di sofa. “Ibu.” Rosa mendekat, kemudian mencium tangan Ambarwati, ibunya Pandu, takzim.

“Usahamu makin berkembang dan maju. Kamu memang seorang pekerja keras,” pujinya datar.

“Alhamdulillah, Bu.”

Ambarwati menatap sekeliling butik yang memajang berbagai gamis syar’i aneka warna. Tampak beberapa pelayan sedang melayani pembeli yang datang silih berganti. Rosa memang pintar berbisnis, mampu membaca peluang dengan mem-posting barang dagangan di media sosial sehingga mampu menggaet pembeli dalam waktu singkat.

“Ibu mau minum apa?”

“Enggak perlu. Terima kasih.” Ambarwati memandang Rosa sendu, sebelum angkat bicara. “Bagaimana kehidupanmu dengan Pandu?”

“Alhamdulillah, Bu. Kami baik-baik saja.”

“Apa kalian bahagia?”

Wanita itu mengangguk dengan senyum mengembang. Ia rasa tak perlu menceritakan aib keluarganya pada orang lain, termasuk Ambarwati, mertuanya.

“Apa Pandu memperlakukanmu dengan baik?”

“Alhamdulillah, Bu. Mas Pandu sangat baik, bahkan ia juga yang mengajari saya berbisnis dan memodali butik hingga maju sampai sekarang.”

Wanita itu mengangguk-angguk mendengar penuturan Rosa.

“Insyaallah, sebentar lagi kami akan launching produk terbaru. Doakan, ya, Bu. Semoga sukses.”

Wajah Ambarwati mendadak pias. Dadanya terasa sesak mendengar perkataan Rosa yang begitu bahagia dan bangga dengan kesuksesannya. Ditatapnya wajah menantunya itu lekat, tak lama mata wanita itu berkaca-kaca. “Kamu wanita yang pintar dan cerdas, Rosa. Enggak seperti Alina, menantuku.”

Perkataan Ambarwati mengagetkan Rosa. Ia terdiam, karena belum mengerti ke mana arah pembicaraan mertuanya itu.

“Kamu bisa mengelola modal yang diberikan Pandu hingga maju dan bisa hidup mewah dengan penghasilan yang kamu dapatkan.” Ambarwati menghela napas lemah, sebelum melanjutkan bicara. “Seandainya kamu butuh uang, kamu bisa meminta padaku tanpa harus menghancurkan rumah tangga anakku dengan Alina.”

Rosa terenyak. Perkataan Ambarwati menamparnya tanpa menyentuh.

“Alina itu bodoh, ia enggak sepintar kamu. Seandainya saja ia cerdas dan bisa merayu Pandu untuk menyerahkan hartanya, ia enggak perlu lari dan hidup kesusahan.” Suara Ambarwati terjeda, ia mengusap air mata yang jatuh di pipi. “Pandu dan Alina berjuang dari nol hingga mereka bisa sukses seperti sekarang. Namun setelah semua berhasil, ia malah dicampakkan. Putraku begitu jahat.” Tangis Ambarwati pecah.

Rosa menjadi tak nyaman, apalagi beberapa pelanggan mulai memperhatikan mereka.

“Entah ke mana dibawanya cucu-cucuku. Jika ia kembali, akan aku hukum ia.” Ambarwati menangis, kemudian bangkit dan pergi tanpa pamit sambil menyeka air mata. Sementara itu Rosa makin diliputi rasa bersalah. Ia seperti tak berharga di mata ibu mertuanya.

***

Bryan menghampiri Alina yang sedang memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci. Pria itu menjadi gugup berhadapan langsung dengan Alina. Dulu, ia biasa saja berhadapan dengan wanita itu, tetapi semenjak mengetahui bahwa Zea adalah putrinya, Bryan merasa canggung. “Ibu sudah sembuh?”

Pertanyaan Bryan mengagetkan Alina. Wanita itu tersenyum, menatap Bryan yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya. “Alhamdulillah, sudah.”

Bryan mengangguk. Ia ingin bertanya banyak hal tentang Zea, tetapi bingung harus memulai dari mana. “Hm … Zea itu putri Ibu?” Bryan mendadak linglung. Untuk apa ia bertanya hal yang sudah diketahui.

“Iya. Kamu mengenalnya?”

“Kami sekelas.”

Alina sudah mengetahui Bryan satu sekolah dengan Zea melalui logo seragam yang hampir tiap hari ia cuci. Ia tak menyangka, jika putrinya itu sekelas dengan anak majikannya.

“Saya permisi, Bu.” Bryan memegang dadanya yang tiba-tiba saja berdebar, setelah berhadapan dengan Alina. Ia menarik napas panjang, sebelum masuk ke dalam mobil.

Tiba di sekolah, Bryan langsung menuju kelas, mencari gadis yang telah mencuri perhatiannya. Zea tampak biasa saja dan tak terusik dengan kedatangannya. Selama pelajaran berlangsung, mata Bryan tak henti menatap Zea.

“Bryan, kamu enggak memperhatikan Ibu?” tanya Bu Hasna, Guru Matematika mereka.

“Memperhatikan, kok, Bu!”

“Kalau begitu, kamu kerjakan soal nomor satu ke depan.”

Bryan maju. Tak lama, pandangannya tertuju pada gadis yang duduk di depan. “Bantuin, Zee.”

Zea mencibir, kemudian mengalihkan pandangan dari tatapan memelas Bryan.

“Bisa enggak?” Bu Hasna bertanya sambil melipat tangan di depan dada.

Bryan kembali menatap Zea, kemudian beralih pada papan tulis untuk menyelesaikan soal yang diberikan Bu Hasna. “Gampang, Bu,” ucapnya, kemudian meninggalkan papan tulis. Walaupun terlihat cuek, tetapi Bryan cukup pintar dalam belajar.

***

Pulang sekolah, Bryan menghampiri Zea yang selalu pulang terakhir. Ia tak tahu mengapa Zea jarang pulang bersama teman-temannya atau pergi main setelah sekolah usai. Zea termasuk anak yang tertutup, ia tak punya banyak teman dan jarang bergaul.

“Mau ngapain?” tanya Zea yang melihat Bryan tak mengikuti ajakan temannya dan memilih mendekati Zea hingga di dalam kelas menyisakan mereka berdua.

“Kenapa tadi enggak membantu?”

“Ngapain bantu lo? Memangnya lo siapa?” jawab Zea ketus.

“Hei, Rayna Zea Dirgantara, lo enggak ingat kalau gue ini majikan lo?”

Zea memasang tasnya di pundak, kemudian berdiri hingga mereka berhadap-hadapan. “Lo ingat, ya. Mama gue kerja sama orang tua lo, mereka yang menggajinya, bukan lo. Jadi, prioritas utama yang dibantu adalah Tante Regina.”

Zea berjalan meninggalkan Bryan yang masih berdiri menatap gadis itu. Tak lama, ia menyejajarkan langkah pada Zea. “Gue antar pulang. Lo, kan anaknya Bu Alina. Jadi, enggak sopan kalau gue biarin lo pulang sendirian.”

“Enggak perlu. Gue bukan anak mami yang harus difasilitasi ke mana pun. Lo pulang duluan,” kata Zea menolak. Zea berlari, meninggalkan Bryan. Saat langkah gadis itu berbelok ke kantin, Bryan mengikuti dari belakang. Bryan dapat melihat dengan jelas ketika Bu Sarmi dan Zea berinteraksi seperti membahas sesuatu.

Bryan menjadi curiga, ketika Bu Sarmi memberikan sejumlah uang kepada Zea. Seketika Bryan teringat sesuatu. Setelah Zea pergi, ia mendatangi Bu Sarmi yang mulai menyusun barang dagangannya. “Bu, siswi yang menitipkan dagangannya ke kantin itu Zea?”

Bu Sarmi kaget ketika Bryan mengetahui hal itu. “Iya, benar. Jangan kasih tahu teman-teman yang lain, ya. Takutnya Zea jadi minder dan di-bully. Ia menitipkan dagangan untuk membantu biaya sekolah.”

“Iya, Bu.”

Sesaat, Bryan tersadar. Pantas saja Zea selalu muncul dari kantin sebelum masuk kelas, ternyata ia yang menitipkan roti goreng di kantin.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mengembalikan Senyum Bidadari    Part 119

    “Maaf, saya datang terlambat,” ucap Alina dengan seulas senyum di bibir. Tak ada makian, sumpah serapah atau tatapan sinis padanya.Rosa tak menjawab, ia beralih memandang Daniel yang berdiri dari duduknya kemudian menghampiri mereka. Melihat penampilan Alina yang mewah dan berkelas, Rosa menjadi minder. “Silakan masuk, Bu,” ucap Daniel seraya membuka pintu lebar. Melihat sikap Daniel, Rosa yakin jika lelaki inilah yang mengundang Alina. “Sama siapa?” tanya Daniel seraya melirik ke arah jalan. Belum sempat Alina menjawab, lelaki itu telah berlalu mendekati mobil yang terparkir, kemudian berbicara dengan si pengemudi. Tak lama, pintu mobil pun terbuka menampakkan sosok tampan dan tinggi mirip Pandu Dirgantara keluar dari mobil mewah itu. Rosa terpana dan sedikit kecewa. Padahal, ia merindukan mantan suaminya.Mereka duduk di lantai yang beralaskan karpet. Ruang tamu Rosa masih kosong karena saat prosesi pernikahan terjadi, kursi tamu dipindahkan ke carport agar ruangan menjadi luas

  • Mengembalikan Senyum Bidadari    Part 118

    Laki-laki tiga puluh tahunan itu mulai berperan menjadi seorang ayah. Ia tak bisa meninggalkan gadis itu bergitu lama. Bahkan, Daniel terus melakukan pendekatan dan mempelajari apa yang disukai putrinya. Apalagi sikap Shanum yang mulai terbuka dan menyanyangi Daniel, membuat mereka cepat akrab. “Nanti papa jemput Shanum, ya!” ucap gadis itu setelah turun dari mobil. Ia mencium tangan Daniel kemudan memeluk lelaki itu. Shanum sangat bangga ketika satu persatu teman-temannya melihat sosok Daniel. Walaupun tak berorasi, tapi sikap Shanum seolah-olah memberitahukan pada mereka bahwa ‘Ini adalah papanya.’Daniel mengusap kepala putrinya kemudian melayangkan ciuman sebelum gadis itu beranjak menuju kelas. Sesekali, kepala mungil itu menoleh dan melambaikan tangan pada Daniel yang menatapnya tanpa kedip. “Dada, papa!” teriaknya dari kejauhan. Daniel membalas. Dada lelaki itu bergetar dan terasa sesak. Setelah sekian lama hidup tak tentu arah, kini, Daniel merasa menjadi seorang yang sa

  • Mengembalikan Senyum Bidadari    Part 117

    “Rasanya seperti digigit semut.”Seketika ucapan Shanum kembali terngiang kala Pandu mengajaknya pergi. Gadis itu juga bercerita ia digigit semut di rumah sakit. Rosa tersenyum masam mengingat bagaimana usaha Pandu mencari kebenaran tanpa melibatkan dirinya.Hidup begitu cepat berubah, harta, kedudukan dan nama baik dalam sekejap lenyap. Rosa yang dulu begitu angkuh dan sombong, kini tak berdaya. Daniel berbeda dengan Pandua, ia bukanlah laki-laki yang paham agama, sekeras apapun Rosa menjelaskan nasab anak yang lahir di luar pernikahan, Daniel tetap pada pendiriannya bahwa, ia adalah seorang ayah meski dengan cara yang salah. Rosa mengusap kepala Shanum. Ia memejamkan mata seraya berdoa agar nasib baik berpihak kepadanya. Apapapun hasilnya nanti, ia akan lakukan segala cara untuk mempertahankan Shanum dalam hidupnya. ***SPW***Rosa mengusap wajahnya setelah bermunajat kepada Allah. Semenjak kedatangan Daniel, hati wanita itu tak tenang. Ingin rasanya ia lari, tapi tak tau kemana a

  • Mengembalikan Senyum Bidadari    Part 116

    Pandu terdiam sejenak, ia menatap sorot mata Daniel. “Kenapa kamu ingin mengetahuinya? Apa kamu ingin menghancurkannya melalui anak itu?” Tatapan Pandu berubah tak bersahabat. “Aku tau, kamulah yang menyebarkan video tak senonoh Rosa. Sudah cukup kamu menghancurkan hidupnya. Jangan lakukan perbuatan itu lagi. Apalagi melibatkan Shanum-anak yang tak berdosa itu.”Daniel menghela napas lemah. Ia tau, kesalahan yang telah ia lakukan begitu besar. “Saya minta maaf, saya akui, memang saya yang melakukannya. Tapi, setelah melihatnya hancur, bukan kepuasan yang saya dapatkan melainkan rasa bersalah yang menghantui setiap hari.”Pandangan Daniel menerawang mengingat bagaimana kejahatannya hingga membuat Rosa hancur. Bahkan, wanita itu hanya pasrah dan tak pernah menuntutnya meski Rosa tau bahwa Daniellah yang telah mengungkap aib itu ke publik. “Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan mereka. Melihat gadis kecil itu, entah kenapa saya seperti melihat diri saya dalam dirinya. Saya yakin

  • Mengembalikan Senyum Bidadari    Part 115

    Wanita itu menggeleng. Rosa yang kehilangan putrinya mendadak takut dan cemas. Beberapa karyawan dan petugas keamanan mall mulai mencari Shanum melalui pengeras suara dan menyusuri area mall. Rosa berlari menuju satu persatu tempat yang kemungkinan dikunjungi putrinya hingga berakhir di salah satu toko mainan.Shanum tampak tersenyum pada seorang pria yang berjongkok mensejajarkan tinggi dengannya seraya memegang sebuah boneka Panda. Hati Rosa menjadi lega karena telah menemukan Shanum meski ada rasa khawatir dengan sosok lelaki itu.“Shanum!” panggil Rosa hingga membuat keduanya menoleh dan berdiri menghadap pada Rosa. “Mama, om itu beliin aku boneka ini, lucu kan?” tanya Shanum sambil menyodorkan boneka panda ke wajah Rosa.Rosa mengangguk dan tersenyum paksa. “Sudah bilang terima kasih?” Gadis kecil itu menoleh pada sosok lelaki yang dari tadi menatap Rosa lekat.“Makasih, Om,” ujar Shanum polos.Daniel tersenyum seraya mengusap kepala Shanum. Rosa menarik tangan putrinya menj

  • Mengembalikan Senyum Bidadari    Part 114

    Suara jeritan dan rintih kesakitan terdengar di sebuah ruang bersalin rumah sakit swasta. Alina berjalan mondar mandir dan tak tenang membayangkan putrinya yang sedang berjuang di dalam sana. Sebagai ibu, ia bisa merasakan apa yang putrinya rasakan. Dua kali Alina bertarung melawan maut untuk menghadirkan dua buah cintanya melalui persalinan normal.Genggaman tangan Zea begitu kuat mencengkram jemari Bryan. Berkali-kali wanita itu mengikuti petunjuk dokter kandungan agar bisa melahirkan buah cintanya. Peluh Zea berjatuhan membasahi tubuhnya bersamaan titik air mata Bryan yang jatuh karena tak sanggup melihat sang istri kesakitan. “Ayo, Zee, kamu pasti bisa,” ucap dengan suara bergetar. Ia tak peduli dengan tangannya yang terasa sakit karena cengkraman Zea yang begitu kuat. Bryan mencium pucuk kepala Zea seraya melafazkan doa. Nafas Zea mulai memburu bersamaan dorongan bayi yang ikut berjuang menatap dunia. Seketika senyumnya tercipta mendengar suara tangis menggema di ruangan itu.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status