Rosa tak bersemangat memeriksa hasil penjualan busana muslim yang ia kelola. Busana syar’i yang sedang ia produksi berkembang pesat. Ia telah memiliki banyak mitra dalam pembuatan sampai penjualan busana muslim yang diberi nama ‘Rose’. Namun sayang, kesuksesannya sebagai entrepreneur muda tak semulus kehidupan rumah tangganya. Orang melihat kehidupannya baik-baik saja, apalagi Pandu tak pernah terlibat main hati dengan wanita lain. Rosa terlalu pintar menutupi semua, bahkan banyak sahabatnya yang meminta tips pada Rosa bagaimana cara dicintai suami.
Namun di balik itu, ada saja orang yang tak pernah melepaskan pandangannya sebagai pelakor meskipun ia sudah hijrah. Terlebih, saudara-saudara Pandu yang membencinya karena menyebabkan Alina dan keponakan mereka harus menyingkir.“Permisi. Ibu, ada yang ingin bertemu,” ucap Priska, asisten Rosa.“Ya, baik.” Wanita itu bangkit, kemudian berjalan menuju butik. Pandangannya tertuju pada seorang wanita paruh baya yang duduk di sofa. “Ibu.” Rosa mendekat, kemudian mencium tangan Ambarwati, ibunya Pandu, takzim.“Usahamu makin berkembang dan maju. Kamu memang seorang pekerja keras,” pujinya datar.“Alhamdulillah, Bu.”Ambarwati menatap sekeliling butik yang memajang berbagai gamis syar’i aneka warna. Tampak beberapa pelayan sedang melayani pembeli yang datang silih berganti. Rosa memang pintar berbisnis, mampu membaca peluang dengan mem-posting barang dagangan di media sosial sehingga mampu menggaet pembeli dalam waktu singkat.“Ibu mau minum apa?”“Enggak perlu. Terima kasih.” Ambarwati memandang Rosa sendu, sebelum angkat bicara. “Bagaimana kehidupanmu dengan Pandu?”“Alhamdulillah, Bu. Kami baik-baik saja.”“Apa kalian bahagia?”Wanita itu mengangguk dengan senyum mengembang. Ia rasa tak perlu menceritakan aib keluarganya pada orang lain, termasuk Ambarwati, mertuanya.“Apa Pandu memperlakukanmu dengan baik?”“Alhamdulillah, Bu. Mas Pandu sangat baik, bahkan ia juga yang mengajari saya berbisnis dan memodali butik hingga maju sampai sekarang.”Wanita itu mengangguk-angguk mendengar penuturan Rosa.“Insyaallah, sebentar lagi kami akan launching produk terbaru. Doakan, ya, Bu. Semoga sukses.”Wajah Ambarwati mendadak pias. Dadanya terasa sesak mendengar perkataan Rosa yang begitu bahagia dan bangga dengan kesuksesannya. Ditatapnya wajah menantunya itu lekat, tak lama mata wanita itu berkaca-kaca. “Kamu wanita yang pintar dan cerdas, Rosa. Enggak seperti Alina, menantuku.”Perkataan Ambarwati mengagetkan Rosa. Ia terdiam, karena belum mengerti ke mana arah pembicaraan mertuanya itu.“Kamu bisa mengelola modal yang diberikan Pandu hingga maju dan bisa hidup mewah dengan penghasilan yang kamu dapatkan.” Ambarwati menghela napas lemah, sebelum melanjutkan bicara. “Seandainya kamu butuh uang, kamu bisa meminta padaku tanpa harus menghancurkan rumah tangga anakku dengan Alina.”Rosa terenyak. Perkataan Ambarwati menamparnya tanpa menyentuh.“Alina itu bodoh, ia enggak sepintar kamu. Seandainya saja ia cerdas dan bisa merayu Pandu untuk menyerahkan hartanya, ia enggak perlu lari dan hidup kesusahan.” Suara Ambarwati terjeda, ia mengusap air mata yang jatuh di pipi. “Pandu dan Alina berjuang dari nol hingga mereka bisa sukses seperti sekarang. Namun setelah semua berhasil, ia malah dicampakkan. Putraku begitu jahat.” Tangis Ambarwati pecah.Rosa menjadi tak nyaman, apalagi beberapa pelanggan mulai memperhatikan mereka.“Entah ke mana dibawanya cucu-cucuku. Jika ia kembali, akan aku hukum ia.” Ambarwati menangis, kemudian bangkit dan pergi tanpa pamit sambil menyeka air mata. Sementara itu Rosa makin diliputi rasa bersalah. Ia seperti tak berharga di mata ibu mertuanya.***Bryan menghampiri Alina yang sedang memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci. Pria itu menjadi gugup berhadapan langsung dengan Alina. Dulu, ia biasa saja berhadapan dengan wanita itu, tetapi semenjak mengetahui bahwa Zea adalah putrinya, Bryan merasa canggung. “Ibu sudah sembuh?”Pertanyaan Bryan mengagetkan Alina. Wanita itu tersenyum, menatap Bryan yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya. “Alhamdulillah, sudah.”Bryan mengangguk. Ia ingin bertanya banyak hal tentang Zea, tetapi bingung harus memulai dari mana. “Hm … Zea itu putri Ibu?” Bryan mendadak linglung. Untuk apa ia bertanya hal yang sudah diketahui.“Iya. Kamu mengenalnya?” “Kami sekelas.”Alina sudah mengetahui Bryan satu sekolah dengan Zea melalui logo seragam yang hampir tiap hari ia cuci. Ia tak menyangka, jika putrinya itu sekelas dengan anak majikannya.“Saya permisi, Bu.” Bryan memegang dadanya yang tiba-tiba saja berdebar, setelah berhadapan dengan Alina. Ia menarik napas panjang, sebelum masuk ke dalam mobil.Tiba di sekolah, Bryan langsung menuju kelas, mencari gadis yang telah mencuri perhatiannya. Zea tampak biasa saja dan tak terusik dengan kedatangannya. Selama pelajaran berlangsung, mata Bryan tak henti menatap Zea.“Bryan, kamu enggak memperhatikan Ibu?” tanya Bu Hasna, Guru Matematika mereka.“Memperhatikan, kok, Bu!”“Kalau begitu, kamu kerjakan soal nomor satu ke depan.”Bryan maju. Tak lama, pandangannya tertuju pada gadis yang duduk di depan. “Bantuin, Zee.”Zea mencibir, kemudian mengalihkan pandangan dari tatapan memelas Bryan.“Bisa enggak?” Bu Hasna bertanya sambil melipat tangan di depan dada.Bryan kembali menatap Zea, kemudian beralih pada papan tulis untuk menyelesaikan soal yang diberikan Bu Hasna. “Gampang, Bu,” ucapnya, kemudian meninggalkan papan tulis. Walaupun terlihat cuek, tetapi Bryan cukup pintar dalam belajar.***Pulang sekolah, Bryan menghampiri Zea yang selalu pulang terakhir. Ia tak tahu mengapa Zea jarang pulang bersama teman-temannya atau pergi main setelah sekolah usai. Zea termasuk anak yang tertutup, ia tak punya banyak teman dan jarang bergaul.“Mau ngapain?” tanya Zea yang melihat Bryan tak mengikuti ajakan temannya dan memilih mendekati Zea hingga di dalam kelas menyisakan mereka berdua.“Kenapa tadi enggak membantu?”“Ngapain bantu lo? Memangnya lo siapa?” jawab Zea ketus.“Hei, Rayna Zea Dirgantara, lo enggak ingat kalau gue ini majikan lo?”Zea memasang tasnya di pundak, kemudian berdiri hingga mereka berhadap-hadapan. “Lo ingat, ya. Mama gue kerja sama orang tua lo, mereka yang menggajinya, bukan lo. Jadi, prioritas utama yang dibantu adalah Tante Regina.”Zea berjalan meninggalkan Bryan yang masih berdiri menatap gadis itu. Tak lama, ia menyejajarkan langkah pada Zea. “Gue antar pulang. Lo, kan anaknya Bu Alina. Jadi, enggak sopan kalau gue biarin lo pulang sendirian.”“Enggak perlu. Gue bukan anak mami yang harus difasilitasi ke mana pun. Lo pulang duluan,” kata Zea menolak. Zea berlari, meninggalkan Bryan. Saat langkah gadis itu berbelok ke kantin, Bryan mengikuti dari belakang. Bryan dapat melihat dengan jelas ketika Bu Sarmi dan Zea berinteraksi seperti membahas sesuatu.Bryan menjadi curiga, ketika Bu Sarmi memberikan sejumlah uang kepada Zea. Seketika Bryan teringat sesuatu. Setelah Zea pergi, ia mendatangi Bu Sarmi yang mulai menyusun barang dagangannya. “Bu, siswi yang menitipkan dagangannya ke kantin itu Zea?”Bu Sarmi kaget ketika Bryan mengetahui hal itu. “Iya, benar. Jangan kasih tahu teman-teman yang lain, ya. Takutnya Zea jadi minder dan di-bully. Ia menitipkan dagangan untuk membantu biaya sekolah.”“Iya, Bu.”Sesaat, Bryan tersadar. Pantas saja Zea selalu muncul dari kantin sebelum masuk kelas, ternyata ia yang menitipkan roti goreng di kantin.Alina dan kedua anaknya pindah ke tempat kontrakan baru. Ia sengaja mengangkut barang-barang di malam hari. Lagi pula, tak banyak barang bawaan yang mereka punya. Dibantu temannya Melvin, Zyan mengangkutnya beberapa kali bolak-balik. “Ibu pindah ke mana?” tanya si pemilik kontrakan, ketika Alina mengembalikan kunci.“Jauh, Bu.” Alina sengaja tak menyebutkan di mana tempat tinggalnya yang baru. Jika suatu saat Rosa kembali mencari, wanita itu tak bisa menemui mereka. “Terima kasih banyak, ya, Bu. Mohon maaf jika saya dan anak-anak punya salah.”“Sama-sama, Bu. Ibu dan anak-anak sangat baik, saya menjadi sedih Ibu pindah.”Keduanya berpelukan, sebelum Alina pergi. Zea dibonceng Zyan menggunakan motor bebek miliknya, sedangkan Alina dibonceng Melvin. Setengah jam berlalu, mereka sampai di sebuah kontrakan padat penduduk yang kebanyakan diisi oleh mahasiswa. Zyan mendapatkan kontrakan murah yang tak jauh dari kampusnya.“Ini agak kecil, Ma. Kamarnya cuma ada satu.”Alina memperhatikan ko
Suasana launching produk terbaru Rosa begitu meriah. Tak tanggung-tanggung, ia menyewa ballroom sebuah hotel bintang lima. Tamu undangan dari berbagai kalangan telah memenuhi ruangan. Tak hanya itu, gemerlap lampu dan sorot kamera telah siap untuk menyiarkan pegelaran ini secara langsung. Wartawan dari berbagai media cetak, elektronik, bahkan online telah berada di sana untuk meliput acara launching produk gamis terbaru brand Rose.Pandu tampak gagah dengan memakai pakaian formal, sedangkan Rosa tampil dengan gamis hasil produksinya sendiri. Keduanya tampak serasi. Senyum Rosa tak pernah putus, saat menyalami setiap tamu. Ia sangat ramah dan bersahabat.Satu per satu peragawati berjalan di atas catwalk, memperagakan gamis-gamis cantik yang fashionable dan elegan. Kamera tak putus membidik satu per satu model yang maju ke depan. Tak hanya itu, Rosa memberikan harga spesial bagi pengunjung yang ingin memesan gamis produksinya malam ini.Setelah acara usai, Rosa menghadiri konferensi per
Bryan kembali memborong semua roti goreng yang ada di kantin. Ia membagi-bagikan kepada teman-temannya. Tak hanya itu, Bryan juga mempromosikan dagangan Zea. “Bapak sudah pernah mencoba roti goreng ini belum?” tanya Bryan pada guru olahraganya.“Belum.”“Bapak coba dulu. Ini enak.”Guru olahraga itu memakan roti goreng yang disuguhi Bryan. Pria itu mengangguk-angguk, ketika menikmati rasa manis dari roti. “Enak. Kamu beli di mana?”“Di kantin, Pak. Murah, hanya 2.500 saja.”Dari satu teman ke teman lain, Bryan mempromosikan dagangan Zea. Agar gadis itu tak malu, ia melakukannya di saat Zea tak ada di dekatnya. Bryan takut mereka mentertawakan Zea. Namun jika Bryan yang melakukannya, maka tak akan ada teman-teman yang mau mentertawakan, karena bagaimanapun, dia bukanlah siswa yang kekurangan uang.Setiap hari, peminat roti goreng Zea makin bertambah. Saat ini ia menitipkan seratus bungkus pada Bu Sarmi. Roti goreng itu selalu ludes terjual, meskipun Bryan tak memborongnya lagi. Semua
Pandu melangkah dengan dada berdebar memasuki gang yang hanya bisa dilewati sepeda motor dan pejalan kaki. Jantungnya berdegup kencang, membayangkan orang-orang yang ia sayangi berada telah dekat dengannya. Pandu bingung, kata-kata apa yang pertama kali ia ucapkan pada mereka. Permohonan maafkah? Atau penyesalannya karena telah membuat mereka pergi? Pria itu memindai lingkungan padat penduduk yang tampak sesak dan tak sehat. Perlahan, hatinya gerimis membayangkan Alina dan kedua anaknya tinggal di tempat ini. Sudah pasti mereka sangat susah dan menderita. Yang membuat Pandu merasa tercampakan adalah kedua anaknya memilih hidup menderita, daripada hidup mewah bergelimang harta bersama dengannya.“Maaf, Pak, Bu, Ibu Alina dan kedua anaknya sudah pindah. Mereka enggak tinggal di sini lagi.” Perkataan pemilik kontrakan membuat Pandu kecewa. Rasa bahagia bak bunga yang baru berkembang menjadi layu seketika hanya karena sebuah kalimat. Ini jugakah yang dirasakan Alina ketika kalimat kasar
Hari Sabtu, Bagas mengajak putranya ke kantor. Pria itu sengaja memindahkan jadwal pertemuan dengan beberapa relasi, agar putranya bisa ikut serta dan diperkenalkan dalam lingkungan kerja. Bagas tersenyum menatap tubuh jangkung itu yang tampak gagah memakai kemeja biru muda dan celana hitam. Regina ikut mendukung dengan memasangkan sebuah dasi bermotif abstrak. Semula Bryan menolak, tetapi Bagas bersikeras karena ini adalah pertemuan formal. “Pak Sarmin boleh libur hari ini, karena saya akan pergi bersama Bryan,” ucap Bagas pada sopir pribadinya. “Baik, Pak.”Bryan mengendarai mobil sedan keluaran terbaru itu, sedangkan Bagas duduk di sebelah putranya. Suasana hatinya makin baik, ketika Bryan mengikuti semua titahnya. Mereka masuk ke ruang pertemuan. Beberapa karyawan dan rekan bisnisnya sudah berkumpul di sana. Bryan menatap satu per satu peserta rapat yang hadir. Ia merasa tak percaya diri ketika mendapati hanya dirinyalah peserta rapat termuda.“Perkenalkan, ini putra saya, Brya
“Aku enggak bisa.” Untuk kesekian kalinya, kata-kata yang sama kembali terlontar dari mulut Pandu. “Berikan aku alasan yang bisa membuat aku paham akan pikiranmu itu!” seru Rosa mengeluarkan sesak di dadanya.Pandu menatap Rosa yang tampak berantakan karena tangis. Ia tak terpengaruh, meski air mata Rosa terlihat jelas. Dulu, ketika Alina mengeluarkan air mata, hatinya tak tega, tetapi ia tutupi dengan keangkuhan. Apalagi saat itu Rosa merengek mengemis cintanya. “Sampai kapan pun, aku akan tetap di sini. Karena aku menunggu mereka kembali ke rumah ini!”Rosa mendekat, menghujani pria itu dengan pukulan. “Mas, kamu jahat! Kamu enggak pernah menghargai aku. Aku istrimu, tetapi kamu perlakukan seperti orang asing! Di mana hati nuranimu?” Pandu mengambil tangan Rosa yang berkali-kali memukul dadanya. “Iya, aku jahat! Aku berengsek! Dari dulu kamu sudah tahu kalau aku juga bajingan.” Dada Pandu naik turun mengeluarkan kemarahan yang telah lama tersimpan. “Seharusnya kamu sudah tahu, pr
Alina yang melihat putrinya pulang dalam keadaan berantakan mendekat. “Ada apa, Sayang?”Tangis Zea pecah. Dengan terbata-bata, ia menceritakan penghinaan teman-temannya yang baru saja dialami. Ini adalah pengalaman pertama Zea dihina di depan umum. Jika mereka membicarakan Zea di belakang, ia tak peduli karena Zea tak mendengarnya. Namun kejadian tadi siang cukup membuatnya bersedih, seakan dunia tak berpihak kepadanya yang tak salah apa-apa.“Zea enggak mau sekolah lagi, Ma,” lirihnya dengan isak tak tertahan.“Kenapa begitu, Sayang?” tanya Alina.“Zea mau belajar di rumah aja sampai ujian kelulusan.” Tangis Zea menggema. Alina terluka melihat putrinya bersedih. Ia masih ingat kapan terakhir kali putrinya menangis sekencang ini, tepatnya enam tahun lalu ketika meminta ikut dengan Alina. Sekarang, tangis itu muncul kembali. Alina menatap kantong plastik yang berisi dagangan putrinya. Semua tampak berantakkan dan tak layak untuk dimakan. Walaupun Zea tak jujur, Alina mengerti alasan
Dada Pandu berdegup kencang, ketika mendatangi sebuah kafe kekinian yang banyak dikunjungi remaja. Setelah memarkirkan mobil, ia berjalan menuju sebuah meja kosong. Pandangan Pandu menatap sekeliling, mencari seseorang yang telah lama ia rindukan. Menurut pemilik kontrakkan, putranya bekerja paruh waktu di kafe ini. Namun sudah beberapa menit menunggu, orang yang dinantikannya tak kunjung terlihat.“Bapak mau pesan apa?” tanya seorang pelayan wanita seusia dengan Zyan. Pandu melirik deretan menu yang sama sekali tak menarik baginya. “Saya pesan cappuccino dan seporsi tahu crispy.”“Baik, Pak,” ucapnya sambil menuliskan pesanan Pandu. “Boleh saya bertanya sesuatu?”“Ya, Pak?”“Kalau Zyan, masuk kerja jam berapa, ya?” “Oh, Zyan. Dia masuk kerja jam 5 sore, setelah pulang kuliah,” jawabnya.Zyan kuliah? Ada rasa bangga dalam diri Pandu, ketika putranya tetap melanjutkan pendidikan. Alina benar-benar wanita hebat. Ia tak menyangka, di tengah kesulitan ekonomi, wanita itu tetap mempers