Share

Bab 4 Mencari Mereka

Kedatangan Pandu di salah satu Villa miliknya membuat si penjaga villa kaget. Tak biasanya laki-laki itu bermalam di sini, apalagi datang larut malam, sendirian saat cuaca sedang tak bersahabat. Biasanya Pandu akan menghubunginya melalui telepon untuk menanyakan pertanyaan yang sama.

“Mereka tidak pernah ke sini?” tanya Pandu basa basi, karena ia pun sudah tau jawabannya.

“Tidak pernah, Pak.”

Laki-laki itu menghela napas kasar kemudian menghempaskan tubuhnya di sofa. Semenjak Alina dan kedua anaknya pergi, ia merasa seperti orang terbuang. Sepi dan tak bergairah. Padahal Pandu memiliki segalanya. Istri yang cantik, harta berlimpah dan sahabat yang banyak. Tapi, semua tak mampu mengisi kekosongan hatinya.

Ia terbebani memikirkan hidup Alina setelah mereka berpisah. Apalagi kedua orang tua Alina telah meninggal, Alina hanya lulusan SMA dan tak punya pekerjaan. Alina memiliki seorang paman. Orang kepercayaan Pandu telah menyelidikinya dan menyatakan bahwa Alina dan anak-anaknya tidak ada di sana. Lalu kemana ia pergi?

Tahun pertama sejak Alina pergi, Pandu yakin wanita itu akan kembali bersama kedua anaknya. Ternyata prediksi Pandu salah. Setahun berlalu, Alina tak pernah kembali. Rasa kehilangan Pandu semakin besar kala orang suruhannya tak menemukan keberadaan mereka.

Pandu melangkah gontai memasuki kamar kemudian berbaring di ranjang. Laki-laki itu memejamkan mata, menikmati suara hujan yang terdengar bak alunan musik pengantar tidur. Dulu, ia sering menikmati waktu luang bersama keluarganya di villa ini. Pandu masih ingat bagaimana Zea merengek minta didirikan tenda di luar. Mereka camping di samping villa sambil menikmati gemerlap cahaya lampu kota Bandung dari ketinggian.

Perlahan tubuh dan fikiran lelah Pandu terbang ke alam mimpi. Ia berharap mereka datang sekedar mengobati kerinduannya meskipun dalam mimpi.

***SPW***

“Pak, ada yang mencari,” ungkap Pak Rahman.

Pandu yang baru saja membersihkan diri datang menghampiri. Dua orang laki-laki berbadan kekar dan memakai jaket kulit berdiri dari duduknya sebagai penghormatan pada Pandu

“Bagaimana, apa ada perkembangan?” tanya Pandu tak sabaran. Mereka duduk berhadapan. Kedatangaan keduanya sudah pasti membawa angin segar pada Pandu.

“Dulu mereka memang tinggal di Solo, Pak. Tapi sekarang sudah pindah lagi,” ungkap salah satu dari mereka.

Enam tahun mencari, ia selalu kehilangan jejak. Apakah Alina tau bahwa Pandu mencarinya hingga ia lari ketika akan ditemukan atau itu semua tindakan spontan Alina karena desakan hidup yang kian berat?

“Pindah ke mana?”

“Bandung.”

Dada Pandu terasa lapang seketika saat nama kota tempat mereka berpijak disebut. Ia akan telusuri kota Bandung untuk mencari keberadaan Alina dan kedua anaknya. Rasanya Pandu tak sabar ingin mengetahui keadaan mereka. Adakah mereka rindu seperti yang ia rasakan? Namun di saat bersamaan ia merasa tertampar. Jika Alina dan kedua anaknya berada di Bandung, kenapa mereka tak pernah mencarinya? Tidakkah mereka ingat laki-laki ini? Atau luka yang ditorehkan Pandu terlalu dalam hingga mereka tak mau menjumpainya?

***SPW***

Untuk kedua kalinya Rosa mendatangi kediaman Alina. Walaupun wanita itu terang-terangan mengusirnya tapi, ia tak peduli. Rosa ingin berdamai dengan Alina, mendapatkan maaf dengan harapan kehidupannya menjadi lebih baik bersama mantan suami itu. Kadang Rosa berfikir, inikah karma yang ia dapatkan karena merebut suami orang? Hidup sempurna tapi tak berkah hingga kebahagiaanpun enggan menghampirinya.

Rosa mengintip dari pintu yang sedikit terbuka. Ia bisa melihat Alina sedang menyetrika pakaian dari ruang tamu kontrakan yang sekaligus menjadi ruang keluarga dan ruang makan.

“Assalamualaikum, Mbak.”

Gerakan tangan Alina terhenti, ia menegakkan setrika lalu menoleh pada sumber suara. Rosa tersenyum manis. Ia melangkahkan kaki masuk meskipun Alina tak mempersilakannya.

“Ngapain lagi kamu ke sini?” tanya Alina ketus.

“Saya ke sini ingin bersilaturahmi, Mbak.” Rosa meletakkan sebuah bingkisan berisi brownies dan cheesecake kekinian yang sedang digandrungi remaja. “Saya ingin membantu Mbak dan anak-anak. Saya akan bertanggung jawab atas kehidupan, Mbak. Memberikan tempat tinggal yang layak dan membiayai semua kebutuhan Mbak dan sekolah anak-anak.”

Alina tersenyum miris Ia merasa terhina dengan perkataan Rosa. “Kamu ingin menukar kesedihanku dengan uangmu?”

“Tidak, Mbak. Saya tidak ingin melihat Mbak menderita, saya berdosa pada Mbak.”

Alina tertawa mendengar pernyataan Rosa yang terasa janggal di hatinya. “Jika kamu tidak ingin membuatku menderita lalu mengapa kamu rebut suamiku?”

Rosa tercekat tanpa mampu berkata.

“Apa Mas Pandu yang memintamu ke sini?”

Rosa menggeleng. “Saya datang murni dari keinginan saya untuk berbaikan dengan Mbak tanpa ada paksaan dari manapun.”

“Bawa lagi bingkisan itu dan pergi dari sini!” ucapnya datar.

Rosa duduk mendekati Alina. “Harus berapa kali saya meminta maaf, Mbak?” lirihnya seraya menatap mata Alina berharap wanita itu membalasnya agar bisa melihat ketulusan Rosa.

“Bukankah Allah itu maha pemaaf dan kita harus saling memaafkan? Rasulullah pernah bersabda, Barangsiapa yang didatangi saudaranya hendak meminta maaf, hendaklah memaafkannya. Apakah ia dipihak yang benar ataukah yang salah. Apabila tidak melakukan hal tersebut (memaafkan), niscaya tidak akan mendatangi telagaku (di akhirat)”

Alina menyorot tajam, memandang penampilan Rosa yang tampak lebih alim dari dirinya. “Sekarang kamu mengajariku tentang sebuah kata maaf?”

Alina menyunggingkan bibir. “Apa kamu sudah menyadari dosa merusak rumah tangga orang lain? Apa kamu tau bagaimana terlukanya anak-anakku ketika harus berpisah dengan ayahnya?”

Mata Alina berkaca-kaca, dadanya kembali sesak mengingat peristiwa yang begitu sulit ia lupakan, hingga detik ini. “Apa kamu bisa merasakan bagaimana rasanya dicampakkan oleh suami hanya karena wanita lain?”

Hening.

“Kalau kamu belum bisa merasakannya, silakan keluar dari rumahku, sekarang! Keluar!”

“Mbak.”

“Keluar!”

Melihat amarah Alina yang mulai bangkit, nyali Rosa menjadi ciut.

“Jangan lupa bawa kembali bingkisan itu. Mubazir jika harus terbuang.”

Rosa tak sanggup berkata, ia menuruti perintah Alina lalu keluar dari rumah kontrakan bersamaan dengan bungkusan yang ia bawa. Wanita itu melangkah gontai dengan kesedihan yang mendalam. Semenjak hijrah, ia mulai menyadari betapa banyak tumpukan dosa yang telah ia tanam.

***SPW***

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Mantan suami sama org suruhannya kok goblok yah ndak bs nemuin mantan istrinya sedangkan si istri keduanya bs cepet ketemu
goodnovel comment avatar
mega silvia
karma itu berlaku....bisa cepat atau pun lama....jd jgn sombong ros
goodnovel comment avatar
Asa Benita
Sebisa mungkin emang harus menghindari menyakiti org lain, krn manusia biasa itu bukan Allah maupun Nabi yg akan langsung memaafkan setiap kesalahan ketika yg bersalah meminta maaf.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status