Alina dan kedua anaknya pindah ke tempat kontrakan baru. Ia sengaja mengangkut barang-barang di malam hari. Lagi pula, tak banyak barang bawaan yang mereka punya. Dibantu temannya Melvin, Zyan mengangkutnya beberapa kali bolak-balik.
“Ibu pindah ke mana?” tanya si pemilik kontrakan, ketika Alina mengembalikan kunci.“Jauh, Bu.” Alina sengaja tak menyebutkan di mana tempat tinggalnya yang baru. Jika suatu saat Rosa kembali mencari, wanita itu tak bisa menemui mereka. “Terima kasih banyak, ya, Bu. Mohon maaf jika saya dan anak-anak punya salah.”“Sama-sama, Bu. Ibu dan anak-anak sangat baik, saya menjadi sedih Ibu pindah.”Keduanya berpelukan, sebelum Alina pergi. Zea dibonceng Zyan menggunakan motor bebek miliknya, sedangkan Alina dibonceng Melvin. Setengah jam berlalu, mereka sampai di sebuah kontrakan padat penduduk yang kebanyakan diisi oleh mahasiswa. Zyan mendapatkan kontrakan murah yang tak jauh dari kampusnya.“Ini agak kecil, Ma. Kamarnya cuma ada satu.”Alina memperhatikan kontrakan ukuran enam kali tiga meter itu. Hanya tersedia satu kamar tidur, kamar mandi, dan dapur yang bersatu dengan ruang tamu. Mereka mulai membersihkan kontrakan, menggelar kasur tipis di kamar, kemudian meletakkan kompor dan peralatan memasak di meja dapur.“Zyan, kamu tidur saja, biar Mama yang kerjakan,” ucap Alina, setelah putranya memasang regulator tabung gas tiga kilogram.“Mama saja yang istirahat, biar Zyan yang beresin semua.”Alina masuk ke kamar, tubuhnya terasa lelah setelah mem-packing barang-barang pindahan. Untung saja kedua anaknya sudah besar, jadi ada yang membantu. Wanita itu duduk di kasur tipis, netranya menatap wajah sang putri yang telah terbang ke alam mimpi. Perlahan, manik cokelat itu berkabut hingga buliran bening jatuh di pipi.“Jika luka Mama sudah sembuh, Mama akan mempertemukan kalian dengan Papa,” lirihnya sambil mengusap rambut sang putri.***Dua hari mengelilingi Kota Bandung bersama orang kepercayaan, Pandu belum bisa menemukan keberadaan keluarganya. Setiap jalan, persimpangan, mall, dan pasar ia telusuri, berharap salah satu dari mereka adalah orang yang ia cari.Lelah mencari, pria itu kembali pulang. Pandu menghentikan mobil tepat di depan rumah. Ia menatap bangunan dua lantai itu lekat. Ini adalah rumah impian Alina. Wanita itu sendiri yang merancang hunian mereka.“Kita buat dua kamar di bawah, Mas. Satu kamar utama. Jika suatu saat kita sudah tua dan enggak bisa lagi menaiki tangga, kita akan tidur di kamar ini,” ujar Alina kala itu.“Terserah kamu, Sayang, Mas mengikuti saja.”Wanita itu tersenyum sambil menatap tanah yang masih kosong. “Di lantai atas kita bikin tiga kamar utama.”“Kenapa banyak sekali?”“Satu kamar kita, dua lagi kamar Zyan dan Zea. Jika mereka sudah menikah, kamar itu akan menjadi kamar mereka bersama menantu dan cucu-cucu kita ketika mereka berkunjung.”Pandu mencubit pipi Alina. “Anak-anak masih kecil, tetapi sudah memikirkan menantu dan cucu.”“Karena aku ingin keluarga kita bahagia sampai tua bersama anak-anak dan cucu. Rumah ini akan ramai dan berwarna dengan kehadiran mereka.”Tak terasa, mata Pandu mengabut. Ia menghancurkan mimpi Alina. Bukan kehadiran keluarga bahagia yang ia bawa ke rumah ini, melainkan seorang selir yang kemudian bertakhta menjadi ratu dan Alina harus tersingkir.“Mas.” Rosa mengetuk kaca mobil. Semenjak kendaraan itu datang, ia telah mengetahuinya. Melihat Pandu tak kunjung keluar, wanita itu memberanikan diri untuk mendekat.Pandu keluar dari mobil, kemudian melangkah ke rumah megah yang bangunannya masih sama seperti dulu, hanya penghuninya saja yang berbeda.“Aku bikinkan teh,”“Enggak usah,” tolak Pandu, kemudian bersandar di sofa.Rosa melihat wajah pria itu tampak kusut dan lelah seperti kurang tidur. “Besok aku akan launching produk terbaru. Aku minta Mas hadir mendampingiku,” ujar Rosa hati-hati.“Haruskah aku datang?”Wanita itu mengangguk. “Aku ingin orang-orang melihat keluarga kita baik-baik saja, walaupun di dalamnya beku.”Pandu melihat wajah sendu Rosa dari sudut matanya, tetapi ia tak menggubris.“Aku tahu, selama ini Mas mencari keberadaan mereka,” lirih Rosa. Ia menatap Pandu yang tak berkutik dan memejamkan mata. “Aku akan memberitahu di mana mereka berada.”Seketika mata Pandu terbuka mendengar pernyataan Rosa. Wanita itu tersenyum miris melihat reaksi Pandu ketika menyebutkan bahwa ia mengetahui keberadaan anak dan mantan istrinya. “Kamu mengetahuinya? Sejak kapan?”“Sekitar seminggu.”“Kenapa enggak bilang padaku?” Suara Pandu mulai meninggi. Ia tak sabaran ingin mendengar di mana mereka berada.“Kamu enggak pernah bertanya.”Keduanya saling bertatapan. Rosa yakin, Pandu akan memintanya untuk memberi tahu di mana alamat mereka. “Aku akan memberi tahu, tetapi aku minta Mas datang di acara launching produk terbaruku.”Pandu tersenyum. Walaupun ada permintaan Rosa yang harus ia kabulkan, baginya keberadaan Alina dan kedua anaknya lebih penting daripada mempertahankan ego yang membuatnya akan kembali kehilangan.“Maaf, saya datang terlambat,” ucap Alina dengan seulas senyum di bibir. Tak ada makian, sumpah serapah atau tatapan sinis padanya.Rosa tak menjawab, ia beralih memandang Daniel yang berdiri dari duduknya kemudian menghampiri mereka. Melihat penampilan Alina yang mewah dan berkelas, Rosa menjadi minder. “Silakan masuk, Bu,” ucap Daniel seraya membuka pintu lebar. Melihat sikap Daniel, Rosa yakin jika lelaki inilah yang mengundang Alina. “Sama siapa?” tanya Daniel seraya melirik ke arah jalan. Belum sempat Alina menjawab, lelaki itu telah berlalu mendekati mobil yang terparkir, kemudian berbicara dengan si pengemudi. Tak lama, pintu mobil pun terbuka menampakkan sosok tampan dan tinggi mirip Pandu Dirgantara keluar dari mobil mewah itu. Rosa terpana dan sedikit kecewa. Padahal, ia merindukan mantan suaminya.Mereka duduk di lantai yang beralaskan karpet. Ruang tamu Rosa masih kosong karena saat prosesi pernikahan terjadi, kursi tamu dipindahkan ke carport agar ruangan menjadi luas
Laki-laki tiga puluh tahunan itu mulai berperan menjadi seorang ayah. Ia tak bisa meninggalkan gadis itu bergitu lama. Bahkan, Daniel terus melakukan pendekatan dan mempelajari apa yang disukai putrinya. Apalagi sikap Shanum yang mulai terbuka dan menyanyangi Daniel, membuat mereka cepat akrab. “Nanti papa jemput Shanum, ya!” ucap gadis itu setelah turun dari mobil. Ia mencium tangan Daniel kemudan memeluk lelaki itu. Shanum sangat bangga ketika satu persatu teman-temannya melihat sosok Daniel. Walaupun tak berorasi, tapi sikap Shanum seolah-olah memberitahukan pada mereka bahwa ‘Ini adalah papanya.’Daniel mengusap kepala putrinya kemudian melayangkan ciuman sebelum gadis itu beranjak menuju kelas. Sesekali, kepala mungil itu menoleh dan melambaikan tangan pada Daniel yang menatapnya tanpa kedip. “Dada, papa!” teriaknya dari kejauhan. Daniel membalas. Dada lelaki itu bergetar dan terasa sesak. Setelah sekian lama hidup tak tentu arah, kini, Daniel merasa menjadi seorang yang sa
“Rasanya seperti digigit semut.”Seketika ucapan Shanum kembali terngiang kala Pandu mengajaknya pergi. Gadis itu juga bercerita ia digigit semut di rumah sakit. Rosa tersenyum masam mengingat bagaimana usaha Pandu mencari kebenaran tanpa melibatkan dirinya.Hidup begitu cepat berubah, harta, kedudukan dan nama baik dalam sekejap lenyap. Rosa yang dulu begitu angkuh dan sombong, kini tak berdaya. Daniel berbeda dengan Pandua, ia bukanlah laki-laki yang paham agama, sekeras apapun Rosa menjelaskan nasab anak yang lahir di luar pernikahan, Daniel tetap pada pendiriannya bahwa, ia adalah seorang ayah meski dengan cara yang salah. Rosa mengusap kepala Shanum. Ia memejamkan mata seraya berdoa agar nasib baik berpihak kepadanya. Apapapun hasilnya nanti, ia akan lakukan segala cara untuk mempertahankan Shanum dalam hidupnya. ***SPW***Rosa mengusap wajahnya setelah bermunajat kepada Allah. Semenjak kedatangan Daniel, hati wanita itu tak tenang. Ingin rasanya ia lari, tapi tak tau kemana a
Pandu terdiam sejenak, ia menatap sorot mata Daniel. “Kenapa kamu ingin mengetahuinya? Apa kamu ingin menghancurkannya melalui anak itu?” Tatapan Pandu berubah tak bersahabat. “Aku tau, kamulah yang menyebarkan video tak senonoh Rosa. Sudah cukup kamu menghancurkan hidupnya. Jangan lakukan perbuatan itu lagi. Apalagi melibatkan Shanum-anak yang tak berdosa itu.”Daniel menghela napas lemah. Ia tau, kesalahan yang telah ia lakukan begitu besar. “Saya minta maaf, saya akui, memang saya yang melakukannya. Tapi, setelah melihatnya hancur, bukan kepuasan yang saya dapatkan melainkan rasa bersalah yang menghantui setiap hari.”Pandangan Daniel menerawang mengingat bagaimana kejahatannya hingga membuat Rosa hancur. Bahkan, wanita itu hanya pasrah dan tak pernah menuntutnya meski Rosa tau bahwa Daniellah yang telah mengungkap aib itu ke publik. “Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan mereka. Melihat gadis kecil itu, entah kenapa saya seperti melihat diri saya dalam dirinya. Saya yakin
Wanita itu menggeleng. Rosa yang kehilangan putrinya mendadak takut dan cemas. Beberapa karyawan dan petugas keamanan mall mulai mencari Shanum melalui pengeras suara dan menyusuri area mall. Rosa berlari menuju satu persatu tempat yang kemungkinan dikunjungi putrinya hingga berakhir di salah satu toko mainan.Shanum tampak tersenyum pada seorang pria yang berjongkok mensejajarkan tinggi dengannya seraya memegang sebuah boneka Panda. Hati Rosa menjadi lega karena telah menemukan Shanum meski ada rasa khawatir dengan sosok lelaki itu.“Shanum!” panggil Rosa hingga membuat keduanya menoleh dan berdiri menghadap pada Rosa. “Mama, om itu beliin aku boneka ini, lucu kan?” tanya Shanum sambil menyodorkan boneka panda ke wajah Rosa.Rosa mengangguk dan tersenyum paksa. “Sudah bilang terima kasih?” Gadis kecil itu menoleh pada sosok lelaki yang dari tadi menatap Rosa lekat.“Makasih, Om,” ujar Shanum polos.Daniel tersenyum seraya mengusap kepala Shanum. Rosa menarik tangan putrinya menj
Suara jeritan dan rintih kesakitan terdengar di sebuah ruang bersalin rumah sakit swasta. Alina berjalan mondar mandir dan tak tenang membayangkan putrinya yang sedang berjuang di dalam sana. Sebagai ibu, ia bisa merasakan apa yang putrinya rasakan. Dua kali Alina bertarung melawan maut untuk menghadirkan dua buah cintanya melalui persalinan normal.Genggaman tangan Zea begitu kuat mencengkram jemari Bryan. Berkali-kali wanita itu mengikuti petunjuk dokter kandungan agar bisa melahirkan buah cintanya. Peluh Zea berjatuhan membasahi tubuhnya bersamaan titik air mata Bryan yang jatuh karena tak sanggup melihat sang istri kesakitan. “Ayo, Zee, kamu pasti bisa,” ucap dengan suara bergetar. Ia tak peduli dengan tangannya yang terasa sakit karena cengkraman Zea yang begitu kuat. Bryan mencium pucuk kepala Zea seraya melafazkan doa. Nafas Zea mulai memburu bersamaan dorongan bayi yang ikut berjuang menatap dunia. Seketika senyumnya tercipta mendengar suara tangis menggema di ruangan itu.