Share

Bab 7

Alina dan kedua anaknya pindah ke tempat kontrakan baru. Ia sengaja mengangkut barang-barang di malam hari. Lagi pula, tak banyak barang bawaan yang mereka punya. Dibantu temannya Melvin, Zyan mengangkutnya beberapa kali bolak-balik.

“Ibu pindah ke mana?” tanya si pemilik kontrakan, ketika Alina mengembalikan kunci.

“Jauh, Bu.” Alina sengaja tak menyebutkan di mana tempat tinggalnya yang baru. Jika suatu saat Rosa kembali mencari, wanita itu tak bisa menemui mereka. “Terima kasih banyak, ya, Bu. Mohon maaf jika saya dan anak-anak punya salah.”

“Sama-sama, Bu. Ibu dan anak-anak sangat baik, saya menjadi sedih Ibu pindah.”

Keduanya berpelukan, sebelum Alina pergi. Zea dibonceng Zyan menggunakan motor bebek miliknya, sedangkan Alina dibonceng Melvin. Setengah jam berlalu, mereka sampai di sebuah kontrakan padat penduduk yang kebanyakan diisi oleh mahasiswa. Zyan mendapatkan kontrakan murah yang tak jauh dari kampusnya.

“Ini agak kecil, Ma. Kamarnya cuma ada satu.”

Alina memperhatikan kontrakan ukuran enam kali tiga meter itu. Hanya tersedia satu kamar tidur, kamar mandi, dan dapur yang bersatu dengan ruang tamu. Mereka mulai membersihkan kontrakan, menggelar kasur tipis di kamar, kemudian meletakkan kompor dan peralatan memasak di meja dapur.

“Zyan, kamu tidur saja, biar Mama yang kerjakan,” ucap Alina, setelah putranya memasang regulator tabung gas tiga kilogram.

“Mama saja yang istirahat, biar Zyan yang beresin semua.”

Alina masuk ke kamar, tubuhnya terasa lelah setelah mem-packing barang-barang pindahan. Untung saja kedua anaknya sudah besar, jadi ada yang membantu. Wanita itu duduk di kasur tipis, netranya menatap wajah sang putri yang telah terbang ke alam mimpi. Perlahan, manik cokelat itu berkabut hingga buliran bening jatuh di pipi.

“Jika luka Mama sudah sembuh, Mama akan mempertemukan kalian dengan Papa,” lirihnya sambil mengusap rambut sang putri.

***

Dua hari mengelilingi Kota Bandung bersama orang kepercayaan, Pandu belum bisa menemukan keberadaan keluarganya. Setiap jalan, persimpangan, mall, dan pasar ia telusuri, berharap salah satu dari mereka adalah orang yang ia cari.

Lelah mencari, pria itu kembali pulang. Pandu menghentikan mobil tepat di depan rumah. Ia menatap bangunan dua lantai itu lekat. Ini adalah rumah impian Alina. Wanita itu sendiri yang merancang hunian mereka.

“Kita buat dua kamar di bawah, Mas. Satu kamar utama. Jika suatu saat kita sudah tua dan enggak bisa lagi menaiki tangga, kita akan tidur di kamar ini,” ujar Alina kala itu.

“Terserah kamu, Sayang, Mas mengikuti saja.”

Wanita itu tersenyum sambil menatap tanah yang masih kosong. “Di lantai atas kita bikin tiga kamar utama.”

“Kenapa banyak sekali?”

“Satu kamar kita, dua lagi kamar Zyan dan Zea. Jika mereka sudah menikah, kamar itu akan menjadi kamar mereka bersama menantu dan cucu-cucu kita ketika mereka berkunjung.”

Pandu mencubit pipi Alina. “Anak-anak masih kecil, tetapi sudah memikirkan menantu dan cucu.”

“Karena aku ingin keluarga kita bahagia sampai tua bersama anak-anak dan cucu. Rumah ini akan ramai dan berwarna dengan kehadiran mereka.”

Tak terasa, mata Pandu mengabut. Ia menghancurkan mimpi Alina. Bukan kehadiran keluarga bahagia yang ia bawa ke rumah ini, melainkan seorang selir yang kemudian bertakhta menjadi ratu dan Alina harus tersingkir.

“Mas.” Rosa mengetuk kaca mobil. Semenjak kendaraan itu datang, ia telah mengetahuinya. Melihat Pandu tak kunjung keluar, wanita itu memberanikan diri untuk mendekat.

Pandu keluar dari mobil, kemudian melangkah ke rumah megah yang bangunannya masih sama seperti dulu, hanya penghuninya saja yang berbeda.

“Aku bikinkan teh,”

“Enggak usah,” tolak Pandu, kemudian bersandar di sofa.

Rosa melihat wajah pria itu tampak kusut dan lelah seperti kurang tidur. “Besok aku akan launching produk terbaru. Aku minta Mas hadir mendampingiku,” ujar Rosa hati-hati.

“Haruskah aku datang?”

Wanita itu mengangguk. “Aku ingin orang-orang melihat keluarga kita baik-baik saja, walaupun di dalamnya beku.”

Pandu melihat wajah sendu Rosa dari sudut matanya, tetapi ia tak menggubris.

“Aku tahu, selama ini Mas mencari keberadaan mereka,” lirih Rosa. Ia menatap Pandu yang tak berkutik dan memejamkan mata. “Aku akan memberitahu di mana mereka berada.”

Seketika mata Pandu terbuka mendengar pernyataan Rosa. Wanita itu tersenyum miris melihat reaksi Pandu ketika menyebutkan bahwa ia mengetahui keberadaan anak dan mantan istrinya. “Kamu mengetahuinya? Sejak kapan?”

“Sekitar seminggu.”

“Kenapa enggak bilang padaku?” Suara Pandu mulai meninggi. Ia tak sabaran ingin mendengar di mana mereka berada.

“Kamu enggak pernah bertanya.”

Keduanya saling bertatapan. Rosa yakin, Pandu akan memintanya untuk memberi tahu di mana alamat mereka. “Aku akan memberi tahu, tetapi aku minta Mas datang di acara launching produk terbaruku.”

Pandu tersenyum. Walaupun ada permintaan Rosa yang harus ia kabulkan, baginya keberadaan Alina dan kedua anaknya lebih penting daripada mempertahankan ego yang membuatnya akan kembali kehilangan.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rika Fitria Ningsih
panjang banget
goodnovel comment avatar
Bee Chen
bagus...ssss, Cuman panjan, pake banget ...
goodnovel comment avatar
Umie Zaenab
sedih ya sedih bgt bagus deh ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status