LOGINTak ingin menghabiskan waktu menghadapi mertua serta suaminya, Livia memilih keluar dari sana dan menuju rumahnya yang berada tepat disamping rumah sang mertua.
Teriakan Hakam yang memanggilnya tak ia hiraukan. Livia terus berjalan. Yang ia pikirkan hanya ingin segera menyiapkan segala keperluan Yazeed dan kembali ke rumah sakit. "Kenapa kamu berubah begini, Livia?" Ternyata Hakam menyusul Livia pulang, dia berjalan menghampiri sang istri yang tengah fokus memasukkan beberapa lembar bajunya dan Yazeed kedalam sebuah tas. Livia tak menjawab bahkan menoleh pun tidak. Perempuan itu tampak cuek, seakan tak menganggap keberadaan Hakam di sana. "Livia, jawab aku!" Kesal tak mendapat jawaban dari istrinya, Hakam menarik tangan perempuan itu hingga berhadapan dengannya. Livia menatap Hakam datar, muak dan benci menyatu dalam diri perempuan itu. Kebencian terpancar jelas di matanya, melihat tatapan istrinya yang terlampau datar membuat Hakam menelan ludah. Tak pernah sebelumnya Livia menantangnya seberani ini. Dia yakin, ada yang salah dari diri perempuan itu. "Berhenti mengoceh, Mas! Aku tak punya banyak waktu untuk menanggapi ocehanmu itu, keadaan anakku jauh lebih penting sekarang," ucap Livia datar. Dia kembali berbalik dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Setelah dirasa semua barang yang ia perlukan selesai ia masukkan, Livia langsung menutup tasnya dan berjalan keluar. Hakam tak berbuat apa-apa melihat tingkah istrinya itu, dia hanya bisa terdiam dan menatap kepergian Livia yang sudah menaiki motor yang entah dari mana ia dapat. Setelah Livia menghilang dari pandangannya, Hakam menyugar rambutnya kasar. Apa yang terjadi pada Livia? Tidak mungkin hanya gara-gara dia tak jadi ke rumah sakit perempuan itu marah padanya, kan? Lagi pula, seharusnya Hakam yang lebih marah karena sifat Livia yang dianggap tak sopan pada ibu juga kakaknya. * Malam itu, Livia menghabiskan waktunya seorang diri di rumah sakit untuk menjaga Yazeed. Kadang ia merasa iri melihat orang-orang yang satu ruangan dengannya selalu ditemani dan dibantu suaminya. Kapan ia bisa seperti itu? "Suamimu nggak datang?" Wanita yang tadi siang membantu menjaga Yazeed menghampiri Livia yang tengah menggendong Yazeed yang tengah rewel. Livia menoleh dan hanya menggeleng, hatinya teriris mendengar pertanyaan itu. Rasa benci dan marahnya pada Hakam makin menjadi. Bagaimana bisa laki-laki itu tidur tenang di rumah sedang istrinya tengah berjuang di rumah sakit menjaga anak mereka? "Dari tadi saya lihat mbaknya belum makan. Mari sini biar saya yang jaga Yazeed, mbaknya makan aja dulu." Wanita itu kembali menawarkan kebaikannya. "Eh, apa nggak merepotkan, Bu?" tanya Livia sungkan. "Enggak, kok. Kebetulan anak saya lagi ada ayahnya yang jaga." Wanita itu tersenyum tulus. Livia merasa terharu atas kebaikan wanita itu. Karena perutnya yang memang sudah sangat perih dan lapar, dia langsung menyerahkan Yazeed pada wanita itu sedang dia segera turun menuju kantin. "Mau pesan apa, Mbak?" tanya wanita penjaga kantin begitu melihat Livia yang tampak kebingungan berdiri didepan etalase miliknya. "Eum ... nasi putih sama orek tempe aja berapa, Bu?" tanya Livia. "7 ribu, Mbak." Wanita itu menyahut sambil terus menyiapkan pesanan yang lain. "Saya pesan satu, ya, Bu. Makan di sini saja," kata Livia yang dibalas anggukan oleh wanita itu. Selagi pesanannya dibuat, Livia memilih duduk disalah satu kursi. Keadaan kantin cukup ramai, Livia memperhatikan setiap pelanggan yang sibuk menikmati hidangan didepan mereka. Perempuan itu menelan ludah, sebenarnya dia ingin sekali memesan lauk ayam atau ikan gulai. Tapi uang di tangannya yang hanya tersisa 50 ribu. Ia takut akan ada keperluan mendesak nantinya. "Ini, Mbak. Silahkan." Pesanan Livia sudah datang, tapi kening perempuan itu berkerut heran saat melihat lauk yang ada di piringnya. Dia hanya memesan orek tempe sebagai lauk, kenapa di piringnya ada tambahan ayam dan juga ikan? Ah, sepertinya wanita itu salah dengar, pikirnya. "Maaf, Bu. Sepertinya pesanan saya salah, saya hanya pesan orek tempe tadi," ujar Livia sopan. "Iya, itu sengaja saya lebihkan buat mbaknya." Wanita itu tersenyum, kemudian segera berlalu sebelum Livia sempat mengucapkan terimakasih. Sekali lagi, dia tak menyangka akan kembali bertemu orang baik yang sudi membantunya padahal tak saling mengenal. Dengan cepat, Livia segera melahap makanannya. Perempuan itu sudah benar-benar lapar, sebab tadi siang dia hanya makan roti sebagai pengganjal perutnya. Tak perlu waktu lama, nasi di piringnya sudah habis tanpa ada sisa. Tak lupa dia mengucap syukur, kemudian segera bangkit untuk membayar. Selesai membayar dan mengucap terimakasih pada penjual yang sudah berbaik hati tadi, Livia bergegas kembali naik ke lantai 2. Sesampainya di ruangan sang anak, Livia terkejut dengan mata membola melihat Yazeed berada dalam gendongan seorang laki-laki. Kenapa dia di sini?Setahun setelah pernikahannya dengan Gheza, Livia hidup dalam kedamaian yang tak pernah ia bayangkan. Namun, satu ikatan dari masa lalu masih belum terselesaikan, keluarganya.Saat menikah dengan Gheza, Livia sengaja tak ingin menghubungi Sofian atau pun Karim. Livia dinikahkan oleh wali hakim setelah beberapa kali memohon, permintaannya diterima begitu tau permasalahannya dengan keluarganya.Sejak detik itu juga, Livia tak sedikit pun punya niat untuk bertemu lagi dengan keluarganya, termasuk ibu kandungnya, meski awalnya Livia berniat mencari keberadaan wanita itu.Dia ingin mengubur habis tentang masa lalunya yang pahit. Sebab, setelah menikah dengan Gheza dia hanya ingin merasakan kebahagiaan dengan orang baru tanpa harus melibatkan orang-orang dari masa lalunya.Suatu sore, Livia menerima pesan dari kontak tak dikenal. Pesan itu dari Hernita, ibu kandungnya, yang memohon untuk bertemu. Setelah Gheza dan Nia meyakinkannya, Livia setuju.Awalnya, Livia kaget setengah mati. Kenapa d
Setahun kemudian.Livia dan Gheza menikah secara sederhana, hanya disaksikan oleh Ghani, Nia, Ghaida, Muis, Masitah, dan Alia. Rumah yang dulu dibeli Hakam untuk menjamin keselamatan Livia, kini menjadi rumah bagi tiga anak, Yazeed, Hanan, dan Hanin.Gheza mengajak Livia pindah dan sudah berencana membelikan rumah baru, tapi Livia menolak untuk saat ini. Gheza mengalah, dia memilih tinggal di rumah peninggalan Hakam bersama Livia dan anak-anak.Dania, yang akhirnya mendapat perawatan dan dukungan emosional dari keluarga Gheza, tidak lagi hancur. Ia sering datang mengunjungi cucu kembarnya, meskipun ia masih menjaga jarak dan bungkam di hadapan Livia. Namun, di matanya, ada sedikit rasa terima kasih yang tidak terucapkan.Hana, di penjara, menjalani konsekuensinya. Ia tahu, satu-satunya alasan Hanan dan Hanin hidup nyaman di bawah perlindungan hukum adalah karena kebesaran hati perempuan yang ia benci, Livia.Livia, yang dulunya adalah menantu yang tak pernah mendapat tempat di hati me
Penangkapan Hana dan kehancuran Dania datang seperti hukuman ilahi. Kabar itu menyebar dengan cepat, melenyapkan semua fitnah yang pernah disebar Hana. Kebenaran tentang pekerjaan gelap Hana—pengedaran narkoba dan menjadi simpanan pria beristri—membuat Dania terisolasi total. Kebencian Dania terhadap Livia lenyap, tergantikan oleh rasa malu yang mematikan dan kepedihan melihat putrinya ditahan.Dengan Dania yang bungkam dan Hana di penjara, urusan warisan Hakam berjalan mulus. Livia, didampingi Gheza dan Pak Wibowo, berhasil memastikan semua aset Hakam—rekening bank, asuransi, dan beberapa investasi lain—dialihkan sepenuhnya atas nama Yazeed, yang diwakili oleh Livia.Ghani dan Nia menawarkan bantuan logistik penuh. Mereka bahkan menyarankan agar Dania mendapatkan bantuan hukum untuk kasus Hana, bukan karena iba pada Dania, tetapi demi menjaga citra keluarga besar. Livia, dengan kebesaran hati, setuju untuk mencabut gugatan pencemaran nama baik, asalkan Dania tidak pernah lagi mengusi
Siang itu, di kantor hukum Pak Wibowo, suasana terasa mencekam. Di satu sisi meja, duduk Gheza, Livia didampingi Alia, dan Pak Wibowo, yang terkenal sebagai pengacara yang dingin dan tanpa kompromi. Di sisi lain, Dania dan Hana datang dengan pengacara mereka yang terlihat kurang berpengalaman.Dania mendengus begitu melihat Livia. "Jadi ini pengacara yang kau pamerkan, Livia? Kau pikir kau bisa menakuti kami?"Namun, senyum Dania langsung luntur saat melihat Gheza duduk tegak di sebelah Livia."Gheza?" Dania terkejut. "Apa urusanmu di sini? Bukannya kau sepupu suami Hana?""Justru itu urusanku, Tante Dania," jawab Gheza dingin. "Suami Hana sudah meninggal. Dan sekarang, aku bertindak sebagai penanggung jawab hukum untuk Livia dan Yazeed. Kau sedang berhadapan dengan pengacaraku, bukan hanya Livia."Dania memandang pengacara Livia, Pak Wibowo. Mendengar nama Pak Wibowo saja sudah membuatnya gentar, sebab ia tahu reputasi Pak Wibowo yang tak pernah kalah.Pertemuan itu dimulai dengan Pa
Livia akhirnya menerima tawaran Gheza. Ia tahu risikonya besar—risiko dicap "merebut" Gheza di masa berkabung, risiko Gheza memanfaatkan situasi, dan risiko terbesarnya: keselamatan dan pekerjaan Alia serta Nenek Masitah. Namun, ketegasan Gheza meyakinkannya."Baiklah, Gheza. Aku terima," ujar Livia, tatapannya tegas. "Tapi ini hanya hubungan profesional. Aku butuh perisai hukum. Dan tolong, pastikan Mbah dan Alia aman dari papamu."Gheza tersenyum lembut. "Syarat diterima. Mari kita urus ini."*Malam itu, di rumah mewah keluarga Gheza, suasana tegang menyelimuti meja makan. Ghani telah mendengar kabar burung tentang putranya yang secara terbuka membantu Livia."Jadi, kau berani-beraninya membantu mantan ART yang sudah kita pecat, Gheza?" desis Ghani, suaranya dipenuhi amarah. "Kau bahkan menggunakan pengacara terbaik perusahaan kita untuk urusan sepele seorang janda?"Nia dan Ghaida hanya diam, menyaksikan. Nia tahu Gheza memiliki perasaan yang kuat untuk Livia, dan Ghaida, yang leb
Langkah Livia terhenti di depan pintu pagar. Rasa penasaran itu cepat berganti menjadi ketakutan saat ia melihat Dania dan Hana duduk di kursi teras, seolah mereka adalah pemilik sah tempat itu. Wajah Dania terlihat dingin, sementara Hana menyeringai tipis."Hanya sebulan, sudah berani berjalan-jalan dengan bunga. Duka macam apa itu?" sambut Dania, menghilangkan semua basa-basi.Alia melangkah maju, tangannya menggenggam lengan Livia erat, melindungi. "Bunga itu dari makam Mas Hakam, Tante. Bukan untuk berjalan-jalan."Dania mengabaikan Alia, matanya fokus pada Livia. "Aku sudah tidak sabar lagi, Livia. Kami sudah menunggu cukup lama. Ini waktunya kau angkat kaki dari rumah ini."Livia menyerahkan Yazeed pada Alia, lalu berjalan menuju teras. Ia menanggapi dengan ketenangan yang sudah ia latih selama sebulan terakhir."Aku sudah bilang, Ma. Rumah ini atas namaku. Hukum melindunginya," jawab Livia tegas.Dania berdiri, raut wajahnya menahan amarah yang meletup-letup. "Hukum? Kau pikir







